Ada yang tidak biasa dengan penampilan Aurora malam ini. Dia bukan sedang berdandan ala para putri, namun sengaja mengenakan pakaian ‘hang out’ yang rapi sebab dia ada janji. Dan benar saja, belum lama dia memakai parfumnya, sebuah klakson mobil terdengar.
Aurora tersenyum dan melangkah ke luar kamarnya. Dia sempat melihat beberapa anak kos berkerumun di ruang tamu, namun tidak mau menghiraukan. Untuk apa? Paling mereka hanya sedang membicarakannya. Dan kali ini Aurora sedang baik hati, dia membiarkan pria yang mengendarai mobil menunggunya keluar sesaat untuk membukakan pintu mobil untuknya. Sekali tepuk mendapat dua nyamuk. Biarlah para penghuni kos yang senang menggunjingnya itu semakin panas melihat ada pria lain lagi yang menjemputnya malam ini.
&nbs
Ken menarik kembali bibir wanita dalam dekapannya dengan jari-jari. Dia mencoba membawanya kembali dalam gairah yang muncul tiba-tiba. Namun, … . “Sorry,” pinta Aurora. “DIa udah pergi,” lanjutnya pelan dan canggung. Ken menelan ludah dan seketika dia tersadar bahwa ciuman tadi Aurora anggap hanya sebagai bagian dari sandiwara yang mereka mainkan untuk mengusir Aaron dari arena permainan. “Sorry,” akhirnya hanya itu yang mampu Ken ucapkan. Sedangkan wanita yang sejak beberapa menit lalu ada dalam dekapannya kini terduduk lesu di kursi.&n
Perpisahan selalu sama, menimbulkan rasa sakit. Meskipun mungkin tidak seberapa besarnya, namun tetap saja rasa kecewa dan perasaan-perasaan lainnya campur aduk menjadi satu. Ini adalah saat di mana manusia menjadi makhluk paling rapuh jiwa dan raganya akibat serangan emosi yang bertubi-tubi. Dan saat-saat seperti inilah tameng melemah. Aurora tidak paham bagaimana awalnya. Dia masih diliputi kebingungan saat tiba-tiba pria di sebelahnya itu menyentuh tangannya yang sibuk menyeka rambut yang basah. Dan semua terjadi begitu saja, semua sentuhan hangat yang memanjakan indera. Mulanya biasa, namun lama-kelamaan Aurora pun ikut larut. Ken tahu bahwa ini bukan saat yang tepat, namun sesungguhnya tidak akan
“Dia sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Kondisinya tidak memungkinkan lagi. Kami semua hanya merawat orang dengan satu ginjal dan menunggunya mati.” Surya menengadah ke atas, sedang berpikir keras. “Dia putrimu, Surya. Bagaimana kamu bisa berdiam diri?” Surya mengusap gusar wajahnya. Semua kalimat yang didengarnya itu benar sekali. “Aurora tidak akan mengadukan sikap Sofia pada siapapun, tapi dia juga sudah tidak mau lagi mengurusi Sofia.”&n
Brakh! Terdengar suara meja dipukul keras. Grompyang! Praaanggg! Dan entah apalagi yang jatuh berserakan Baron tidak dapat mengidentifikasinya satu per satu. Dia tadi hanya melaporkan apa yang dilihatnya sesuai dengan perintah si tuan muda. Namun, Baron tidak menyangka bahwa efeknya sangat menyeramkan begini. Apa tuannya itu kumat lagi? Aaron menggenggam erat jemarinya dan terdengar bunyi gemerutuk sendi tulang.
Aurora menarik napas dalam lalu menghembuskannya. Perlahan dia menarik sebuah lekukan di bibir, tempat baru lagi petualangan baru lagi. Dengan erat dia menggenggam tali tas samping yang dia bawa dan berjalan masuk ke rumah sakit di mana di sanalah Kaira dan Tita mengabdikan diri. “Rumah sakit ini jarang sekali mendapat pasien khusus. Bahkan di UGD hanya diisi para lansia dengan keluhan-keluhan nggak jelas,” ujar Kaira. “Dan di sini mana ada pangeran setampan Aaron itu. Mustahil!” celetuk Tita. Dengan sedikit kesal Kaira menyenggol tangan Tita sebab kalimatnya barusan mungkin akan s
Masa lalu. Ada kisah yang mungkin hanya orang-orang tua saja yang tahu. Dalam kisah berikut, mungkin hanya Raanana yang mengingatnya atau hanya dia yang masih cukup waras dari semua tokoh yang ada untuk bicara. Usia Raanana kini sudah lewat separuh abad. Itu artinya setidaknya sudah dua masa dia lewati, masa muda dan masa tua. Di masa mudanya Raanana adalah wanita dengan keinginan yang kuat. Bahkan jauh lebih kuat dari seorang Candra Akarsana. “Kalau kau terlalu berambisi, kapan kau akan menikah?” tanya Candra suatu hari. 
