Malam merambat perlahan, melapisi kastil Lucas dengan selimut gelap yang pekat. Lampu-lampu temaram di sepanjang lorong memantulkan cahaya samar di dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak seiring hembusan angin. Di luar, udara dingin menampar wajah para penjaga yang berdiri tegak di pos mereka, waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan.Lucas berjalan cepat melewati lorong, wajahnya tegang, pikirannya berputar cepat memikirkan pesan ancaman yang diterimanya. Setiap langkahnya terdengar berat, menggema di antara dinding yang dingin. Hugo menyusul di belakangnya, membawa laporan tentang jejak mencurigakan yang ditemukan di sekitar area luar kastil."Mereka tidak berusaha bersembunyi," ujar Hugo, suaranya rendah namun serius. "Jejaknya terlalu jelas. Seolah-olah mereka ingin kita tahu."Lucas berhenti di depan pintu ruang senjata, menoleh pada Hugo dengan tatapan tajam. "Mereka ingin membuat kita cemas. Tapi kita tidak akan bermain sesuai aturan mereka."Ia membuka pintu dan
Pagi datang dengan langit kelabu, awan menggantung rendah seolah ikut menekan suasana hati yang mencekam di dalam kastil. Hembusan angin dingin merayap melalui celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah dari hujan tipis yang turun semalaman. Lucas berdiri di balkon kamarnya, tatapannya kosong menembus kabut pagi. Pikirannya penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban. Ancaman itu bukan sekadar gertakan—ini adalah pesan, sebuah peringatan bahwa seseorang di luar sana tahu persis bagaimana menusuk kelemahannya. Dan lebih buruk lagi, mereka berani melakukannya. Di belakangnya, Emma berjalan pelan mendekat, membungkus dirinya dengan selimut tipis. Ia berdiri di samping Lucas, menatap pemandangan yang sama. "Apa yang kau pikirkan?" suaranya pelan, hampir tenggelam oleh suara angin. Lucas tidak segera menjawab. Tangannya yang menggenggam pagar balkon mengepal, buku-buku jarinya memutih. "Aku berpikir… bagaimana mereka bisa sedekat ini tanpa kita sadari." Emma menoleh, meneliti wajah Lucas
Fajar baru menyingsing, namun kehangatan cahaya matahari tak mampu mengusir dingin yang merayap di hati Emma. Ia terjaga lebih awal, matanya menatap kosong ke arah jendela kamar. Di balik pemandangan langit yang perlahan cerah, pikirannya dipenuhi oleh bayang-bayang rekaman yang ia temukan semalam.Lucas masih terlelap di sisi lain tempat tidur, napasnya teratur, wajahnya terlihat jauh lebih damai daripada apa yang disimpan dalam benaknya. Karena lukanya yang belum sembuh, juga kemungkinan pria itu yang akan kembali demam, membuat Emma memutuskan untuk tidur di kamar pria itu sementara waktu.Emma menoleh, mengamati garis rahang tajam pria itu, dan perasaan bersalah mulai menghampiri. Ia menyembunyikan sesuatu darinya—sebuah rahasia yang mungkin bisa mengubah segalanya.“Haruskah aku memberitahunya sekarang?” pikir Emma. Tapi ada ketakutan yang menahan langkahnya. Jika Lucas tahu, ia pasti akan bertindak cepat, mungkin terlalu cepat. Emma ingin memastikan segalanya lebih dulu, agar ke
Langit pagi yang biasanya membawa ketenangan, kini tak lebih dari kanvas kelabu tanpa harapan. Cahaya matahari yang menyelinap di balik tirai kamar hanya menjadi saksi bisu kecemasan yang menggelayuti hati Emma. Ia duduk di tepi ranjang, tangan menggenggam erat buku catatan kecil berisi semua detail tentang Marco—setiap kata, setiap gerak-gerik yang berhasil ia amati.Kepalanya penuh dengan pertanyaan. "Haruskah aku memberitahu Lucas sekarang? Atau menunggu untuk mendapatkan bukti lebih banyak?" Pikiran itu terus berputar tanpa henti, menciptakan beban yang kian berat di dadanya.Emma tahu satu hal dengan pasti—setiap menit yang terbuang adalah risiko. Marco berada begitu dekat dengan mereka. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukan pria itu dalam waktu dekat?“Aku tidak bisa menunggu lebih lama,” gumam Emma akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan untuk dirinya sendiri.Emma sadar, ia tidak bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Ia hanyalah wanita biasa. Bukan tokoh superhero yang
