Aldin pergi meninggalkan meja makan dengan penuh amarah. Ia tidak habis pikir, bundanya sendiri mengizinkan orang lain untuk mengambil istrinya. Ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras.
“Aku mencintainya sangat mencintainya. Tapi, aku juga membencinya karena dia telah membohongiku!” teriak Aldin. “Aku nggak mau orang lain mengambil apa yang sudah menjadi milikku.” Aldin melempar semua barang yang ada di sekitarnya. Ia sudah seperti orang gila yang kerasukan setan.
Aldin tidak suka kalau istrinya dekat dengan laki-laki lain, tapi ia juga tidak bisa bersikap manis pada istrinya. Bayangan wajah sang istri ketika tertawa bahagia saat memenangkan dirinya selalu terbayang dalam ingatan yang membuat ia semakin merasa terhina. Orang yang ia cintai telah mengecewakannya.
“Kenapa aku seperti ini!” teriak Aldin sambil mengacak-acak rambutnya. Ia marah pada diri sendiri karena tidak bisa mengendalikan emosinya saat berada dekat dengan sang istri.
Sementara di meja makan, Bunda Anin dan yang lainnya meneruskan makan. Mereka tidak memedulikan keadaan Aldin. Bunda Anin sangat kecewa dengan sikap anaknya yang bersikap semena-mena terhadap wanita yang baru satu hari dinikahinya.
“Sebaiknya saya pergi dari sini,” kata Nabil memecah keheningan di meja makan setelah kepergian Aldin. “Kehadiran saya mengganggu Tuan Aldin.” Nabil merasa tidak enak hati karena kehadirannya membuat suasana menjadi kacau.
Sejak lama Nabil memang menyukai Sisil, tapi tidak berani mengungkapkannya karena ia tahu sejak dulu, Sisil hanya mencintai Aldin. Ia juga sadar diri, kalau dirinya hanyalah seorang pelayan yang beruntung karena mendapatkan majikan yang begitu baik seperti Tuan Haidar.
“Jangan, Bil! Habiskan dulu makanmu! Maafin Bunda udah melibatkanmu,” ucap Bunda Anin pada Nabil.
“Kalau soal itu tidak masalah, Bu,” balas Nabil sambil tersenyum.
“Terima kasih, Nak.” Bunda Anin membalas senyuman Nabil. “Kamu anak yang baik.”
“Kenapa Bunda berbicara seperti tadi pada Aldin?” tanya Sisil pada mertuanya.
“Bunda udah tahu yang sebenarnya,” sahut Bunda Anin setelah mengelap bibirnya dengan tisu. Semuanya telah selesai makan, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang beranjak dari duduknya sebelum Ayah dan Bunda bangun dari duduknya terlebih dahulu.
“Maafin aku, Bun.” Sisil menundukkan pandangannya. Ia merasa bersalah karena telah mengecewakan mertuanya yang begitu baik padanya, bahkan sebelum ia menjadi menantu keluarga Pradipta.
“Bunda yang seharusnya minta maaf,” sela mertuanya sambil tersenyum pada sang menantu. “Bukannya mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya kamu dapatkan dari keluarga ini terutama dari suamimu, akan tetapi hanya penderitaan yang kamu dapatkan.”
“Semua keputusan ada di tangan kamu. Ayah nggak mungkin memaksa kamu untuk tetap menjadi istri Aldin kalau itu hanya membuatmu menderita, tapi Ayah berharap kamu tetap bertahan menjadi menantu Ayah.” Kini giliran ayah mertuanya yang menimpali. “Ayah punya rencana untuk memberi pelajaran kepada suamimu,” ucap Ayah Rey sambil menaikkan satu sudut bibirnya.
Ayah Rey yang jarang ikut campur dengan masalah anak-anaknya, kini ia harus turun tangan karena putra kebanggaannya telah menyakiti menantunya.
“Aku akan menuruti apa kata ayah,” sahut Sisil sambil tersenyum. Walaupun belum tahu apa yang akan direncanakan mertuanya, ia akan menurutinya untuk menyenangkan hati sang mertua sebelum melepas status sebagai menantu Pradipta.
“Baiklah. Nanti ayah kabari lagi.” Ayah Rey bangun dari duduknya, lalu pergi meninggalkan meja makan, diikuti oleh yang lainnya.
“Sil, lo yakin bisa bertahan dengan abang gue?” tanya Andin pada sahabatnya ketika mereka ada di saung gajebo.
