Mereka kembali terdiam, menikmati suasana magis di puncak bukit. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma dedaunan dan tanah"Apa kau sering melihat pemandangan seperti ini?" tanya Emily tiba-tiba, matanya tak lepas dari langit yang mulai bergradasi ungu dan jingga."Hanya beberapa kali di tempat yang berbeda," jawab Sylvester. "Di tempat ini... ini yang kedua kali."Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya terdengar suara angin dan desiran dedaunan. Emily menghirup napas dalam-dalam, menikmati ketenangan yang jarang ia rasakan.Namun, tiba-tiba Sylvester memecah keheningan. "Emily.""Ya?" Emily menoleh, menatapnya.Sylvester menatapnya lekat, suaranya lebih serius dari sebelumnya. "Di matamu, aku ini bagaimana?"Emily mengerjapkan mata, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. "Hmm... kau ternyata orang yang baik."Sylvester tersenyum sekilas, lalu kembali menatapnya dengan lebih dalam. "Emily.""Ya?"Sylvester menggenggam tangan Emily dengan lembut. "Maukah kau jadi pacarku, Em?"
"Sepertinya ini bukan jalan menuju penginapan," ucap Emily curiga."Bagaimana kau tahu?" tanya Sylvester sambil tetap fokus pada kemudi."Meskipun sudah gelap, aku masih mengingat jalannya. Ini berbeda," jawab Emily yakin.Sylvester hanya tersenyum kecil sebelum akhirnya berkata, "Ya, kita akan mampir ke suatu tempat lebih dulu.""Ke mana?" tanya Emily semakin penasaran."Ke rumah nenekku," jawab Sylvester santai. "Kita sudah sampai."Emily menatap Sylvester dengan alis berkerut, lalu melirik ke luar jendela. Di hadapannya berdiri sebuah rumah tua di tengah hutan, tanpa pagar yang mengelilinginya. Lampu teras hanya menyala redup, sementara jendela-jendelanya tampak gelap, seolah rumah itu kosong.Sylvester turun dari mobil, berjalan menuju pintu, dan mulai mengobrak-abrik sesuatu di antara pot dekat pintu masuk. Emily masih duduk di dalam mobil, ragu-ragu."Nenekmu benar-benar tinggal di tempat ini?" tanyanya sambil mengikuti Sylvester dengan langkah hati-hati."Ya," jawab Sylvester s
Ruangan yang gelap dan suara hujan di luar semakin membuat suasana terasa mencekam. Emily hanya bisa menelan ludah, hatinya berdebar tak menentu.Emily menatap Sylvester dengan ragu. "Menginap? Di sini?"Sylvester mengangguk santai, sementara Emily menoleh ke sekeliling ruangan yang hanya diterangi nyala kecil lilin. Perabotan tua, rak buku yang berdebu, dan bayangan-bayangan aneh yang tercipta dari cahaya lilin membuat bulu kuduknya meremang."Aku tidak suka ini..." gumamnya pelan.Sylvester tersenyum kecil dan menepuk pundaknya. "Jangan khawatir, ini hanya rumah kosong, bukan rumah hantu."Emily menelan ludah. "Tapi kenapa rasanya... ada yang mengawasi kita?"Sylvester menoleh ke arahnya, kini ekspresinya lebih serius. "Kau merasa ada sesuatu di sini?"Emily menggeleng cepat. "Aku tidak tahu, mungkin hanya perasaanku saja. Tapi tempat ini terlalu sepi, terlalu sunyi, hanya suara hujan dan angin... itu saja sudah cukup membuatku meri
Emily mengabaikannya dan beranjak menuju ke kamar di lantai dua. Sylvester menyusul, membawa lilin yang menjadi satu-satunya penerangan mereka. Saat mereka masuk, ruangan itu terasa sunyi dan sedikit berdebu, tapi tempat tidurnya tampak rapi.Emily duduk di tepi ranjang dan melepas sepatunya. "Jujur saja, aku tidak pernah mengira akan menginap di rumah kosong di tengah hutan seperti ini."Sylvester yang sedang membuka jaketnya hanya tersenyum tipis. "Kau bilang tadi, aku selalu membawamu ke tempat aneh. Kuharap besok kau tidak mengeluh lagi."Emily mendelik. "Kau bercanda? Aku pasti akan mengeluh lagi."Sylvester tertawa pelan sebelum memadamkan lilin. Kamar itu menjadi gelap gulita, hanya terdengar suara angin dari luar dan rintik hujan yang masih deras."Sylvester.""Hm?""Aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa.""Itu bagus. Jadi kau tidak bisa melihat wajah tampanku yang akan membuatmu tergoda."Emily mendengus. "
