Sylvester hanya tersenyum kecil, lalu menatap kembali ke matahari terbit yang kini semakin tinggi.
"Kau menebak dengan tepat, Emily."
Emily menunduk, mencoba menyembunyikan senyum yang tak bisa ia tahan. Ia tidak menjawab, tapi hatinya tahu—ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya.
Mereka berdua berdiri di sana cukup lama, menikmati pagi dengan keheningan yang nyaman. Tanpa mereka sadari, jarak di antara mereka semakin dekat—bukan hanya secara fisik, tapi juga di dalam hati.
Setelah cukup lama menikmati pemandangan matahari terbit, Emily menarik napas dalam dan menoleh ke arah Sylvester.
"Kita harus kembali, aku mulai lapar," ujarnya dengan senyum kecil.
Sylvester mengangkat alis. "Bukankah semalam kau tidak lapar?" godanya.
Emily mendengus. "Itu semalam! Sekarang sudah pagi dan perutku butuh makanan."
Sylvester terkekeh kecil. "Baiklah, ayo kita buat sarapan."
Mereka pun berjalan kembali ke rumah dengan
Emily hanya menghela napas panjang sambil menatap jendela. Meskipun ia tak mau mengakuinya, ada sesuatu dalam diri Sylvester yang membuat hatinya berdebar sejak awal. Dan semakin lama mereka bersama, semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan itu.Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan yang masih sedikit basah. Pepohonan di sisi jalan bergoyang lembut tertiup angin pagi, menciptakan suasana yang tenang dan damai.Emily bersandar di kursi, menikmati pemandangan di luar jendela. Sesekali, ia melirik ke arah Sylvester yang tampak santai mengemudi. "Aku tidak menyangka perjalanan ini akan jadi seperti ini," gumamnya.Sylvester meliriknya sekilas. "Maksudmu?""Awalnya aku pikir pergi ke amerika hanya perjalanan kerja biasa. Tapi ternyata... semua jadi lebih berwarna."Sylvester tersenyum tipis. "Apa itu berarti kau menikmati waktu bersamaku?" tanyanya dengan nada menggoda.Emily menoleh dan menatapnya dengan ekspresi setengah malas. "Jangan terlalu percaya diri
Sylvester menatapnya sejenak sebelum mendesah. "Kau masih ingin tetap di sini?" tanyanya dengan nada pasrah.Ben mengangguk tanpa ragu.Sylvester mengangkat bahu. "Baiklah, pakailah tempat ini sesukamu. Kami akan pulang hari ini, jadi nikmatilah tempat ini sepuasmu." ucapnya, lalu tanpa ragu kembali menggenggam tangan Emily dan menariknya masuk ke dalam penginapan setelah sebelumnya membuka kunci pintu.Saat mereka sudah berada di dalam, Sylvester menoleh pada Emily. "Kita balik hari ini. Persiapkan barang-barang yang ingin kau bawa pulang."Emily menatapnya sejenak sebelum mengangguk. "Baiklah," ucapnya pelan, sedikit heran dengan perubahan sikap Sylvester yang tiba-tiba serius.Tanpa berkata apa-apa lagi, Sylvester menuju kamarnya untuk bersiap kembali, meninggalkan Emily yang masih berdiri di tempatnya, bertanya-tanya tentang hubungan Ben dengan Sylvester dan kenapa kehadirannya bisa membuat Sylvester berubah secepat itu."Hanya ini yang
"Kau baik-baik saja?" tanyanya, duduk di seberang pria itu.Sylvester membuka matanya perlahan, menatapnya sebentar sebelum kembali mengalihkan pandangan. "Aku hanya ingin sendiri, Emily."Emily terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku mengerti," ujarnya. "Tapi jika kau butuh seseorang untuk mendengarkan, aku di sini."Sylvester tersenyum tipis, meskipun matanya tetap menyimpan kesedihan. Ia mengusap wajahnya dengan satu tangan, lalu menatap Emily. "Ben seharusnya tidak membicarakannya."Emily menunggu, tidak ingin menekan Sylvester, tapi juga berharap ia mau berbicara.Setelah beberapa detik keheningan, Sylvester akhirnya membuka suara. "Bella adalah seseorang yang memiliki kenangan dengan kami," katanya pelan. "Seorang teman."Emily menelan ludah. Ada sesuatu di nada suaranya yang membuat hatinya sedikit mencelos. "Apa yang terjadi padanya?" tanyanya hati-hati.Sylvester menatap jendela, seakan menghindari tatapan Emily. "Dia suda
