“Jadi apa wanita itu tak memiliki hubungan dengan Dominic?” tanya wartawan itu lagi.Benjamin menoleh kearah wartawan itu, sorot matanya tajam. “Penyampaian ku kurang jelas?"Wartawan itu perlahan mundur, dia takut.Hendra mendekati Benjamin, tampak ramah. “Ah! Kau sudah menikah, mengapa tak mengunjungi kami?!” “Pintu rumah terbuka lebar untuk mu.” ucap Hendra tampak menyambut Benjamin.Benjamin tak habis pikir. Hendra sendiri yang mengatakan Rhea bukanlah bagian dari Dominic lagi dan sekarang dia menjilat ludahnya sendiri.Benjamin menggertakkan gigi. “Kau bermain-main denganku sekarang!!Aku membiarkanmu sejauh ini karena memikirkan istriku. Mungkin dia masih menyayangi keluarganya.”“Tapi kelihatannya tidak!” Benjamin menyeringai, artinya dia tak akan segan untuk menghancurkan keluarga Dominic.Hendra tampak panik, jika dia tau Ayah dari anak yang dikandung Rhea adalah Benjamin Carillo Fuentes maka dia tak akan pernah memperlakukan Rhea dengan buruk sedari awal. Bersinggungan denga
Rhea mematung. Kalimat yang baru saja Benjamin lontarkan menyihirnya. Wanita mana yang tak senang kala seorang pria terang-terangan menunjukan rasa cintanya pada wanitanya?!“Aku lebih tak suka jika kau tak menggunakan uang ku.” bisik Benjamin ditelinga Rhea.“Dan yang tak kalah penting, aku juga milikmu.” Benjamin memiringkan wajahnya dengan ekpresi cool yang menggoda.Harusnya Rhea tak terkejut lagi. Benjamin sangat pandai merangkai kata-kata manis. Meski begitu ia tak membayangkan dibalik wajah yang tegas terdapat rayuan maut didalamnya. “Kau seperti buaya darat.” Rhea mendorong pelan dada bidang Benjamin yang kian mendekat.Benjamin tersenyum kecil atas tanggapan Rhea. Lalu dia kian mendekatkan wajahnya.Rhea tersentak, lantas kedua tangannya menepuk wajah Benjamin. “Jangan melakukannya ditempat umum.” Rhea menggeleng, menatap Benjamin lekat. “Big no, Ben!”Benjamin terkekeh. “Apa yang kau pikirkan? aku hanya ingin melihat wajahmu lebih dekat.” Benjamin menyentuh pelan hidung R
Rhea masuk kedalam mobil yang dikemudikan oleh Benjamin. Dia termenung sembari menyenderkan tubuhnya dikursi mobil. Isi kepalanya ricuh dengan adegan-adegan ketakutan yang dia buat sendiri.“Bagaimana setelah ini?" “Apa aku boleh mempercayai Benjamin sepenuhnya?”“Apa semua akan baik-baik saja?”“Aku tau betul maksud nenek, beliau meminta agar aku mengikuti jejak orang tuaku. Dimana secara tak langsung nenek ingin aku meneruskan nama besar keluarga.” Rhea bimbang dan ragu-ragu.Rhea dengan gugup memainkan jemarinya, dengan hati yang terus bergejolak.Kenangan yang ingin dia lupakan kembali memenuhi kepalanya. Selama ini Rhea tak pernah tertarik masuk kedunia yang digeluti Ayahnya. Kala itu nama Ayahnya mulai dikenal luas, itu adalah awal dari sang sutradara dan wanita pemain peran figuran bertemu. Lalu apa setelahnya?Sudah jelas Ayahnya dan Vareli jatuh hati diwaktu yang salah. Akibat dari itu banyak hati yang disakiti. Lebih kejamnya Ayahnya memilih tutup mata dan tanpa belas a
