Poppy mengabaikan obrolan Robin dan Antonio, meninggalkan ruangan itu dengan pertanyaan di benaknya, ‘Apa dia ingin membuang kue itu dengan kedua tangannya sendiri? Sayang sekali ….’Poppy pernah merasakan kelaparan selama beberapa hari ketika Saul menghukum dan mengurungnya di gudang. Terkadang, dia hanya mendapatkan makanan sisa atau yang sudah tak layak untuk dikonsumsi.Saat berpikir Robin akan membuang kue itu, Poppy merasa sedikit marah padanya. Robin tak bisa menghargai makanan, yang menurut orang lain mungkin adalah makanan mewah bagi mereka.‘Setidaknya, dia bisa memberikan kue itu untuk pelayan.’Selain itu, ucapan kejam Robin yang akan memberikannya kepada Antonio sangat membuat Poppy sakit hati, seakan-akan dirinya hanya sebuah barang yang tak memiliki nyawa maupun perasaan.Saat Poppy menutup pintu ruangan itu, Poppy masih sempat mendengar Antonio pun tak menginginkan dirinya, dan hanya bersikap sesuai dengan posisinya.“Kalau kau tidak menginginkan perempuan itu, kau tid
“Ada yang bilang, para lelaki pendiam seperti Tuan Robin agak canggung mengekspresikan diri. Saya yakin, Tuan Robin pasti diam-diam tertarik pada Anda.” Donna masih berusaha keras membuat Poppy percaya. Jika ucapannya salah, Donna telah bertekad akan membuat ucapannya menjadi kenyataan. ‘Kalau Tuan Robin tidak mencintai Poppy, maka aku akan berusaha mendekatkan mereka. Setelah mereka benar-benar jadi pasangan suami istri yang sesungguhnya, aku akan meminta sesuatu sebagai imbalan.’ Dia tak peduli lagi dengan masa lalu Poppy, setelah sebelumnya cukup terpengaruh karena pelayan lain mencibir dan mengucilkannya. Melayani seorang budak merupakan nasib buruk baginya. Namun, ketika mendengar Robin menghukum Mia demi Poppy, dan meskipun kabar itu tidak benar, harapan Donna muncul kembali. Apa pun identitas Poppy sebelumnya, selama Poppy adalah nyonya rumah sekaligus istri Robin Luciano, Donna yang menjadi pelayan pribadi wanita itu pun akan mendapatkan banyak keuntungan. “Tidak. Aku san
Poppy hampir terjatuh setelah didorong oleh pelayan pribadinya. Dia tak terbiasa memakai sepatu hak sepuluh senti, yang baginya terlalu tinggi sehingga kesulitan mempertahankan keseimbangan. Beruntung, tangannya sigap menangkap punggung sofa yang ada di tengah ruangan. “S-saya … anu ….” Udara dingin menggigit setiap jengkal kulit Poppy. Dia mengenakan gaun hitam mini, menampilkan belahan dada tanpa lengan dan dengan bagian bawah di atas paha. Apalagi, tatapan suaminya yang dingin seperti biasa tak terpengaruh oleh penampilannya itu, kian membuat badan Poppy menggigil. Dalam hati, dia menyesal telah menuruti ide gila Donna dan Lucia untuk merayu Robin Luciano. “Apa kau tidak mendengar pertanyaanku?” geram Robin. Robin terganggu oleh kedatangan Poppy yang mendadak dan tidak mengetuk pintu terlebih dulu. Satu hal yang tak disukai Robin, orang-orang yang tak punya sopan santun masuk ke ruangannya tanpa permisi. “Saya ….” Poppy kesulitan menjawab. Dia memejamkan mata, membayangkan