“Gue bisa tahan dengan sikapnya, tapi gue nggak bisa tahan tidur malam di ruangan ber-AC,” jawab Sisil sambil menyeringai.
“Lo tidur di kamar si kembar aja, ntar gue kasih ke lo kuncinya.” Andin mengusap-usap punggung sahabatnya. “Maafin gue, Sil. Semua ini karena gue.”
“Ini bukan salah siapa-siapa. Udah jalan takdir gue seperti ini,” sahut Sisil. “Kalau gue pisah sama Aldin, lo nggak benci gue ‘kan?” tanyanya dengan serius.
“Gue sahabat lo. Dulu, sekarang dan selamanya lo tetap sahabat gue.” Andin memeluk sahabatnya sambil menitikkan air mata.
“Ngapain sih lo nangis? Rumah tangga lo dulu lebih tragis dari gue, hidup sama orang yang nggak lo cintai dan harus jauh dengan orang yang lo cintai.” Sisil melepas pelukan sahabatnya, lalu mengusap air mata yang menggenang di pelupuk mata Andin.
“Gue sedih, yang nyakitin lo ternyata abang gue sendiri dan semua itu karena gue,” ucapnya sambil terisak.
“Jangan panggil gue Sisil kalau gue nggak bisa membuat abang lo menyesal,” ucap Sisil dengan serius sambil menyunggingkan satu sudut bibirnya. Senyum penuh dendam.
“Tapi, jangan sampai abang gue gila karena lo, walau bagaimanapun dia abang gue dan sangat mencintai lo.” Andin menatap wajah sahabatnya dengan serius.
“Ya nggak lah bego! Gue juga masih cinta sama abang lo,” sergah Sisil. “Kesalahan terbesar gue, mencintai abang dari sahabat gue sendiri,” ucapnya sambil terkekeh. “Ayo kita masuk, gue ngantuk, semalam gue kedinginan nggak bisa tidur.”
Sisil turun dari saung gajebo, lalu melangkah pergi meninggalkan sahabatnya. Ia akan menutup mata dan telinganya atas sikap suaminya.
Diputarnya kenop pintu kamar dengan perlahan. Sisil melangkah masuk ke dalam kamar, ia terkejut melihat kamar Aldin yang kini menjadi kamarnya juga terlihat sangat berantakan.
“Busyet dah! Apa barusan ada gempa? Kenapa barang-barang semuanya berserakan di bawah?” Sisil memunguti satu persatu barang-barang yang berserakan. Ia merapikan kamarnya sambil bersenandung, tidak peduli suara cemprengnya akan mengganggu tidur sang suami.
Aldin mengerjapkan mata karena mendengar suara cempreng istrinya yang sedang bernyanyi lagu india. Sudah bisa dibayangkan suara cempreng itu menyanyikan lagu india dari sebuah film Bollywood terkenal akan seperti apa jadinya.
Aldin memperhatikan sang istri yang sedang merapikan kamarnya yang berantakan akibat ulahnya sambil tersenyum.
“Akhirnya selesai juga.” Sisil menepuk-nepukkan tangannya sambil melihat ke sekeliling kamar, sudah rapi atau belum. Tanpa sengaja ia melihat sang suami yang sedang menatapnya sambil tersenyum. “Maaf, saya mengganggu tidur, Tuan,” ucap Sisil sambil menundukkan kepala.
Aldin menautkan alisnya mendengar sang istri bersikap seperti pelayannya. Ketika ia ingin mengucapakan sesuatu, Sisil sudah pamit untuk ke kamar mandi.
“Saya mau bersih-bersih dulu, Tuan,” ucapnya. Lalu masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih.
Setelah sepuluh menit Sisil keluar dari kamar mandi sudah berganti pakaian. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju sofa dan membaringkan tubuh mungilnya di sana. Tidak butuh waktu lama, ia sudah terlelap dalam tidurnya. Semalaman ia kurang tidur karena tempat tidur yang tidak nyaman dan ruangannya sangat dingin.
“Kenapa dia bersikap seperti seorang pelayan,” gumam Aldin dalam hatinya.
Aldin turun dari tempat tidur, lalu menghampiri sang istri dan menyelimutinya. “Maaf, kalau aku udah menyakitimu, tapi aku nggak bisa melupakan perbuatanmu. Aku sangat membencimu saat ini, tapi hatiku nggak merelakanmu pergi dari sisiku, apalagi dengan laki-laki lain.”
