Pernah merasa bosan hidup?
Sepertinya aku sedang mengalaminya sekarang. Entah mengapa hari-hari yang aku jalani terasa hambar, meskipun aku tidak pernah berjalan sendirian.Bisa dibilang aku memiliki teman-teman yang mengisi hari-hari membosankanku di sekolah. Kami berteman sejak hari ketiga masa orientasi siswa atau disingkat dengan MOS. Hari itu kami hanya mengobrol untuk mendapatkan teman, karena dirasa kami memiliki banyak kesamaan dan merasa cocok, jadilah kami berteman sampai sekarang. Namun aku tidak pernah menganggap mereka benar-benar teman, jujur saja aku hanya membutuhkan mereka karena rasa kesepianku. Terdengar kejam memang, namun itulah yang aku rasakan.Memangnya apa yang kalian harapkan dengan pertemanan? Kita berteman hanya karena kita membutuhkannya dan itulah faktanya.Aku berteman dengan mereka bukan hanya untuk menghilangkan rasa kesepianku, tapi juga untuk membantuku mendapatkan nilai bagus di mata pelajaran yang lain, selain kimia tentunya.Aku itu bukan orang yang genius yang bisa menguasai semua mata pelajaran. Aku hanya jago di satu bidang, yaitu bidang mata pelajaran kimia. Sedari kecil aku memang sangat tertarik dengan mata pelajaran itu bahkan aku juga sering bereksperimen untuk membuktikan kebenaran-kebenaran yang tertulis di buku ensiklopedia kimia yang aku baca. Aku ingat sekali sewaktu aku SD dulu dan pergi ke perpustakaan, aku menemukan sebuah buku yang berjudul Pencegahan dan Penanggulangan Keracunan Dalam Bahan Kimia Berbahaya, dan aku membacanya.Dulu aku tidak terlalu mengenal apa itu bahan kimia serta arti dari kimia itu sendiri. Baru setelah aku masuk SMP lah aku baru mengerti bahwa kimia adalah cabang dari ilmu fisik yang mempelajari tentang materi, sifatnya, perubahannya serta energi yang menyertai perubahan tersebut. Dari sanalah aku mulai tertarik dengan ilmu kimia.Semakin aku belajar, semakin aku merasa kagum. Itulah yang aku rasakan. Ilmu kimia bukan hanya tentang mempelajari unsur-unsur yang dapat kita gunakan di alam, namun juga tentang bagaimana suatu unsur juga bisa sangat membahayakan bagi kita. Dengan kata lain, suatu unsur kimia dapat berguna namun juga dapat merusak, tergantung bagaimana kita bisa memanfaatkannya dengan baik. Selain aku menyukai ilmu kimia, aku juga menyukai kriminologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang kejahatan. Namun sayangnya ilmu itu tidak masuk mata pelajaran di sekolah. Bukan tanpa alasan aku menyukai ilmu krimonologi, tentu saja karena aku sangat menyukai novel detektif. Novel detektif yang paling kusukai adalah "Alferd Hitchcock And The Three Investogators", novel itu pernah aku baca ketika aku masih SD dan lagi-lagi aku menemukannya di perpustakaan. Aku tidak mengerti mengapa perpustakaan sekolah dasar bisa menyediakan buku-buku semacam itu, namun karena itulah aku jadi suka pergi ke perpustakaan sekolah dan membangun minat bacaku di sana.Selain kedua ilmu itu, aku sama sekali tidak tertarik. Hal itu membuat aku tidak pernah belajar mata pelajaran lain kecuali saat di sekolah. Namun, karena aku memiliki teman aku mampu menutupi semua kekuranganku itu.Berbicara tentang teman-temanku, saat ini mereka sedang bergosip ria di sudut kelas, padahal sekarang masih jam pelajaran. Namun berhubung saat ini sedang jam kosong -sepertinya aku harus menyebutnya dengan singkatan jamkos- seisi kelas pun jadi berisik. Mereka berkumpul dengan