Setelah sepasang suami istri itu pergi. Lagi lagi Isma menampar Widuri. “Sudah untung kamu Ibu besarkan dan sekolahkan. Coba kamu hitung semua biaya yang telah Ibu keluarkan untuk mu, biaya 3 piring nasi sehari, minuman, sewa kamar mu, sekolah, uang jajanmu. Fikirkan itu semua. Dan beginilah caramu membalas itu semua,” ucap Isma sembari mengungkit apa yang telah di berikannya pada Widuri.
“Tetapi akukan anak Ibu? Bagaimana bisa Ibu menghitung itu semua. Apa Ibu lupa? Ibu tidak pernah sekalipun memberikan aku uang belanja, jika ayah memberiku sedikit uang Ibu pasti akan segera merampasnya dariku setelah ayah pergi. Dan jika Ibu membicarakan biaya sekolahku, dari SD aku selalu mendapatkan beasiswa. Bahkan Ibu tidak pernah mengeluarkan sepersenpun uang untuk biaya sekolahku. Dan jika ibu memperhitungkan makan, minum serta kamar tempat aku menginap bertahun –tahun, maka sepertinya juga sudah terbalas dengan keringatku menjadi pembantu di rumah ini. Maaf Ibu jika kamu menghitung bahkan aku juga mampu menghitungnya. Apa Ibu lupa aku juara matematika sekota madia,” ucap Widuri yang kemudian meninggalkan Ibunya dan berjalan menuju perkarangan samping melihat kain –kain yang terjemur setelah selesai di cucinya.
Sambil menarik satu persatu kain di jemuran Hati Widuri terus berkata. Tidak, aku tidak akan biarkan impianku terkubur hanya karena sebuah pernikahan yang tidak aku inginkan. Sudah cukup Ibu mengaturku seperti itu, sudah cukup Ibu menganggapku seperti sampah. Sekarang aku sudah dewasa, aku sudah bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Aku akan pergi dari rumah ini, aku akan kuliah. Tapi Ibu tidak usah khawatir, ketika aku berhasil nanti aku akan selamatkan ibu dan ayah di masa –masa tua kalian. Aku tidak akan seperti kacang lupa dengan kulitnya. Aku akan membayar rasa aman yang keluarga ini berikan padaku dari kehidupan keras di luar sana. Gumam Widuri tiada henti.
Lalu dari samping rumah terdengar Ayah masuk ke dalam rumah.
“Mana Widuri Isma?” tanya Ducan.
“Tidak tahu, dia berlari keluar setelah merasakan tamparanku,” ucap Isma yang masih berang.
“Sudahlah Isma. Cukupkan penderitaannya. Dari kecil tiada henti kamu menyiksanya, biarkan sekarang dia bahagia,” ucap Ducan. Sementara Widuri perlahan berjalan mendekati pintu, lalu Widuri bersandar di dinding luar untuk menguping pembicaraan Ibu dan Ayahnya.
“Apa kamu bilang? Aku Cuma berikan penderitaan padanya? Sudah syukur aku mau menerimanya di rumah ini. Bagaimana waktu bayi merah dulu aku menendangnya keluar. Tolong jangan paksa aku untuk menyukainya. Hatiku sudah terlalu kamu sakiti dengan kehadirannya,” ucap Isma lagi.
Apa yang sedang mereka bicarakan tentangku? Mengapa kehadiran aku dapat membuat Ibu yang tersakiti? Gumam Widuri.
“Sudahlah Isma, aku mohon jangan ungkit lagi masalah itu. Aku takut jika Widuri mendengarnya. Tolonglah terima dia, lagi pula ibunya sudah meningga sejak dia di lahirkan. Dan aku yang bersalah di sini, seharusnya kamu membenciku. Jangan lampiaskan sakit hatimu padanya,” ucap Ducan lagi.
Apa? Aku bukan anak kandung ibu? Ibuku sudah meninggal? Ada apa sebenarnya ini? Apa yang mereka sembunyikan dariku? Inikah sebabnya ibu sangat tidak menganggapku ada? Air mata Widuri tdak terasa sudah deras mengalir membasahi pipinya.
Sementara Isma mengenang kejadian 18 tahun yang lalu.
[“Sayang. Apa kamu tidak pulang hari ini?”