Benjamin kian menarik Rhea kedalam pelukannya, tubuh mereka saling menempel. Rhea tak memalingkan wajahnya, dia malah menatap lekat pria nakal didepannya ini. Pria yang selalu berhasil menggoda dengan menggunakan ketampanannya. “Mari kesampingkan masalah ketidakpercayaan diantara kita.” benak Rhea. Mereka berdua saling menatap dengan Intens. Kemudian Rhea menyentuh lembut dada Benjamin, sembari menepuk-nepuk nya. “Kau sungguh ingin menghangatkan ku?!” ucapnya sedikit berbisik, sembari terbesit senyum nakal dibibir manisnya. “Mengapa kau hanya diam dan menatap ku saja?!” ucap Rhea lagi, terus memancing dengan tingkah menggodanya. Benjamin tersentak, dia sempat mematung tak percaya karena Rhea tiba-tiba agresif dan menggoda lebih dulu. Rhea tak memberi kesempatan Benjamin untuk menjawabnya. Dia tanpa aba langsung menarik kerah baju Benjamin, wajah mereka nyaris saling menempel. Tak sampai disitu Rhea melingkarkan tangan nya dibelakang leher Benjamin, sembari mengecup pelan pipi
Benjamin tak mengerti alasan Rhea tiba-tiba bertingkah aneh. Namun, dia merasa istrinya tengah tertekan. Dan Benjamin tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan yang tak akan mungkin datang dua kali. Benjamin tersenyum penuh arti, dengan lembut dia mengelus lembut punggung istrinya. “Apa yang membuat mu ketakutan?” tanyanya. “Katakan padaku.” Namun, Rhea tak mengindahkannya. Malam yang penuh kilatan-kilatan guntur yang menakutkan. Membuat Rhea kian memeluk Benjamin erat, bak tak ingin lepas darinya, dan tak ingin memikirkan apapun. Tiba-tiba masalah tentang keluarganya memenuhi kepala, bagaimana perlakuan Ayahnya padanya, dan kemalangan-kemalangan yang menimpa hidupnya, juga perubahan hidupnya semenjak bertemu dengan Benjamin. Sekarang Rhea merasa membutuhkan tempat untuk bersandar sejenak. Tubuh Rhea yang menempel, membuat pikiran Benjamin kacau. Sekarang Rhea kembali memancing dirinya. Dia kesulitan menahan diri lagi. Tatapan Rhea masih saja tampak kosong. Pikirannya entah mela
“Baiklah aku akan mengabulkan keinginanmu.” ucap Benjamin. “Ah!”Benjamin terus mendorong miliknya.Rhea memejamkan matanya, dalam pelukan Benjamin, dia mencengkeramnya erat, hingga membuat goresan dipunggung Benjamin. “Awalnya aku ingin membuat celah dan nantinya melarikan diri, namun mengapa sekarang aku seperti ini, terlebih dengan mulutku sendiri meminta lebih?” benak Rhea. “Kepalaku terasa kosong dan aku lupa akan segalanya…” “Aku tidak bisa merasakan apapun selain kehangatan tubuh dan lembutnya sentuhan Ben yang menjamah ku.” “Aku tidak peduli lagi dengan dunia yang berputar dan berlalunya waktu di luar sana.” pikiran Rhea benar-benar kacau. Bersamaan dengan curah hujan yang masih turun deras juga perasaan Rhea yang tak bisa di lukiskan. Rhea tak akan ambil pusing lagi. Kali ini dia akan menikmati sensasi kenikmatan bersama Ben. Dia membiarkan dirinya sepenuhnya milik suaminya. Segala kebencian bersamaan mulai melenyap dengan datangnya kepercayaan. Benjamin terus saj
Dan setelah kejadian panas yang berlanjut, Rhea kembali terlelap dalam dekapan Benjamin. Benjamin menarik selimut, menutupi tubuh Rhea yang tak mengenakan sehelai benangpun. Ya, tentu saja pelakunya Benjamin sendiri. Benjamin memandangi wajah cantik yang terlelap kelelahan di sebelahnya. Drt…Drt..Ponsel Benjamin berdering, membuat perhatiannya teralih, lantas dia meraih ponselnya yang berada diatas meja. “Cih! Penganggu.” Benaknya kesal.Saat tombol hijau di tekan, suara gadis yang marah terdengar mengomel dari balik telepon. “Kau gila! Tiba-tiba wajahmu berseliweran di media sosial dan kau sudah menikah. Bagaimana mungkin kau tak memberitahu ku huh?!” “Itu tindakan paling buruk yang tak sopan.” “Bertindak acuh pada sanak keluargamu. Aku sepupumu yang sangat peduli padamu dan kau tak mengabari ku, tak ada satupun yang memberitahuku!!” “Dan Kau menunjukan dirimu secara terang-terangan dengan memperlihatkan bahwa kau memiliki kelemahan. Layaknya bukan Benjamin yang aku kenal. A