Hujan tidak hentinya mengguyur hari, terutama sejak jasad pria bernama Candra Akarsana itu selesai dipeluk bumi. Namun, itu sedikit pun tidak menyurutkan keinginan Aurora. Dia tetap berdiri di samping pusara sang ayah walaupun dengan berlinangan air mata. Tuhan senantiasa adil bahkan untuk pria sekeras dan seegois Candra Akarsana. Dia mungkin telah melakukan banyak kesalahan dalam hidup, terutama untuk anak dan istrinya. Namun, demikian Tuhan tetap melindungi hati pria itu agar tidak kecewa. Jika boleh jujur, Aurora merasakan sedikit kelegaan dengan kembalinya sang ayah dalam pelukan-Nya. Dengan begitu, ayahnya tidak perlu melihat kegagalan Sofia. Dengan begitu, ayahnya tidak perlu mendengar kenyataan
“Aku nggak nyangka klo akhir-akhir ini aku begitu sibuk sekali,” celetuk Gael seraya memasang senyum khas. Io yang berdiri di samping modelnya itu meringis saja dan sesaat kemudian undur diri. Ya, daripada dia ikut campur dan mendapat predikat anak muda tidak tahu diri. “Pengecut!” maki Gael. Puk! “Aduh!” Gael mengaduh saat sebuah buku yang sengaja digulung dipukulkan ke bahunya oleh seorang wanita paruh baya yang baru saja datang mengunjunginya. “Itu sakit, Raa!&rdqu
“Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K
Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&
“Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula
Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua
Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n
“Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k
Brakh! Pria paruh baya itu terkejut mendengar suara meja yang sengaja digebrak oleh atasannya. “Hei, Pak Tua!” kata Aaron. “Aku dianggap gila selama puluhan tahun. Tapi, aku lebih cerdas darimu! Aku bahkan bisa membuat laporan semacam itu hanya dengan mata tertutup! Jadi, selama ini apa kerjamu?” teriaknya bertubi-tubi. Baron melirik pengawal yang berdiri tegap di sebelahnya, sesama rekan abdi setia yang berpindah haluan seiring tahta yang beralih dari sang ayah ke putra tunggalnya. Dia tidak sedang bermain mata, melainkan memberikan kode pada rekannya itu bahwa malam ini mereka be
Gael datang menemui Alice seusai sidang yang menjatuhkan vonis pada wanita itu bahwa dia sedang ada dalam gangguan jiwa. Kondisi Alice tidak banyak berubah, kecuali rambut yang tampak kusut dan tatapan kosongnya. Gael menggeleng lemah. Seperti itulah akhir untuk orang yang terlalu mengikuti ambisi dalam diri. “Bisa buka aja borgolnya?” pintanya pada salah seorang petugas yang mendampingi Alice. Gael merasa iba pada wanita itu. “Untuk apa kamu datang? Mau menertawakan aku?” Tidak Gael sangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan itu dari Alice yang sudah lesu dan layu.&n
Dua sepupu itu datang hampir bersamaan dan bertemu di perempatan sebuah lorong. Mereka itu Gael dan Ken yang kemudian melihat apa yang Nick lakukan pada Aurora. Mereka juga menjadi saksi bagaimana bibi mereka membela wanita itu. Tentu saja itu di luar dugaan, namun melihat dari yang terjadi sepertinya memang hati seorang ibu lebih mudah luluh daripada seorang ayah. “Aku lelah,” tutur Amanda. Nick diam menatap istrinya. Cinta pertamanya itu terlihat berbeda dari wanita yang dikenalnya selama ini. “Nyonya Johansson, Anda tidak perlu … .”&n