"Bagaimana udara di sini?" tanya Sylvester, menoleh sekilas ke arah Emily yang berjalan di sampingnya."Luar biasa. Aku suka aroma kayunya," jawab Emily sambil menarik napas dalam, menikmati kesejukan udara hutan yang menyelimuti mereka."Saat musim panas dan musim gugur, tempat ini jauh lebih indah. Banyak kupu-kupu beterbangan di sekitar sini," jelas Sylvester sambil menunjuk beberapa pohon.Emily meliriknya dengan rasa penasaran. "Kau terdengar sangat mengenal tempat ini."Sylvester mengangguk. "Ya. Dulu aku sempat tinggal di kota ini bersama nenekku."Emily mengerutkan kening, lalu mengangguk paham. "Pantas saja. Dari kemarin aku perhatikan kau tampak akrab dengan kota ini."Sylvester tersenyum kecil, lalu menoleh ke jalur di depan mereka. "Kita hampir sampai di bagian yang mulai menanjak. Apa kau siap?"Emily mendesah panjang. "Tidak, aku tidak siap sama sekali."Sylvester tertawa. "Ayolah, jangan manja. Aku janji, kau tidak akan menyesal saat tiba di atas."Emily merengut. "Mimp
Mereka kembali terdiam, menikmati suasana magis di puncak bukit. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma dedaunan dan tanah"Apa kau sering melihat pemandangan seperti ini?" tanya Emily tiba-tiba, matanya tak lepas dari langit yang mulai bergradasi ungu dan jingga."Hanya beberapa kali di tempat yang berbeda," jawab Sylvester. "Di tempat ini... ini yang kedua kali."Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya terdengar suara angin dan desiran dedaunan. Emily menghirup napas dalam-dalam, menikmati ketenangan yang jarang ia rasakan.Namun, tiba-tiba Sylvester memecah keheningan. "Emily.""Ya?" Emily menoleh, menatapnya.Sylvester menatapnya lekat, suaranya lebih serius dari sebelumnya. "Di matamu, aku ini bagaimana?"Emily mengerjapkan mata, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. "Hmm... kau ternyata orang yang baik."Sylvester tersenyum sekilas, lalu kembali menatapnya dengan lebih dalam. "Emily.""Ya?"Sylvester menggenggam tangan Emily dengan lembut. "Maukah kau jadi pacarku, Em?"
"Sepertinya ini bukan jalan menuju penginapan," ucap Emily curiga."Bagaimana kau tahu?" tanya Sylvester sambil tetap fokus pada kemudi."Meskipun sudah gelap, aku masih mengingat jalannya. Ini berbeda," jawab Emily yakin.Sylvester hanya tersenyum kecil sebelum akhirnya berkata, "Ya, kita akan mampir ke suatu tempat lebih dulu.""Ke mana?" tanya Emily semakin penasaran."Ke rumah nenekku," jawab Sylvester santai. "Kita sudah sampai."Emily menatap Sylvester dengan alis berkerut, lalu melirik ke luar jendela. Di hadapannya berdiri sebuah rumah tua di tengah hutan, tanpa pagar yang mengelilinginya. Lampu teras hanya menyala redup, sementara jendela-jendelanya tampak gelap, seolah rumah itu kosong.Sylvester turun dari mobil, berjalan menuju pintu, dan mulai mengobrak-abrik sesuatu di antara pot dekat pintu masuk. Emily masih duduk di dalam mobil, ragu-ragu."Nenekmu benar-benar tinggal di tempat ini?" tanyanya sambil mengikuti Sylvester dengan langkah hati-hati."Ya," jawab Sylvester s
