“Aku memiliki segalanya yang dimiliki Aurora bahkan lebih!” kata Alice. “Tapi, kenapa kamu lebih memilih dia?”
Aaron menghentikan langkahnya.
“Apa yang Aurora miliki, tapi aku nggak punya?”
Sejujurnya Aaron tidak pernah berniat bicara terlalu banyak malam ini. Dia hanya ingin memperjelas penolakannya saja lalu pergi. Namun, sikap wanita bergaun merah jambu itu memaksanya.
“Dia memiliki hatiku.”
&
Setelah video viralnya di jagad maya, Aurora menjadi semakin dikenal di rumah sakit ini. Dokter Jupiter dan Adrian bahkan terlihat hormat sekali padanya sekarang, tentu saja ini ada kaitannya dengan status kepemilikan rumah sakit yang kini berpindah tangan. Beberapa perawat yang dulu sempat menjadikan Aurora anak baru dengan kata-kata ‘bully’ yang cukup menyakitkan jika dirasakan, kini pun berangsur mendekatkan diri dengan alasan serupa. Jujur, imbasnya memang cukup baik sejauh ini, biarpun di belakang Aurora mereka tetap menggunjing kedekatannya dengan Aaron diam-diam. Namun, baik, itu masih bukan masalah besar. Atau setidaknya tidak lebih besar dari imbas buruk yang diterima seorang Alice.&nbs
“Kita nonton film aja!” seru Tita dengan antusias. “Film apa yang tepat buat manusia-manusia jomblo kyak kita berdua? Nggak ada, Tita!” sahut Kaira asyik memainkan rambut keritingnya. Aurora cekikikan. Dari semua huru-hara dunianya, hanya dua sahabatnya itu yang mampu meredakan. Ya, biarpun sesaat. “Ya, udah! Makan aja klo gitu!” ajak Tita putus asa sebab semua idenya ditolak. “Tteokbokki!” seru Kaira. 
Agni berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti api. Orang tua istri Candra Akarsana berharap bahwa di masa depan anaknya itu memiliki semangat seperti itu, seperti api. Iya, tentu saja Agni memilikinya, namun ada kalanya semangat itu padam suatu ketika. Pagi itu Agni sedang menyiram tanaman-tanaman bunga yang baru beberapa hari lalu dibelinya untuk melengkapi koleksi tanaman di taman yang kini selesai direnovasi. Bunga-bunga itu mekar berseri, namun sayangnya sama sekali tidak menularkan keceriaan untuknya. “Ma?” Tiba-tiba, sebuah suara mengagetkan Agni hingga hampir menjatuhkan cerat yang s
“Ayo, kita akhiri hubungan ini!” “Apa?” kejut Aaron. “Hubungan kita cukup sampai di sini!” “Nggak bisa!” tolak Aaron. Aurora memejamkan mata. Dalam pejam itu dia mengingat kembali semua kejadian yang menyebabkannya harus memberanikan diri untuk mengucapkan kalimat menyakitkan itu hari ini. Malam sedang beranjak saat Aurora sampai di sebuah restoran mewah pinggir kot
Io sedang membolak-balikkan beberapa lembar naskah yang harus dihafal modelnya saat seorang wanita muncul tiba-tiba di depannya. “Hai, apa Gael ada?” Dengan mulut terbuka Io menatap wanita itu. Tingginya mungkin kurang dari seratus tujuh puluh senti, namun proporsi badannya berisi dengan indah sekali. Sebagai seseorang yang sudah lama bergelut dalam dunia ‘modeling’ , Io bisa menyimpulkan bahwa pria-pria dari keluarga konglomerat itu memang memiliki selera yang bagus. “Oh, maaf … aku Aurora!” tukas wanita itu memperkenalkan diri.&n
Perasaan itu bagai derai-derai hujan yang jatuh dari langit, tiada tertahan dan dengan pasti akan jatuh ke bawah. … . “Gravitasi!” seru Tita. “Nggak usah teriak kenapa?” bentak Kaira bahkan jauh lebih keras dari suara Tita. “Lha, kamu kan tadi tanya kenapa hujan jatuhnya ke bawah? Itu sebab gravitasi, Kaira!” balas Tita tidak mau kalah. Hufffttt! 