Dalam benak Poppy hanya dipenuhi oleh ajaran aktivitas dewasa dari Lucia untuk mempertahankan hidupnya. Rasa takut Poppy mendadak berkurang ketika mencium aroma tubuh Robin yang membius kesadarannya. Suara Robin pun hanya terdengar seperti erangan menggoda. Poppy tak tahu apa yang terjadi dengan perubahan tubuhnya, namun dia sangat menginginkan belaian Robin saat ini juga. Poppy tiba-tiba berhenti bergerak, memandang Robin dengan tatapan sayu, dipenuhi oleh hasrat dan memohon, “Tuan … sentuh saya ….” Tak mendapat respon apa pun, Poppy menurunkan ujung gaun bagian atasnya. Mata Robin terbelalak ketika Poppy dengan berani menunjukkan dadanya yang tak tertutup apa pun. “Sentuh saya di sini ….” Poppy menirukan cara bicara Lucia, mendayu-dayu manja. Namun, itu belum semuanya. Poppy meraih tangan Robin, menyentuhkan telapak tangan besar itu hingga meremas kedua dadanya. “Tuan … saya mohon ….” Robin sungguh tak menyangka. Wanita yang selalu bertingkah seperti tikus tersudut dan ketaku
Ucapan Poppy persis dengan semua ajaran Lucia, termasuk dengan ekspresi wajah dan nada bicaranya yang menggoda. Dia seharusnya takut, namun mulutnya bergerak sendiri mengucap kata-kata yang sebenarnya tak ingin dia ucapkan. “Beraninya kau menghinaku!” Entah bagaimana ekspresi Robin sekarang, dia lalu mengentak lebih cepat dan kuat sampai membuat Poppy menjerit nikmat. “Tu- Tuan … Anda sangat … kuat … tapi, ini … belum cukup ….” “Sialan,” umpat Robin lirih. Poppy menjerit ketika merasakan tubuhnya melayang. Kemudian jatuh terduduk dengan keras di pangkuan Robin selagi tubuh mereka masih bersatu. Mendadak, Poppy merasa dirinya di ambang batas kepuasan yang diinginkan. “Sudah, Tuan … hentikan.” Dia mendorong bahu Robin sambil mengangkat badannya. Namun, Robin kembali menjatuhkan badan Poppy dalam sekali entakan. “Ahhh … Tuan!! Sudah … cukup ….” Rasa panas di tubuh Poppy berangsur mereda setelah mendapat kepuasan. “Cukup katamu? Siapa yang datang ke sini untuk merayuku, hah?!” P
“Saya akan memijat Anda. Tuan Robin pasti terlalu bersemangat sampai tidak keluar ruangan berjam-jam.” Poppy hanya menurut. Dia masih seperti orang linglung yang baru saja melakukan perbuatan buruk dan tak terlupakan. Ketika merasakan pijatan Donna, Poppy menjadi lebih nyaman dan terkantuk-kantuk. “Tadi, aku merasa jadi seperti orang lain. Ada sesuatu yang mendorongku melakukan perbuatan tidak senonoh, padahal aku sangat takut kepada Tuan Robin,” ujar Poppy. Donna menepuk lembut lengan Poppy, menghentikan pijatannya sejenak. “Jangan khawatir, Nyonya. Semua orang yang sedang jatuh cinta selalu melakukan hal yang mustahil, dan terkadang tidak sadar dengan perbuatannya sendiri.” Mata Poppy yang hampir tertutup, tiba-tiba terbuka lebar. “Siapa yang jatuh cinta kepada siapa?” Pelayan itu tersenyum, berbohong tanpa menunjukkan rasa bersalah. “Anda pun tidak sadar sudah jatuh cinta kepada Tuan Robin. Tetapi, saya bisa melihatnya dengan jelas.” “Tidak mungkin! Jantungku saja sepert
Wajah Poppy sontak berubah pucat pasi. Dia masih malu oleh perbuatannya kemarin, beruntung Robin tak datang ke kamar malam harinya. Namun, saat ini dia malah membuat kesalahan yang memalukan lainnya. Robin menggertakkan gigi, sedikit menunduk merasakan nyeri pada kejantanannya. Dahi Poppy cukup keras menghantam miliknya. “Kurang ajar! Kau ingin mencelakaiku?!” “M-maaf, Tuan ….” Tangan Poppy terulur maju-mundur, ingin mengusap bagian tubuh Robin yang sakit, tetapi tak sanggup melakukannya. “Jangan sentuh aku!” Robin menampar tangan Poppy yang ragu akan menyentuhnya. Badan Poppy merosot bersimpuh ketika melihat Robin meninggalkan dirinya sambil memaki. Robin telah memergoki dirinya membaca novel dewasa, juga terkena hantaman dahinya. ‘Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku memanggilkan dokter? Bagaimana kalau … miliknya patah?’ Tak berselang lama, pelayan pribadi Poppy masuk terburu-buru. Melihat Poppy hampir menangis dan berlutut, Donna segera membantunya berdiri. “Sa