“tidak aku sedang berada di luar kota, daganganku belum habis,”
“baiklah kalau begitu,”
Pagi itu Isma yang sedang kurang sehat terpaksa pergi sendiri ke rumah sakit untuk memerriksa kesehatannya, karena Ducan suaminya tidak bisa menemani.
Namun di rumah sakit, Isma bertemu dengan Ducan sedang menggandeng seorang wanita yang sedang hamil besar. Isma syok dan membuat kehilangan kesadarannya.
Setelah Isma pulih dan tersadar. Isma menyuruh Ducan untuk memilih dirinya atau wanita yang di gandeng Ducan saat itu. Namun Ducan lebih memilih wanita itu dari pada Isma dan berniat akan menceraikan Isma.
Dua bulan setelah kejadian itu, wanita yang sudah di nikahi sirih oleh Ducan melahirkan. Ketika melahirkan anaknya Melda, istri sirih Ducan mengalami pendarahan yang cukup hebat. Membuatnya kehilangan banyak darah dan tidak bisa di selamatkan. Melda meninggalkan seorang Putri yang di beri nama Widuri Annatasya.
Setelah Melda meninggal Ducan kembali pada Isma dan meminta untuk rujuk kembali. Mengingat Isma juga telah melahirkan seorang putri darah dagingnya. Isma menerima permintaan rujuk namun awalnya Isma tidak mau menerima putri dari selingkuhan suaminya itu. Berbagai upaya dilakukan Ducan untuk membujuk Isma, dan akhirnya Isma mau menerima Widuri tinggal bersamanya.]
Sejak saat itu Isma tidak pernah melupakan rasa bencinya pada Ibu Widuri, karena Ibu Widuri telah membuat Ducan meninggalkannya walau akhirnya Ducan kembali lagi ke pelukannya.
“Asal kamu ketahui rasa sakit ini tidak akan pernah hilang sampai kapanpun juga. Dan Widuri harus membayarnya dengan ini,” ucap Isma.
“Jadi? Ini yang membuat Ibu sangat membenciku? Ternyata aku bukan anak Ibu? Lalu jika aku bukan anak Ibu dan Ayah, anak siapa aku?” tanya Widuri yang kemudian mengatkan dirinya untuk masuk ke dalam Rumah.
“Wi... Widuri...,” ucap ayah.
“Anak siapa aku Ayah?” tanya Widuri histeris.
“Kamu anak Ayah sayang,” ucap Ducan mendekat sembari berusaha untuk menenang Widuri.
“Ya kamu adalah anak ayahmu, anak dari selingkuhan ayahmu. Anak dari seorang pelakor yang tidak lebih seperti pelacur yang kerjanya hanya menggoda suami orang dan menghandurkan rumah tangga orang,” teriak Isma pada Widuri.
“Sudah! Sudah cukup!” ucap Ducan menghentika liarnya ucapan Isma.
“Sekarang kamu tau Widuri? Ibumu itu adalah seorang pelacur. Ya seorang pelacur Widuri!” Isma Seakan tidak mau untuk menghentikan ucapannya itu.
“Sudah. Cukup Isma!” bentak Ducan.
“Asal kamu tahu, anak dari seorang pelacur sepertimu. Tidak pantas untuk di kasihani. Dan tidak pantas untuk hidup bahagia. Kamu nikmatilah karma yang ibumu lakukan itu!” teriak Isma terus menerus.
“Isma... Cukup Isma... Hentikan makianmu itu. Ahh... Jantungku,” ucap Ducan sembari memegangi dadanya. Tiba –tiba saja dadanya terasa sangat sakit. Membuat Ducan tersungkur ke lantai.
“Ayah... ayah... aku mohon bangunlah ayah,” ucap Widuri sambil berteriak.
“tolong... Tolong... tolong ayah Ibu. Aku mohon. Tolong! Siapa saja tolong aku!” teriak Widuri dengan terus terisak. Mendengar teriakan Widuri akhirnya beberapa tetangga dekat berdatangan kerumah Widuri.
“Widuri, ada apa ini? Ada apa dengan Pak Ducan?” tanya Pak Misno tetangga sebelah rumah Widuri.
“Tidak tau pak, tiba –tiba saja ayah mengatakan dadanya sakit. Lalu ayah jatuh dan pingsan. Aku mohon bantu aku untuk membawa ayah ke rumah sakit pak,” isyak Widuri memohon dengan lirih.