…Ketika pesawat akhirnya mendarat, Sylvester menggenggam tangan Emily sekilas sebelum beranjak berdiri. “Ayo, kita pulang.”Emily menatap tangannya yang masih merasakan hangat genggaman itu, lalu mengikuti Sylvester keluar dari pesawat. Ia tak tahu pasti apa yang akan terjadi setelah ini, tapi satu hal yang ia sadari—perasaan hangat itu mulai tumbuh lebih kuat di hatinya.Begitu mereka memasuki mobil dan duduk di bangku belakang, Emily menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya. Ia merasa sedikit lelah, tapi juga bersemangat. Tanpa sadar, kepalanya miring sedikit ke arah Sylvester yang duduk di sebelahnya."Rasanya kangen sekali dengan Dimas. Tidak sabar ingin bertemu dengannya," ucap Emily sambil menutup mata."Apa?" Sylvester menoleh tajam. "Kau tidak boleh lagi dekat dengan Dimas."Emily membuka matanya dan menatap Sylvester bingung. "Mengapa begitu? Dia temanku."Sylvester mendengus. "Mengapa k
Emily melirik ke arah Alice yang duduk di samping pria tersebut. "Hai, Alice," sapanya ramah."Hai, Emily," jawab Alice dengan senyum lembut.Sylvester menghela napas sebelum akhirnya menarik kursi dan duduk di hadapan pria itu, sementara Emily duduk di sampingnya. "Em, ini ayahku," ucapnya memperkenalkan.Emily tersenyum sopan. "Halo, apa kabar, Paman?""Halo... Panggil saja Ayah," sahut pria itu dengan nada menggoda, membuat Emily spontan menatap Sylvester dengan ekspresi tak percaya."Jadi, sudah berapa lama kalian bersama?" tanya ayah Sylvester dengan nada penasaran.Emily buru-buru menggeleng. "Tidak, Paman, kami tidak ada hubungan apa-apa," ujarnya tegas."Kami baru saja jadian hari ini," potong Sylvester tiba-tiba.Emily menoleh cepat dan mencubit perutnya. "Hei!" protesnya."Oh, pasangan baru rupanya," sahut sang ayah sambil terkekeh."Aku kira saat awal bertemu denganmu di sini, kalian sudah ada hubungan," tambah Alice."Belum," Emily buru-buru menjelaskan. "Maksudku, belum a
Emily terdiam. Kata-kata itu menggema di kepalanya."Pantas saja aku sudah curiga. Kenapa perusahaan sebesar Whiteller Corp mau memakai kita untuk proyek mereka, padahal di sini ada banyak desainer yang lebih baik? Rupanya alasannya karena Bu Carol adalah kekasihnya," lanjut Dimas sambil terkekeh kecil. "Aku tak menyangka bos kita bisa berpacaran dengan Mr. Whiteller."Emily masih diam. Matanya bergetar, pikirannya kacau. Jadi… ini semua hanya main main? selama ini dia hanyalah orang ketiga?"Em? Kau tak kaget?" tanya Dimas, mulai memperhatikan ekspresi Emily yang tampak aneh. "Kau kenapa?"Emily berusaha mengendalikan dirinya. "Aku rasa aku kelelahan."Dimas mengangguk mengerti. "Ya sudah, kau istirahatlah. Kau memang terlihat lelah."Emily mengangguk pelan.Saat Dimas berjalan menuju pintu, ia menoleh dan berkata, "Sampai jumpa besok, Em. Persiapkan dirimu menghadapi Bu Carol."Emily tidak menjawab. Ia hanya bergegas masuk ke kamarnya, menutup pintu, lalu menguncinya rapat-rapat.Pi