Sylvester hanya tersenyum kecil, lalu menatap kembali ke matahari terbit yang kini semakin tinggi."Kau menebak dengan tepat, Emily."Emily menunduk, mencoba menyembunyikan senyum yang tak bisa ia tahan. Ia tidak menjawab, tapi hatinya tahu—ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya.Mereka berdua berdiri di sana cukup lama, menikmati pagi dengan keheningan yang nyaman. Tanpa mereka sadari, jarak di antara mereka semakin dekat—bukan hanya secara fisik, tapi juga di dalam hati.Setelah cukup lama menikmati pemandangan matahari terbit, Emily menarik napas dalam dan menoleh ke arah Sylvester."Kita harus kembali, aku mulai lapar," ujarnya dengan senyum kecil.Sylvester mengangkat alis. "Bukankah semalam kau tidak lapar?" godanya.Emily mendengus. "Itu semalam! Sekarang sudah pagi dan perutku butuh makanan."Sylvester terkekeh kecil. "Baiklah, ayo kita buat sarapan."Mereka pun berjalan kembali ke rumah dengan
Emily hanya menghela napas panjang sambil menatap jendela. Meskipun ia tak mau mengakuinya, ada sesuatu dalam diri Sylvester yang membuat hatinya berdebar sejak awal. Dan semakin lama mereka bersama, semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan itu.Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan yang masih sedikit basah. Pepohonan di sisi jalan bergoyang lembut tertiup angin pagi, menciptakan suasana yang tenang dan damai.Emily bersandar di kursi, menikmati pemandangan di luar jendela. Sesekali, ia melirik ke arah Sylvester yang tampak santai mengemudi. "Aku tidak menyangka perjalanan ini akan jadi seperti ini," gumamnya.Sylvester meliriknya sekilas. "Maksudmu?""Awalnya aku pikir pergi ke amerika hanya perjalanan kerja biasa. Tapi ternyata... semua jadi lebih berwarna."Sylvester tersenyum tipis. "Apa itu berarti kau menikmati waktu bersamaku?" tanyanya dengan nada menggoda.Emily menoleh dan menatapnya dengan ekspresi setengah malas. "Jangan terlalu percaya diri
Sylvester menatapnya sejenak sebelum mendesah. "Kau masih ingin tetap di sini?" tanyanya dengan nada pasrah.Ben mengangguk tanpa ragu.Sylvester mengangkat bahu. "Baiklah, pakailah tempat ini sesukamu. Kami akan pulang hari ini, jadi nikmatilah tempat ini sepuasmu." ucapnya, lalu tanpa ragu kembali menggenggam tangan Emily dan menariknya masuk ke dalam penginapan setelah sebelumnya membuka kunci pintu.Saat mereka sudah berada di dalam, Sylvester menoleh pada Emily. "Kita balik hari ini. Persiapkan barang-barang yang ingin kau bawa pulang."Emily menatapnya sejenak sebelum mengangguk. "Baiklah," ucapnya pelan, sedikit heran dengan perubahan sikap Sylvester yang tiba-tiba serius.Tanpa berkata apa-apa lagi, Sylvester menuju kamarnya untuk bersiap kembali, meninggalkan Emily yang masih berdiri di tempatnya, bertanya-tanya tentang hubungan Ben dengan Sylvester dan kenapa kehadirannya bisa membuat Sylvester berubah secepat itu."Hanya ini yang
"Kau baik-baik saja?" tanyanya, duduk di seberang pria itu.Sylvester membuka matanya perlahan, menatapnya sebentar sebelum kembali mengalihkan pandangan. "Aku hanya ingin sendiri, Emily."Emily terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku mengerti," ujarnya. "Tapi jika kau butuh seseorang untuk mendengarkan, aku di sini."Sylvester tersenyum tipis, meskipun matanya tetap menyimpan kesedihan. Ia mengusap wajahnya dengan satu tangan, lalu menatap Emily. "Ben seharusnya tidak membicarakannya."Emily menunggu, tidak ingin menekan Sylvester, tapi juga berharap ia mau berbicara.Setelah beberapa detik keheningan, Sylvester akhirnya membuka suara. "Bella adalah seseorang yang memiliki kenangan dengan kami," katanya pelan. "Seorang teman."Emily menelan ludah. Ada sesuatu di nada suaranya yang membuat hatinya sedikit mencelos. "Apa yang terjadi padanya?" tanyanya hati-hati.Sylvester menatap jendela, seakan menghindari tatapan Emily. "Dia suda
