Mendengar penjelasan Erni, Inayah hanya tersenyum-senyum saja. "Terus jatuh?" tanya Inayah menatap wajah Erni."Iya," jawab Erni tersenyum-senyum."Itu namanya kualat dari aku," tandas Inayah tertawa lepas.Inayah terus menggoda Erni tak henti-hentinya, Erni dan Inayah terus saling melontar gurauan-gurauan, dan saling ejek satu sama lain. Mereka tampak bahagia dan bersikap layaknya seorang kakak beradik.Selama bertahun-tahun tinggal bersama, mereka tidak pernah sekalipun berselisih paham yang sampai menyebabkan mereka bertengkar. Satu sama lain selalu mengerti dan memahami hingga mereka dapat meredam sekecil apa pun konflik yang hadir.Mereka dipertemukan dan disatukan ketika masing-masing sudah dalam kondisi dewasa, dan mereka pun bukan saudara sedarah ataupun kerabat dekat satu nenek moyang. Namun tali persaudaraan Inayah dan Erni melebihi itu.***Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah bin Umar, dia berkata Nabi Saw bersabda;اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْل
Setelah Rafie dan kedua orang tuanya berlalu dari kediamannya, Inayah sedikit menggeser posisi duduknya lebih mendekat ke arah Erni. Kemudian, Inayah bersandar di pundak Erni. "Teh, aku mau tanya sesuatu bolehkan?" kata Inayah lirih.Erni menoleh ke arah Inayah, dua bola matanya terus memandang lekat wajah adik angkatnya itu. Kemudian menjawab pertanyaan dari Inayah, "Iya, boleh. Memangnya mau tanya apa, Nay?" Erni balas bertanya."Sebelum menikah dengan A Rafie, aku mau ziarah dulu ke makam Rangga. Bolehkan, Teh?"Erni tersenyum dan menghela napas dalam-dalam. "Ada beberapa ulama dari berbagai mahzab yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan para kaum wanita menziarahi kubur," jawab Erni lembut."Maksudnya?" tanya Inayah penasaran, dua alisnya saling bertautan memandang wajah Erni.Erni kembali menjelaskan apa yang menjadi ketidaktahuan Inayah, "Selain mengharamkan secara mutlak, haram bi asysyarth, dan makruh, ada juga ulama yang membolehkannya.""Pendapat ini seperti dinukilka
Setelah melihat, Andra dan Riko benar-benar tidak berdaya. Keempat pria itu langsung berlalu dan masuk ke dalam mobil mereka. Mereka pun langsung pergi dari tempat tersebut meninggalkan Andra dan Riko yang dalam keadaan luka parah.Keesokan harinya ....Fahmi menghubungi Erni via telpon. Ia mengabarkan tentang pengeroyokan yang dialami oleh Riko dan juga Andra."Kok, bisa yah. Setahuku Riko itu baru tinggal di kota ini, dan belum banyak yang mengenalnya?" tanya Erni di sela perbincangannya dengan Fahmi melalui sambungan telepon seluler."Entahlah, mungkin itu adalah orang-orang yang dulu sudah menganiaya aku," jawab Fahmi lirih."Bisa jadi, makanya aku pesan sama kamu. Kamu itu harus hati-hati dan jangan lengah!" kata Erni tampak khawatir terhadap keselamatan Fahmi.Erni merasa cemas dengan kondisi yang akhir-akhir ini marak terjadi, teror menimpa orang-orang yang bekerja di perusahaan milik Inayah. Satu persatu mereka dianiaya tanpa diketahui masalahnya apa.Erni takut Fahmi mengalami