Saat Emily baru saja duduk di kursinya, tiba-tiba setumpuk kertas mendarat di mejanya."Aku sudah buatkan semua laporan dan hasil kerja selama kau tak ada. Pelajari semuanya untuk rapat evaluasi nanti," ucap Leni tanpa basa-basi.Emily menoleh dan menatap Leni yang berdiri di samping mejanya dengan ekspresi datar."Terima kasih, Len," ucap Emily dengan tulus.Leni mendengus pelan. "Aku tidak sedang membantumu. Aku hanya tak ingin tim ini terlihat buruk di depan orang orang."Emily tersenyum tipis. Sudah terbiasa dengan sikap dingin Leni, ia hanya mengangguk. "Tetap saja, terima kasih. Aku akan mempersiapkannya dengan baik."Leni menatap Emily sekilas sebelum akhirnya berkata, "Aku rasa Bu Carol mungkin akan ikut rapat nanti. Aku akan coba sedikit membantu kalau diperlukan."Mendengar itu, Emily sedikit terkejut. Sikap Leni memang cenderung ketus, tetapi kali ini, ia menunjukkan sedikit kepedulian."Aku menghargainya, Len. Terima kasih," ujar Emily dengan senyum kecil.Leni hanya mende
Amore menoleh ke arah Sylvester. "Kau memanggilku karena Carol datang?" tanyanya dengan nada menyelidik."Tidak."Sylvester kemudian beralih pada Carol. "Carol, bisakah kau keluar sebentar? Aku ada hal penting yang harus dibicarakan dengan Amore."Carol mengerutkan dahi. "Kenapa aku harus keluar? Dia temanku juga.""Ini soal kerjaan," jawab Sylvester tegas.Carol menoleh ke arah Amore dengan ekspresi terkejut. "Kau kerja bersamanya?"Amore mengangguk santai. "Ya, aku kerja di sini.""Apa ayahmu bangkrut?" tanya CarolAmore mendengus kecil. "Tidak. Ayahku masih kaya raya."Sylvester kembali menatap Carol dengan ekspresi serius. "Sebentar saja, Car. Please."Carol menatapnya sejenak sebelum akhirnya menghela napas. "Baiklah, aku akan pulang. Nanti malam aku ke rumahmu," katanya sebelum mengambil tasnya dan melangkah keluar dari ruangan.Begitu pintu tertutup, Sylvester dan Amore saling bertatapan."Apa maumu, Syl?" tanya Amore dengan nada penuh penasaran.Sylvester memijat pelipisnya, b
Sylvester mengangkat pistolnya sedikit lebih tinggi."Jika dia mati... kau pun akan mati, Carol." suaranya rendah, dingin seperti es.Carol menyeringai, langkahnya pelan mengarah ke Emily."Mulai detik ini... aku menyatakan perang. Lupakan soal persahabatan kita dulu, Sylvester. Aku sudah selesai menjadi bayangan di hidupmu."Sylvester menegang. Tangannya sedikit gemetar.Namun kali ini, bukan karena takut. Tapi karena marah.Carol bergerak cepat. Ia menarik pistol kecil dari balik jaketnya dan mengarahkannya langsung ke kepala Emily."SATU LANGKAH LAGI, DAN DIA MATI!" teriaknya keras, matanya liar, suara gemetar tapi penuh tekad.Sylvester membeku, jantungnya seakan berhenti berdetak."Letakkan senjatamu, Carol. Ini bukan kamu… Bukan seperti ini."Carol tertawa getir."Kamu tak pernah tahu siapa aku sebenarnya, Sylvester. Karena kamu terlalu sibuk mencintai perempuan-perempuan yang tak pantas."Ben mencoba bergerak perlahan dari samping, tapi Carol menyadarinya."JANGAN COBA-COBA!" b
Penjaga mendorongnya lebih dekat. Ben terhuyung dan jatuh berlutut di samping Emily."Maaf, Em... aku tak cukup cepat," bisiknya lemah. Emily langsung memeluknya sejenak sebelum melepaskannya dan menatapnya dengan khawatir.Sylvester menatap Ben, lalu beralih ke Carol dengan sorot mata dingin membeku."Apa maksudmu dengan semua ini, Carol?"Carol melangkah perlahan ke arah mereka."Kau tak lihat? Aku menangkap mereka saat mereka bersama. Kau tahu, Mereka beberapa kali bertemu diam-diam di belakangmu.""Cukup!" bentak Sylvester.Ia merangkul Emily dan membantunya berdiri."Kita pulang."Carol tersenyum tipis. Lalu tawanya keluar, pelan, datar, getir."Kalian pikir bisa pergi begitu saja?"Beberapa penjaga di sekitar pintu mengangkat senjata dan menarik pelatuknya.Bodoh. Aku terlalu meremehkannya… datang tanpa persiapan, pikir Sylvester.Carol menatap Emily."Emily... kau ingin tahu
