“Gimana, Yu, apartemen yang mau gue tinggalin. Apa sudah siap?” tanya Varen kepada sahabatnya, sambil tangannya masih di atas keyboard untuk menyelesaikan laporan.
“Lo yakin mau pindah ke apartemen, Ren? sendirian?”
“Maksud lo?” Varen mengerutkan kening tidak paham akan maksud pertanyaan Bayu.
“Maksud gue gimana dengan Aerin, apa lo juga akan bawa Aerin pindah ke apartemen?” Sejujurnya juga Bayu hanya ingin tahu seberapa kuat perasaan Varen untuk anaknya.
Varen memencet tombol intercom untuk terhubung dengan sekretarisnya, Bella.
“Bel, tolong buatkan 2 cangkir kopi untuk saya dan Bayu!”
“Baik, Pak!” jawab Bella dari balik pintu ruangan Varen, karna memang meja Bella berada tepat di seberang pintu ruangan sang CEO.
Butuh jeda waktu untuk Varen bisa menjawab pertanyaan Bayu.
“A …“ Ucapan Varen terhenti lantaran suara pintu kembali berbunyi.
Tok ... tok …
Bella masuk dengan 2 cangkir kopi yang masih harum dengan asap yang masih mengepul.
“Gue pikir Aerin akan lebih bahagia jika tinggal dengan nyokap dan bokap, toh juga banyak orang yang menemaninya di sana. So, gue pikir lo gak usah repot-repot buat mikirin dia.”
“Ren, sekali aja lo mikirin gimana perasaan Aerin, lo posisikan diri lo sebagai anak. Kenapa lo harus membenci dia? Kalau dia bisa memilih dia juga gak mau jadi anak lo, gue yakin Aerin melalui hari-harinya gak semudah yang lo bayangkan.”
“Dia masih terlalu kecil untuk menanggung semua kebencian ini, Aerin butuh kasih sayang dan perhatian lo, Ren. Meskipun bisa di bilang lo Single Daddy sekarang. At least, itu yang Aerin butuhkan sebagai anak.”
Butuh waktu untuk Varen mencerna ucapan bayu, meski tidak bisa di pungkiri kalau perkataan Bayu ada benarnya. Namun Varen terlalu egois untuk bisa menerima.
“Atau … bagaimana kalau lo carikan mama baru buat dia? Ya, kali aja dia bisa gantiin lo buat nyayangin Aerin,” celetuk Bayu ditengah perbincangannya sembari melihat reaksi Varen.
“Ide konyol macam apa itu!” sentak Varen dengan raut wajah penuh kekesalan namun justru membuat bibir bayu bergeming.
“Racun apa sih yang perempuan itu kasih ke lo? Setelah bertahun-tahun lo masih belum bisa lupain dia. Come on Ren, berdamailah dengan kenangan. Gue rasa gak ada satu orang pun di dunia ini yang gak punya kenangan.”
“Enggak apa-apa kalau lo punya masa lalu, semua orang berhak memiliki masa lalu. Tapi bukankah, life must go on ya?”
***
Malam harinya, Varen tiba dirumahnya tepat jam 8 malam, di mana keluarganya tengah menikmati makan malam.
“Ren, tumben kamu pulang cepat? Mandi dulu ya, Sayang! Kita tunggu kamu buat makan malam!” pinta sang mama kepada anak kesayangannya.
Varen lalu membalas ucapan mamanya hanya dengan satu anggukan, dan bergegas naik ke atas untuk mandi. Sesampainya di kamar Varen lalu duduk di atas kasurnya, melihat sekeliling kamar yang masih sama seperti dulu, saat dia masih bersama Kinan.
Varen teringat lagi akan ucapan Bayu soal Aerin, Varen bimbang apakah dia harus membawa Aerin serta untuk pindah bersamanya?
“Tapi mama, apa mama akan setuju?” Lagi-lagi Varen ragu akan keinginannya.
Namun, malam ini dia akan mencoba untuk bicara dengan mama dan papanya.
Varen turun ke bawah untuk makan malam bersama keluarganya yang sangat jarang dia lakukan, tentu saja karna Varen ingin menghindari Aerin putrinya. Sebenarnya untuk apa dia melakukan itu, kesalahan apa yang sebenarnya Aerin lakukan?
“Pa!” Dengan tubuh bergetar karna takut, Aerin mencoba menyapa papanya.
“Hhhmm?” Hanya itu, ya hanya itu yang mampu Varen ucapkan.