“Tante cantik … Tante cantik!” kita main yuk!” Bara dan Gara mengetuk kamar Aldin dan Sisil sambil memanggil tantenya.“Tante cantik! Buka dong pintunya!” Bara berteriak sambil mengetuk pintu kamar tanpa henti.Sebelum Sisil menjadi istri Aldin. Mereka memang sudah sangat dekat dengan Sisil karena sang mommy bersahabat dengan tantenya.“Mungkin Tante lagi tidur, ayo kita main sama mommy aja!” ajak Gara pada adiknya. Gara memnag sedikit lebih kalem dari Bara. Ia anak yang penurut dibandingkan dengan Bara, adik kandungnya.“Tapi, aku mau main sama Tante cantik.” Bara tidak mau pergi walaupun Gara memaksanya untuk tidak mengganggu sang tante.Berkali-kali Bara mengetuk pintu sambil berteriak memanggil Sisil, tapi tidak ada sahutan dari dalam, sehingga Bara masuk ke kamar tantenya tanpa izin.
Sisil menghampiri anak kembar dari sahabatnya yang sekarang resmi menjadi adik iparnya. “Sayang, katanya mau main sama Tante, tapi kenapa kalian pergi?”“Tadi kata Om Al, mainnya ntar sore aja,” sahut Gara yang sedang belajar menulis sementara Bara sedang bermain robot-robotan.“Oh begitu ya.” Sisil duduk di antara mereka, memerhatikan kedua anak kembar dari sahabatnya itu.“Iya, Tante, makanya kami pergi dari kamar Tante.” Kini Bara yang menimpali.Sisil mengganggukkan kepalanya, lalu mendekati Gara. “Tulisanmu bagus, Sayang,” puji Sisil sambil membelai rambut Gara. “Bara kenapa nggak belajar juga kayak abang?” Sisil menoleh pada Bara yang sedang asyik dengan mainannya.“Belajar tuh ngebosenin, Tante,” jawab Bara dengan santainya. “Aku nggak suka belajar,” imbuhnya.
Sisil masuk ke dalam kamar sambil bersenandung. Tidak peduli lagi dengan masalahnya. Ia akan berusaha melupakan semuanya. Melupakan pernikahan, dan bahkan suaminya.Hatinya terlalu sakit saat orang yang paling ia cintai tidak memercayainya bahkan begitu tega menyakiti raga dan batinnya.“Sisil!” panggil Aldin pada gadis mungil yang melenggang dengan santai di hadapannya menuju kamar mandi.Sisil menoleh pada suaminya tanpa mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Aldin, menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Tapi, Aldin tidak kunjung bersuara juga.Melihat Aldin hanya bengong saja tanpa berbicara sepatah kata pun, Sisil kembali melanjutkan langkahnya.“Seeorang istri nggak boleh pergi dengan laki-laki lain tanpa izin suaminya.”Ucapan Aldin menghentikan langkah kaki Sisil. Kemudian ia membalikkan badannya menghadap Aldin.
Ketika pintu kamar mandi dibuka, kedua jagoan sahabatnya sudah berdiri didepan pintu. “Kalian ngapain?” tanya Sisil sambil mengucek rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil.“Kalian mau pulang?” tanya Sisil pada Bara dan Gara.Kedua anak itu saling pandang dan menggelengkan kepalanya. “Nggak kok, kami mau nginep,” jawab Gara dengan segera.“Nanti Tante cantik tidur di kamar kita ya.” Kini Bara yang bersuara.“Tante aku mau lihat foto tadi dong.” Gara menarik-narik baju tantenya. Gara sengaja mengalihkan pembicaraan supaya sang tante tidak banyak bertanya lagi.“Sebentar!” Sisil berjalan menuju nakas, lalu mengambil ponselnya dan memberikannya pada Gara.“Bang, aku mau lihat juga dong!” Bara merebut paksa ponsel tantenya yang dipegang Gara.