Wajah Robin mengernyit singkat. “Perempuan gila!” Robin Luciano, pria berusia tiga puluh satu tahun itu tak menyangka telah menikahi wanita aneh dan menjengkelkan. Saat pertama kali bertemu dengan Poppy, Robin mengira bahwa Poppy mudah dikendalikan, cukup pendiam, dan tidak banyak tingkah. Selain itu, Poppy terlihat berbeda dengan wanita-wanita yang dijual Saul Martinez. Poppy memiliki wajah yang berbeda dari wanita di negaranya, sangat sempurna untuk menipu kakeknya. Namun, dibalik sikap lugu, pemalu, dan sering ketakutan itu, Poppy ternyata memiliki pikiran di luar imajinasinya. Robin semakin berpikir bahwa hukuman darinya beberapa waktu lalu, justru sangat dinikmati wanita di hadapannya itu. “Untuk apa aku harus membuka celanaku di sini?!” Wajah Robin mengeras, enggan menunjukkan keterkejutan, mendadak istri di atas kertasnya ingin menyerangnya. “Itu ….” Pandangan Poppy seakan berputar-putar. Dia sadar telah salah bicara dan sangat malu setelahnya. Suaranya sangat keras keti
“Anda … mau membantu saya?” Poppy menatap Robin penuh harap.Akan tetapi, Robin tak menjawab. Dia kembali melumat bibir Poppy dengan ciuman yang semakin panas.Tangan Robin meremas tubuh Poppy, menyelusuri punggungnya. Poppy merasakan hawa panas yang mengalir dari setiap sentuhan Robin meski terhalang kain.Sementara itu, Robin mulai memejamkan mata. Bibir mungil Poppy terasa lebih manis dari saat dia pertama kali menciumnya.Benar. Robin masih mengingat ciuman pertama mereka, tetapi dia menyangkalnya.Robin Luciano telah berjanji pada diri sendiri bahwa dirinya tak akan memberikan hatinya kepada siapa pun. Ketika mencium Poppy saat ini, pikirannya juga terus menyanggah bahwa dia mulai tertarik kepada Poppy.BUK!Robin mengangkat badan Poppy, lalu mendudukan di atas meja. Dia melepas ciumannya hanya untuk berkata, “Kau seharusnya minta bantuanku.” Kemudian kembali mencium Poppy.Poppy pun tak berniat menjawab. D
Robin seolah sedang mengatakan jika Poppy tak seharusnya memercayai Rafael. Meski tak dikatakan secara langsung ataupun menyebutkan alasannya, Poppy merasa kali ini Robin bukan sedang mengancamnya, melainkan memberinya peringatan. ‘Rafael sangat baik padaku. Dia juga banyak membantuku. Apakah karena Tuan Robin tidak akur dengan Rafael sampai membencinya dan berpikir buruk tentangnya?’ “Jika kau salah memercayai seseorang sampai merusak rencanaku, kupastikan kau akan benar-benar menyesal,” ancam Robin kali ini. Poppy menelan ludah susah payah. Kata-kata Robin sesungguhnya ada benarnya. Beberapa saat lalu, Rafael menyebut nama keluarga asli Poppy. Rafael pun mengatakan akan mencari informasi tentang wanita bernama Nyonya Valentine, yang Poppy pastikan adalah ibu tirinya. ‘Rafael tidak boleh mencari tahu tentang latar belakangku. Sebaiknya aku minta bantuan Tuan Robin saja, daripada masalah semakin runyam karena identitasku yang sesungguhnya terbongkar,’ batin Poppy memutuskan. “Aku