“Minggu depan di sekolah Aerin ada perlombaan piano, maukah Papa datang? Papa boleh bilang kalau ini akan menjadi permintaan pertama dan terakhir untuk Aerin.”
Ada rasa perih yang menghinggapi hati Varen, gemuruh hebat dalam dadanya seakan berkecamuk meluapkan segala emosi yang selama ini Varen pendam sendiri.
Meja makan terasa hening, hanya sendok dan garpu yang seakan saling sahut menyahut memecah kesunyian malam itu.
“Papa akan usahakan datang!”
Bagai mentari di tengah badai salju, itulah yang tengah keluarga Dhananjaya rasakan sekarang kala mendengar ucapan Varen. Padahal belum tentu Varen akan datang.
Setelah makan malam berakhir dan Aerin dibawa naik ke atas oleh Bi Minah pembantu yang mengasuh Aerin dari baru lahir. Varen lantas mengutarakan niatnya.
“Ma, lusa aku mau pindah ke apartemen. Aku mau bawa Aerin juga!”
Ellina tentu kaget dengan ucapan sang anak, bukan karna kaget jika Varen akan pindah melainkan dia akan membawa serta Aerin. Ada rasa bahagia sekaligus tidak rela dalam diri Ellina.
“Apa rumah ini tidak cukup besar untuk kamu tempati, Nak?” Rama mencoba mengutarakan pendapatnya.
“Bukan begitu, Pa. Aku hanya ingin mandiri bersama putriku. Aku janji akan lebih sering membawa Aerin pulang ke sini. Toh juga jarak sekolah Aerin lebih dekat dengan rumah Papa dan Mama, jadi kapanpun Mama dan Papa merindukan Aerin, kalian bisa jemput Aerin di sekolah.”
“Tapi … kamu janji kan akan jaga cucu mama, Ren?” Ellina seolah tidak yakin akan niat baik putranya.
“Please, Ma! Aerin putriku, apa yang bisa aku lakukan terhadap Aerin?”
“Baiklah, jika itu yang kamu inginkan papa dan mama gak akan melarang kamu, besok pagi kamu yang bicara sendiri dengan Aerin. Sudah malam, kembalilah istirahat!” pinta sang ayah.
Keesokan harinya, Varen merasa harus berbicara langsung dengan anaknya, tapi dia masih ragu lantaran selama 4 tahun terakhir dia tidak pernah berkomunikasi intens dengan Aerin.
Dia takut jika Aerin tidak menerima kehadirannya, atau apakah sebenarnya selama ini dia yang berusaha menolak kehadiran Aerin? Dia bahkan tidak tahu apakah selama ini Aerin membutuhkannya atau tidak.
Dengan langkah ragu dan berat, Varen membuka pintu kamar Aerin, kamar dengan cat dinding pink dan ada banyak koleksi boneka Barbie di dalamnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun Varen menginjakkan kaki di kamar ini.
Varen duduk di ranjang tidur Aerin sembari menyingkap selimut yang menutupi setengah badan putrinya. Wajah itu, wajah yang kini dipandangnya kembali mengingatkannya pada sosok Kinan, wanita yang meninggalkannya.
“Papa, Papa, Aerin rindu Papa! Mereka bilang aku gak punya papa, mereka selalu mengejek ku karna mama dan papa gak pernah jemput aku ke sekolah.”
“Mereka bohong, mereka jahat, aku punya papa yang hebat!” Aerin menangis di dalam mimpinya, tanpa dia sadari air matanya pun turut mengalir membasahi bantal tidurnya.
Lagi-lagi ada rasa berkecamuk dalam diri Varen, rasa sakit yang Aerin rasakan turut membuat hatinya berdenyut perih. Varen lantas mengulurkan tangan dan membawa Aerin ke dalam pelukannya.
Aerin merasakan ada kehangatan yang membawanya keluar dari mimpi buruk itu. Pelan-pelan Aerin membuka mata dan tidak percaya akan apa yang dilihatnya hari ini.
“Papa?” panggil Aerin.
“Iya, Sayang. Maaf …” Lagi-lagi Varen tidak bisa melanjutkan kata-katanya, rasa sakit itu kini semakin menggrogoti hatinya.
“Papa kenapa minta maaf sama Aerin? Papa tadi rusakin boneka Aerin, ya?” Aerin tetaplah anak kecil yang hanya ada mainan di pikirannya.
“Aerin pergilah mandi dulu, papa tunggu Aerin untuk sarapan di bawah dan ada yang mau papa bicarakan sama Aerin juga.”