Kemudian Pak Misno dan beberapa tetangga lainnya membawa Ducan ke rumah sakit dengan menggunakan angkot tetangga yang tingga di lorong sebelah.
^_^
Setelah sampai di Rumah sakit Ducan segera di larikan ke ruang UGD dan segera di lakukan tidakan pemerikasaan. Setelah sekian lama akhirnya dokter memanggil Keluarga pasien.“Keluarga pasien Bapak Ducan?” Panggil perawat.“Iya, saya sust,” jawab Widuri. Sementara Isma berdiri di belakan Widuri.“Dokter ingin bicara dengan keluarga pasien, jadi silahkan ikuti saya ke ruang dokter kak,” ucap perawat sembari menuntun Lunara ke ruangan Dokter.Setelah sampai di ruang Dokter Widuri dan isma di persilahkan duduk di bangku yang sudah di sediakan berhadapan dengan Dokter.“Begini Buk, bapak Ducan ini sudah beberapa kali datang kesini memeriksakan penyakit jantungnya. Jadi pada jantung Bapak Ducan terdapat sumbatan. Jadi harus segera di operasi, kalau tidak cepat di tangani maka akan gawat akibatnya. Bapak Ducan bisa saja tidak terselamatkan,” jelas Dokter.“Apa Dok? Ayah saya ada penyumbatan di jantungnya Dok?” dokter mengangguk.“ Ayah tidak pernah menceritakan ini padaku. Apa ibu tahu masal
Kesepakatan apa itu? Mengapa pernikahan harus di iringi dengan sebuah kesepakatan. Mendengar perkataan ibu, membuat aku tidak mampu membayangkan kebahagiaan di dalamnya. Ya hidupku akan berakhir ketika aku menandatangani surat itu. *** Akhirnya waktu yang sebenarnya Widuri ingin terus di ulur saja datang. Clara dan Arlo datang dengan membawa sebuah map berwarna biru tua. Widuri yang sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit menatap dingin sepasang suami istri itu. Tangisnya tidak lagi terlihat, namun bekas isakannya masih terlihat jelas mengukir di wajahnya. “Eh nak Clara dan nak Arlo sudah tiba. Terimakasih atas kirimannya, membuat Ayah Widuri bisa segera ditangani dokter,” ucap Isma seakan terus menjilat pada kedua orang kaya muda itu. “Ya, kami akan berikan lebih. Setelah pernikahan ini selesai di laksanankan. Angap saja yang tadi itu uang mukanya saja,” ucap Clara dengan sedikit arogan. Sementara Arlo hanya diam, namun diamnya terlihat sangat beribawa. Mendengar ucapan Clara me
Ya Clara terpaksa harus mencari wanita yang bersedia untuk melahirkan seorang putra untuk suaminya. Karena Clara tidak bisa hamil. *** Kurang lebih 4 tahun yang lalu Clara terlibat kecelakaan bersama Arlo, secara tidak sengaja Arlo menabrak Clara dan mengenai rahimnya. Rahim Clara rusak parah harus segera diangkat untuk menyelamatkan nyawanya. Untuk menebus kesalahannya, Arlo terpaksa menikahi Clara tanpa adanya cinta. Ketika dinikahi oleh Arlo Clara seperti mendapat durian runtuh. Clara yang tadinya hanya seorang gadis desa yatim piatu (pengakuannya pada Arlo) menjadikannya wanita bergelimangan harta, walau tanpa cinta dari Arlo. Namun Clara tidak pernah mempermasalahkan itu asalkan dirinya mempunyai kekuasaan lebih di rumah bak istana Arlo. Apapun yang di inginkan Clara selalu di dapatnyanya. Arlo sangat jarang di rumah, sekalinya di rumah hanya ketika dia perlu di puaskan oleh Clara. Setelah birahinya terpuaskan Arlo akan kembali pergi meninggalkan Clara. Namun belakangan ayah