Bunda Anin membuka pintu kamar Andin tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu membuat Andin dan Sisil terkejut. “Andin, Sisil, ayo kita makan malam!”“Bunda, kenapa nggak ketuk pintu dulu? Ngagetin kita aja,” ucap Andin sambil mengelus dada.“Emangnya kalian lagi ngomongin apaan?” tanya Bunda Anin yang masih berdiri di ambang pintu.“Kepo!” jawab Andin sambil bangun dari duduknya, kemudian menghampiri sang bunda.“Sil, kamu panggil suamimu dulu ya!” titah Bunda Anin pada menantunya. Bukannya ia lupa dengan permasalahan anak dan menantunya, tapi Bunda Anin tidak mau Aldin dan Sisil semakin menjauh.“Iya, Bun,” jawab Sisil sambil tersenyum pada mertuanya. Ia akan bersikap seolah-olah sudah baikan dengan sang suami supaya sang mertua tidak kepikiran terus tentang masalahnya.“Bukannya Aban
Sisil segera mengemas pakaiannya setelah menandatangani surat kesepakatan. Ia memasukan semua pakaiannya ke dalam koper.“Jangan bawa terlalu banyak! Nanti kalau kamu main ke sini nggak perlu bawa baju ganti,” titah Aldin yang juga sedang mengemas pakaiannya.Sisil kembali menaruh sebagian pakaiannya ke lemari tanpa menyahuti ucapan suaminya. Setelah selesai berkemas Sisil keluar dari kamar tanpa bicara sepatah kata pun pada Aldin.Aldin membaringkan tubuhnya di tempat tidur sambil memegang ponsel baru yang ia beli untuk istrinya. “Apa aku buang aja. Dia juga udah nggak mau menyimpan kenangan aku dan dia. Aku juga nggak mau menyimpannya, cuma menambah luka di hati aja.”Ketika ia hendak mengeluarkan kartu memori dari dalam ponsel tersebut, ia ingat tentang ayah Sisil yang sudah meninggal. “Jangan-jangan di sini banyak foto ayahnya.”Aldin memer
“Hari yang cerah,” ucap Sisil sambil menarik kopernya keluar dari rumah Pradipta. “Lupakan semuanya, Sil. Anggap aja lo lagi ngekos sama beruang kutub.” Andin segera masuk ke dalam mobil suaminya.“Nanti kita tidur di kamar yang berbeda,” ucap Aldin ketika mereka dalam perjalanan ke rumah barunya.“Baguslah,” sahut Sisil dengan sinis.“Aku nggak pake pembantu supaya nggak ada yang tahu kalau kita tidur terpisah. Untuk membersihkan rumah, kita bagi tugas. Pakaian di laundry aja. Kalau mau makan beli, kalau kamu mau masak silakan,” ujar Aldin panjang lebar.“Ok.” Sisil menganggukkan kepalanya tanda setuju.Perjalanan dari rumah orangtuanya menuju rumah barunya memakan waktu satu jam. Kini Aldin dan Sisil berada di rumah baru mereka. Rumahnya tidak terlalu besar. Namun, sangat nyaman.Aldin
“Astaga! Dasar beruang kutub, nggak bisa lihat orang seneng,” gerutu Sisil sambil mengekori suaminya yang berjalan lebih dulu sambil menenteng kantung belanjaan.Sisil masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu mobil dengan keras. Aldin segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.Mereka berdua hanyut dalam keheningan. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan‘Kalau sampai rumah, mau aku unjukin surat kesepakatan itu. Dia udah melanggarnya,’ batin Sisil.“Status kamu itu masih istriku. Berprilaku yang baiklah jika di tempat umum, jangan mempermalukan suamimu.” Aldin memecah keheningan di antara mereka.“Kamu itu masih suamiku di buku nikah, bersikaplah selayaknya seorang suami, Tidak membentak-bentak istrimu di depan umum,” balas Sisil sambil mencebikkan bibirnya. Kemudian menggeser duduknya membelakangi sang suami.&nb
Kemudian membenamkan wajahnya di antara kedua pada sang istri. Lalu pria itu mengeluarkan jurus lidah membelah semak-semak."Mas ...." Amy menggelinjang sambil mencengkram rambut sang suami. "Ampun, Mas!"Walaupun sang istri meminta ampun, ia tidak mendengarkan ucapan istrinya. Rudi terus melanjutkan aksinya.Sentuhan lidah dan tangannya berhasil membuat Amy menjerit merasakan kenikmatan yang bergejolak di dalam tubuhnya. Kenikmatan yang baru pertama kali ia rasakan.Ia meninggalkan jejak-jejak cinta di tubuh sang istri. Amy menjerit saat Rudi menyesapi pusat intinya dengan rakus."Mas ... awas, aku pengin pipis."Amy mendorong wajah suaminya, berusaha menyingkirkan kepala sang suami dari daerah keramatnya."Namun, Rudi tidak mau menuruti keinginan sang istri, ia malah melakukan aksinya lebih dan lebih lagi."Mas ... aahhh...!"Napas wanita itu sudah tersengal-sengal. Ia menjerit merasakan kenikmatan yang lua
"Mas, aku tidur duluan ya." Setelah mandi dan berpakaian Amy naik ke tempat tidur.Wanita itu menyingkirkan kelopak mawar merah yang sudah kembali ditata berbentuk hati. Ia malah membersihkannya tanpa sisa. Kelopak bunga itu berserakan di lantai.Rudi hanya melongo melihat itu semua. 'Kenapa? Apa dia marah atau efek kelelahan?'"Sayang, kok bunganya dibuang?" tanya Rudi setelah naik ke tempat tidur."Memangnya kenapa? Nggak boleh ya? Emangnya itu buat apaan?"Amy malah balik bertanya kepada suaminya."Boleh," jawab Rudi cepat. "Sekarang kamu istirahat ya." Rudi mencium kening istrinya dengan mesra. Ia tidak mau membahas hal sepele yang akan memancing keributan.Amy meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu membalikkan badannya membelakangi sang suami.Terdengar bunyi ketika Amy meregangkan otot-ototnya.'Kelihatannya dia sangat lelah.' Rudi memijat bahu sang istri dengan lembut. "Kamu capek ya?"
