Minggu pagi, Fatimah dan Pak Andri sudah berangkat ke pasar. Karena Erni meminta mereka belanja kebutuhan dapur untuk jamuan Airin dan Kholifah Lie Chun Hyang, yang akan datang berkunjung esok hari ke kediaman tersebut. Seperti yang telah direncanakan jauh-jauh hari oleh Airin selaku klien dari tamu tersebut. Bahwa rekan bisnisnya itu akan mengadakan pertemuan langsung dengan Inayah. "Teh!" panggil Inayah dari lantai dua rumah tersebut. Saat itu, Inayah sedang membuat formulir kerjasama yang akan ia berikan kepada Airin yang akan berkunjung langsung ke kediamannya. "Iya," jawab Erni mengangkat wajah sembari berjalan menaiki tangga menuju ke tempat Inayah berada. Setibanya di lantai atas, Erni langsung masuk ke salah satu ruangan yang merupakan ruang kerja Inayah yang ia jadikan sebagai ruang kantor selama bekerja di rumah. "Duduk dulu, Teh!" ucap Inayah lirih. Erni langsung duduk di sebuah sopa yang ada di ruangan tersebut. "Ada apa, Nay?" tanya Erni menatap wajah Inayah. "Tid
Erni tidak mengetahui kalau Tommy semasa hidupnya pernah melakukan kesalahan kepada rekan bisnisnya, ia pernah menolak keras ajakan kerjasama dari Burhan—seorang pengusaha yang dulu berhubungan baik dengan almarhum kedua orang tua Inayah. Penolakan kerjasama tersebut, menjadikan Burhan merasa dendam terhadap Almarhum Tommy, dan ia berjanji akan menghancurkan perusahaan-perusahaan milik Almarhum Tommy termasuk mengusik ketenangan hidup Inayah yang merupakan ahli waris tunggal dari Almarhum Tommy. "Kalian memang tidak dapat diandalkan," bentak Burhan kepada anak buahnya. "Maafkan kami, Bos," ucap salah seorang pria bertubuh kekar. Dia adalah anak buah Burhan yang sudah gagal dalam menjalankan tugas. Malam itu, Burhan benar-benar geram dengan hasil yang didapat oleh anak buahnya, mereka kalah telak dan gagal memenangkan tender proyek pembangunan kantor pusat pemerintahan di salah satu kota yang ada di wilayah provinsi Jawa barat. Hal itu memicu kemarahan dan emosi dari Burhan, para s
Fahmi tersenyum lebar, lalu berkata lirih di hadapan sahabatnya itu, "Kamu Salat istikharah, mohon petunjuk kepada Allah!" Kata-kata yang keluar dari mulut Fahmi mengandung kalimat nasihat yang berguna bagi Andra. Mendengar saran dari Fahmi, Andra tampak gemetaran. Niat jahatnya terhadap Fahmi seketika luntur, dan hatinya pun mulai luluh dengan sikap Fahmi yang tampak ramah dan baik terhadapnya. Andra sudah tidak kuasa lagi menatap wajah Fahmi, ia hanya diam tertunduk di hadapan Fahmi. 'Ya, Allah! Jika aku lanjutkan niat busukku ini. Aku sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku,' kata Andra dalam hati. "Ya, sudah! Kamu pikirkan saja dulu! Nanti kalau sudah menemukan jalan yang terbaik kamu langsung hubungi aku!" kata Fahmi. "Iya, Mi. Aku pasti menghubungi kamu jika sudah ada keputusan," jawab Andra lirih. Suara Andra terdengar berat, seakan-akan ada hal yang mengganjal dalam jiwanya sehingga untuk berbicara saja bibirnya tampak kelu. "Kamu kenapa, Dra?" tanya Fahmi. "Apa
Setelah itu, Inayah langsung masuk ke dalam kamar untuk segera beristirahat. Sementara Erni saat itu hanya duduk santai di ruang tengah sembari menikmati teh hangat dan beberapa potong kue yang disajikan oleh Fatimah. Malam itu, Erni sangat bersyukur. Karena dirinya sudah mampu memberikan yang terbaik buat Inayah, karena nasihat yang selama ini ia berikan untuk adik angkatnya itu, diterima dan dijalankan dengan baik oleh Inayah. "Alhamdulillah, akhirnya Inayah bisa meraih apa yang selama ini diharapkan oleh almarhum kedua orang tuanya," desis Erni lirih. "Semoga saja, Inayah istiqomah," sambungnya. Keesokan harinya .... Tepatnya di kediaman Andra, usai menjalankan Salat Duha, Andra langsung menghampiri ibunya yang saat itu sedang mengerjakan aktivitas rutin di ruang dapur. "Bu!" kata Andra lirih. "Iya, Nak. Ada apa?" Bu Ira bangkit dan balas bertanya dengan memandang wajah Andra. "Aku mau menemui Fahmi di kantornya, Bu," jawab Andra lirih. "Loh, memangnya kamu hari ini tidak ma
