“Ma, kunci motor mana dah? Intan mau berangkat, nih!” Aku masih mengubek-ubek laci nakas. Tempat biasa aku menaruh kunci motor dan yang lainnya.
“Loh, emang Papa belum bilang sama kamu?”
Eh?
“Bilang apa?” Aku seketika menghentikan kegiatanku dan menoleh ke arah Mama dengan bingung.
“Kalau mulai hari ini, kamu akan diantar jemput Nak Dika.”
“Hah? Kok gitu, sih, Ma?”
“Ya ‘kan kalian bentar lagi nikah. Jadi ... Papa cuma mau kamu mulai terbiasa dengan Nak Dika.”
Kali ini Papa menimpali, yang baru saja turun dari lantai atas. Entah tadi sedang ngapain?
“Loh, tapi jadwal kuliah Intan ngg
“Tante, nyebelin!” Bella menghentakan kaki saat keluar dari Mobil. Aku membuka kaca samping, kemudian menjulurkan kepala ke arahnya. “Tante nyebelin aja, kamu sayang, Bell. Apalagi Tante nyenengin. Bucin kamu nanti,” balasku santai, semakin membuat Bella cemberut. Dia tidak membalas sama sekali. Itu berarti dia mengakui ucapanku. “Pokoknya awas kalau nanti siang telat, Bella pulang sendiri!” Nah! Ujung-ujungnya dia sebenarnya pengen tuh dijemput sama aku. “Loh, bukannya katanya mau pulang sendiri sama Kang ojek? Ya udah sana! Tante mah ikhlas.” Aku pun jadi tak tahan menggodanya.
“Tante, ayo bangun! Kebo banget, sih, jadi orang!” Aku langsung menutup telingaku dengan bantal, saat lagi-lagi Bella mengganggu tidurku. Ya Rob! Mau apa lagi coba anak ini? Masih pagi udah recokin orang aja! “Tanteee …!!! Bangunnn …!” Astaga! Seketika kepalaku berdenging sakit. Saat Bella dengan sengaja berteriak di telingaku. “Bella jangan rese, deh! Tante masih ngantuk banget ini. Jangan gangguin Tante dulu!” hardikku semakin membenamkan diri di bawah bantal, membuat Bella berdecak kesal. Sebelum tiba-tiba membuat suara gaduh dari piring kaleng jaman dulu.
“Bel, ngelabraknya bisa nanti aja nggak? Tante belum siap, nih!” Aku merajuk, mencoba menghentikan langkah Bella yang dengan semangat 45 menarik tanganku menuju rumahnya. “Kita labrak mereka, Tan. Terus bikin malu wanita itu!” katanya tadi, saat tiba-tiba saja menarik tangan dan menyeretku dengan kejam. Tanpa memperdulikan tampilanku yang ... astagfirullah dah. Asli! Aku malu banget kalau harus ketemu sama Pak Dika dengan tampilan seperti begini. Bukannya aku lebih mementingkan penampilan dari pada Pak Dika. Cuma ... seenggaknya biarin aku cuci muka dulu kali! Ini belek sama iler masih menghiasi. Nanti ka
“Tan, kamu nggak pakai BH ya?” gumam Pak Dika dengan wajah merah padam dan sukses bikin aku auto sesak napas dengarnya. Mampus! Kok dia tau, sih? Perasaan baju aku nggak nerawang loh. Cenayang ya dia? Tadinya, aku pengen langsung kabur aja, pas Pak dika ngomong gitu. Soalnya, aku malu. Gila! Cuma pas aku baru saja hendak berbalik, mataku tak sengaja bersirobok dengan mata emaknya si Bella. Aku pun auto batal muter balik dan mencoba menebalkan muka. Soalnya, aku nggak mau dong di ketawain sama cewek satu itu. Malah yang ada, otakku mencetuskan ide gila dan aku rutuki
Bella semakin ngelunjak! Sumpah! Mentang kemarenan aku belain depan emaknya. Bella kini semakin-semakin ngelunjak sama aku. Saking ngelunjaknya, sekarang dia nyuruh aku masak tiap hari buat dia. Pagi, siang, sore, malam. Kan kurang asem ya? Dikata aku nggak ada kerjaan lain apa selain ngurusin dia? Hello! Aku ini mahasiswa loh! Kegiatanku bejibun, sampai kadang lupa makan. Apalagi, di masa mau menghadapi UTS kayak gini. Semakin banyak tugasku. Namun, si Bella nggak ada pengertiannya sama sekali, terus recokin setiap hari dan setiap saat nggak kenal waktu. Serius! Nggak percaya? Nih, contohnya aja hari ini. Jam padahal baru nunjukin pukul lima subuh, tapi si Bella udah gedor kamarku dengan Alasan, “Mama! Bella mau ada
Aku tahu, buku itu memang jendela dunia, dan banyak membaca bisa memperbanyak wawasan. Namun, selama ini aku hanya tau itu adalah kutipan dalam sebuah pelajaran, agar murid-murid gemar membaca atau ... anggap saja jargon tukang buku biar laris. Nah, kalau untuk real life. Aku baru menemukan semua itu dari Ratu Isabella. Karena jujur saja, aku ini termasuk penganut, lihat tulisan aja udah ngantuk. Hehehe ... jangan ditiru, ya? Makanya, bagi aku tuh, semakin banyak ketemu buku, itu bukan semakin pintar, tapi semakin mumet dan mual liatnya. Makanya aku sering ketiduran kalau sudah dapat tugas menyalin, merangkum, apalagi membuat karangan. Udahlah, aku memang payah untuk hal itu.