Air mata yang sangat sulit di bendung. Sesekali Widuri menepuk –nepuk dadanya yang terasa sakit akibat menahan hati yang sebenarnya tidak terima dengan apa yang di hadapi hari itu. *** Batinnya meronta, tangisannya pecah dan sesekali cegukan karena luapan emosi itu. Kemudian terdengar suara Widuri yang meraung, sama sekeli tidak puas dengan pernikahannya ini. Setelah puas melepas emosi kesedihannya dengan luapan air mata, Widuri kemudian membasuh mukanya. Berusaha menghilangkan garis kesedihannya, mulai hari ini Widuri akan berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya di depan siapa pun. Widuri tidak mau dengan orang –orang melihat dirinya meneteskan air mata, maka mereka bisa melihat sisi lemah Widuri dan akan leluasa menyakitinya lagi... lagi... dan lagi. Widuri bertekat akan menciptakan jati dirinya sendiri, tidak lagi untuk di injak –injak. Walau sekarang Widuri telah menandatangani sebuah kesepakatan, bukan berarti dirinya tidak bisa membuat keputusan untuk dirinya. Widuri kemud
“Pak... tidak... tidak... maksudku tuan... aiihh.. bibirku ini! Mas,” mendengar perkataan Widuri Arlo memicingkan matanya karena lagi –lagi terganggu dengan panggilan itu, sembarri menghidupkan mesin mobilnya.“Aku mohon biarkan aku naik ojek, karena aku takut akan mengotori mobilmu,” Ucap Widuri lagi yang mulai mual ketika mencium aroma khas yang ada di setiap mobil.“Baju lusuhmu tidak akan mengotori mobilku, nungkin keringatmu saja yang akan membuat aroma mobilku berubah,” ucap Arlo yang kemudian mulai melajukan mobilnya.“Ta... Tapi aku tidak biasa naik mobil, perutku mual. Aku mohon berhentilah...” ucap Wduri. Namun Arlo tetap saja mengemudikan mobilnya, dan sekarang mulai Kencang. Perur Widuri semakin serasa di aduk –aduk.Terasa sesuatu akan meledak dari mulutnya, Widuri berusaha menekan –nekan tombol yang berada di samping pintu untuk membuka jendela mobil. Tetapi Widuri
Arlo kemudian naik dan mulai menghidupkan mesin motor itu, kakinya yang jangkung dan tubuhnya yang kekar telah melahap habis bagian motor dan hanya menyisakan sedikit saja sisi di belakangnya. Kakinya sedikit keluar bodi depan motor itu, dan jika Arlo yang mengemudi motor metik itu sangat terlihat Lucu. Lalu Arlo membuka jasnya, dan mengubah posisi pakai jasnya pada bagian depan untuk menutupi tubuh depan serta tangannya. Melihat kejanggalan ketika Arlo menaiki motor itu membuat Widuri menyembunyikan senyumannya. “Mengapa Tertawa? Ada yang Lucu? Ayo cepat naik!” ucap Arlo dingin. “Ah... tidak apa –apa. Aku? Naik?” tanya Widuri bingung. “Lalu siapa lagi? Cepatan! Panas ini!” ucap Arlo menyerngitkan matanya akibat silaunya cahaya mata hari. Memang hari itu terasa sangat menyengat. “Ta... tapi... lebih baik aku naik ojek lain saja, Ba... maksudku mas sebaiknya naik taxi saja. Biar sejuk. Kasihan kulit mas terpapar sinar matahari begitu. Sayang banget nanti gosong,” ucap Widuri. Mendeng
Arlo tampak sangat kesal ketika melihat Widuri hanya berdiri seperti orang bodoh. “Aiiih... apa yang kamu lakukan di sana, ayo masuk! Ini rumahku. Dan sekarang untuk beberapa waktu juga akan jadi rumahmu. Jadi cepatlah masuk. Aku sudah sangat gerah,” ucap Arlo sembari kembali ke arah Widuri. Kemudian menarik tangan Widuri dengan sangat kuat sehingga membuat tubuh Widuri terhuyung ke depan. Dan terpaksa melangkah dengan setengah berlari untuk mengimbangi langkah Arlo yang besar.Ketika mereka sampai ke depan pintu rumahnya, pintu yang terlihat begitu tinggi karena mengimbangi tinggi bangunannya. Satu orang yang berjaga di depan pintu kemudian membantu Arlo membukakan pintu, “Selamat datang tuan,” ucap orang itu. Arlo sedikit mengangguk dan masuk ke dalam rumah dengan cueknya, sementara Widuri mengikuti dari belakang. Awalnya tubuh tinggi dan kekar Arlo menutupi pandangan Widuri, namun setelah Arlo sedikit bergeser mata Widuri jadi bebas memandang.“Ya Tuhan, ini benar –benar rumah? In