Pagi ini meja makan terasa lengkap dengan kehadiran Varen, tidak biasanya dia ikut bergabung untuk menikmati sarapan pagi. Selain karna kesibukannya juga karna Varen enggan untuk berkumpul dengan keluarganya.Dia lebih memilih untuk menjalani hari-harinya di luar rumah atau datang ke apartemen Bayu, tidak peduli jika itu pagi, siang atau malam rasanya tidak lengkap pula hidup sang CEO Revorma Group jika tidak bisa mengganggu sahabatnya itu.Meja makan berukuran sedang dengan kapasitas 10 orang itu kini hanya ada 4 orang yang sarapan di sana, makanan pun dihidangkan satu per satu oleh pelayan mulai dari makanan kesukaan Papa Rama yang rendah kolesterol, sandwich untuk Mama Ellina, omlet kesukaan Varen dan tidak lupa nasi goreng favorit Aerin. Tidak ada pembicaraan yang serius ditengah sarapan mereka, hanya sesekali Varen melirik Aerin.“Jadi kamu mau pindah hari ini, Ren?” tanya papa Rama disela suapan terakhirnya“Jadi, Pa! Oya, Aerin, papa mau …” Rasanya sulit buat Varen untuk mengun
Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi Aerin, karena hari ini adalah hari di mana dia akan mewakili sekolahnya dalam perlombaan piano.Sejak malam itu, Aerin memang tidak terlalu berharap jika papanya akan menepati janji untuk datang ke acara dekolahnya, lantaran Aerin tahu sesibuk apa papanya.Pagi-pagi sekali Aerin sudah tiba di sekolah, melewatkan sarapan pagi karena papanya masih tidur. Semalam setelah Aerin terlelap, Varen pergi ke kamarnya untuk beristirahat.Jam sudah menunjukkan angka 8 pagi, munkin Varen tidak akan bangun jika handphonenya tidak berbunyi.“Ren, astaga kamu belum bangun?! Kamu lupa lagi kalau anak kamu hari ini mengikuti lomba piano? Kalau kamu belum bisa jadi ayah yang baik biar mama bawa Aerin untuk tinggal dengan mama lagi!” Tanpa jeda dan tarikan nafas Ellina memarahi anaknya layaknya anak kecil.Varen paham dengan sifat mamanya yang sangat menyayangi Aerin, dan Varen sangat bersyukur akan hal itu. Di tengah sifatnya yang dingin terhadap Aerin ada O
“Ren, masih inget sama gue?” sapa seorang perempuan dengan seragam juri.“Hai, lo Gladis kan? Cewek cupu di SMA Taruna Jaya, gila ya lo banyak berubah sekarang. Maksud gue ya … lo udah gak cupu lagi,” canda Varen membalas sapaan Gladis.“Ren, lo masih inget aja siapa gue, padahal udah lama banget gue lupa dengan tingkah aneh gue pada jamannya itu.” Gladis membalas ucapan Varen dengan tawa yang renyah.Gladis adalah teman Varen di masa SMA, Gladis juga pernah jatuh cinta dengan Varen, namun Varen lebih memilih Kinan. Ya, tentu karena Kinan juga gadis populer di sekolahnya, sangat cocok jika berdampingan dengan Varen.Saat itu bahkan Varen tidak pernah sekalipun menoleh perempuan-perempuan di sekolahnya, meski siapapun pasti berharap bisa dekat dengan pria tampan bernama Varen.“Hhhmmm … kayaknya kita mesti cari tempat yang enak buat ngobrol ya, Ren. Lo nggak sibuk, kan?”“Boleh, Dis! Tapi gue mau nyamperin nyokap sama bokap dulu. Lo tunggu bentar, ya!”Varen lantas bergegas menghampiri
Alexa menggelengkan kepala, “Tidak perlu, tidak ada orang yang tidak akan peduli ketika kita bertemu situasi seperti ini, kamu harus jaga anakmu baik-baik kelak.” Setelah Alexa selesai berkata, dia melirik ke arah Aerin.Aerin memeluk leher Varen, dia memiringkan kepalanya dan memanggilnya dengan manis, “Kakak cantik!”“Hhhmm, panggil tante Alexa aja ya, Sayang!” Alexa menjawabnya, tanpa sadar suaranya menjadi lembut, “Aerin jangan pergi sembarangan lain kali ya?”“Tante Alexa, jangan lupa nama papaku Varen, papa orang yang sangat kaya dan hebat!”Alexa hanya tersenyum menanggapi perkataan Aerin. Dia hanya bisa mengganti topik pembicaraan dan bertanya, “Tuan Varen, sebelumnya di dalam telepon, kenapa kamu tahu bahwa Aerin akan mencari seorang kakak untuk membantunya?”Varen menyipitkan matanya, dia menatap wajah Alexa dan nada bicaranya datar, “Perempuan yang lebih tinggi darinya akan dipanggil kakak olehnya.” Sebenarnya Aerin hanya melihat perempuan yang dia rasa cantik, dia tidak pe