Hari-hari setelah pengungkapan tentang Marco terasa lebih tegang daripada sebelumnya. Lucas menjadi lebih pendiam, pikirannya terus berputar mencoba merangkai semua potongan yang belum lengkap. Sementara itu, Emma memilih untuk menjaga jarak, bukan karena takut, tetapi untuk memberi ruang bagi Lucas menghadapi kemarahannya. Namun, di dalam dirinya sendiri, Emma tahu bahwa diam saja bukanlah pilihan.Pagi itu, Emma berjalan di sepanjang lorong kastil, mencoba mengalihkan pikirannya dengan aktivitas ringan. Aroma roti panggang dan kopi hangat menguar dari dapur, mengundangnya untuk masuk. Di sana, Marta terlihat sibuk mengatur sarapan, wajahnya tenang seperti biasa meskipun suasana kastil sedang diliputi ketegangan.Emma duduk di salah satu kursi dekat jendela, menikmati secangkir teh hangat yang baru diseduh. Ia baru saja akan memulai obrolan ringan ketika pintu dapur terbuka, dan Marco masuk. Pria itu tampak santai, mengenakan jaket gelap dengan lengan digulung setengah.Emma berusah
Emma menelan ludah, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Aku… aku melihat Marco keluar. Aku hanya—”“Kau hanya apa?” potong Lucas tajam. “Mengikuti dia? Sendirian? Tanpa berpikir panjang tentang apa yang bisa terjadi padamu kemudian?!”Lucas melepaskan genggamannya, tetapi sorot marah di matanya tidak berkurang sedikit pun. Ia berdiri tegak di hadapan Emma, tubuhnya sedikit membungkuk untuk menatap gadis itu lebih dekat.Emma mengatur napasnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku hanya ingin tahu ke mana dia pergi. Aku pikir—”“Kau pikir?” Lucas menahan tawa sinis. “Kau pikir ini permainan, Emma? Ini bukan sekadar mencari tahu rahasia seseorang. Ini berbahaya.”Emma menguatkan dirinya, menahan dorongan untuk mundur. “Aku tahu ini berbahaya. Tapi aku tidak bisa hanya duduk diam dan berpura-pura tidak ada yang terjadi!” suaranya meninggi, penuh emosi yang tertahan.Lucas menarik napas panjang, mencoba meredam kemarahannya. Ia menatap Emma beberapa detik
Perjalanan pulang ke kastil diwarnai keheningan yang berat. Lampu jalan yang redup menerangi wajah Lucas yang tegang, matanya lurus menatap ke depan tanpa sedikit pun melirik Emma. Di sampingnya, Emma duduk kaku, jantungnya masih berdebar kencang, bukan hanya karena apa yang baru saja mereka lihat, tetapi juga karena amarah dingin yang jelas terasa dari pria di sampingnya.Sesampainya di kastil, Lucas langsung keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia berjalan cepat melewati lorong gelap menuju ruang kerjanya, meninggalkan Emma berdiri di halaman dengan udara malam yang menusuk.Emma menatap punggung Lucas yang menghilang di balik pintu, hatinya berperang antara rasa bersalah dan dorongan untuk membela diri. "Aku tidak bisa terus diam," gumamnya pelan, lalu melangkah masuk mengikuti Lucas.Di ruang kerja yang remang, Lucas berdiri di depan rak buku besar, punggungnya menghadap pintu. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, rahangnya mengeras. Emma masuk pelan, menutup pint
Emma tidak tahu ke mana Marco dan pria asing itu membawanya. Begitu masuk ke dalam mobil, tangannya diikat erat ke belakang, lalu selembar kain hitam menutupi matanya. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut perlahan merayap, menyelimuti pikirannya. Suara mesin mobil menggeram pelan, sementara getaran dari jalanan yang dilalui menambah kecemasan di dadanya.Selama hampir satu jam perjalanan, Emma mencoba menenangkan diri. Ia menghitung detak jantungnya, berusaha tetap fokus. Namun, setiap kali mobil berbelok tajam atau melambat, kecemasannya semakin memuncak. Aroma kulit jok yang usang bercampur dengan bau debu membuat napasnya terasa berat.Akhirnya, mobil itu berhenti. Emma mendengar suara pintu dibuka dengan kasar. Tak lama kemudian, tangan Marco yang kuat menarik lengannya, memaksanya keluar dari mobil.“Jangan coba-coba berteriak,” desis Marco dingin di telinganya.Emma menahan napas, mencoba melawan rasa takut yang menyergap. Ia dibawa masuk ke sebuah bangunan, dan aroma kayu tu