Widuri yang masih merasa sebagai pendatang di rumah itu, masih terus berdiri tanpa mau duduk di sofa dalam ruang tamu itu. Juga sangat takut berjalan walau hanya untuk berkeliling. Widuri takut jika salah –salah dia akan kembali membuat masalah yang akan membuat Clara marah. Atau sekedar rasa takut kalau –kalau ada barang yang hilang dan dirinya lah tersangka pertama. Cukup lama menunggu yang kemudian Ningsih dan Clara kembali datang. “Kamu masih berdiri di sana Widuri? Sepertinya kamu tidak berpindah walau hanya satu senti saja?” ucap Clara. “Saya tidak tahu harus berbuat apa di rumah ini!” Ucap Widuri singkat. “sepertinya kamu sudah mulai berhati –hati. Bagus kalau begitu. Ini! Gantilah bajumu dengan ini.” Ucap Clara dengan sedikit menengang coper yang di bawah oleh Ningsih. Lalu Clara membalikkan badannya untuk kembali ke rumah utama. “Tunggu dulu!” cegah Widuri pada Clara. Mendengar Widuri, Clara menoleh. “Apa orang –orang di sini mengetahui siapa aku? Sebagai siapa orang –ora
“Clara?” Arlo tampak penuh dengan emosi sembari berdiri dan menatap tajam ke arah Clara.Clara kemudian meletakkan buket bunga dan parsel buah yang di bawanya di atas meja yang ada di ruang inap Widuri.“Mas, maafkan aku mas. Aku benar-benar di luar kendali, aku mengaku salah mas. Aku sadar tidak seharusnya aku bersikap seperti itu pada Widuri, wanita yang berhasil mengandung darah dangingmu,” ucap Clara dengan genangan air mata kepalsuan.“Widuri, mbak minta maaf padamu. Rasa cemburu mbak yang terlalu besar membuat mbak hilang akal. Mbak janji tidak akan melakukan hal bodoh seperti sebelumnya,” ucap Clara lagi yang kemudian melihat ke arah Widuri. “Bagaimana kondisimu saat ini? Apa bayimu selamat Widuri?” tanya Clara lagi.“Tidak apa-apa mbak, aku paham perasaanmu. Akupun salah padamu, tetapi ini juga di luar kendaliku mbak. Dan kondisiku sekarang baik, janinku untungnya masih bisa di selamatkan mbak,” ucap Widuri sembari menggenggam tangan Clara.“Syukurlah kalau begitu Widuri. Sung
“Darah? Kamu berdarah Widuri?” ucap Arlo sembari mengangkat Widuri dan bergegas membawa Widuri ke rumah sakit.“Aku akan mengurusmu nanti Clara! Kamu harus menerima ganjaran dari apa yang kamu perbuat ini. Jika sampai terjadi apa-apa dengan calon bayiku, kamu tahu apa yang akan aku lakukan padamu!” ancam Arlo yang kemudian berjalan cepat ke arah mobil sambil menggendongi Widuri.Clara tinggal sendiri di ruang televisi kediaman Widuri. Dengan emosi dan kecemburuan yang hampir meledak di dadanya Clara menghempas kuat tubuhnya di sofa empuk yang barang kali bernilai fantastis.“Awas saja kamu Widuri. Aku akan memberi perhitungan denganmu, salah aku memilih kamu sebagai wanita penyewa rahim untuk suamiku,” Air mata Clara menggenang, tangannya di kepal dengan sangat kuat. Amarahnya benar-benar nyata.“Aah... tidak akan aku biarkan kamu merebut suamiku Widuri, dan bayi dalam rahimmu itu! Aku tidak akan membiarkannya hidup, karena bayi itu pasti akan mengancam posisiku di rumah ini. Aku past