Saat mereka hendak pergi, Sylvester tiba-tiba menghampiri mereka."Emily, kau yakin ingin sekamar dengan Amore?" tanyanya dengan nada datar.Emily menatapnya bingung. "Tentu. Memangnya kenapa?"Sylvester menghela napas, lalu menatap Amore sekilas sebelum kembali ke Emily. "Tidak ada. Pastikan saja dia tidak membuatmu susah.""Hei, aku ini teman baiknya, bukan musuhnya," protes Amore.Emily mendengus kecil, lalu menarik koper dan berjalan menuju lift bersama Amore. Sepertinya kegiatan ini akan lebih menarik dari yang ia kira.Sesampainya di lantai tiga, Emily dan Amore berjalan menyusuri koridor menuju kamar mereka. Suasana hotel terasa tenang, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki karyawan lain yang juga menuju kamar masing-masing.Setibanya di depan kamar 308, Emily memasukkan kartu kunci dan membuka pintu. Begitu masuk, ia langsung mengamati ruangan yang cukup luas dengan dua tempat tidur, balkon kecil yang menghadap ke laut, serta sofa dan meja di sudut ruangan."Lumayan," gu
Tanpa terasa, dua hari telah berlalu. Selama itu, tim Emily bekerja keras tanpa henti hingga akhirnya mereka berhasil menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu. Hubungannya dengan Sylvester pun tampak baik-baik saja—atau lebih tepatnya, Emily memilih untuk tidak memikirkan kecurigaan-kecurigaan yang sempat terlintas di benaknya. Lagipula, sebentar lagi ia akan kembali ke Indonesia."Apa kau sudah packing, Em? Sepertinya belum," ucap Dimas begitu melihat Emily baru saja masuk ke apartemen mereka."Packing?" Emily mengerutkan kening, jelas tidak mengerti maksudnya."Kita akan berkumpul besok siang di depan gedung Whiteller Corp," jawab Dimas sambil sibuk memilih sepatunya."Sepertinya kau tidak tahu apa-apa," sela Jesselyn yang baru keluar dari kamarnya menuju dapur untuk mengambil minum."Kau belum tahu?" Dimas menatap Emily dengan heran. "Sudah berapa lama kau tidak membuka ponselmu?"Emily mengangkat bahu."Mr. Whiteller mengadakan semacam retret. Kita akan menginap selama tiga malam
Emily tidak langsung menjawab. Ia tahu jika ia menyebut nama Amore atau Ben, Sylvester mungkin tidak akan menyukainya."Itu tidak penting," katanya akhirnya. "Aku hanya ingin tahu... siapa dia bagimu? Dan apa yang sebenarnya terjadi?"Sylvester menatapnya dalam diam selama beberapa detik, lalu berkata dengan suara rendah, "Bella adalah seseorang yang kucintai dulu."Emily menggigit bibirnya."Dia... hamil, bukan?" tanyanya pelan.Mata Sylvester sedikit melebar sebelum ia segera mengendalikan ekspresinya kembali. "Ya."Emily merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya. "Dan dia...""Dia bunuh diri," potong Sylvester, suaranya terdengar dingin dan tajam.Emily menahan napas."Kau ingin tahu kenapa?" Sylvester melanjutkan. "Karena aku tidak bisa melindunginya."Emily terdiam."Aku egois. Dia menderita... dan aku tidak ada di sana untuknya."Ada kesedihan yang tersembunyi di balik nada suaranya, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang Sylvester yang selalu tampak begitu percaya diri.E
Sore pun tiba. Emily merapikan mejanya dan mengambil tasnya. Ia berjalan keluar kantor dengan hati yang sedikit gelisah.Saat tiba di kafe yang dijanjikan, Ben sudah menunggunya di sudut ruangan. Tangannya menggenggam cangkir kopi, dan ia menatap Emily dengan senyum yang sulit diartikan."Aku kira kau tidak akan datang," ucap Ben begitu Emily duduk di depannya."Aku ingin tahu apa maksudmu tadi pagi," balas Emily langsung.Ben menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengaduk kopinya perlahan. "Kau benar-benar ingin tahu?"Emily mengangguk. "Katakan saja."Ben menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada serius, "Kau tidak seistimewa yang kau kira, Emily."Emily membeku di tempatnya. "Apa maksudmu?"Ben menyeringai tipis. "Sylvester mendekatimu bukan karena kau spesial. Kau hanya bayangan dari seseorang yang sudah tiada."Jantung Emily berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya."Kau
Mereka melaju dalam diam, hanya suara lalu lintas di luar yang mengisi keheningan di antara mereka. Emily melirik ke arah Amore yang tetap fokus pada jalan, raut wajahnya sulit dibaca.Setelah beberapa menit, Amore akhirnya membelokkan mobil ke sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Ia memarkir kendaraan, mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Emily."Baiklah, sekarang kita bisa bicara," ucapnya.Emily menyandarkan punggungnya, melipat tangan di depan dada. "Katakan yang sebenarnya, siapa Bella?"Amore menatapnya sejenak sebelum menghela napas panjang. "Bella adalah masa lalu Sylvester."Emily mengernyit. "Masa lalu?""Ya… dia adalah kekasih Sylvester dulu," ucap Amore, suaranya terdengar sedikit berat. "Namun, dia sudah tiada."Emily merasakan dadanya sedikit sesak. "Karena?"Amore menatapnya dengan raut sedih sebelum akhirnya berkata, "Bunuh diri."Emily membelalakkan mata, terkejut dengan jawaban itu. Ia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Amore, tetapi yang membuatnya semakin terkejut