Emma menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Kilauan bintang-bintang tampak berkelip di antara gelapnya malam, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membelai kulitnya dengan kesejukan yang menenangkan. Ia berdiri di samping Lucas, di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari kejauhan. Tempat ini begitu sunyi, seolah terpisah dari dunia yang penuh hiruk-pikuk di bawah sana. Emma mengerti bahwa Lucas tidak membawa dirinya ke sini tanpa alasan. "Tempat ini..." Emma membuka suara, memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa kau membawaku ke sini?" Lucas mengalihkan pandangannya dari hamparan kota dan menatap Emma. "Ini tempat yang sering kudatangi saat aku butuh berpikir," jawabnya pelan. "Di sini, aku bisa merasa bebas. Tidak ada gangguan, tidak ada tekanan, hanya aku dan pikiranku sendiri." Emma mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang sama. Dalam sebulan terakhir, hidup mereka penuh dengan kekacauan. Konflik
Matahari baru saja terbit di ufuk timur, menyapu kediaman Lucas dengan cahaya keemasan yang lembut. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, pagi ini terasa lebih tenang. Tidak ada lagi ancaman yang membayangi, tidak ada lagi pertarungan yang harus dihadapi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucas bisa menarik napas lega.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap hamparan taman di bawah sana. Udara pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, pikirannya masih terpusat pada satu hal—Emma.Wanita itu telah melalui begitu banyak hal. Ia terluka karena menjadi bagian dari dunianya, dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik. Tetapi, meskipun demikian, Emma tidak pernah menunjukkan penyesalan. Ia tetap berada di sisinya, menghadapi semuanya dengan keteguhan hati yang luar biasa.Lucas tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan sekarang.Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar te
Malam di kediaman Lucas begitu sunyi. Udara dingin menyusup melalui jendela besar di ruang kerjanya, tetapi pria itu tetap duduk tegak di balik meja kayu besar, menatap laporan-laporan yang tersusun rapi di hadapannya. Setelah semua konflik yang ia hadapi, organisasi mulai kembali stabil. Ia telah menyingkirkan Morelli dan Vasquez, membuktikan bahwa ia bukan pemimpin yang bisa diremehkan. Namun, Lucas tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang harus ia hadapi—ayahnya.Seakan menjawab pikirannya, ketukan keras terdengar di pintu ruang kerjanya. Lucas tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya."Masuk," katanya, suaranya tetap dingin dan terkendali.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Antonio Aldrin. Meski usianya sudah semakin tua, auranya masih menekan, menandakan bahwa ia adalah seseorang yang telah lama terbiasa dengan kekuasaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot matanya t
Malam sudah larut, tetapi Lucas masih duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terhampar di mejanya. Titik-titik merah menandai lokasi para sisa anak buah Morelli dan Vasquez yang masih berkeliaran. Beberapa di antara mereka sudah melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian kecil masih bertahan, berusaha mencari perlindungan.Lucas menghela napas panjang. Satu langkah lagi, dan ini semua akan selesai.Pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Stefan masuk dengan ekspresi tegas. "Semuanya sudah siap. Anak buah kita sudah berada di posisi masing-masing."Lucas mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk melarikan diri.""Kita juga sudah mengamankan jalur komunikasi mereka. Jika mereka mencoba meminta bantuan, pesan itu tidak akan pernah sampai," tambah Stefan.Lucas menyeringai kecil. "Kali ini, aku ingin memastikan mereka tidak punya tempat untuk kembali."Stefan menatapnya sejenak sebelu
Pagi menjelang dengan tenang di kediaman Lucas. Sinar matahari keemasan menyelinap melalui celah-celah jendela besar, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Suara burung di kejauhan terdengar samar, berpadu dengan desiran angin yang berembus perlahan.Emma membuka matanya perlahan. Rasanya tubuhnya lebih ringan, meski masih ada sedikit nyeri di lengannya yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia menggerakkan kepalanya, matanya langsung menemukan sosok Lucas yang masih duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi lembut."Kau tidak tidur?" suara Emma serak karena baru bangun.Lucas menggeleng pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Emma tersenyum kecil. Ia tahu Lucas masih merasa cemas, tetapi ia juga tahu pria itu tidak akan mengatakannya secara langsung. Jadi, ia hanya meraih tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Aku sudah lebih baik. Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku."Lucas menghela napas, lalu akhirnya i