Ruangan yang gelap dan suara hujan di luar semakin membuat suasana terasa mencekam. Emily hanya bisa menelan ludah, hatinya berdebar tak menentu.Emily menatap Sylvester dengan ragu. "Menginap? Di sini?"Sylvester mengangguk santai, sementara Emily menoleh ke sekeliling ruangan yang hanya diterangi nyala kecil lilin. Perabotan tua, rak buku yang berdebu, dan bayangan-bayangan aneh yang tercipta dari cahaya lilin membuat bulu kuduknya meremang."Aku tidak suka ini..." gumamnya pelan.Sylvester tersenyum kecil dan menepuk pundaknya. "Jangan khawatir, ini hanya rumah kosong, bukan rumah hantu."Emily menelan ludah. "Tapi kenapa rasanya... ada yang mengawasi kita?"Sylvester menoleh ke arahnya, kini ekspresinya lebih serius. "Kau merasa ada sesuatu di sini?"Emily menggeleng cepat. "Aku tidak tahu, mungkin hanya perasaanku saja. Tapi tempat ini terlalu sepi, terlalu sunyi, hanya suara hujan dan angin... itu saja sudah cukup membuatku meri
Emily mengabaikannya dan beranjak menuju ke kamar di lantai dua. Sylvester menyusul, membawa lilin yang menjadi satu-satunya penerangan mereka. Saat mereka masuk, ruangan itu terasa sunyi dan sedikit berdebu, tapi tempat tidurnya tampak rapi.Emily duduk di tepi ranjang dan melepas sepatunya. "Jujur saja, aku tidak pernah mengira akan menginap di rumah kosong di tengah hutan seperti ini."Sylvester yang sedang membuka jaketnya hanya tersenyum tipis. "Kau bilang tadi, aku selalu membawamu ke tempat aneh. Kuharap besok kau tidak mengeluh lagi."Emily mendelik. "Kau bercanda? Aku pasti akan mengeluh lagi."Sylvester tertawa pelan sebelum memadamkan lilin. Kamar itu menjadi gelap gulita, hanya terdengar suara angin dari luar dan rintik hujan yang masih deras."Sylvester.""Hm?""Aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa.""Itu bagus. Jadi kau tidak bisa melihat wajah tampanku yang akan membuatmu tergoda."Emily mendengus. "
Sylvester hanya tersenyum kecil, lalu menatap kembali ke matahari terbit yang kini semakin tinggi."Kau menebak dengan tepat, Emily."Emily menunduk, mencoba menyembunyikan senyum yang tak bisa ia tahan. Ia tidak menjawab, tapi hatinya tahu—ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya.Mereka berdua berdiri di sana cukup lama, menikmati pagi dengan keheningan yang nyaman. Tanpa mereka sadari, jarak di antara mereka semakin dekat—bukan hanya secara fisik, tapi juga di dalam hati.Setelah cukup lama menikmati pemandangan matahari terbit, Emily menarik napas dalam dan menoleh ke arah Sylvester."Kita harus kembali, aku mulai lapar," ujarnya dengan senyum kecil.Sylvester mengangkat alis. "Bukankah semalam kau tidak lapar?" godanya.Emily mendengus. "Itu semalam! Sekarang sudah pagi dan perutku butuh makanan."Sylvester terkekeh kecil. "Baiklah, ayo kita buat sarapan."Mereka pun berjalan kembali ke rumah dengan
Emily hanya menghela napas panjang sambil menatap jendela. Meskipun ia tak mau mengakuinya, ada sesuatu dalam diri Sylvester yang membuat hatinya berdebar sejak awal. Dan semakin lama mereka bersama, semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan itu.Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan yang masih sedikit basah. Pepohonan di sisi jalan bergoyang lembut tertiup angin pagi, menciptakan suasana yang tenang dan damai.Emily bersandar di kursi, menikmati pemandangan di luar jendela. Sesekali, ia melirik ke arah Sylvester yang tampak santai mengemudi. "Aku tidak menyangka perjalanan ini akan jadi seperti ini," gumamnya.Sylvester meliriknya sekilas. "Maksudmu?""Awalnya aku pikir pergi ke amerika hanya perjalanan kerja biasa. Tapi ternyata... semua jadi lebih berwarna."Sylvester tersenyum tipis. "Apa itu berarti kau menikmati waktu bersamaku?" tanyanya dengan nada menggoda.Emily menoleh dan menatapnya dengan ekspresi setengah malas. "Jangan terlalu percaya diri