Seorang penjaga berlari tergesa melewati lorong yang gelap, napasnya memburu. Saat ia mencapai area dalam yang lebih terang, ia mendobrak pintu dan berteriak,“Nona Carol! Tahanan—Ben, dia kabur!”Carol yang sedang berdiri menatap monitor pengawas CCTV langsung memutar tubuhnya, ekspresinya berubah dari tenang menjadi tajam dan berbahaya.“Apa maksudmu kabur?” suaranya datar, tapi dinginnya menembus tulang.“Dia memukul penjaga dan melarikan diri ke arah tangga atap. Kami sedang mengejarnya.”Carol mengepalkan rahangnya, menahan amarah yang mulai mendidih.Tiba-tiba, seorang penjaga lain masuk terburu-buru, memotong momen tegang itu.“Nona Carol… ada tamu. Seorang pria... katanya ia ingin berbicara dengan Anda. Mendesak.”Carol menoleh cepat, matanya menyipit curiga. “Siapa?”“Dia tidak mau menyebutkan nama. Tapi… Dia tahu nona, dan… dia terlihat tenang. Terlalu tenang.”Carol terdiam beberapa detik. Matanya memandang kosong ke arah layar CCTV yang kini menampilkan Ben berlari menaiki
"Emily, lihat itu," ucap Ben, menunjuk ke arah atas ruangan. "Di sana… corong udara."Emily mendongak. Di langit-langit yang tinggi dan berdebu, tampak sebuah corong ventilasi besi. Tidak terlalu besar, tapi mungkin cukup untuk tubuhnya yang kecil."Kau pikir aku bisa muat?" tanyanya, napasnya mulai memburu karena harapan kecil mulai tumbuh di hatinya."Sepertinya iya. Kau lebih kecil dariku, dan… sepertinya itu satu-satunya jalan keluar." Ben memeriksa sekeliling. "Kita harus naik. Kursi itu, dan... lemari tua, kita bisa susun."Tanpa banyak bicara, mereka mulai bergerak. Emily menarik kursi tua ke bawah ventilasi sementara Ben mendorong lemari besar, berdecit pelan di lantai beton yang dingin.Mereka bekerja cepat meski tubuh masih terasa lemah. Ben menopang kursi di atas lemari, lalu membantu Emily naik."Pelan-pelan. Aku tahan dari bawah," ucap Ben sambil menahan kursi agar tidak goyah.Emily melangkah ke atas lemari, lalu naik ke kursi dengan hati-hati. Tangannya meraih jeruji ve
"Kau..." bisik Emily, hampir tak percaya."Ya, sayang. Aku." Suara Carol begitu tenang, seperti sedang menyapa tamu yang datang untuk minum teh."Kupikir kalian akan sedikit lebih kuat… tapi ternyata baru dua hari saja sudah seperti ini."Emily menggertakkan giginya, tubuhnya bergetar karena amarah dan ketakutan."Apa yang kau mau dariku?"Carol mendekat. Suara sepatunya terdengar hanya beberapa langkah dari kepala Emily."aku butuh dia, butuh spermanya." Suaranya penuh sindiran."dan kau sebagai... penampungnya."Ben menelan ludah, wajahnya memucat."Carol, hentikan ini..." ucapnya pelan.Carol tertawa kecil, renyah, tapi tajam seperti pisau."Ben, Ben… kau sangat luar biasa. Aku akan memberimu apapun yang kau mau jika kau mau menurutiku, dan aku akan melepaskanmu sehingga kau dengan bebas menjamahnya."Emily mengepalkan tangan. Meski tubuhnya terikat dan tak berdaya, ada nyala kecil dalam dirinya yang mulai membara."Kau sakit, Carol. Kau membutuhkan bantuan.""Oh, sayangku… yang sa