orang-orang yang mereka anggap sebagai teman hingga terbentuklah sebuah kelompok pertemanan meski kita masih berada dalam satu kelompok yang sama yang disebut dengan teman sekelas. Ini terlihat seperti kelompok dalam kelompok. Terlihat konyol sekali, bukan?Mau bagaimana pun juga, aku tidak dapat menampik bahwa aku pun juga begitu. Awalnya aku tidak terima sistem sosialisasi ini dan bertanya-tanya, mengapa kita harus membuat semacam kelompok di dalam kelompok? Mengapa kita tidak berteman saja dan menyatukan 29 orang menjadi teman tanpa harus membuat kelompok lagi?Namun sekarang aku sadar bahwa itu adalah pikiran konyol yang pernah aku pikirkan. Sekarang pikirkan, bagaimana mungkin kita bisa menyatukan 29 kepala dengan pikiran yang berbeda-beda, menyatukan dua orang saja sulit apalagi 29 orang. Itu sebabnya jangan pernah berpikir bahwa kau bisa menyatukan pikiran dari setiap orang karena mereka memiliki tujuan dan perasaan yang berbeda-beda. Meskipun hasil yang ingin dicapai itu sama, tapi tetap saja kau tidak akan pernah bisa menyatukan pikiran dan perasaan orang lain.Aku memiliki teman lebih dari satu, lebih tepatnya lima orang yang sering berada di dekatku. Mereka memiliki kemampuan dan pikiran yang berbeda-beda, mereka bahkan pernah sedikit berselisih dan tentu saja ada pertengkaran, namun sehebat apapun pertengkarannya, cepat atau lambat, mereka pasti akan kembali lagi seperti semula. Sebenarnya aku tidak terlalu paham mengapa mereka bisa kembali berteman kepada orang yang telah menyakiti mereka, masih segar diingatanku saat kedua orang temanku bertengkar hebat hanya karena masalah kecil, namun besoknya mereka sudah baikkan. Jika aku jadi mereka aku lebih baik berhenti berteman dan mencari pengganti teman yang lain. Tapi mereka tidak melakukannya. Aku pun mulai berpikir bahwa itu karena mereka masih masih membutuhkan satu sama lain.Kalo dipikir-pikir memang gak ada gunanya juga jika pertemanan yang dibangun atas dasar persahabatan ini hancur. Karena nyatanya kita memang saling membutuhkan satu sama lain.Contoh kecilnya saja temanku yang paling populer di antara kami berenam, Kathia Lovata. Kathia yang biasa kami panggil dengan nama Thia adalah langganan peringkat satu di kelas, dan tentunya juga peringkat paralel di angkatan. Padahal kami masih kelas 10 kala itu terjadi. Apa kalian berpikir bahwa dia orang yang cerdas? Tidak? Baiklah akan kuberitahukan rahasia pencapaiannya tersebut.Dia bisa berada di peringkat teratas itu karena kita berlima. Kita berlimalah yang mendorongnya untuk naik. Asal kalian tahu saja kita berlima itu memiliki kemampuan masing-masing yang jika disatukan, kami bisa menjadi sempurna. Namun sayangnya mereka terlalu bodoh untuk menyadari kemampuan mereka hingga mereka jadi mudah untuk dimanfaatkan. Pernyataan 'kita adalah teman' membuat mereka menjadi lemah hingga mereka mau-mau saja menggunakan kemampuan mereka untuk mendorong orang lain agar bisa berada di puncak. Mirisnya mereka tidak sadar dan tetap menganggap bahwa Thia adalah siswi berprestasi.Thia juga populer dikalangan kakak kelas maupun di kalangan angkatan kami. Biar kuberitahu bahwa itu bukan karena Thia memang pantas menjadi populer. Itu karena dia adalah seorang adik dari Sanggara Abhimanyu, seorang siswa yang dikabarkan siswa paling cerdas di SMA Teratai Global. Hal itu dikarenakan ia sudah banyak menyumbangkan piala bergengsi dalam