Sylvester menatapnya sejenak sebelum mendesah. "Kau masih ingin tetap di sini?" tanyanya dengan nada pasrah.Ben mengangguk tanpa ragu.Sylvester mengangkat bahu. "Baiklah, pakailah tempat ini sesukamu. Kami akan pulang hari ini, jadi nikmatilah tempat ini sepuasmu." ucapnya, lalu tanpa ragu kembali menggenggam tangan Emily dan menariknya masuk ke dalam penginapan setelah sebelumnya membuka kunci pintu.Saat mereka sudah berada di dalam, Sylvester menoleh pada Emily. "Kita balik hari ini. Persiapkan barang-barang yang ingin kau bawa pulang."Emily menatapnya sejenak sebelum mengangguk. "Baiklah," ucapnya pelan, sedikit heran dengan perubahan sikap Sylvester yang tiba-tiba serius.Tanpa berkata apa-apa lagi, Sylvester menuju kamarnya untuk bersiap kembali, meninggalkan Emily yang masih berdiri di tempatnya, bertanya-tanya tentang hubungan Ben dengan Sylvester dan kenapa kehadirannya bisa membuat Sylvester berubah secepat itu."Hanya ini yang
Tak ingin terlalu memikirkan hal itu, Emily akhirnya melangkah mendekat. "Jika perlu, aku bisa menemani Clara ke klinik."Sebelum Clara bisa menjawab, Sylvester langsung berkata, "Aku yang akan menemani."Emily menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. "Baiklah."Setelah Sylvester dan Clara serta Carol yang ikut menemani pergi ke klinik, Emily kembali ke kelompoknya, mencoba mengalihkan pikirannya ke sisa acara."Kau baik-baik saja?" tanya Amore, menatapnya dengan penuh arti.Emily mendesah. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah."Amore mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Aku pikir kau akan lebih kesal."Emily menoleh padanya dengan ekspresi datar. "Kenapa aku harus kesal?""Oh, kau tahu alasannya," jawab Amore sambil menyeringai. "Carol terlihat sangat menunjukkan bahwa ia sangat perhatian dihadapan Sylvester tadi. Dan sekarang, dia pergi menemani Clara. Jika aku jadi kau, aku pasti sedikit… cemburu."Emil
"Petunjuknya mungkin ada di sekitar bebatuan atau di bawah jembatan kayu itu," ujar Dimas sambil menunjuk ke jembatan kecil yang melintasi sungai.Emily berjalan perlahan di sepanjang tepi sungai, matanya menyisir setiap sudut dengan teliti. Sementara itu, Sylvester berjongkok di dekat sekumpulan batu besar, mencoba mengangkat salah satunya."Aku menemukannya!" seru Clara tiba-tiba.Semua anggota tim segera berlari ke arahnya. Clara memegang sebuah botol kaca kecil yang terjebak di antara akar pohon yang menjorok ke sungai."Baiklah, ayo kita lihat petunjuk berikutnya," ujar Emily sambil membuka gulungan kertas yang ada di dalam botol."Petunjuk ketiga: Aku adalah tempat berkumpul saat malam, di sekelilingku orang-orang berbagi cerita dan tawa.""Perapian perkemahan!" Sylvester langsung menebak."Ayo cepat!" seru Dimas, semangatnya semakin membara.Tanpa membuang waktu, mereka berlari kembali ke area perkemahan. Saat mereka tib