Malam telah larut ketika Lucas duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Morelli dan Vasquez kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun, meskipun kedua orang itu telah ditangkap dan dihabisi, Lucas tahu bahwa masalah tidak berhenti di situ. Stefan berdiri di sampingnya, melaporkan perkembangan terbaru. "Beberapa anggota bawahan Morelli dan Vasquez masih bertahan. Mereka kehilangan pemimpin, tetapi tidak kehilangan ambisi." Lucas menghela napas. "Aku sudah menduga ini. Mereka tidak akan menyerah begitu saja." "Tepat," Stefan mengangguk. "Ada laporan bahwa sebagian dari mereka mencoba membentuk kelompok baru. Mereka masih belum cukup kuat untuk menantang kita secara langsung, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman dalam beberapa bulan ke depan." Lucas menatap peta di hadapannya. "Siapa pemimpin mereka sekarang?" Stefan
Ruangan itu gelap dan dingin, hanya diterangi oleh satu lampu gantung yang menggantung rendah di langit-langit, memberikan cahaya redup yang membuat bayangan panjang di dinding. Bau debu bercampur darah masih terasa di udara, dan suara napas berat memenuhi keheningan.Di tengah ruangan, dua pria yang terikat pada kursi dengan tangan ke belakang tampak gemetar. Morelli dan Vasquez, dua pemimpin organisasi yang berani mengkhianati Lucas, kini tidak lebih dari bayangan diri mereka yang dulu.Lucas berdiri di depan mereka, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Matanya dingin, penuh ketegasan. Ia tidak langsung berbicara, membiarkan ketegangan menggantung di udara, membiarkan ketakutan menyusup ke dalam tulang kedua pria itu.Stefan berdiri di sudut ruangan, mengamati dengan ekspresi santai, tetapi matanya penuh kewaspadaan. Beberapa anak buah Lucas berjaga di sekitar, memastikan tidak ada celah bagi Morelli dan Vasquez untuk melarikan diri.Akhirnya, Lucas menar
Suasana di dalam kastil terasa tegang. Para penjaga masih berjaga di berbagai sudut, memastikan tidak ada lagi penyusup yang berkeliaran. Stefan telah memerintahkan pembersihan menyeluruh, tetapi atmosfer tetap dipenuhi ketegangan.Di dalam salah satu kamar di sayap barat, Emma terbaring di tempat tidur dengan perban yang melingkari bahunya. Dokter pribadi keluarga Aldrin baru saja selesai membersihkan dan menutup lukanya.Meskipun bukan luka yang fatal, rasa nyeri masih terasa setiap kali Emma bergerak. Namun, yang lebih mengganggunya bukanlah rasa sakit itu sendiri—melainkan ekspresi Lucas.Ia berdiri di sudut ruangan, diam, dengan ekspresi yang gelap dan penuh kemarahan yang tertahan.“Lucas…” Emma memanggil pelan.Lucas tidak segera menjawab. Ia hanya menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba memastikan bahwa Emma benar-benar masih di sana, masih bernapas, masih hidup.Butuh beberapa saat sebelum ia akhirnya mendekat. Ia duduk d
Dunia seakan melambat saat suara tembakan bergema di luar kastil. Emma menatap keluar jendela dengan mata membelalak, napasnya tertahan melihat beberapa pria bersenjata yang mulai menyerbu area luar.Pelayan yang tadi bersamanya langsung menarik tangannya. “Nona, kita harus pergi! Ini berbahaya!”Emma tersentak dari keterkejutannya dan mengangguk cepat. Mereka berdua bergegas melewati koridor kastil yang panjang, tetapi baru beberapa langkah, suara ledakan kecil terdengar dari luar, mengguncang dinding-dinding kastil.Panik mulai menjalari tubuh Emma. “Lucas! Aku harus menemui Lucas!”“Tuan Lucas pasti sudah bergerak!” Pelayan itu mencoba menenangkannya, tetapi suara alarm yang mulai meraung di seluruh kastil membuat situasi semakin mencekam.Para penjaga segera bergerak, mengambil posisi untuk mempertahankan kastil dari serangan mendadak ini. Emma bisa melihat beberapa orang berlari menuju titik pertahanan, dan di tengah kekacauan itu, ia merasakan ketakutan yang luar biasa.Namun, s