Pasangan pengantin baru itu menunggu di depan ruang bersalin."Dari dulu sampai sekarang lo selalu merepotkan gue, Sil," gumam Rudi sambil menatap pintu ruang bersalin."Mas, nggak boleh ngomong kayak gitu! Kalau nolong tuh harus ikhlas.""Kamu tahu?" Rudi memegang bahu Amy sembari menatap wajah sang istri.Amy menggeleng pelan. "Nggak!""Oh iya, aku belum ngomong," kata Rudi sembari menyeringai. "Sejak dia nikah, yang ngurusin Sisil kalau lagi berantem sama Aldin itu aku, dari dulu sampai sekarang tuh anak dua merepotkan banget.""Kalau nggak ikhlas nolongnya nanti kamu nggak bakal dapat pahala loh, Mas. Lagian Tuan Aldin dan Mbak Sisil udah baik banget sama aku.""Iya, Sayang, maafkan aku." Rudi memeluk mesra wanita yang dinikahinya beberapa jam lalu. "Aku hanya heran aja, kenapa Aldin tidak pernah ada di saat Sisil butuh."Amy melepas pelukannya karena ia merasa malu berpelukan di tempat umum."Tadi 'kan Tuan Al
Andin mengetuk-ngetuk pintu dengan keras sembari berteriak memanggil nama sahabatnya.Beberapa detik kemudian pintu kamar mandi terbuka. "Lo kebelet juga?" tanya Sisil sembari meringis."Gue khawatir sama lo," sahut Andin. "Sil, lo baik-baik aja 'kan?"Ibu dua anak itu merasa khawatir dengan kakak iparnya yang terlihat sangat pucat."Gue mules, Din," jawab Sisil. "Tapi, dari tadi nggak keluar-keluar.""Jangan-jangan kamu mau ngelahirin." Andin segera memapah Sisil menuju ranjang pengantin."Tiduran dulu, Mbak. Aku panggil Tuan Aldin dulu." Setelah membantu Sisil berbaring di tempat tidur pengantin. Ia berlari keluar memanggil suami Sisil.Tempat tidur yang sudah dirancang untuk pengantin baru, dengan taburan kelopak bunga mawar merah yang membentuk hati, kini berantakan oleh Sisil yang sedang merasakan kontraksi."Perut lo sering kontraksi nggak?" tanya Andin pada Sisil setelah memberikan air minum kepada sahabatnya itu.
Di kediaman Amy sedang disibukkan dengan persiapan acara akad nikah yang akan dilaksanakan siang hari dan langsung dilanjut dengan resepsi.Hari ini adalah hari kebahagiaan Amy dan Rudi setelah beberapa bulan lalu Rudi melakukan lamaran dadakan.Amy menginginkan pesta yang sederhana. Mereka hanya mengundang keluarga, kerabat dekat, dan beberapa rekan kerja Rudi."Amy, kamu cantik sekali," puji Sisil saat gadis manis itu selesai dirias.Amy mengenakan kebaya pengantin berwarna putih dengan bordiran bunga dan aksen-aksen mutiara melengkapi penampilannya sebagai pengantin sunda.Siger berwarna silver bertengker indah di kepalanya. Dan beberapa hiasan lainnya, seperti untaian melati yang semerbak.Hiasan daun sirih berbentuk wajik di tengah keningnya semakin mempercantik riasan wanita itu.Akad nikah berlangsung di lantai bawah, di mana resepsinya dilakukan. Sedangkan Amy berada di dalam kamar pengantin ditemani oleh Sisil.'