Emily menghela napas panjang sambil menyentuh pipinya yang masih terasa hangat akibat kecupan tiba-tiba dari Sylvester. Lelaki itu benar-benar seenaknya. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi sebelum akhirnya duduk di kursinya.Belum sempat ia menenangkan pikirannya, pintu ruangan terbuka. Leni masuk dengan ekspresi penasaran."Emily, kau kenapa?" tanya Leni sambil meletakkan tasnya di meja.Emily menggeleng. "Tidak apa-apa. Kenapa?"Leni menyipitkan mata, seakan sedang mengamati wajah Emily dengan cermat. "Wajahmu merah. Kau demam?""Ah, mungkin karena aku buru-buru naik ke sini," alasan Emily cepat-cepat.Leni mengangkat bahu. " Baiklah kalau begitu."Emily hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya masih melayang-layang. Perkataan Amore tadi pagi, sikap aneh Ben, dan sekarang kelakuan Sylvester yang semakin berani.Waktu berlalu, dan sebelum ia sadar, jam makan siang tiba. Em
Beberapa menit kemudian, Emily keluar dengan pakaian kerja yang rapi. Ia membawa tasnya dan menatap Amore yang masih berdiri santai sambil memeriksa ponselnya."Ayo pergi," ucap Emily, berusaha mengabaikan rasa kesalnya.Amore menatapnya sekilas, lalu mengangguk. "Kau yakin tidak ingin ke dokter dulu?"Emily menegakkan bahu. "Aku tidak ada janji dengan dokter. Lagipula, aku masih baik-baik saja."Amore menghela napas pelan. "Baiklah. Tapi kau tahu kan, kalau Sylvester bisa sangat keras kepala?"Emily mendesah. "Ya, aku tahu. Aku akan bicara dengannya nanti."Mereka akhirnya berjalan bersama keluar dari apartemen dan memutuskan untuk berjalan kaki ke kantor. Di tengah perjalanan, Emily memecah keheningan."Amore," panggilnya."Ya?" jawab Amore tanpa mengurangi langkahnya."Bisakah kau jujur padaku?" tanya Emily.Amore meliriknya sekilas. "Maksudmu?""Aku ingin bertanya sesuatu, tapi aku ingin kau menjawab de
Emily masih diam, tidak tahu harus merespons seperti apa."Kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang Sylvester, tanyakan saja pada temanmu Amore. Aku dengar kau cukup dekat dengannya"Emily menoleh ke arah Carol, tapi perempuan itu tetap fokus menyetir."Tapi tak usah terlalu dipikirkan," tambahnya dengan nada lebih ringan. "Aku tidak mau pembicaraan ini mengganggu pekerjaanmu."Mobil melambat sebelum akhirnya berhenti di depan gedung apartemen Emily."Sepertinya kita sudah sampai. Kau tinggal di sini, kan?"Emily mengangguk cepat. "Ah, ya. Terima kasih, Bu."Tanpa banyak bicara lagi, ia segera membuka pintu dan keluar. Langkahnya cepat menuju pintu apartemen, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.Carol hanya menatap punggungnya sebentar sebelum tersenyum tipis, lalu kembali melajukan mobilnya.…"Kau sudah sampai?" suara Sylvester terdengar dari telepon begitu Emily mengangkatnya."Ya, baru saja ak
Nada suaranya terdengar seperti sindiran, namun sebelum Emily sempat merespons, ayah Sylvester menyela, "Oh iya, Carol, perkenalkan ini kekasih Sylvester."Carol melirik Emily, bibirnya membentuk senyum tipis. "Ya, Emily," ucapnya dengan nada seolah ia sudah mengetahui lebih dulu.Ayah Sylvester menatap Carol dengan heran. "Bagaimana kau bisa tahu namanya?"Carol terkekeh kecil. "Aku tahu, Paman. Emily bekerja di perusahaanku. Dia hanya salah satu anggota tim dan kebetulan menangani proyek di Whiteller Corp."Emily hanya tersenyum kecil, sementara Sylvester tetap diam, matanya memperhatikan ekspresi Carol dengan penuh selidik."Oh, kalau begitu, Emily, kita harus banyak berbincang lain kali," ucap sang ayah dengan ramah.Emily mengangguk sopan. "Dengan senang hati, Tuan Whiteller."Seolah ingin mengalihkan perhatian, Carol tiba-tiba berkata, "Aku punya oleh-oleh untuk kalian!"Ia mengambil beberapa kantong dari dalam tas besar