Aku mengerjap berulang kali, lalu merasakan sakit di kepala yang begitu hebat. Pandanganku tampak samar dan buram, bersamaan dengan nyeri yang menyerang di beberapa bagian tubuh.
"Rahman. Kamu sudah sadar, Le?"
Sayup-sayup kudengar suara lembut itu berbisik di telinga. Perlahan kutatap wajah sayu di sebelahku dengan penuh haru. Ada air yang menetes di kedua sudut matanya. Isaknya yang tadi lirih kini semakin jelas terdengar.
"Bu," ucapku pelan.
"Alhamdulillah kamu sadar."
Ibu memelukku dengan erat bersamaan dengan tangis yang semakin menjadi. Aku mengangkat tangan dan menepuk punggungnya.
"Jangan banyak gerak. Kamu harus istirahat."
Aku mengangguk, lalu kembali merasakan nyeri di kepala. Lalu, secara samar-samar, semua kejadian melintas di benak. Mulai dari kedatanganku ke camp, pertemuan dengan Fredy hingga perkelahian itu.
"Riska mana, Bu?" tanyaku saat tak melihatnya di ruangan ini.
"Dia di depan," jawab Ibu.
Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju kediaman mertua. Tadi pagi aku pulang diboncengi suami Dina dan mendapati rumah kosong. Pikirku, Riska pasti sudah berada di butik karena katanya sedang direnovasi.Sayangnya, butik juga kosong. Aku mencoba menelepon Riska tetapi nomornya tidak aktif. Rasa khawatir berkecamuk di benak, takut terjadi sesuatu kepadanya."Assalamualaikum," kuketuk pintu rumah megah itu karena bel yang kutekan berulang kali sama sekali tak membuahkan hasil.Awalnya kupikir rumah ini kosong karena penghuninya sedang keluar. Namun, ketika melihat di garasi ada tiga mobil berderet, itu berarti mereka ada di dalam."Assalamualaikum." Kuketuk sekali lagi dengan cukup keras, hingga pintu terbuka."Eh ada Mas Rahman," ucap salah seorang pengurus rumah menyapaku."Mbak Riska?""Non Riska gak ada di sini," ucapnya gugup."Itu mobilnya ada di garasi," kataku menyudutkan. Aku tahu dia berbohong, entah siapa yang
Ini hari ketujuh aku berdiam diri di rumah dan merenungi nasib. Tidak ada kabar dari Riska, bahkan nomornya tidak aktif. Berulang kali aku datang ke tumah orang tuanya, tetapi diusir dan malah diancam oleh petugas keamanan.Aku juga mencoba menelepon Ibu, tetapi diabaikan. Sepertinya beliau begitu terpukul dengan kejaian ini. Hanya Dina yang masih menghubungi dan menanyakan kabarku.Aku tak tahu harus berbuat apa saat ini, hanya mondar-mandir tanpa tujuan. Setiap hari aku datang ke butik, berharap pintu bangunan itu terbuka sehingga bisa menemui Riska. Sayangnya, di kaca depannya masih tertulis kata 'closed' dengan pagar yang digembok.Tabunganku mulai menipis, sementara kebutuhan hidup terus berlanjut. Akhirnya, aku nekat mencari pekerjaan, apa saja asalkan bisa menyambung hidup. Ijazahku masih tersimpan di lemari, tetapi usiaku sepertinya sudah tak memungkinkan untuk bekerja kantoran. Sempat terpikir untuk menjual mobil ini tetapi niatku urung.Tanah be
"Saya mau ketemu Bapak Panji," ucapku saat bertandang ke sebuah kantor pemerintahan yang terletak di tengah kota."Maaf, tapi Bapak sedang ada rapat. Apa bisa menunggu?" tanya seorang resepsionis sembari menatapku lekat."Berapa lama?""Satu jam lagi sepertinya."Aku duduk di sofa lobi dengan gelisah sembari berdoa agar papa mertuaku mau bertemu. Setiap kali aku datang ke rumahnya, mamanya Riska selalu mengusirku dengan tameng security.Aku tak tahu bagaimana perasaan Riska ketika kami berpisah karena tak ada komunikasi sama sekali. Apakah dia juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan? Rindu yang begitu menggebu hingga memenuhi rongga hati dan ingin membuncah tak terkendali.Tiga puluh menit berlalu dan aku masih menunggu, menatap ponsel dengan gamang dan mencoba menelepon Riska. Ada banyak cara yang aku lakukan untuk berjumpa, salah satunya menghubungi karyawan butik dan hasilnya nihil.Mereka mengatakan tidak tahu apa-ap