Keesokan harinya .... Tepat pukul sembilan, Dimas dan Gugun sudah berada di teras rumah mewah itu, mereka datang atas permintaan Erni. Kedua pemuda itu merupakan tetangga Fahmi yang akan dipekerjakan oleh Erni sebagai security untuk menemani Ifan dan Reno. Itu semua dilakukan, karena Erni menginginkan keamanan ketat untuk adik angkatnya itu. Ia sangat khawatir takut terjadi apa-apa menimpa sang adik angkatnya. Beberapa menit kemudian, Jubaedah datang dengan membawa sebuah nampan yang di atasnya tampak dua cangkir kopi hitam, yang sengaja ia buatkan untuk kedua tamu tersebut. Kepulan asap dari kopi tersebut membawa aroma wangi yang khas. Jubaedah melangkah dengan indahnya membuat mata kedua pemuda itu terbelalak dibuatnya. "Ini kopinya, Kang!" kata Jubaedah ramah langsung meletakkan dua cangkir kopi tersebut di atas meja. "Iya, Teh. Terima kasih," jawab kedua pemuda itu serentak. Pandangan mereka terus terarah ke wajah Jubaedah yang terlihat cantik dengan pulasan makeup sederhana
Inayah tersenyum dan memeluk tubuh Erni dengan begitu eratnya seraya berkata, "Ana ahabbu, Ukhti (Aku sayang, Teteh)," ucap Inayah lirih. Mendengar perkataan Inayah, Erni tersenyum lebar memandang wajah adik angkatnya itu. "Nah, yang terpenting kalian harus saling percaya dan saling mencintai dengan ikhlas, karena itu akan menjadi satu di antara kunci yang akan menyatukan kalian selamanya," kata Erni penuh nasihat. "Perasaan cinta akan benar-benar dapat dibuktikan melalui sebuah pernikahan!" ujar Erni menambahkan dengan raut wajah semringah. "Insya Allah, Teh. Aku akan berusaha mengingat nasihat baik ini dan aku akan tetap menyayangi Teteh seagai kakak aku satu-satunya," kata Inayah dengan bola mata berkaca-kaca tampak haru mendengarkan nasihat-nasihat dari Erni. "Ini semua sudah menjadi kewajiban Teteh dalam menjalankan amanah dari kedua orang tuamu," kata Erni menjawab lirih perkataan dari adik angkatnya itu. Pukul satu siang, Pak Andri dan beberapa pekerja sudah merapikan halam
Keesokan harinya, suasana kediaman Inayah mulai ramai didatangi oleh para tamu. Rekan bisnis dan kerabat dari Erni dan juga sahabat-sahabat baik Inayah datang memenuhi undangan dari Inayah yang hari itu akan melangsungkan pernikahan dengan Rafie. "Selamat ya, Nay. Semoga kamu bahagia dan secepatnya mendapatkan keturunan yang saleh dan saleha," kata Tiara memeluk erat tubuh sahabatnya itu. "Terima kasih, Ra." Inayah tersenyum manis memandang wajah Tiara. "Calon suami kamu mana, Nay?" tanya Tiara mengamati sekitar tempat tersebut, mencari keberadaan Rafie."Biasanya, 'kan, pengantin pria ada di samping pengantin wanita?" sambung Tiara mengerutkan kening. Inayah tersenyum, kemudian berkata lirih, "Kan, belum menikah jadi tidak boleh berdekatan dulu!" jawab Inayah. "Oh, kamu ta'aruf?" tanya Tiara menatap wajah Inayah yang tampak berseri-seri dan memancarkan sinar kebahagiaan yang tiada tara. "Iya, Ra." Inayah tersenyum dan langsung mempersilakan Tiara duduk di tempat yang sudah disedi
Dua hari setelah menikah, Rafie memutuskan untuk mengubah kebijakan dalam rumah tangganya. Yakni, terkait belajar agama bersama. Saat itu, tidak lagi terbatas pada penghuni rumah saja. Rafie berharap agar karyawan-karyawan yang bekerja di perusahaan Inayah mau belajar agama bersama. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas ukuwah Islamiah para karyawannya. Dan juga, Rafie berupaya membentuk persahabatan yang erat di antara karyawan-karyawan tersebut, agar mereka menjalani kehidupan berdasarkan agama yang kuat dan juga membawa manfaat bagi perusahaan. "Kamu setuju, 'kan, Neng?" tanya Rafie memandang wajah Inayah yang sudah resmi menjadi istrinya. "Iya, aku pasti setuju apa pun keputusan dan kebijakan dari Aa," tandas Inayah menjawab lirih pertanyaan suaminya. "Ya, sudah. Mulai besok, Teh Erni buat pengumuman di kantor yah!" kata Rafie tersenyum memandang wajah Inayah. "Iya, nanti aku sampaikan kepada Teh Erni," jawab Inayah balas tersenyum. Rafie berharap para karyawan yang