“Poppy, aku punya berita baik!” seru Rafael sambil mengetuk pintu kamar. Poppy bergegas membuka pintu dan berniat mengusir Rafael. Robin pasti akan menuduhnya lagi jika melihatnya bicara dengan Rafael, apalagi di depan kamarnya. “Rafael, sekarang bukan waktu yang tepat untuk bicara.” “Tidak, kau harus mendengarkanku dulu! Barusan aku mendapat informasi tentang orang yang menjual lukisan wanita yang mirip denganmu!” Rafael menunjuk lukisan di dalam kamar Poppy dengan tatapan mata. Poppy sontak terpaku menatap Rafael. “Sungguh? Siapa orang itu?” Poppy berusaha bersikap tenang agar tak terlihat mencurigakan karena begitu tertarik dengan lukisan itu. Namun, ketenangan Poppy segera hilang ketika melihat Robin mendekat dari kejauhan. Ekspresi Robin dingin dan terlihat marah. Entah marah karena kejadian sebelumnya atau marah karena Poppy bicara dengan Rafael? “Kita bicara nanti saja, Rafael. Aku tidak mau Robin salah pa
“Bagaimana aku tidak marah kalau rapat penting denganmu tertunda karenanya?”Robin enggan berdebat dengan kakeknya. Lagi pula, memang benar dia terlambat menghadiri rapat karena Poppy. Dia pikir, Dante tak akan marah kepada Poppy karena mereka tak cukup dekat. Tak masalah jika dia mengkambinghitamkan Poppy. Terlebih lagi, Robin cukup kesal karena Poppy mulai berani melawannya.“Tidak, Kakek! Robin bohong! Aku tidak pernah mencegah Robin pergi ke kantor! Dia sendiri yang tiba-tiba datang dan malah duduk santai mengganggu kesenanganku!” Kali ini, Poppy mengatakan hal sesungguhnya, sekaligus meluapkan isi hatinya. Dia semakin takut setelah melihat raut wajah Dante mengeras, tak ingin mengalah atau terkena kemarahan Dante.Robin tertawa tanggung dan tak percaya. Perempuan yang selalu berlagak seperti tikus kecil yang terpojok dan tak berdaya, kini berani menuduhnya di depan Dante. “Wah, wah, kau benar-benar pintar membual!”Rahang Dante berkedut sambil menatap Poppy dan Robin bergantia
“Kenapa Kakek tidak bilang dulu sebelum datang?” tanya Robin, mencoba untuk mengalihkan pertanyaan Dante. Robin yakin jika Dante hanya mendengar percakapan terakhirnya dengan Poppy setelah mencerna pertanyaan Dante. Jika Dante benar-benar mengetahui situasinya dengan Poppy, dia tak akan bertanya. “Kau seharusnya ada di kantor sekarang! Dan aku tidak berkewajiban melaporkan setiap kegiatanku padamu!” Dante menunjuk Robin menggunakan tongkat jalan, tepat di depan wajahnya. “Apa kau menipuku dengan menyewa perempuan ini untuk kau jadikan istri?!” “Omong kosong apa yang kau katakan, Kakek? Untuk apa aku menikah dan membuat hidupku rumit jika hanya untuk menipumu?” sanggah Robin sambil menyingkirkan tongkat dari depan wajahnya. Dante memicingkan mata, tak terlihat percaya sedikit pun dengan Robin. “Jadi, kau mengaku jika hidupmu rumit karena berpura-pura menikah?!” Robin menghela napas kasar. “Ya, hidupku rumit karena menikah, tetapi aku tidak pura-pura menikah dengannya. Aku bisa menu
Robin telah memutuskan akan membantu Poppy sembuh dari trauma dan tak punya lagi pikiran untuk menggantikan Poppy dengan wanita lain. Setelah berpikir panjang, menikah lagi untuk mendapatkan kekuasaan dari kakeknya akan membuat masalah semakin rumit. Namun, Poppy malah memilih Alice daripada dirinya? Hah! Robin hanya bisa tertawa dalam hati. ‘Tidak semudah itu kau bisa kabur dariku!’ Langkah Robin penuh percaya diri ketika dia meninggalkan Poppy. Dia tampak sangat menikmati ekspresi terkejut yang ditunjukkan istrinya, sampai lupa sejenak jika dia harus segera ke kantor. “Anda tahu tentang lukisan itu?” Poppy kembali menyusul Robin. “Tuan, katakan pada saya, siapa yang telah menjual lukisan itu?” Ketakutan Poppy akan Robin Luciano tak lebih besar dari rasa ingin tahunya tentang keluarganya. Dia sampai berani menarik lengan Robin agar berhenti untuk bicara dengannya, tatapannya pun berusaha melihat mata Robin yang lurus ke depan. Namun, Robin tetap tak berhenti melangkah. “A