Rhea tenggelam dalam rumitnya pikirannya. Air matanya menetes, “Mengapa disaat aku mulai percaya? Mengapa disaat aku merasa nyaman? Disaat aku merasa mungkin untuk dicintai… Aku mengetahui hal yang seharusnya tak ku dengar." "Haruskah aku berpura tak tahu?" "Ah! sejak kapan aku menjadi takut kehilangan. Benjamin kau memang bajingan!!" umpat Rhea dalam benak. Rhea mengigit bibirnya, dia gelisah. Selesai berbincang dengan Anna, Benjamin menyadari Rhea telah terbangun. Dahi Benjamin mengkerut kala menyadari air mata Rhea yang menetes. Buru-buru dia duduk diatas kasur sebelah Rhea. Benjamin menatap Rhea lekat. “Bagian tubuh mana yang sakit?” tanya Benjamin. Ya, Benjamin mengira tubuh Rhea mungkin saja nyeri karena malam panas tadi malam dan berlanjut hingga pagi harinya. “Harusnya aku tak berlebihan, aku harus mementingkan kondisi Rhea kedepannya." "Mau, bagaimana dia sangat menggoda.” benak Benjamin, wajahnya merona memikirkan adegan panas yang menggelora. Rhea tak bergeming, di
Rhea termenung di atas kasur nya. Sampai pagi menyapa, Benjamin benar-benar tak menemuinya. Ya! ketenangan yang dia inginkan sejak kemarin. "Namun, mengapa aku sedikit kecewa?" Entah mengapa hatinya terasa resah sejak semalam. Keseharian yang tak biasa Rhea lewati tanpa adanya kehadiran Benjamin. Rhea ingat bahwa setidaknya setiap Benjamin pergi untuk mengurus pekerjaannya. Dia tak pernah pergi tanpa menemuinya lebih dulu. Dia akan datang dengan kata manis yang di rangkai indah, lalu bersikap manja padanya. Marah sekalipun pada akhirnya Benjamin akan menemuinya bak tak terjadi hal apapun, dan hari-hari akan berjalan seperti biasa. "Untuk apa aku memikirkannya." Rhea tak akan ambil pusing tentang Benjamin lagi. Lagipula pria yang membawa wanita yang katanya di cintai namun tak berniat menjadikannya rumah. Rasanya sia-sia. Rhea menghabiskan waktu nya seperti biasa. Dia sibuk dengan kegiatan barunya merajut baju. Hingga malam tiba, Benjamin benar-benar tak terlihat.
“Wajah tertekuk dengan dahi mengkerut tak cocok dengan mu!” tukas Benjamin. “Ha! Memang siapa yang membuatku begini?” gumam Rhea. Rhea berusaha keras terlepas dari genggaman tangan Benjamin, namun apa daya genggamannya sangat kuat.Kesal! jelas itu tergambar di wajah Rhea. Dia ingin mencaci, memarahinya, dan memukul kuat pria yang mengekangnya dengan perhatian yang membuatnya kebingungan dan sulit berkutik.Pada akhirnya dia mengurungkan niatnya, sudah jelas pria besar ini tak akan pernah berniat kalah darinya hal sekecil apapun itu. Dia menatap datar wajah Benjamin yang bahkan tampak santai dengan senyum yang terukir indah dibibirnya. Bak tak menyadari kekesalan diwajah istrinya atau dia pura-pura tak tahu bahwa istrinya tengah menahan amarahnya? Kesabaran ada ambang batasnya dan diperlakukan seperti orang bodoh, memilih tetap diam juga melelahkan.Rhea menghela napas, dia lelah dan tak ingin berdebat lagi. Berdebat dengan Benjamin hanya membuat tensinya naik. Senyum terpaksa Rh