Dua foto itu diletakkan di meja. Aku menelan ludah dengan perasaan tak menentu. Barang bukti inilah yang menyebabkan aibku terbongkar."Ini Papa minta dari pihak kepolisian setelah membayar biaya penangguhan penahanan kamu."Aku menatap Papa dengan lekat dan sudah mempersiapkan diri jika mendapat amukan darinya."Menurut Riska, foto wanita ini adalah Sinta pelanggan butiknya. Dan dia ... istri salah seorang pejabat ternama. Papa tau, cuma gak terlalu dekat."Lagi-lagi aku terdiam dengan lidah kelu. Dadaku berdentam hebat hingga bernafaspun rasanya sulit. Keringat dingin sejak tadi mengucur deras dari sela-sela telapak tangan."Jika sampai ini tercium media, maka reputasi kita semua akan hancur. Papa juga gak mau punya musuh sama pejabat lain, Rahman. Apalagi suami Sinta punya jabatan yang lebih tinggi.""Katanya Papa bayar mahal untuk nutupin semua?"Papa mertuaku mengangguk. Hal itu membuatku semakin merasa bersalah."Papa gak
'Assalamualaikum, Maira. Apa kabar?'Kuketikkan pesan itu dengan tangan gemetaran karena gugup. Ini sudah satu bulan sejak pertemuan kami di bengkel untuk yang kedua kalinya. Sebenarnya untuk saat ini aku tak ingin berhubungan dekat dengan wanita manapun. Hanya saja, teman-teman yang lain menasihatiku untuk mencoba membuka hati.'Waalaikumsalam.''Lagi apa.'Ah, pertanyaan basa-basi yang membuatku malu hingga menutup wajah dengan bantal. Aku laki-laki dewasa yang bertingkah seperti remaja ketika hendak memulai percakapan dengan seorang gadis.'Maaf ini dengan siapa?'Aku tersentak ketika melihat balasan itu, lalu tersadar bahwa Maira belum menyimpan nomorku. Setelah menyimpan kertasnya, aku lupa bertukar nomor ponsel karena terlanjur gugup ketika digoda oleh pegawai bengkel yang lain.'Rahman.''Om Rahman?'
Selepas pulang dari pengadilan negeri aku melajukan motor menuju kosan. Aku meminta izin tidak bekerja kepada pemilik bengkel. Beliau bertanya, tetapi aku belum bisa menceritakan.Pemilik bengkel beberapa kali memancing agar aku membuka diri mengenai keluarga. Juga alasan mengapa aku sampai 'tersesat' di tempatnya. Namun, aku menjawab hanya butuh pekerjaan karena sedang mengalami masalah keuangan.Aku berhenti di persimpangan lampu merah, lalu berbelok ke sebuah jalan menuju kosan. Biasanya aku akan melajukan motor dengan kecepatan tinggi karena ingin segera tiba. Kali ini lebih santai sembari menikmati pemandangan sekitar.Motor kuhentikan pada sebuah tenda pinggiran yang menjual menu lalapan. Aku duduk dan memesan satu porsi bebek goreng yang besar, lengkap dengan sambal super pedas.Begitu tiba di hadapan, kulahap semua dengan cepat karena perut ini sudah kelaparan. Papa sempat mengajakku makan, tetapi aku menolaknya. Setiap kali bertemu beliau h
Aku menatap ayah Maira dengan lekat. Setelah pertemuan malam itu, selama beberapa hari ini, kami lost contact. Biasanya gadis itu akan mengirim pesan setiap hari untuk menanyakan apa saja aktivitasku."Apa benar yang dikatakan Maira kalau Nak Rahman tidak bisa memiliki keturunan?""Benar, Pak.""Itu ... sengaja dari keluarga berencana atau gimana?""Gak, Pak. Memang saya mandul. Karena itulah saya berpisah."Kulihat Ayah Maira terdiam, lalu menambah sesendok nasi. Seperti biasanya, jika ada hal penting yang ingin beliau bicarakan denganaku, maka Ibunya akan mengundang makan siang.Seperti biasanya juga, Maira tidak ada. Kecuali aku datang berkunjung di hari libur."Maira masih muda, Pak. Masa depannya masih panjang. Jika hidup bersama saya, nanti bisa suram.""Tapi dia mencintaimu, Nak Rahman.""Cinta itu datang karena terbiasa, Pak. Awalnya memang sakit untuk dilupakan. Tapi suatu saat Maira pasti akan bertemu den
Hari berganti dengan cepat. Tak terasa sudah hampir satu tahun semua berlalu. Kini aku sudah memiliki bengkel sendiri dari tanah yang dibeli dulu. Letaknya yang berdekatan dengan rumah Ibu, membuatku lebih nyaman karena bisa pulang sewaktu-waktu jika dibutuhkan.Sebuah pondok aku bangun dengan meminjam simpanan Ibu. Pembayarannya aku cicil sedikit demi sedikit dengan mengumpulkan pendapatan hariannya. Pelangganku adalah warga sekitar atau tetangga yang butuh bantuan. Aku menarif biaya servis yang murah karena mayoritas warga di sini adalah keluarga menengah ke bawah.Dina sudah tak bekerja, aku memintanya untuk mengurus Ibu dan putrinya. Kubuatkan sebuah toko sembako kecil di depan rumah agar dia mempunyai kegiatan dan penghasilan sendiri.Suami Dina nasibnya kini lebih baik. Dia mendapatkan kenaikan gaji karena kerja yang ulet. Aku bangga memiliki mereka. Aku bahagia diberikan keluarga seperti mereka.Maira?Aku tak tahu bagaimana kabarnya. Setela