sains sewaktu kelas 10 dan kelas 11 dulu -yang kini sekarang ia sudah kelas 12.Memang sangat beruntung menjadi Thia, selain karena memiliki kakak seperti Kak Gara, ia juga memiliki teman seperti kami."Hei Fey ... ngelamun aja sih. Apasih yang sedang kau pikirkan?" tanya Chalista padaku.Aku pun menatapnya sambil tersenyum canggung. Memang sedari awal aku tidak pernah tertarik ikut bergosip dengan mereka. Namun mereka memaksaku untuk bergabung dengan alasan 'kita teman' tentu saja."Aku hanya sedang berimajinasi," jawabku seadanya. Aku tahu itu adalah alasan yang konyol, namun hanya alasan itulah yang sedang kupikirkan saat ini."Lagi mengkhayalkan kau bisa jalan dengan Banu, ya?" mereka pun tertawa setelah mendengar lelucon tidak lucu yang dilontarkan oleh Fannia kepadaku. Aku tidak mengerti di mana letak kelucuannya, itu sebabnya aku pun hanya diam sambil tersenyum tipis.Setelah puas mengejekku dengan seorang pria yang bernama Banu, mereka lanjut mengobrol karena Gita memiliki topik yang lebih seru lagi untuk dibahas. Aku pun seperti terselamatkan olehnya.Banu itu adalah teman sekelasku. Kami pernah terpergok berjalan menuju kelas bersama di koridor sekolah, hal itulah yang membuatku sering mendapat godaan dari teman-temanku karena menganggap aku menyukai Banu. Terkadang sifat mereka yang seperti itulah yang kurang kusukai dari mereka.Berbicara tentang teman-temanku, kurasa aku harus menceritakan tentang teman-temanku yang lain dan akan kuberitahu kemampuan mereka beserta hal-hal yang membuatku kesal juga dengan mereka.Chalista Arundra, dia ini jagonya di bidang biologi. Entah bagaimana dia mampu menghafal nama-nama ilmiah dalam biologi. Pelafalan nama ilmiahnya pun juga bagus, selain itu dia juga hafal sel-sel yang berada dalam tubuh, hanya dalam sekali lihat sebuah gambar sel dia mampu menyebutkan nama-nama sel yang ada pada gambar. Aku bahkan sempat kagum dengannya sewaktu pertama kali dia menunjukkan kemampuannya itu dihadapan teman kelas. Namun kekurangannya adalah dia itu kurang percaya diri dan bersikap tidak peduli. Ia tidak terobsesi dengan peringkat dan tidak tertarik untuk menunjukkan bakatnya itu untuk menjadi terkenal.Fannia Ameta, dia ini jagonya di bidang bahasa Inggris. Pelafalan sangat fasih dan dia mampu membaca cepat teks bahasa Inggris yang panjangnya sampai enam paragraf. Tapi dia ini selalu bersikap sembrono dan tidak sabaran. Yang paling menyebalkan bagiku adalah dia ini suka sekali melontarkan lelucon yang tidak lucu.Gita Omura, entah mengapa aku menganggap bahwa dia adalah orang yang paling jago dalam pelajaran matematika di kelas ini. Kemampuan analisisnya pun tidak bisa dianggap remeh. Setiap ada soal sulit, dia pasti selalu jadi orang pertama yang tahu jawabannya. Tapi sayang dia itu terlalu naif. Saking naifnya aku jadi membencinya.Nita Gauri, si pesimis jago fisika. Kemampuannya tidak terlalu menonjol karena dia selalu pesimis. Aku rasa yang tahu kebisaan Nita dalam pelajaran fisika itu hanyalah kita-kita saja, bahkan guru fisika pun tidak tahu kemampuan Nita tersebut.Sementara untuk Kathia, jujur saja aku tidak tahu kemampuannya apa. Aku selalu merasa bahwa dia hanyalah orang yang beruntung.Sementara aku, namaku adalah Feyya Oktafiani. Aku hanyalah seorang siswi biasa yang sangat menyukai ilmu kimia dan kriminologi. Sebut saja aku gila karena aku mempelajari ilmu itu bukan untuk orang lain, melainkan