“Hati-hati Widuri. Kamu jangan berjalan terlalu kencang. Tidak! Jangan! Sepertinya kamu harus menggunakan kursi roda.” Ujar Arlo yang akan membawa Widuri pulang karena Widuri telah di bolehkan pulng oleh dokter, tentunya dengan syarah harus banyak istirahat di rumah.“Mas, aku sudah tidak apa-apa. Aku kuat kok.” Jawab Widuri dengan melebarkan senyumnya.Namun Arlo terus memaksa Widuri untuk duduk di kursi roda yang sudah di siapkannya. “ Bicapa apa kamu Widuri?? Sekarang kamu mengandung anakku, dan tidak boleh terjadi apapun padanya. Jadi kamu harus ikuti perintahku.” Titah Arlo.Mendengar perkataan Arlo, Widuri kemudian terdiam. Dan menuruti setiap perintah Arlo.Ya sekarang aku sadar, dia perhatian padaku hanya semata karena di dalam rahimku ada darah dangingnya. Setelah bayi ini lahir, maka aku akan disingkirkan dar hidupnya. Aku harus berusaha keras untuk membatasi rasa ini. Aku hanya persinggahan sementara sebelum dia mendapatkan apa yang di inginkannya. Setelah dia mendapatkanny
Dokter mendekati bik Ningsih, "Mana suami ibu ini? Apa suaminya ada? ada yang perlu saya sampaikan pada suaminya" Ujar dokter Elmi."Su... suami?" tanya bik Ningsih gugup."Ya, saya butuh bicara dengan suami ibu ini," ujar dokter Elmi lagi."Ta... tapi..." bik Ningsih semakin gugup."Saya suaminya dok, ada apa dengan istri saya?" Tiba-tiba Arlo datang dari arah pintu UGD."Oh, baiklah. Silahkan ikuti saya keruangan saya pak," Ujar dr. Elmi."Baik, dok." Arlo pun berjalan mengikuti dr. Elmi, sementara bik Ningsih tetap berada di samping Widuri.Setelah sampai di ruangan dr.Elmi. "Silahkan duduk pak," dr Elmi mempersilahkan Arlo untuk duduk dikursi yang berada di depan kursinya.setelah Arlo duduk, " Begini pak, Hmm.. sebelumnya saya mengucapkan selamat untuk bapak karena Istri bapak sekarang sedang mengandung." Ujar dr. Elmi."Me... mengandung dok?" Tanya Arlo seakan tidak percaya, karena permainan itu baru satu kali di lakukannya bersama Wiiduri."Benar pak, anda akan menjadi seorang
"Bukankah kamu yang mendatangkannya untukku? lalu kemana kamu saat aku membutuhkanmu? salahkah aku jika aku beralih padanya? lagi pula dia sekarang adalah istri sahku, tidak ada satupun hukum yang bisa melarangku untuk menyentuhnya."Ucap Arlo sembari mengacungkan telunjuknya ke arah wajah Clara."Tetapi sebelumnya kamu sudah menyetujui kesepakatannya bahwa kamu menikahinya hanya karena membutuhkan rahimnya." Air mata Clara terus mengalir merasa Arlo telah menghianatinya.Mendengar ucapan Clara, Widuri serasa tertampar berkali-kali. Air matanya pun mulai tidak tertahankan lagi. Dalam keadaan masih terduduk di lantai dengan terus menunduk menyembunyikan aliran deras airmatanya."Ya, kamu benar. Dan aku telah melakukannya sendiri, aku telah menanam benihku di rahimnya." Ujar Arlo dengan memalingkan wajahnya dari Clara.Lalu Clara meraih lengan Arlo untuk memutar arah lelaki itu supaya kembali menoleh padanya. "Apa mas? Kamu berkata apa? Kamu telah melakukannya? Kamu benar-benar kejam pad
Sedangkan Clara berada di bandara Singapure. JAdwal keberangkatannya di undur beberapa jam karena ada sedikit masalah pada penerbangannya."Aduuuh... mengapa harus di undur sih. Apa mas Arlo sudah menyadari bahwa aku tidak ada di rumah? bagaimana jika Widuri menggodanya. mengapa hatiku jadi tidak tenang begini ya.." omel Clara pada dirinya sendiri sembari melihat ponselnya."Apa aku telepon saja ya mas Arlo, menanyakan dia sekarang di mana dan apa dia bersama Widuri," Ujarnya lagi lalu mulai menghubungi Arlo.Handphon Arlo berdering, namun di biarkannya saja karena tugasnya untuk membuat Widuri terpuaskan berkali-kali belum selesai."Aiih... mana mas Arlo ya? mengapa dia tidak mengangkat teleponku? Apa dia masih di kantor? Apa dia sedang meeting? Aiiihh... harusnya kemaren aku tidak tergoda untuk ikut bersama mereka." keluh Clara.Lalu Klara mencoba untuk menghubungi Surti, pembantu yang bertugas mengurusinya."Ya nyonya," ujar Surti."Apa tuan semalam pulang?" tanya Clara jutek."Iya