Di layar, keduanya berbicara selama beberapa saat. Lalu…Sosok lain mendekat dari belakang.Gerakannya cepat. Seketika suasana menjadi kacau—Emily jatuh. Ben tampak terserang.Layar mendadak gelap.“Rekaman selanjutnya hilang. Sinyal kamera terputus setelah itu.” jelas Amore, suaranya serius.Sylvester mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Kita harus temukan mereka sekarang.”“Aku mencoba melacak keberadaan Ben lewat sinyal ponsel dan kartu identitasnya,” lanjut Amore, “Tapi jejaknya hanya sampai bandara. Setelah itu… hilang. Tak terdeteksi.”Sylvester mengumpat pelan. “Mereka pasti menggunakan pesawat. Ini kerjaan orang-orang yang tahu cara menyembunyikan jejak. Mereka bukan penjahat jalanan biasa.”Amore menatapnya lekat. “Apa kau punya musuh, Sylvester?”Pertanyaan itu menggantung.Sylvester terdiam. Matanya menatap kosong sejenak, lalu berubah tajam.“Cari tahu semua penerbangan hari itu. Semua. Tak peduli kemana arahnya.”Amore mengerutkan dahi. “Kau gila? Ini bandara internas
TOK TOK TOK...Pintu kos terbuka perlahan, menampilkan wajah Amore yang terlihat agak kaget melihat siapa yang berdiri di depannya.“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar.“Aku mau menemui Emily,” jawab Sylvester tanpa basa-basi.Amore mengangkat alis. “Bukankah dia bersamamu? Semalam dia mengirim pesan padaku katanya menginap di tempatmu.”“Iya, memang. Tapi pagi tadi dia pulang sendiri... Aku nggak sempat mengantarnya,” ucap Sylvester sambil merogoh ponsel dari sakunya, berusaha menghubungi Emily.Namun layar ponsel hanya menunjukkan satu hal: tidak tersambung.Wajah Sylvester semakin tegang. Ia buru-buru menekan kontak lain.“Dim, apa kau bersama Emily?”Suara Dimas terdengar dari seberang, terdengar bising di latar.“Tidak, Tuan Whiteller. Saya sedang bekerja sekarang.”“Baiklah.” Sylvester mengakhiri panggilan, napasnya mulai berat.“Mungkin dia cuma sedang cari makan, atau jalan-jalan sebentar. Atau bisa juga pergi ke suatu tempat. Nggak usah khawatir, nanti juga pulang,” ujar Am
“Aku menyakitinya, Em…” lanjut Sylvester, suaranya bergetar. “Seharusnya aku mengajaknya bicara baik-baik… seharusnya aku tenang. Tapi aku terlalu emosi. Aku melukai dia… secara fisik dan batin. Aku jahat, Em. Aku jahat…”Ia menggenggam bantal di pangkuannya, mencoba menahan isak yang meledak.“Dia pergi… karena aku. Bersama anak dalam kandungannya. Aku bahkan tak tahu anak siapa itu… tapi aku... aku telah membunuh dua makhluk hidup, Em. Dua nyawa.”Emily menundukkan kepalanya, air matanya jatuh satu demi satu. Tapi ia tetap memeluk Sylvester, lebih erat ia bisa merasakannya.“Aku tak tahu bagaimana harus menebusnya. Tak ada yang bisa mengembalikan mereka. Aku hidup dengan bayang-bayang itu setiap hari…”Emily mengangkat wajahnya, menatap Sylvester dalam-dalam, matanya sembab namun penuh kelembutan.“Sylvester… kau memang melakukan kesalahan. Kau menyakiti seseorang, dan kau menyesalinya. Kau bukan jahat. Jika kau jahat, kau tak akan menangis malam ini… kau tak akan terbuka seperti in
Emily masih menatap Sylvester, menunggu dengan sabar jawaban yang tak kunjung keluar. Hening menyelimuti mereka, seolah waktu pun ikut menahan napas.Tepat saat Sylvester hendak membuka mulut untuk bicara, suara langkah kaki pelayan memecah ketegangan.“Permisi, pesanannya, Kak,” ucap pelayan dengan senyum ramah, namun matanya sempat melirik Sylvester sejenak sebelum meletakkan makanan di atas meja mereka.Emily yang melihat itu hanya mengerjap pelan, menahan rasa tak nyaman yang tiba-tiba muncul.“Terima kasih, Kak,” ucap Emily dengan senyum tipis namun suaranya terdengar dingin.“Sama-sama, Kak. Selamat menikmati,” balas si pelayan sebelum akhirnya berlalu, tak lupa melirik sekali lagi ke arah Sylvester.“She is my girlfriend,” ucap Sylvester tiba-tiba, lantang dan jelas, membuat Emily menoleh cepat, cukup terkejut dengan pernyataan itu.Pelayan yang masih berada tak jauh langsung menghentikan langkahnya.“Ah… maaf, Kak,” ucapnya terbata, lalu buru-buru menambahkan,“Ini pesanan yan