“Intan!” Astagfirullahaladzim ... Aku pun langsung berlonjak kaget, dengan napas yang memburu dan jantung bertalu cepat sekali. Saat kesadaranku kembali menyapa. Astaga! Tadi itu apa? Kenapa rasanya sesak sekali? “Hey, Intan. Kamu kenapa?” Aku langsung melirik sumber suara itu, kemudian menghela napas lega diam-diam. Saat menemukan keberadaan Pak Dika di sebelahku. Alhamdulilah ... kayaknya tadi cuma mimpi aja. “Kamu mimpi buruk, ya?” Pak Dika menepikan mobilnya dan langsung meraih sebuah botol air mineral di samping pintu. “Minum dul
“Kamu ... apa?” tanya Pak Dika, menatapku horor saat aku terpaksa memberitau keadaanku saat ini. Soalnya ... Ya, mau gimana lagi? Masa aku nyender mobil Pak Dika terus kayak gini. Emang aku satpam! Sekalipun aku nggak bilang, pasti Pak Dika lama-lama curiga ‘kan? Makanya, ya ... mending aku kasih tahu aja sekalian, kadung malu. “Saya tembus, Mas. Ih, musti aja di ulang.” Aku gemas, karena Pak Dika malah terlihat shock seperti itu. Padahal dia udah pernah nikah, masa yang begini aja nggak tahu, sih? “Mas jangan diem aja dong. Ini gimana? Saya nggak bisa ke mana-mana kalau kayak gini. Mana ... kayaknya banyak lagi. Aduh, becek banget tahu. Nggak enak rasanya.”
Mahardika POV“Mas, sarapannya udah siap!”“Iya, sebentar.”Sekali lagi, aku pun merapikan tampilanku dan memastikan kalau semuanya sudah terpasang sempurna. Setelah itu, aku langsung bergegas turun memenuhi panggilan istriku tadi.Istriku? Ya! Barusan yang tadi memanggilku memang adalah istriku. Namanya Intan Mulia Mardani. Mahasiswi cantik yang dulu tinggal di samping rumahku.“Bella nggak mau Mama!”“Nggak pakai ya, Bell! Pokoknya kamu harus belajar!”“Tapi Bella nggak suka.”“Ya, belajar sukalah!&rdquo
Bella POV“Bell, dimakan dong, Sayang. Jangan cuma diacak-acak terus. Nanti nasinya nangis loh.”Bodo amat! Nangis juga bukan urusan Bella. Bagus malah. Biar Bella ada temannya.“Bella, Sayang. Kamu kenapa, sih? Masih marah karena kita pindah ke sini atau ada yang menggangu kamu di sekolah barumu?”Semuanya benar! Bella memang masih kesal, karena tiba-tiba harus pindah ke sini, ke lingkungan yang banyak orangnya. Juga, harus sekolah di sekolah baru, yang nggak keren sama sekali.Hanya saja lebih dari itu, Bella kesal karena Papa selalu saja sibuk, bahkan di weekend seperti ini pun
Aku membuka mataku dengan tidak ikhlas pagi ini. Seluruh tubuhku rasanya ngilu dan sakit saat digerakkan. Rasanya, aku seperti baru saja menjadi korban tawuran antar kampung. Benar-benar remuk redam.Namun, yang paling terasa ngilu di antara semuanya adalah area pangkal paha. Rasanya seperti ada setrum setiap kali aku bergerak.Ah, tempat itu. Aku ingat. Semalam dia juga sempat mengeluarkan darah, saat Pak Dika pertama kali menerobosnya.Ya! Akhirnya, setelah sekian purnama dan ribuan halangan yang membentang, Pak Dika pun akhirnya berhasil buka puasa semalam, bahkan sampai nambah berkali-kali.Lebay ya aku? Emang! Hanya saja aku serius ini. Memang setelah menikah, kami tak bisa langsung menikmati malam pertama.Ada aja halan
Sebenarnya, mataku masih sangat perih untuk dibuka. Namun, kecupan bertubi di pipi dan leherku sangat mengganggu sekali. Membuatku mau tak mau terbangun, dan mulai mengerjapkan mata demi mengumpulkan kesadaranku.Ck, sialan! Siapa, sih, yang gangguin aku tidur? Nggak tahu apa, kalau badan aku capek banget, abis jadi ratu seharian tadi.Aku butuh tidur!CupCupCupCiuman itu semakin membuatku merinding, karena kini sudah sampai pada belahan dadaku.Nggak hanya itu saja, aku bahkan merasakan sebuah rasa dingin mulai merayap naik dari bawah kaos tidurku. Terus naik, naik dan naik hingga ....