Semakin lama semakin tertarik masuk. Jadi, sebelum semua terlanjur lebih jauh lagi maka harus diakhiri. … . “Tapi, mata kamu menyimpan kalimat lain,” ucap Aaron seraya mendekat. Sembari menatap mata Aaron, Aurora mengulum senyumnya. Kalimat terakhir yang dia ucapkan benar-benar tulus dari hati. Namun, sebelum ada kejutan-kejutan lainnya yang lebih manis lagi, Aurora harus mengatakannya segera. “Ayo, kita akhiri hubungan ini!”&nbs
Ada yang tidak biasa dengan penampilan Aurora malam ini. Dia bukan sedang berdandan ala para putri, namun sengaja mengenakan pakaian ‘hang out’ yang rapi sebab dia ada janji. Dan benar saja, belum lama dia memakai parfumnya, sebuah klakson mobil terdengar. Aurora tersenyum dan melangkah ke luar kamarnya. Dia sempat melihat beberapa anak kos berkerumun di ruang tamu, namun tidak mau menghiraukan. Untuk apa? Paling mereka hanya sedang membicarakannya. Dan kali ini Aurora sedang baik hati, dia membiarkan pria yang mengendarai mobil menunggunya keluar sesaat untuk membukakan pintu mobil untuknya. Sekali tepuk mendapat dua nyamuk. Biarlah para penghuni kos yang senang menggunjingnya itu semakin panas melihat ada pria lain lagi yang menjemputnya malam ini.&nbs
“Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K
Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&
“Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula
Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua
Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n
“Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k
Brakh! Pria paruh baya itu terkejut mendengar suara meja yang sengaja digebrak oleh atasannya. “Hei, Pak Tua!” kata Aaron. “Aku dianggap gila selama puluhan tahun. Tapi, aku lebih cerdas darimu! Aku bahkan bisa membuat laporan semacam itu hanya dengan mata tertutup! Jadi, selama ini apa kerjamu?” teriaknya bertubi-tubi. Baron melirik pengawal yang berdiri tegap di sebelahnya, sesama rekan abdi setia yang berpindah haluan seiring tahta yang beralih dari sang ayah ke putra tunggalnya. Dia tidak sedang bermain mata, melainkan memberikan kode pada rekannya itu bahwa malam ini mereka be
Gael datang menemui Alice seusai sidang yang menjatuhkan vonis pada wanita itu bahwa dia sedang ada dalam gangguan jiwa. Kondisi Alice tidak banyak berubah, kecuali rambut yang tampak kusut dan tatapan kosongnya. Gael menggeleng lemah. Seperti itulah akhir untuk orang yang terlalu mengikuti ambisi dalam diri. “Bisa buka aja borgolnya?” pintanya pada salah seorang petugas yang mendampingi Alice. Gael merasa iba pada wanita itu. “Untuk apa kamu datang? Mau menertawakan aku?” Tidak Gael sangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan itu dari Alice yang sudah lesu dan layu.&n
Dua sepupu itu datang hampir bersamaan dan bertemu di perempatan sebuah lorong. Mereka itu Gael dan Ken yang kemudian melihat apa yang Nick lakukan pada Aurora. Mereka juga menjadi saksi bagaimana bibi mereka membela wanita itu. Tentu saja itu di luar dugaan, namun melihat dari yang terjadi sepertinya memang hati seorang ibu lebih mudah luluh daripada seorang ayah. “Aku lelah,” tutur Amanda. Nick diam menatap istrinya. Cinta pertamanya itu terlihat berbeda dari wanita yang dikenalnya selama ini. “Nyonya Johansson, Anda tidak perlu … .”&n