Bayangan bahwa semua perkataan Benjamin akan di tepati, nyatanya janji-janjinya hanya angin lalu yang terhembus begitu saja. Bertemu dengan keluarga Benjamin? Tak pernah sekalipun itu terjadi. Ketika Rhea menanyakan perihal tersebut. Selalu saja Benjamin mengalihkan pembicaraan. Semua berlalu hingga lima bulan, dan kehamilan Rhea telah memasuki delapan bulan. Tak sekalipun kalimat Benjamin terealisasikan. Hingga Rhea lelah untuk menanyakan hal itu lagi dan memilih diam. Kehamilan 8 bulan membuat Rhea kesulitan berjalan, terlebih pergerakan bayinya menjadi lebih aktif. Rhea lebih banyak menghabiskan harinya berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Meski dia bosan, namun dia merasa jauh lebih aman untuknya tetap berada di sekitar rumah. Rhea duduk di kursi taman belakang rumah. Dia menghela napas pelan sembari mengelus-elus perutnya yang membesar, sesekali terasa pergerakan bayinya yang menendang-nendang. “Sebentar lagi kau akan lahir. Itu tak terasa sekali.” Rhea tersenyum ma
“Bagaimana, aku sudah wangi bukan?!” Benjamin tersenyum nakal. Rhea menarik dirinya sedikit menjauh. “Ya, kau sudah wangi.” jawabnya. “Tak perlu sampai mencumbu ku, dari jauh aku bisa mencium bau sabun dari mu.” uap Rhea sembari mendorong pelan Benjamin menjauh darinya. “Ah! Kau perlu merasakan langsung diriku yang sudah wangi ini.” goda Benjamin, dia menunduk menatap Rhea yang terlihat kesal padanya. Rhea bangkit dari duduknya. Dia tampak menghindari situasi yang jelas akan terarah kemana. “Ben sangat berbahaya jika menuruti godaan nya. Mengapa dia bertelanjang dada dan hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk kecil. Otot-otot dadanya sangat menarik perhatianku.” benak Rhea. Dia berdiri didekat jendela, menghindari Benjamin dengan wajah merona merah. Meski Rhea terkesan menolak dan menghindar, nyatanya pikirannya tengah kacau dan tertuju pada dada bidang Benjamin. “Pikiran mesum apa ini.” Rhea berusaha memblokir pikirannya yang terus tertuju pada Ben. Dia bahkan memukul
Sepanjang hari Rhea termenung dikursi dengan menatap kearah luar jendela, menatap langit, cuaca yang berubah-ubah, lalu lalang burung yang berterbangan, dan pesawat yang melintas beberapa kali.Semua itu adalah upayanya mengalihkan pikirannya.“Apa yang tengah kau lakukan?!” Rhea tersentak lantas menoleh, disebelahnya dia mendapati Benjamin. Dia bahkan tak menyadari kapan tepatnya kedatangannya. “Ini untukmu.” Benjamin memberikan buket bunga pada Rhea. Benjamin memberikannya begitu saja dengan wajah datarnya. Dia terlihat kaku.Mata Rhea membulat dengan ragu-ragu dia menyentuh buket bunga itu. “Kebetulan sekali aku menyukai mawar merah.” benak Rhea. “Ini sangat indah.” puji Rhea. “Aku senang kau menyukainya.” tukas Benjamin lantas menatap lekat wajah istrinya. “Mengapa tiba-tiba bunga?!” tanya Rhea penasaran. “Tak ada alasan.” jawab Benjamin.“Mm, biasanya bunga di berikan pada hari spesial. Mungkin ulang tahun, anniversary, Valentine, ya hari semacam itu. Aku tak tengah beru
Setengah hari berlalu dan Rhea lebih banyak berdiam dikamarnya. Setelah mengetahui bahwa yang kakek itu katakana bohong. Rhea merasa bodoh, percaya dengan ucapan dari orang asing. Rhea lebih banyak merebahkan diri diatas kasur dengan mata terpejam, namun tak mampu tertidur. Itu adalah bentuk kekhawatiran dan stres berlebihan tanpa dia sadari. Kemudian Rhea bangkit dari kasurnya, dia duduk di kursi dan mulai membaca buku yang sebelumnya telah dia minta ambilkan pada pelayan Ina. Rhea ingin mengalihkan pikiran-pikiran yang membuatnya frustasi, terlebih tentang Benjamin. Sedetik kemudian air mata Rhea menetes begitu saja. “Bohong jika aku tak khawatir, bohong jika aku tak takut.” Rhea menyeka air matanya dan berusaha menenangkan diri. Lalu pembahasan mengenai Vantoni yang masih belum menemukan titik temu membuat kekesalan dalam diri Benjamin kian memuncak. Ditambah dengan Rhea yang semakin penasaran dan bergerak untuk mencari tau tentangnya. "Saat ini aku masih bisa menyembunyi