untuk diriku sendiri. Bukan. Bukan untuk mencari ketenaran atau untuk mengejar mimpiku. Aku tidak punya mimpi dan cita-cita karena bagiku itu hanyalah angan-angan kosong yang digunakan untuk tetap bertahan hidup.Aku mempelajarinya untuk melancarkan aksi bunuh diriku sendiri. Karena sungguh aku sudah muak dengan dunia yang sudah seperti dunia distopia ini. Tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk dianggap sebagai gadis yang lemah karena aku membunuh diriku sendiri. Setelah sekian lama aku mempelajari ilmu kimia, aku sudah menemukan suatu racun yang di mana saat kematianku tiba, aku akan dianggap memiliki sakit parah, atau jika racun itu diketahui, maka aku akan dianggap telah dibunuh oleh seseorang.Aku sudah memutuskan untuk meminum racunnya hari ini, di sekolah, tepatnya sehabis jam pelajaran olahraga. Mengapa aku memilih tempat di sekolah, karena aku tidak memiliki tempat privasi di rumahku sendiri. Jika aku minum di tempat umum, aku kesulitan untuk memasukkan racunnya ke dalam minumanku, belum lagi rasa takut jika aku ketahuan, itu akan menimbulkan kecurigaan bagi orang yang melihatku sedang ketakutan di tengah keramaian. Namun di sekolah itu berbeda, setidaknya di sini ada tempat aman bagiku untuk menaruh racunnya ke dalam minumanku. Dan alasan mengapa aku memilih sehabis jam pelajaran olahraga, itu karena sehabis olahraga aku pasti akan merasa sangat kehausan sehingga aku bisa meminumnya sampai habis dalam sekali teguk. Aku sudah memperhitungkannya dan aku yakin ini pasti akan berhasil. Kriiinggg ... Bel pergantian jam pelajaran pun berdenting. Kini tiba saatnya jam pelajaran olahraga. Semua pun mulai mengambil baju olahraga m
Mendekati jam pulang sekolah, aku terus merasa khawatir. Bagaimana tidak? Aku terus berpikir bahwa aku adalah seorang pembunuh. Meski begitu pikiranku terus mencari pembelaan. Bukan. Aku bukan pembunuh. Kathia sendiri yang meminumnya, aku sudah mencegahnya. Aku melihat ke arah kiri, tepat di mana Kathia sedang duduk bersama Nita. Aku memperhatikannya yang sedang menyalin apa yang ditulis di papan tulis oleh seorang sekretaris kelas ke dalam buku miliknya. Saat ini di kelasku sedang ada jam pelajaran kimia. Biasanya aku selalu bersemangat, saking semangatnya aku akan menulis lebih cepat dari biasanya. Namun untuk kali ini tidak. Rasa takutku mengalahkanku. Jangankan untuk fokus, berpikir pun aku tidak bisa. Pikiranku seperti sedang diambil alih oleh superegoku yang terus menerus menyalahkanku. Dia terus berbicara bahwa aku salah, sementara aku terus menerus membuat pembelaan bahwa aku tidak salah. Di dalam diriku s
Sesampainya aku di rumah, aku pun langsung membersihkan diriku dan berganti baju dengan baju tidurku, meskipun sekarang masih sore. Ibuku pun terlihat sedang menonton televisi dan adikku pergi bermain di luar. Ayah dan Kakakku sedang pergi bekerja,itu artinya aku masih punya kesempatan untuk sendirian di kamar Ibuku Memang benar aku masih tidur dengan Ibuku, terdengar memalukan memang, tapi itulah faktanya dan aku tidak ingin teman-temanku tahu. Itulah sebabnya aku tidak pernah mengizinkan teman-temanku untuk bermain di rumahku. Rumahku ini terbilang sederhana, namun tidak sesederhana yang terlihat. Ayahku pemilik bengkel motor dan mobil yang lumayan terkenal di kalangan atas. Hampir setiap hari bengkel ayahku pasti ramai pelanggan yang ingin memperbaiki kendaraannya. Bersama dengan Kakak laki-lakiku, Kak Yuga, mereka membangun bengkel tersebut hingga bisa sampai berhasil seperti sekarang, dan kini sudah ada banyak karyawan yang bekerja di sana. Hal itu