Setelah bahan terkumpul, Emily dengan hati-hati menyusun ranting dan daun dalam bentuk piramida kecil di tengah lingkaran batu. Dimas menyalakan korek dan mencoba menyalakan api."Ayo... ayo...," gumamnya, meniup perlahan saat api mulai menyala.Lidah api kecil mulai menjilat ranting-ranting kering, tumbuh perlahan tapi pasti. Sylvester menambahkan beberapa ranting lebih besar untuk memperkuat api.Beberapa meter dari mereka, tim lain juga tengah berusaha menyalakan api. Tim Amore terlihat cukup cepat, sementara tim Carol masih berjuang dengan bahan-bahan mereka."Huh..." Carol menghela napas kesal sambil melirik ke arah tim Emily."Apakah hanya laki-laki saja yang bekerja?" sindir Beni, menatap Carol yang hanya berdiri tanpa membantu.Carol mendengus. "Apa kau lupa siapa aku? Aku akan mengadukannya pada Sylvester!""Silakan saja, Tuan Putri yang terhormat," balas Beni dengan nada sarkastik. "Tapi saat ini kita sedang dalam satu tim,
Mereka duduk dalam diam selama beberapa detik, menikmati suasana. Sampai akhirnya Sylvester bersuara lagi."Hari ini kita akan ada kegiatan outdoor. Sudah siap?"Emily mengangguk. "Ya, aku tidak keberatan. Toh ini bagian dari acara."Sylvester menatapnya dengan lembut. "Kalau begitu, aku akan memastikan kau bersenang-senang hari ini."Emily mendelik. "Aku tidak perlu dijaga sepanjang waktu, Sylvester."Sylvester terkekeh. "Bukan soal menjaga, Emily. Aku hanya ingin berada di dekatmu."Sebelum Emily bisa membalas, Amore tiba-tiba muncul dan duduk di sampingnya."Oh, pagi yang indah! Apa aku mengganggu?" goda Amore dengan senyum penuh arti.Emily menutup wajahnya dengan satu tangan sementara Sylvester hanya tersenyum. "Tidak, kau datang tepat waktu."Amore tertawa kecil. "Bagus. Karena aku lapar, dan aku tidak mau makan sendirian."Emily menggelengkan kepala, sementara Sylvester hanya mengamati mereka berdua dengan ekspresi puas. Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang panjang."Hai,
Saat mereka tiba di restoran hotel, suasana sudah cukup ramai. Beberapa karyawan berkumpul di meja masing-masing, bercengkerama dengan santai sambil menikmati hidangan mereka.Emily dan Amore mengambil nampan lalu berjalan ke meja prasmanan, memilih makanan yang mereka inginkan."Kau mau duduk di mana?" tanya Amore sambil melirik sekeliling ruangan.Sebelum Emily sempat menjawab, suara familiar menyapanya dari kejauhan. "Emily, Amore, sini duduk bersama kuEmily menoleh dan melihat Dimas melambaikan tangan ke arah mereka."Sepertinya kita tak punya pilihan," gumam Amore sambil tersenyum kecil.Emily mengangguk dan berjalan ke meja itu bersama Amore. Begitu mereka duduk, Dimas langsung berseru, "Hei, kenapa kalian lama sekali? Apa kalian sengaja menunggu restoran sepi supaya bisa makan dengan tenang?""Bukan urusanmu," balas Emily santai sebelum mulai menyantap makanannya." jadi kalian sekamar?" tanya dimasAmore terseny
Saat mereka hendak pergi, Sylvester tiba-tiba menghampiri mereka."Emily, kau yakin ingin sekamar dengan Amore?" tanyanya dengan nada datar.Emily menatapnya bingung. "Tentu. Memangnya kenapa?"Sylvester menghela napas, lalu menatap Amore sekilas sebelum kembali ke Emily. "Tidak ada. Pastikan saja dia tidak membuatmu susah.""Hei, aku ini teman baiknya, bukan musuhnya," protes Amore.Emily mendengus kecil, lalu menarik koper dan berjalan menuju lift bersama Amore. Sepertinya kegiatan ini akan lebih menarik dari yang ia kira.Sesampainya di lantai tiga, Emily dan Amore berjalan menyusuri koridor menuju kamar mereka. Suasana hotel terasa tenang, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki karyawan lain yang juga menuju kamar masing-masing.Setibanya di depan kamar 308, Emily memasukkan kartu kunci dan membuka pintu. Begitu masuk, ia langsung mengamati ruangan yang cukup luas dengan dua tempat tidur, balkon kecil yang menghadap ke laut, serta sofa dan meja di sudut ruangan."Lumayan," gu