"Apa kamu akan memandanginya terus? Apa kamu melupakan suamimu? Apa kamu tidak akan memberi suamimu makan?" Tanya Arlo dengan nada intimidasi. Mendengar pertanyaan Arlo, Widuri menoleh ke arah Arlo. "Suami? Apa mas suamiku? Ahh... aku lupa! Ternyata kita sepasang suami istri. Baiklah suami sementaraku, mari kita makan. Aku memasak makanan yang barangkali belum pernah kamu makan," Ucap Widuri sambil berdiri dan memutar badannya untuk melangkah kembali masuk kedalam rumah. Arlo mengikuti dengan senyumannya. Bik Ningsih dan pak Darsono mengintip dari kejauhan. "Lihat bik, tuan terlihat bahagia bersama nak Widuri. Sudah lama sekali aku tidak melihat senyum di bibirnya, lihatlah matanya berbinar. Wajahnya merona bahagia." Ucap pak Darsono. "Kamu benar pak, andai saja mereka terus bersama hingga akhir hayat. barangkali tuan akan terus bahagia seperti itu." Jawab bi Ningsih. *** "Ayam bakar? Aku sangat suka memakannya," Ujar Arlo ketika melihat kemeja makan. "Apa ini? apa ini sambalnya?
Sesampai di rumah, "Banyak sekali belanjaan kita bik. Untung saja ada pak Darsono yang membantu kita untuk mengangkat semua barang belanjaan ini. Oiya, aku akan ke kolam renang dulu." ucap Widuri. "Kolam renang? untuk apa Widuri? Apa kamu ingin berenang?" tanya bik Ningsih. "Tidak, bahkan aku tidak bisa berenang bik. Tetapi tadi mas Arrlo menyuruhku untuk membersihkan kolam renang itu. Jadi sebelum dia pulang kolam ini harus selesai aku bersihkan. Setelah bersih aku akan memasak. kita akan makan bersama nanti," ujar Widuri lagi yang kemudian berjalan ke arah kolam renang yang berada di bagian samping rumahnya. Widuri juga membawa sikat dan pembersih lantai berlumut. "Tapi Widuri, itu bukan tugasmu. ada orang yang bertugas untuk itu dan di gaji oleh tuan." ucap bik Ningsih lagi. Tetapi Widuri tidak menghiraukan perkataan bik Ningsih dan tetap melajukan langkahnya. Ketika Widuri sudah berada di depan kolam renang, Bik ningsih kemudian mengirimi Arlo pesan. ("Apa tuan sedang sibuk?")
Hmm... Apa yang bisa aku lakukan ya? Aku suntuk sekali jika tidak ada pekerjaan begini. Mandi sudah, merapikan tempat tidurku sudah. Pakaian kotorku, pasti bik Ningsih yang mengambilnya. Baiklah kalau begitu aku akan turun, melihat bik Ningsih. aku akan membantunya membuat sarapan. Gumam Widuri sembari berjalan menuruni anak tangga. Ketika sampai di dapur, Widuri disambut hangat oleh bik Ningsih."Widuri sudah bangun? Ayo sini sarapan. Bibik Buatkan nasi goreng, tadinya bibik akan mengantarnya ke kamarmu." "Ya bik, aku merasa suntuk sekali. Karena tidak ada yang aku kerjakan di rumah ini, tadinya aku ingin membantu bibik buat sarapan dan ternyata sarapannya sudah siap." ucap Widuri yang kemudian duduk di kursi meja makan. Mendengar ucapan Widuri bik ningsih tersenyum. "Tadi bibik melihat tuan Arlo turun dari kamarmu dengan tersenyum-senyum. Sejak ibunya meninggal ini kali pertama bibik melihatnya tersenyum dengan bahagia." ucap Bik Ningsih. "Ya, semalam dia datang ke kamarku. Dia ma