Hari demi hari pun berlalu, kini sudah tepat satu minggu setelah kejadian di mana Kathia meminum racunnya. Banyak hal yang sudah terjadi, namun tidak ada yang menyadari bahwa Kathia telah keracunan. Sambil menunggu kematian Kathia tiba, aku mempersiapkan alibi agar tidak dicurigai serta menghapus semua bukti-bukti yang ada. Aku yakin sesaat setelah kematian Kathia, semua orang pasti akan merasa curiga, terutama Kakaknya. Harus aku akui bahwa satu-satunya orang yang harus aku hindari adalah Kak Gara. Dia adalah orang yang paling berbahaya untukku. Itu sebabnya selama menunggu kematian Kathia, aku tidak boleh terlihat mencurigakan dihadapan Kak Gara. "Ikut lomba makan kerupuk enak kali ya," ujar Chalista saat kami sedang berkumpul di kantin sekolah guna membahas tentang acara lomba 17 Agustusan yang akan diadakan minggu depan. "Jangan! Lomba memindahkan tepung aja, kan pake anggota tuh, enam orang lagi anggotanya. Pas banget sama kita berenam," usul
Bagiku menunggu kematian orang lain sama mengerikannya dengan menunggu kematian sendiri. Kita tidak pernah tahu kapan nafas terakhir kita akan berhenti. Bisa jadi besok, menit selanjutnya atau yang lebih mengerikannya lagi di detik selanjutnya. Setiap harinya di saat aku terbangun dari tidurku, aku selalu merasa takut, takut jika hari inilah hari kematian Kathia. Aku bisa merencanakan banyak hal, tapi tidak dengan kematian Kathia dan keadaan seperti apa yang akan menimpa Kathia di waktu-waktu terakhirnya. Terkadang saat Kathia menunjukkan gejala keracunan, yang tentu saja hanya aku yang menyadarinya, aku merasa panik karena merasa belum siap jika saat itulah waktu kematiannya tiba. Sebenarnya gejala racun itu tidak mirip seperti orang keracunan pada umumnya. Mungkin dibayangan kalian orang yang keracunan akan langsung meninggal di tempat, atau pada umumnya mulutnya akan mengeluarkan busa sebelum kematian menjemput. Tapi tidak dengan cara kerja racun ini. Racun ini ad
Sepulang sekolah aku bersama dengan teman-temanku langsung menjenguk Kathia yang sedang dirawat di rumah sakit. Tak lupa kami pun juga membawa buah-buahan untuknya. Untuk sakitnya Kathia, kami sebenarnya tidak tahu karena Kak Gara yang tidak ingin memberitahukannya. Sebenarnya saat ini aku sedang merasa takut dan gelisah. Aku takut jika mereka akan melakukan berbagai macam tes untuk mengetahui penyakit Kathia. Bisa gawat jika mereka menemukan racun itu di dalam tubuh Kathia sekarang."Kak Gara," panggil Chalista. Saat ini kami sudah berada di koridor rumah sakit. Kami pun bertemu dengan Kak Gara yang terlihat sedang gusar, dan kami pun menghampirinya. "Kalian mau jenguk Kathia, ya?" tanyanya. Ia pun juga sudah merubah ekspresinya. Terkadang aku selalu terkagum dengan caranya yang bisa dengan cepat merubah ekspresinya dalam hitungan detik. "Iya Kak. Kathia di kamar nomor berapa ya kak?" tanya Fannia. "Ayo Kakak antar," ujarny