Tanpa terasa, dua hari telah berlalu. Selama itu, tim Emily bekerja keras tanpa henti hingga akhirnya mereka berhasil menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu. Hubungannya dengan Sylvester pun tampak baik-baik saja—atau lebih tepatnya, Emily memilih untuk tidak memikirkan kecurigaan-kecurigaan yang sempat terlintas di benaknya. Lagipula, sebentar lagi ia akan kembali ke Indonesia."Apa kau sudah packing, Em? Sepertinya belum," ucap Dimas begitu melihat Emily baru saja masuk ke apartemen mereka."Packing?" Emily mengerutkan kening, jelas tidak mengerti maksudnya."Kita akan berkumpul besok siang di depan gedung Whiteller Corp," jawab Dimas sambil sibuk memilih sepatunya."Sepertinya kau tidak tahu apa-apa," sela Jesselyn yang baru keluar dari kamarnya menuju dapur untuk mengambil minum."Kau belum tahu?" Dimas menatap Emily dengan heran. "Sudah berapa lama kau tidak membuka ponselmu?"Emily mengangkat bahu."Mr. Whiteller mengadakan semacam retret. Kita akan menginap selama tiga malam
Emily tidak langsung menjawab. Ia tahu jika ia menyebut nama Amore atau Ben, Sylvester mungkin tidak akan menyukainya."Itu tidak penting," katanya akhirnya. "Aku hanya ingin tahu... siapa dia bagimu? Dan apa yang sebenarnya terjadi?"Sylvester menatapnya dalam diam selama beberapa detik, lalu berkata dengan suara rendah, "Bella adalah seseorang yang kucintai dulu."Emily menggigit bibirnya."Dia... hamil, bukan?" tanyanya pelan.Mata Sylvester sedikit melebar sebelum ia segera mengendalikan ekspresinya kembali. "Ya."Emily merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya. "Dan dia...""Dia bunuh diri," potong Sylvester, suaranya terdengar dingin dan tajam.Emily menahan napas."Kau ingin tahu kenapa?" Sylvester melanjutkan. "Karena aku tidak bisa melindunginya."Emily terdiam."Aku egois. Dia menderita... dan aku tidak ada di sana untuknya."Ada kesedihan yang tersembunyi di balik nada suaranya, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang Sylvester yang selalu tampak begitu percaya diri.E
Sore pun tiba. Emily merapikan mejanya dan mengambil tasnya. Ia berjalan keluar kantor dengan hati yang sedikit gelisah.Saat tiba di kafe yang dijanjikan, Ben sudah menunggunya di sudut ruangan. Tangannya menggenggam cangkir kopi, dan ia menatap Emily dengan senyum yang sulit diartikan."Aku kira kau tidak akan datang," ucap Ben begitu Emily duduk di depannya."Aku ingin tahu apa maksudmu tadi pagi," balas Emily langsung.Ben menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengaduk kopinya perlahan. "Kau benar-benar ingin tahu?"Emily mengangguk. "Katakan saja."Ben menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada serius, "Kau tidak seistimewa yang kau kira, Emily."Emily membeku di tempatnya. "Apa maksudmu?"Ben menyeringai tipis. "Sylvester mendekatimu bukan karena kau spesial. Kau hanya bayangan dari seseorang yang sudah tiada."Jantung Emily berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya."Kau