Di rumah sakit .... Rafie saat itu sudah berada di ruang rawat inap setelah beberapa jam berada di ruang UGD, Tiara duduk di samping Rafie yang masih dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. "Ternyata, Rafie tampan juga. Pantas saja, Inayah mau dijodohkan dengannya," bisik Tiara sambil memandangi wajah Rafie. "Aku tidak boleh memberitahukan Inayah kalau Rafie ada di sini. Aku masih ingin bersama pria tampan ini," imbuhnya. Dalam jiwa dan pikiran Tiara, saat itu mulai tumbuh benih-benih cinta yang tidak pernah hadir sebelumya. Entah apa penyebabnya? Tiara pun sangat sulit untuk menghindari rasa tersebut, hingga pada akhirnya niat jahat pun terukir dalam benaknya. Tiara tidak mau memberitahu Inayah kalau suaminya sedang dirawat di rumah sakit. Semua itu ia lakukan, karena dirinya tidak mau kebersamaannya dengan Rafie menjadi terganggu. Beberapa saat kemudian, Rafie mulai sadar, ia berusaha untuk bangkit. Namun, Tiara segera mencegahnya. "Kamu jangan banyak gerak dulu!" kata Tiara. "
Usai memberitahukan Rafie, Fahmi dan kedua rekannya segera bersiap untuk mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat disekapnya Lina. Mereka sangat yakin kalau Lina ada di rumah itu, sesuai dengan apa yang dilihat oleh Fahmi. "Aku sangat berharap tidak terjadi apa-apa dengan Lina," kata Fahmi lirih sembari mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah komplek yang tidak jauh dari tempat mereka berkumpul tadi. "Aku yakin, pelakunya adalah Alex." Andra mulai menaruh kecurigaan terhadap Alex yang merupakan orang dekat Lina. Karena akhir-akhir ini, Alex sedang bermasalah dengan Lina, semua dipicu oleh sikap Lina yang sudah menolak pinangan Alex. "Jangan su'udzon dulu. Kita buktikan saja nanti!" sahut Riko. Andra menoleh ke arah Riko, kemudian berkata lagi, "Aku berkata seperti ini, karena aku mendengar sendiri bahwa Alex mengancam Lina," tandas Fahmi. Setibanya di persimpangan jalan yang dekat jembatan yang tembus ke pintu gerbang komplek yang dituju, Fahmi menghentikan laju mobilnya sej
Secara tidak langsung Inayah mempunyai tugas dan kepercayaan dari almarhum kedua orang tuanya untuk mengelola beberapa perusahaan peninggalan mereka. Mulai dari pengelolaan keuangan dan pemanfaatannya, Inayah yang harus mengurusnya. Karena Inayah merupakan putri semata wayang dari Almarhum Tommy dan Celly. Akan tetapi, setelah Erni paham dan mengerti dengan tatanan bisnis yang dikelola Inayah. Inayah pun langsung mempercayai Erni sepenuhnya dalam mengelola perusahaan peninggalan dari kedua orang tuanya itu. Saat itu, yang mengurus semuanya adalah Erni dengan dibantu beberapa staf kepercayaannya dan Inayah sudah jarang ikut campur, dan ia sangat percaya dengan kinerja Erni, karena selama ini Erni sudah dinilai baik dalam menjalankan tugas jujur dan amanah. Pukul setengah lima sore, Inayah hanya duduk santai bersama Fatimah dan Jubaedah di ruang tengah kediamannya itu. Rafie sore itu masih belum pulang, karena masih berada di lokasi pondok pesantren yang saat itu masih dalam tahap pe