Aku terbangun dengan keadaan kaget karena teriakan Ibuku. Aku pun melihat jam yang kini sudah menunjukkan pukul enam pagi. "Feyya cepat bangun, sudah siang!" teriak Ibuku lagi. "Iya bu, Feyya sudah bangun," jawabku. Aku pun mengucek mataku agar penglihatanku tidak lagi buram akibat baru bangun tidur dan menyesuaikan cahaya yang masuk di mataku. Di tengah ke sibukkanku menyesuaikan diri dengan kamarku, ponselku kerap kali berbunyi secara terus menerus membuatku menjadi terganggu karenanya. Pasalnya aku merasa heran pagi-pagi seperti ini mengapa grup chat sangat ramai sekali, dengan kesal aku pun mengambil ponselku di atas meja. Kunyalakan ponselku dan mengecek salah satu aplikasi chat, banyaknya pesan masuk dari grup dan pesan pribadi yang dikirimkan teman-temanku membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Aku pun langsung membuka chat grup yang memang berada di tempat teratas. 0895xxxxxxxxGuys,
"Fey, bisa bicara sebentar?" "Hah? Bi-bicara apa?" astaga mengapa aku gugup. Jika seperti ini aku pasti akan dicurigai. Posisi kami saat ini sedang berada di belakang. Sementara teman-teman kelasku sedang berdoa untuk Kathia, kami justru malah mengobrol di belakang. Aku bertanya-tanya hal penting apa yang ingin disampaikan Kak Gara sehingga ia rela melewatkan doa untuk adiknya? "Ini soal-" "Gara," perkataannya terpotong oleh panggilan Ayahnya. Aku pun bernapas lega. Sungguh aku belum siap jika harus ditanyai sekarang. "Ada apa, Pa?" tanya Kak Gara yang kini sudah menghadap Ayahnya. Ayah Gara yang juga Ayah Kathia menepuk pelan pundak Gara, kemudian berbisik di mana aku masih bisa mendengarnya di tempat aku berdiri. "Jangan sekarang, nak. Nanti saja di rumah. Hormati pemakaman adikmu," katanya. Sesaat pikiranku pun melayang jauh. Aku rasa Kak Gara mungkin ingin menanyakanku tentang kematian Kathia. Lebih menakutkannya lagi jika Kak Gara mencurigaiku lebih
"Fey, bisa bicara sebentar?" "Hah? Bi-bicara apa?" astaga mengapa aku gugup. Jika seperti ini aku pasti akan dicurigai. Posisi kami saat ini sedang berada di belakang. Sementara teman-teman kelasku sedang berdoa untuk Kathia, kami justru malah mengobrol di belakang. Aku bertanya-tanya hal penting apa yang ingin disampaikan Kak Gara sehingga ia rela melewatkan doa untuk adiknya? "Ini soal-" "Gara," perkataannya terpotong oleh panggilan Ayahnya. Aku pun bernapas lega. Sungguh aku belum siap jika harus ditanyai sekarang. "Ada apa, Pa?" tanya Kak Gara yang kini sudah menghadap Ayahnya. Ayah Gara yang juga Ayah Kathia menepuk pelan pundak Gara, kemudian berbisik di mana aku masih bisa mendengarnya di tempat aku berdiri. "Jangan sekarang, nak. Nanti saja di rumah. Hormati pemakaman adikmu," katanya. Sesaat pikiranku pun melayang jauh. Aku rasa Kak Gara mungkin ingin menanyakanku tentang kematian Kathia. Lebih menakutkannya lagi jika Kak Gara mencurigaiku lebih
Aku terbangun dengan keadaan kaget karena teriakan Ibuku. Aku pun melihat jam yang kini sudah menunjukkan pukul enam pagi. "Feyya cepat bangun, sudah siang!" teriak Ibuku lagi. "Iya bu, Feyya sudah bangun," jawabku. Aku pun mengucek mataku agar penglihatanku tidak lagi buram akibat baru bangun tidur dan menyesuaikan cahaya yang masuk di mataku. Di tengah ke sibukkanku menyesuaikan diri dengan kamarku, ponselku kerap kali berbunyi secara terus menerus membuatku menjadi terganggu karenanya. Pasalnya aku merasa heran pagi-pagi seperti ini mengapa grup chat sangat ramai sekali, dengan kesal aku pun mengambil ponselku di atas meja. Kunyalakan ponselku dan mengecek salah satu aplikasi chat, banyaknya pesan masuk dari grup dan pesan pribadi yang dikirimkan teman-temanku membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Aku pun langsung membuka chat grup yang memang berada di tempat teratas. 0895xxxxxxxxGuys,