Sore harinya, Fahmi langsung menghubungi Erni. Fahmi membicarakan tentang kesiapan Andra untuk segera bergabung di perusahaan yang dipercayakan oleh Inayah kepadanya. "Harusnya kamu itu langsung datang ke sini. Jangan bicara melalui telepon!" kata Erni di sela perbincangannya dengan Fahmi. "Kamu kangen sama aku, yah?" gurau Fahmi menanggapi perkataan Erni. "Iya," jawab Erni reflek. "Tuh, 'kan. Sudah aku duga," tuduh Fahmi tertawa kecil. Erni pun langsung diam, ketika mendengar Fahmi berbicara demikian. Seolah-olah, Erni menjadi malu sendiri. Fahmi dan Erni saat itu, secara diam-diam ternyata sudah menjalani hubungan spesial tanpa diketahui oleh Inayah ataupun yang lainnya. Mereka sengaja menutupi hubungan tersebut, karena Erni menganggap belum waktunya orang lain tahu dan cukup merekalah berdua yang mengetahui hal itu. Dua Minggu kemudian, sepulang dari kantor Fahmi duduk santai di ruang tengah. Kedua orang tuanya saat itu sedang tidak ada di rumah, mereka sedang pulang kampung
Satu jam kemudian, Fahmi sudah mulai sadar. Tampak perban putih sudah melekat di kening dan bahu serta pergelangan tangannya, wajah Fahmi pun tampak memar dan bengkak."Terima kasih, Dok," ucap Riko mengarah kepada dokter yang baru saja merawat dan membersihkan luka Fahmi."Iya, Pak. Sama-sama, ini obatnya. Nanti tolong diberikan langsung sesuai dosis!" kata dokter tersebut dengan sikap ramahnya.Riko balas tersenyum dan langsung menerima beberapa jenis obat yang diberikan oleh dokter itu. Selanjutnya dokter tersebut langsung pamit dan berlalu dari kediaman Fahmi. Begitupun dengan para warga satu persatu mereka pamit dan berlalu dari rumah itu.Andra tampak menyesal dan ia merasa terpukul dengan kejadian yang baru saja menimpa sahabatnya itu."Maafkan aku ya, Mi. Aku janji akan membalas semua perbuatan mereka!" ungkap Andra tertunduk di hadapan Fahmi yang saat itu sudah bisa duduk."Ini musibah, Dra. Tidak ada sangkut pautnya dengan kamu," ujar Fahmi tersenyum memandang wajah Andra yan
Mendengar penjelasan Erni, Inayah hanya tersenyum-senyum saja. "Terus jatuh?" tanya Inayah menatap wajah Erni."Iya," jawab Erni tersenyum-senyum."Itu namanya kualat dari aku," tandas Inayah tertawa lepas.Inayah terus menggoda Erni tak henti-hentinya, Erni dan Inayah terus saling melontar gurauan-gurauan, dan saling ejek satu sama lain. Mereka tampak bahagia dan bersikap layaknya seorang kakak beradik.Selama bertahun-tahun tinggal bersama, mereka tidak pernah sekalipun berselisih paham yang sampai menyebabkan mereka bertengkar. Satu sama lain selalu mengerti dan memahami hingga mereka dapat meredam sekecil apa pun konflik yang hadir.Mereka dipertemukan dan disatukan ketika masing-masing sudah dalam kondisi dewasa, dan mereka pun bukan saudara sedarah ataupun kerabat dekat satu nenek moyang. Namun tali persaudaraan Inayah dan Erni melebihi itu.***Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah bin Umar, dia berkata Nabi Saw bersabda;اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْل
Setelah Rafie dan kedua orang tuanya berlalu dari kediamannya, Inayah sedikit menggeser posisi duduknya lebih mendekat ke arah Erni. Kemudian, Inayah bersandar di pundak Erni. "Teh, aku mau tanya sesuatu bolehkan?" kata Inayah lirih.Erni menoleh ke arah Inayah, dua bola matanya terus memandang lekat wajah adik angkatnya itu. Kemudian menjawab pertanyaan dari Inayah, "Iya, boleh. Memangnya mau tanya apa, Nay?" Erni balas bertanya."Sebelum menikah dengan A Rafie, aku mau ziarah dulu ke makam Rangga. Bolehkan, Teh?"Erni tersenyum dan menghela napas dalam-dalam. "Ada beberapa ulama dari berbagai mahzab yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan para kaum wanita menziarahi kubur," jawab Erni lembut."Maksudnya?" tanya Inayah penasaran, dua alisnya saling bertautan memandang wajah Erni.Erni kembali menjelaskan apa yang menjadi ketidaktahuan Inayah, "Selain mengharamkan secara mutlak, haram bi asysyarth, dan makruh, ada juga ulama yang membolehkannya.""Pendapat ini seperti dinukilka