Sebulan setelah itu, Rafie dan keluarga Tiara sudah menentukan hari pernikahannya dengan Tiara. Hal tersebut sudah sepenuhnya disetujui oleh Inayah yang merupakan istri pertama Rafie. Pukul setengah enam sore, Rafie sudah berada di kediamannya. Ia tampak murung dan merasa kurang bahagia sore itu. Entah apa yang membalut jiwa dan pikirannya saat itu? "Aa kenapa? Mau nikah kok malah murung seperti ini sih?" tanya Inayah duduk di sebelah suaminya. Rafie menoleh ke arah Inayah, kemudian memandang wajah istrinya. "Aa tidak dosa, 'kan kalau menikah lagi?" Rafie menjawab dengan sebuah pertanyaan. Inayah tersenyum sambil memandang wajah suaminya. "Tidak ada yang bisa dikatakan dosa. Ini semua sudah menjadi keputusan aku, dan jika Aa benar-benar mencintaiku. Maka penuhi permintaan ini!" kata Inayah tersenyum. Ucapan Inayah sungguh sulit dimengerti, hal itu membuat Rafie jatuh ke kubangan dilema besar. Entah apa lagi yang hendak ia perbuat saat itu, tidak ada niat untuk menolak. Bukan berar
Beberapa hari kemudian, Inayah mengajak Rafie untuk berkunjung ke rumah Tiara. Dalam rangka menengok Tiara yang saat itu baru saja pulang dari rumah sakit, setelah hampir satu Minggu ia dirawat. Tiara masih dalam proses pemulihan setelan dilakukan perawatan di rumah sakit, ia mengalami gangguan lambung akibat keseringan telat makan dan juga mengalami depresi yang sangat hebat. "A, nanti sore kita ke rumah Tiara yuk!" ajak Inayah lirih. Rafie hanya tersenyum, kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujui ajakan dari istrinya. Lalu Inayah bangkit dan segera bersiap untuk melaksanakan makan siang bersama dengan suaminya. "Ayo, A. Kita makan dulu!" kata Inayah lembut. "Iya, Neng." Rafie segera bangkit dan langsung berjalan mengikuti langkah sang istri menuju ruang makan. "Bedah ... Teh Fatimah!" panggil Inayah. "Iya, Neng. Ada apa?" tanya Fatimah bersikap ramah di hadapan majikannya itu. Inayah tersenyum, lalu menjawab, "Kita makan bareng di sini. Sekalian ajak bedah!" "N
Pagi hari sekitar pukul 03:30, Inayah sudah terbangun dari tidurnya. "Masya Allah!" Inayah tampak kaget setelah sadar kalau suaminya sudah tidak ada di kamar, ia bangkit dan bergegas keluar. Inayah tampak khawatir, mengingat Rafie sedang dalam kondisi tidak sehat, Inayah mencari ke ruang tengah Rafie tidak ada di ruangan tersebut. Kemudian Inayah melangkah ke arah ruang Musala, tersenyumlah ia, ketika mendapati suaminya sedang berdzikir khusyu. "Alhamdulillah ...! Ya Allah, suami hamba sudah sembuh," ucap Inayah penuh rasa syukur. Bukan hanya Inayah dan Rafie saja yang sudah bangun, Fatimah dan Jubaedah pun saat itu sudah terbangun dari tidur mereka. "Neng, mau Teteh buatkan teh manis?" tanya Fatimah mengarah kepada Inayah. "Tidak usah, Teh. Aku mau mandi dulu, tanggung sebentar lagi subuh!" tolak Inayah halus. "Oh ... iya, Neng," kata Fatimah langsung menuju ruang dapur. Inayah pun langsung melangkah menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri, bersiap untuk melaksanakan S
Kemudian, Icha langsung merapikan hijab. Ia bangkit dan langsung pamit kepada Inayah. Setelah mengucapkan salam, Icha langsung berlalu dari hadapan Inayah. Inayah hanya berdiri menatap mobil putih yang Icha kemudikan, melaju keluar dari halaman rumahnya. Setelah itu, Inayah bergegas masuk ke dalam untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Membuat desain dan merapikan data-data yang sudah dilaporkan oleh Erni. *** Malam harinya selesai Salat Magrib, Inayah dan suaminya langsung makan malam bersama. “Teh Erni pulangnya kapan, Neng?” tanya Rafie menatap wajah Inayah. “Kalau sedang makan tidak boleh berbicara!” ucap Inayah sedikit bergurau. "Oh, iya. Lupa ... maaf Bu Ustadzah," jawab Rafie tersenyum-senyum. Inayah hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan makannya. Selesai makan Inayah mendampingi suaminya yang sedang mengerjakan tugas kantor membantu dirinya. "Neng, bisa buatkan Aa kopi!" bisik Rafie menoleh ke arah Inayah yang duduk di sebelahnya. "Iya, A." Inayah bangkit da
Inayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan ia pun berkata dengan nada rendah. "Aku percaya A. Namun, jika ada rasa cinta dalam diri Aa terhadap Tiara sebaiknya Aa katakan saja! Percayalah ... jika niat Aa baik untuk menikahi Tiara, Inayah ikhlas kok, A!" ujar Inayah mengejutkan. Sejatinya, Inayah tidak merasa benci terhadap Tiara. Dia hanya khawatir Tiara akan berbuat nekat jika tidak berhasil bersanding dengan suaminya. Inayah sudah paham dengan sifat Tiara, ia tidak mau hijrahnya Tiara harus luntur karena merasa sakit hati tidak berhasil menikah dengan Rafie. Rafie tampak kaget dengan kalimat yang diucapkan oleh istrinya itu. Dengan segenap rasa penasaran, Rafie kemudian bertanya, "Maksud kamu apa, Neng?" Inayah hanya diam saja ketika mendengar pertanyaan suaminya. "Tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu!" imbuh Rafie masih tetap lembut bertutur kata. Inayah tersenyum dan kembali berkata penuh dengan kebijaksanaan, "Aa tak seharusnya menjawab pertanyaanku sekaran
Pukul setengah sembilan, Rafie dan Inayah sudah berangkat ke tempat proyek pembangunan pondok pesantren. Sementara Erni, pagi itu sudah berada di kantor baru yang tidak jauh dari kediaman Inayah hanya berjarak beberapa meter saja, karena kantor tersebut berada tepat di depan halaman rumah. Dua puluh menit kemudian ... Inayah dan Rafie sudah berada di lokasi proyek. Tiara pun sudah tiba di lokasi proyek itu bersama Icha dan para donatur lainnya. Salah seorang arsitek didatangkan oleh Tiara untuk merancang bangunan pesantren tersebut, memang terkesan baik dan sangat dermawan sikap Tiara saat itu. Ia mendukung sepenuhnya proses pembangunan pondok pesantren tersebut. Meskipun, pada dasarnya ada kemauan yang tersimpan dalam pikiran Tiara dan niat kuat pula dalam benaknya. "Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Ustadz," ucap pria paruh baya dengan mengenakan helm putih dan berkacamata hitam, menyapa lirih Rafie yang saat itu sedang duduk bersama istrinya. Rafie dan Inayah menjawab ucapan
Entah kenapa Icha menjadi benci seketika terhadap prilaku Tiara, yang berusaha memanfaatkan kedekatannya dengan Rafie dengan maksud dan tujuan untuk meraih simpati dari Rafie. Sepulang menemani Tiara dan Rafie, Icha langsung memberitahu Inayah tentang kedekatan Tiara yang menurut Icha ada sesuatunya, dan Icha sangat yakin kalau Tiara itu punya perasaan lebih terhadap Rafie bukan hanya dari sekadar persahabatan saja. "Kamu yakin, Cha?" tanya Inayah setelah mendengar laporan dari Icha. Dua bola matanya menatap tajam wajah Icha. Icha merupakan sahabat dekat Inayah sewaktu masih duduk di bangku SMA sama seperti Tiara dan juga Almarhum Rangga, dulu mereka sama-sama satu angkatan. "Masya Allah, Nay! Aku tidak mungkin bohong, aku bicarakan ini semua kepada kamu, karena aku tidak mau melihat kamu terluka," jawab Icha meyakinkan sahabatnya itu. "Terus, A Rafie sekarang ke mana?" tanya Inayah lagi. "Rafie pergi ke kantor cabang, katanya mau menemui Reno." Icha menjawab lirih pertanyaan Ina