Sepulang sekolah aku bersama dengan teman-temanku langsung menjenguk Kathia yang sedang dirawat di rumah sakit. Tak lupa kami pun juga membawa buah-buahan untuknya. Untuk sakitnya Kathia, kami sebenarnya tidak tahu karena Kak Gara yang tidak ingin memberitahukannya. Sebenarnya saat ini aku sedang merasa takut dan gelisah. Aku takut jika mereka akan melakukan berbagai macam tes untuk mengetahui penyakit Kathia. Bisa gawat jika mereka menemukan racun itu di dalam tubuh Kathia sekarang."Kak Gara," panggil Chalista. Saat ini kami sudah berada di koridor rumah sakit. Kami pun bertemu dengan Kak Gara yang terlihat sedang gusar, dan kami pun menghampirinya. "Kalian mau jenguk Kathia, ya?" tanyanya. Ia pun juga sudah merubah ekspresinya. Terkadang aku selalu terkagum dengan caranya yang bisa dengan cepat merubah ekspresinya dalam hitungan detik. "Iya Kak. Kathia di kamar nomor berapa ya kak?" tanya Fannia. "Ayo Kakak antar," ujarny
Bagiku menunggu kematian orang lain sama mengerikannya dengan menunggu kematian sendiri. Kita tidak pernah tahu kapan nafas terakhir kita akan berhenti. Bisa jadi besok, menit selanjutnya atau yang lebih mengerikannya lagi di detik selanjutnya. Setiap harinya di saat aku terbangun dari tidurku, aku selalu merasa takut, takut jika hari inilah hari kematian Kathia. Aku bisa merencanakan banyak hal, tapi tidak dengan kematian Kathia dan keadaan seperti apa yang akan menimpa Kathia di waktu-waktu terakhirnya. Terkadang saat Kathia menunjukkan gejala keracunan, yang tentu saja hanya aku yang menyadarinya, aku merasa panik karena merasa belum siap jika saat itulah waktu kematiannya tiba. Sebenarnya gejala racun itu tidak mirip seperti orang keracunan pada umumnya. Mungkin dibayangan kalian orang yang keracunan akan langsung meninggal di tempat, atau pada umumnya mulutnya akan mengeluarkan busa sebelum kematian menjemput. Tapi tidak dengan cara kerja racun ini. Racun ini ad
Hari demi hari pun berlalu, kini sudah tepat satu minggu setelah kejadian di mana Kathia meminum racunnya. Banyak hal yang sudah terjadi, namun tidak ada yang menyadari bahwa Kathia telah keracunan. Sambil menunggu kematian Kathia tiba, aku mempersiapkan alibi agar tidak dicurigai serta menghapus semua bukti-bukti yang ada. Aku yakin sesaat setelah kematian Kathia, semua orang pasti akan merasa curiga, terutama Kakaknya. Harus aku akui bahwa satu-satunya orang yang harus aku hindari adalah Kak Gara. Dia adalah orang yang paling berbahaya untukku. Itu sebabnya selama menunggu kematian Kathia, aku tidak boleh terlihat mencurigakan dihadapan Kak Gara. "Ikut lomba makan kerupuk enak kali ya," ujar Chalista saat kami sedang berkumpul di kantin sekolah guna membahas tentang acara lomba 17 Agustusan yang akan diadakan minggu depan. "Jangan! Lomba memindahkan tepung aja, kan pake anggota tuh, enam orang lagi anggotanya. Pas banget sama kita berenam," usul