Omong kosong apa yang baru saja Alice ucapkan?! Robin merasa salah karena meninggikan suara, tetapi tak merasa ucapannya salah. Dia memang ingin agar Alice bisa segera hidup mandiri. Bukan karena dia membenci Alice, tetapi hanya mendidik Alice supaya tidak bergantung kepada orang lain. Biar bagaimanapun, Robin bukan orang tua Alice. Dia juga memiliki bisnis berbahaya yang kemungkinan besar bisa melibatkan orang-orang di sekitarnya. Alice akan lebih aman jika setelah lulus sekolah berpura-pura tak mengenal dirinya, kecuali jika Robin telah mendapatkan semua aset kakeknya. “Kau ingin kabur dari rumah dengan mengajak istriku?” Robin ikut berdiri, tak suka mendongak ke arah dua wanita itu. Ucapan Alice tentang Poppy bukan kesalahan bagi Robin. Namun, walaupun dia tak puas atau tak suka pada Poppy, bukan berarti mereka bisa kabur sesuka hati. Poppy belum melahirkan keturunannya! “Apa kau yakin istriku mau pergi denganmu?” tantang Robin. Tentu saja Poppy tak akan berani melangkahkan k
Bukan hanya Poppy, Antonio pun semakin resah selagi melihat jam tangan. Dia merasa sangat ingin menyeret Robin yang tak melakukan atau mengatakan apa pun, berdiri seperti patung kokoh yang tak dapat diruntuhkan. “Kau tidak mau duduk dulu dan makan siang bersama kami?” Akhirnya, Alice memecah suasana canggung. Robin segera duduk bersila di karpet, membuat Antonio ternganga, sedangkan Poppy langsung bergeser agar tak terlalu dekat dengannya. Melihat dari betapa cepat Robin menanggapi ajakan Alice, dia seperti sudah menantikannya sejak tadi. “Aku sudah berjanji pada orang tuamu untuk menjagamu. Bukan berarti aku senang duduk di tempat kotor ini.” Robin berniat menyindir Poppy, menunjukkan bahwa dirinya hanya ingin menyenangkan putri kenalannya. Secara tak langsung mengatakan jika dia tak sudi duduk di samping Poppy. Akan tetapi, Poppy malah mengambil saputangan. Kemudian mengulurkan saputangan itu kepada Robin. “Gunakan ini untuk melapisi tempat dudukmu supaya celanamu tidak kotor …
Mata Antonio tiba-tiba melebar. Terbersit kemungkinan gila yang hampir mustahil. ‘Jangan-jangan … Tuan Robin merindukan Nyonya Poppy?’ BRAK! Suara keras pada pintu yang membentur meja dekat pintu kamar menepis prasangka Antonio. Robin membuka pintu kamar Poppy, tetapi istrinya tidak ada di kamar. Hanya ada Donna yang sedang membersihkan perabot. Setelah Robin menemukan obat pencegah kehamilan miliknya, Poppy membiarkan Donna melakukan pekerjaan yang semestinya. Poppy tak lagi meresahkan seseorang akan mengobrak-abrik kamarnya. “Tuan Robin, apakah Anda mencari nyonya?” tanya Donna, terkejut dan langsung merapikan pakaian ketika menyadari kehadiran Robin. “Apa aku terlihat sedang mencarimu?” balas Robin ketus. “Tidak, Tuan …” Donna menatap lantai, tak berani memandangi Robin. “Nyonya sedang di taman belakang dengan–” Tak menunggu ucapan Donna selesai, Robin segera melangkah menuju tempat istrinya berada. Dia perlu menegaskan sekali lagi pada Poppy jika dia tidak pernah tertar