Rhea mendorong dada Benjamin. “Tidak. Aku tak ingin kau menyentuhku malam ini.” “Apa yang kau pikirkan itu hanya kecupan selamat malam.” Jelas Benjamin sembari tertawa. “Aku tak akan tertipu.” Rhea tak percaya, sering kali Benjamin berkata demikian, namun berbeda dengan tindakannya. “Sungguh?!” goda Benjamin. Rhea menjauh dari Benjamin. Dia bahkan membelakangginya. Keresahan memenuhinya dan engan menyambut sentuhan-sentuhan Benjamin. Tak ada protes atau kata-kata tajam dari Benjamin. Benjamin malah memeluk Rhea dari belakang, lantas memejamkan matanya, beberapa menit dia telah tertidur dengan pulas. Rhea tak menduga bahwa malam ini Benjamin sungguh tak melakukan hal-hal mesum seperti yang di pikirannya. Wajah Rhea merona malu, rupanya sungguh hanya dia yang memikirkan itu. Kemudian dia ikut tertidur dengan pulas. Dia akan memastikan ruangan itu esok harinya. Pagi harinya Benjamin telah bersiap. Dia menatap Rhea yang masih tertidur pulas. Dia mendekati Rhea, lantas berkat
"Jangan malu dengan panggilan Sayang dariku!" goda Benjamin. Rhea meluruskan tangannya tepat ke arah Benjamin, dia bak meminta Benjamin untuk berhenti menggoda nya. Rhea tak ingin berakhir lagi dengan panas yang menggelora. Rhea berusaha memblokir pikiran-pikiran mesumnya. Kemudian dia berjalan lebih dulu menaiki tangga, mendahului Benjamin. Rhea tak ingin terjebak dengan situasi yang akan sulit dia hadapi nantinya. Terlebih Benjamin sangat suka menyentuh bagian-bagian sensitif nya. Rhea terus melangkah, namun dalam benaknya dia sungguh penasaran dengan ruangan itu. Dia ingin memastikan sendiri kalimat dari kakek itu. Rhea menoleh kearah ruangan itu sepintas dengan kaki yang terus melangkah menaiki anak tangga. Benjamin yang berada tepat dibelakang mengamati gerik Rhea, tatapannya tajam. Lantas Benjamin mempercepat langkahnya, dia merangkul pinggang Rhea. Dengan cepat ekspresi nya berubah lebih hangat. “Jalanmu sungguh lambat.” Ucap Benjamin menoleh kearah Rhea. “Mm, aku sedi
Kekhawatiran dan rasa cemas memenuhinya. Rhea terus memikirkan kalimat kakek itu hingga malam tiba. Rhea tak tenang hingga sulit memejamkan matanya. Rhea sampai tak menyadari. Detik, dan menit terus berjalan. Hingga suara langkah kaki terdengar mendekat. Rhea berpura memejamkan matanya. "Benjamin sudah pulang." benak Rhea menebak. Karena tak mungkin orang lain masuk ke kamarnya di tengah malam. Kemudian langkah kaki Benjamin mengarah ke kamar mandi, suara air mulai terdengar. Rhea semakin gelisah. “Sebaiknya ku katakan saja mengenai perkataan kakek tadi?!” “Tidak! Aku akan memeriksa dan memastikan lebih dulu mengenai perkataan kakek itu.” benaknya. Ceklek!! Suara pintu kamar mandi terbuka. Terdengar langkah kaki Benjamin yang mengarah padanya. Rhea kembali memejamkan mata. Rhea merasa risih, dia merasakan tatapan tajam terarah padanya. “Hm! Kelopak matamu bergerak-gerak. Kau tak pandai berbohong.” tukas Benjamin. Kala mendengar kalimat Benjamin, tanpa sadar Rhea mengerutka