Sesampainya aku di rumah, aku pun langsung membersihkan diriku dan berganti baju dengan baju tidurku, meskipun sekarang masih sore. Ibuku pun terlihat sedang menonton televisi dan adikku pergi bermain di luar. Ayah dan Kakakku sedang pergi bekerja,itu artinya aku masih punya kesempatan untuk sendirian di kamar Ibuku Memang benar aku masih tidur dengan Ibuku, terdengar memalukan memang, tapi itulah faktanya dan aku tidak ingin teman-temanku tahu. Itulah sebabnya aku tidak pernah mengizinkan teman-temanku untuk bermain di rumahku. Rumahku ini terbilang sederhana, namun tidak sesederhana yang terlihat. Ayahku pemilik bengkel motor dan mobil yang lumayan terkenal di kalangan atas. Hampir setiap hari bengkel ayahku pasti ramai pelanggan yang ingin memperbaiki kendaraannya. Bersama dengan Kakak laki-lakiku, Kak Yuga, mereka membangun bengkel tersebut hingga bisa sampai berhasil seperti sekarang, dan kini sudah ada banyak karyawan yang bekerja di sana. Hal itu
Mendekati jam pulang sekolah, aku terus merasa khawatir. Bagaimana tidak? Aku terus berpikir bahwa aku adalah seorang pembunuh. Meski begitu pikiranku terus mencari pembelaan. Bukan. Aku bukan pembunuh. Kathia sendiri yang meminumnya, aku sudah mencegahnya. Aku melihat ke arah kiri, tepat di mana Kathia sedang duduk bersama Nita. Aku memperhatikannya yang sedang menyalin apa yang ditulis di papan tulis oleh seorang sekretaris kelas ke dalam buku miliknya. Saat ini di kelasku sedang ada jam pelajaran kimia. Biasanya aku selalu bersemangat, saking semangatnya aku akan menulis lebih cepat dari biasanya. Namun untuk kali ini tidak. Rasa takutku mengalahkanku. Jangankan untuk fokus, berpikir pun aku tidak bisa. Pikiranku seperti sedang diambil alih oleh superegoku yang terus menerus menyalahkanku. Dia terus berbicara bahwa aku salah, sementara aku terus menerus membuat pembelaan bahwa aku tidak salah. Di dalam diriku s
Aku sudah memutuskan untuk meminum racunnya hari ini, di sekolah, tepatnya sehabis jam pelajaran olahraga. Mengapa aku memilih tempat di sekolah, karena aku tidak memiliki tempat privasi di rumahku sendiri. Jika aku minum di tempat umum, aku kesulitan untuk memasukkan racunnya ke dalam minumanku, belum lagi rasa takut jika aku ketahuan, itu akan menimbulkan kecurigaan bagi orang yang melihatku sedang ketakutan di tengah keramaian. Namun di sekolah itu berbeda, setidaknya di sini ada tempat aman bagiku untuk menaruh racunnya ke dalam minumanku. Dan alasan mengapa aku memilih sehabis jam pelajaran olahraga, itu karena sehabis olahraga aku pasti akan merasa sangat kehausan sehingga aku bisa meminumnya sampai habis dalam sekali teguk. Aku sudah memperhitungkannya dan aku yakin ini pasti akan berhasil. Kriiinggg ... Bel pergantian jam pelajaran pun berdenting. Kini tiba saatnya jam pelajaran olahraga. Semua pun mulai mengambil baju olahraga m
Pernah merasa bosan hidup? Sepertinya aku sedang mengalaminya sekarang. Entah mengapa hari-hari yang aku jalani terasa hambar, meskipun aku tidak pernah berjalan sendirian. Bisa dibilang aku memiliki teman-teman yang mengisi hari-hari membosankanku di sekolah. Kami berteman sejak hari ketiga masa orientasi siswa atau disingkat dengan MOS. Hari itu kami hanya mengobrol untuk mendapatkan teman, karena dirasa kami memiliki banyak kesamaan dan merasa cocok, jadilah kami berteman sampai sekarang. Namun aku tidak pernah menganggap mereka benar-benar teman, jujur saja aku hanya membutuhkan mereka karena rasa kesepianku. Terdengar kejam memang, namun itulah yang aku rasakan. Memangnya apa yang kalian harapkan dengan pertemanan? Kita berteman hanya karena kita membutuhkannya dan itulah faktanya. Aku berteman dengan mereka bukan hanya untuk menghilangkan rasa kesepianku, tapi juga untuk membantuku mendapatkan nilai bagus di mata pelajaran yang l