Malam yang sunyi di Villa Dhananjaya, suara teriakan menggema dari lantai dua. Suara itu diyakini oleh para pelayan terdengar dari kamar sang tuan muda, Varen dan istrinya Kinan.Varen Dhananjaya adalah putra dan pewaris tunggal Revorma Group, sedangkan istrinya adalah Dewi Kinantri seorang model dengan paras yang ayu dan tinggi semampai. Jika dilihat dari wajah dan penampilannya, Kinan adalah wanita idaman setiap pria yang memandangnya.“Ren, aku harus pergi sekarang!” teriak Kinan pada Varen.Varen masih mencerna apa yang kini terjadi dalam keluarganya, perusahaan yang sedang diambang kehancuran dan juga wanita yang sangat dia cintai justru lebih memilih untuk pergi, ketimbang berada di sampingnya, menguatkan dan juga memberikannya dukungan.Bukan hanya meninggalkan dirinya, tapi Kinan bahkan tega meninggalkan putrinya yang baru berumur satu tahun. Dimanakah letak hati nuraninya sebagai seorang ibu?“Ren, kamu gak denger aku ngomong apa?” Lagi-lagi Kinan berucap dengan nada tinggi s
Alexa menggelengkan kepala, “Tidak perlu, tidak ada orang yang tidak akan peduli ketika kita bertemu situasi seperti ini, kamu harus jaga anakmu baik-baik kelak.” Setelah Alexa selesai berkata, dia melirik ke arah Aerin.Aerin memeluk leher Varen, dia memiringkan kepalanya dan memanggilnya dengan manis, “Kakak cantik!”“Hhhmm, panggil tante Alexa aja ya, Sayang!” Alexa menjawabnya, tanpa sadar suaranya menjadi lembut, “Aerin jangan pergi sembarangan lain kali ya?”“Tante Alexa, jangan lupa nama papaku Varen, papa orang yang sangat kaya dan hebat!”Alexa hanya tersenyum menanggapi perkataan Aerin. Dia hanya bisa mengganti topik pembicaraan dan bertanya, “Tuan Varen, sebelumnya di dalam telepon, kenapa kamu tahu bahwa Aerin akan mencari seorang kakak untuk membantunya?”Varen menyipitkan matanya, dia menatap wajah Alexa dan nada bicaranya datar, “Perempuan yang lebih tinggi darinya akan dipanggil kakak olehnya.” Sebenarnya Aerin hanya melihat perempuan yang dia rasa cantik, dia tidak pe
“Ren, masih inget sama gue?” sapa seorang perempuan dengan seragam juri.“Hai, lo Gladis kan? Cewek cupu di SMA Taruna Jaya, gila ya lo banyak berubah sekarang. Maksud gue ya … lo udah gak cupu lagi,” canda Varen membalas sapaan Gladis.“Ren, lo masih inget aja siapa gue, padahal udah lama banget gue lupa dengan tingkah aneh gue pada jamannya itu.” Gladis membalas ucapan Varen dengan tawa yang renyah.Gladis adalah teman Varen di masa SMA, Gladis juga pernah jatuh cinta dengan Varen, namun Varen lebih memilih Kinan. Ya, tentu karena Kinan juga gadis populer di sekolahnya, sangat cocok jika berdampingan dengan Varen.Saat itu bahkan Varen tidak pernah sekalipun menoleh perempuan-perempuan di sekolahnya, meski siapapun pasti berharap bisa dekat dengan pria tampan bernama Varen.“Hhhmmm … kayaknya kita mesti cari tempat yang enak buat ngobrol ya, Ren. Lo nggak sibuk, kan?”“Boleh, Dis! Tapi gue mau nyamperin nyokap sama bokap dulu. Lo tunggu bentar, ya!”Varen lantas bergegas menghampiri
Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi Aerin, karena hari ini adalah hari di mana dia akan mewakili sekolahnya dalam perlombaan piano.Sejak malam itu, Aerin memang tidak terlalu berharap jika papanya akan menepati janji untuk datang ke acara dekolahnya, lantaran Aerin tahu sesibuk apa papanya.Pagi-pagi sekali Aerin sudah tiba di sekolah, melewatkan sarapan pagi karena papanya masih tidur. Semalam setelah Aerin terlelap, Varen pergi ke kamarnya untuk beristirahat.Jam sudah menunjukkan angka 8 pagi, munkin Varen tidak akan bangun jika handphonenya tidak berbunyi.“Ren, astaga kamu belum bangun?! Kamu lupa lagi kalau anak kamu hari ini mengikuti lomba piano? Kalau kamu belum bisa jadi ayah yang baik biar mama bawa Aerin untuk tinggal dengan mama lagi!” Tanpa jeda dan tarikan nafas Ellina memarahi anaknya layaknya anak kecil.Varen paham dengan sifat mamanya yang sangat menyayangi Aerin, dan Varen sangat bersyukur akan hal itu. Di tengah sifatnya yang dingin terhadap Aerin ada O
Pagi ini meja makan terasa lengkap dengan kehadiran Varen, tidak biasanya dia ikut bergabung untuk menikmati sarapan pagi. Selain karna kesibukannya juga karna Varen enggan untuk berkumpul dengan keluarganya.Dia lebih memilih untuk menjalani hari-harinya di luar rumah atau datang ke apartemen Bayu, tidak peduli jika itu pagi, siang atau malam rasanya tidak lengkap pula hidup sang CEO Revorma Group jika tidak bisa mengganggu sahabatnya itu.Meja makan berukuran sedang dengan kapasitas 10 orang itu kini hanya ada 4 orang yang sarapan di sana, makanan pun dihidangkan satu per satu oleh pelayan mulai dari makanan kesukaan Papa Rama yang rendah kolesterol, sandwich untuk Mama Ellina, omlet kesukaan Varen dan tidak lupa nasi goreng favorit Aerin. Tidak ada pembicaraan yang serius ditengah sarapan mereka, hanya sesekali Varen melirik Aerin.“Jadi kamu mau pindah hari ini, Ren?” tanya papa Rama disela suapan terakhirnya“Jadi, Pa! Oya, Aerin, papa mau …” Rasanya sulit buat Varen untuk mengun
“Gimana, Yu, apartemen yang mau gue tinggalin. Apa sudah siap?” tanya Varen kepada sahabatnya, sambil tangannya masih di atas keyboard untuk menyelesaikan laporan.“Lo yakin mau pindah ke apartemen, Ren? sendirian?”“Maksud lo?” Varen mengerutkan kening tidak paham akan maksud pertanyaan Bayu.“Maksud gue gimana dengan Aerin, apa lo juga akan bawa Aerin pindah ke apartemen?” Sejujurnya juga Bayu hanya ingin tahu seberapa kuat perasaan Varen untuk anaknya.Varen memencet tombol intercom untuk terhubung dengan sekretarisnya, Bella.“Bel, tolong buatkan 2 cangkir kopi untuk saya dan Bayu!”“Baik, Pak!” jawab Bella dari balik pintu ruangan Varen, karna memang meja Bella berada tepat di seberang pintu ruangan sang CEO.Butuh jeda waktu untuk Varen bisa menjawab pertanyaan Bayu.“A …“ Ucapan Varen terhenti lantaran suara pintu kembali berbunyi.Tok ... tok …Bella masuk dengan 2 cangkir kopi yang masih harum dengan asap yang masih mengepul.“Gue pikir Aerin akan lebih bahagia jika tinggal d
Malam yang sunyi di Villa Dhananjaya, suara teriakan menggema dari lantai dua. Suara itu diyakini oleh para pelayan terdengar dari kamar sang tuan muda, Varen dan istrinya Kinan.Varen Dhananjaya adalah putra dan pewaris tunggal Revorma Group, sedangkan istrinya adalah Dewi Kinantri seorang model dengan paras yang ayu dan tinggi semampai. Jika dilihat dari wajah dan penampilannya, Kinan adalah wanita idaman setiap pria yang memandangnya.“Ren, aku harus pergi sekarang!” teriak Kinan pada Varen.Varen masih mencerna apa yang kini terjadi dalam keluarganya, perusahaan yang sedang diambang kehancuran dan juga wanita yang sangat dia cintai justru lebih memilih untuk pergi, ketimbang berada di sampingnya, menguatkan dan juga memberikannya dukungan.Bukan hanya meninggalkan dirinya, tapi Kinan bahkan tega meninggalkan putrinya yang baru berumur satu tahun. Dimanakah letak hati nuraninya sebagai seorang ibu?“Ren, kamu gak denger aku ngomong apa?” Lagi-lagi Kinan berucap dengan nada tinggi s