Bella nih emang rese banget, sumpah!Padahal dia sendiri yang minta adik cepat, tapi dia juga yang berkali-kali menggagalkan proses pembuatannya.Menyebalkan banget ya ‘kan?Lebih dari itu, aku kasihan sama Pak Dika juga. Soalnya, dua kali lho pria itu harus berhenti saat nanggung. Nggak bisa aku bayangkan gimana sakitnya tuh, hihihi .…Rasanya, pasti seperti siap-siap mau bersin. Eh, malah digagalin teman. Jengkelnya sampai ke ubun-ubun.Akan tetapi mau gimana lagi? Kami nggak bisa mengabaikan Bella dan malah asyik sendiri dengan urusan kami ‘kan?Sekarang ini dia anak kami dan tentu nggak boleh mengabaikannya. Untung, Pak Dika lumayan paham akan hal itu dan si
“Njir! Akhirnya bisa rebahan juga!” seruku girang. Sambil melemparkan diri ke atas tempat tidur sembarangan.“Tan? Language, please!” tegur Pak Dika, yang baru saja menutup pintu di kamar kami.Ah, iya. Aku lupa kalau sekarang lagi sama dia. Akhirnya aku pun melirik ke arahnya, dan langsung nyengir konyol sambil bangkit untuk duduk kembali.“Maaf, Mas. Refleks,” cicitku kemudian.Kukira, dia awalnya akan mengomel dan menceramahiku seperti biasanya. Namun, yang terjadi dia hanya m
Acara pun beralih pada resepsi, di kebun belakang. Seperti yang aku bilang. Enaknya nikah sama tetangga itu tuh kaya gini. Kita nggak harus sewa gedung mahal-mahal.Soalnya, dua rumah jadi satu aja. Udah lebih dari cukup untuk menampung banyaknya para tamu yang hadir.Sebenarnya, acara resepsi ini konsepnya sederhana dan santai, mengikuti kemauanku yang ingin pesta ala remaja modern dan nggak mau ribet. Makanya, tema kali ini kami pakai garden party yang santai banget.Aku aja cuma pakai gaun pengantin simple selutut, dengan akses yang nggak terlalu glamor, tapi tetap chick
“Njir, laki lo cakep banget, Cuy. Jadi pengen jadi pelakor.”Aku sontak meremas kuat lengan Nurbaeti, sampai dia meringis tertahan. Saat seenaknya dia ngomong seperti tadi. Enak aja! Baru sah, masa udah ngadepin setan rumah tangga alias valakor!Mana valakornya teman sendiri lagi. Oh, tidak! Aku nggak mau hidupku sampai kayak di sinetron ikan terbang ya?“Nyet, dengar kenapa. Nunduk mulu. Nyari apaan, sih, lu? Duit koinan ya?”Ini lagi satu si Nurhayati. Nggak ngerti banget apa yang aku rasain. Ya kali aku harus bikin pengumuman, kalau aku lagi grogi parah. Makanya aku nggak berani lihat ke depan.Iya benar. Aku memang grogi parah saat ini. Itulah kenapa dari mulai keluar kamar sampai menunju mimbar te
Akhirnya, hari besar itu pun tiba setelah satu minggu ini aku menjalani pingitan dan segala macam adat yang harus aku laksanakan. Kini, di sinilah aku sekarang. Duduk gelisah di pinggiran tempat tidur, menunggu dengan harap-harap cemas kabar dari ruang tamu rumahku.Kabar apa?Ya, apalagi? Tentu saja aku menunggu kabar selanjutnya dari prosesi ijab qabul yang sedang Pak Dika lakukan.Duh ... kira-kira lancar nggak, ya?“Nggak usah grogi gitu ngapa, Cuy. Gue yakin Pak Dika pasti lancar kok, ngucapin ijab qabulnya. Secara, dia ‘kan udah pernah melakukannya. Jadi ... pasti udah bukan hal berat lagi buat dia mengulanginya.”Entah aku harus bahagia atahu menangis mendengar celetukan Nurbaeti tadi. Soalnya, dia tu