Hai semuanya, terima kasih terima kasih terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti cerita recehku. Maaf, atas semua hal yang mengecewakan kalian, entah dari alur, typo atau kesalahan penulisan nama tokoh. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Untuk kedepaannya aku akan belajar menulis dengan baik lagi. Maaf, kalau selama ini slow update karena kemarin aku lagi kurang sehat, tapi alhamdulilah sekarang udah sembuh dan bisa menamatkan cerita ini. Jika ada keluhan, silakan komen di bawah ini. Aku menerima kritik dan saran dari kalian semua untuk membangun aku menjadi lebih baik lagi. Love sekebon untuk kalian yang sudah mendukung aku dan cerita-cerita recehku. Sampai jumpa di cerita yang baru. Eh, Pengantin Tuan Haidar masih lanjut. Insyaallah aku akan rajin update lagi. I LOVE YOU ALL MY READERS.
Setelah beberapa hari pulang dari rumah sakit. Kondisi kesehatan Amy semakin membaik.Berada di tengah-tengah orang yang menyayanginya membuat Amy bersemangat untuk segera sembuh."Amy, kamu mau ke mana?" tanya Sisil ketika Amy bangun dari duduknya.Wanita hamil itu sedang berada di rumah Amy. Ia jarang sekali berada di rumahnya. Sisil selalu berkunjung ke rumah sahabat, mertua, dan juga teman barunya.Sisil pergi tidak sendiri, ia pasti ditemani Andin atau Bunda Anin. Kedua wanita itu tidak mengizinkan Sisil untuk bepergian sendiri karena kehamilannya yang semakin membesar."Saya mau ambilkan camilan untuk Mbak Sisil dan Mbak Andin," jawab Amy. "Ibu hamil pasti sering laper.""Duduk!" perintah Sisil kepada wanita yang telah menyelamatkan hidupnya. "Kamu jangan banyak gerak. Istirahat aja dulu! Lagi sakit juga nggak bisa diem.""Iya, Mbak." Amy pun kembali duduk di hadapan Sisil dan Andin."Sama kayak lo, lagi hamil
Bu Mila langsung terdiam mendengar ucapan Amy. Ia menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya."Maksud kamu apa?" Sisil meraih tangan Amy. Ia menatap bola mata gadis itu, terlihat kesedihan di dalamnya. "Terus siapa yang dicintai Rudi?""Saya nggak tahu, Nyonya karena saya nggak kenal, tapi kayaknya saya pernah melihat wajahnya. Dia cantik, sangat cantik.""Aduh Amy, jangan panggil aku Nyonya, dan jangan berbicara formal kayak gitu, aku nggak suka.""Iya, Mbak, maaf. A-aku masih belum terbiasa," ucap Amy pelan."Baiklah aku maafkan," balas Sisil dengan serius."Tapi, Nak. Rudi bilang sama Ibu kalau dia mencintaimu."Bu Mila menjadi sedih mendengar ucapan gadis yang ia harapkan menjadi menantunya itu.Amy meraih tangan Bu Mila, menatap wajah wanita tua itu yang terlihat sedih padahal awalnya terlihat sangat bahagia."Bu, terima kasih udah ngurusin saya sampai detik ini, walau saya bukan siapa-siapa, tapi Ibu begi
"Apa wanita ini kekasihnya Mas Rudi?" Amy memerhatikan wanita yang berfoto dengan sang asisten CEO itu. "Jadi, selama ini dia nggak mencintaiku? Kenapa dia sejahat itu sama aku."Amy menaruh ponselnya di atas nakas, lalu membaringkan tubuhnya, kemudian menutupi tubuh hingga wajahnya dengan selimut.Gadis itu menangis dalam diam. Hatinya terasa sakit melihat Rudi berfoto mesra dengan wanita seksi.Hampir satu jam ia menangis sampai akhirnya tertidur karena kelelahan.Pagi-pagi sekali ia sudah membuka mata. Kepalanya terasa pusing karena terlalu lama tertidur. Matanya terasa sulit untuk dibuka lebar, wajahnya masih terlihat sembab akibat menangisi Rudi."Kenapa aku nangis ngeliat dia sama wanita lain? Dia kan bukan siapa-siapa aku, toh aku juga sudah menolak cintanya." Amy menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, lalu bangun dengan sangat hati-hati.Ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Amy melihat wajahnya yang te