Pandangan Reva tertuju ke seluruh penjuru, melihat pemandangan yang membuat sekilas memorinya teringat. Reva benar menahan tangis, dia tak ingin Roy tahu jika dia mengingat suatu hal di sana. Namun dia merasa sedikit berbeda dari halaman depan rumah tersebut. “Lihat Reva, ini masih sangat bagus. Dari luar saja sudah terlihat sangat terawat,” ujar Roy, menjelaskan kepada Reva. Reva menganggukan kepalanya. “Kan kamu yang menjaganya, pasti sudah masih bagus,” jelas Reva. “Apakah kau juga mendekorasi halaman rumah ini?”Roy mengangguk. “Iya, tanaman disini sudah layu semua. Jadi saat aku ganti dengan yang baru, aku memutuskan untuk mendekorasi ulang,” jelas Roy.“Ini juga terlihat lebih bagus dari yang lama.” Reva menatap disekitar, banyak bunga-bunga yang tertanam, ada juga pot-pot bergantung di depan rumah.“Mau masuk lagi?” ajak Roy, Reva menghembuskan nafasnya sambil mengangguk-anggukan Kepalanya.“Ayo.”Roy mengandeng tangan Reva, membuka pintu rumah tersebut. Terlihat rumah itu y
Setelah melihat rumah Rama Reva, kini mereka berdua sedang berada di sebuah cafe. Karena waktu sudah siang hari, perut mereka pun terasa sangat lapar.“Jadi bagaimana Reva? Apakah kamu mau tinggal disana?” tanya Roy, setelah memesan makanan untuk mereka berdua. Reva menghembuskan nafasnya. “Lebih baik kamu jual saja rumah itu, atau bisa kontrakan juga bisa,” jawab Reva membuat kening Roy mengekerut.“Kenapa? Apa karena lantai dua belum aku ubah?” sarkas Roy dengan cepat, mengingat semua tempat sudah dia rubah terkeculai di lantai dua. Dia belum sempat utnuk mengubahnya, menayap Reva meminta penjelasan.Reva dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Tidak, bukan karena itu. Apapun yang telah kamu ubah, masalalu trauma ku akan selalu melekat disana,” jawab Reva, mentap mata manik milik Roy.Roy tak bisa berkutik lagi, dia mengertti alasan Reva tak ingin tinggal disana lagi. Mungkin jika dirinya menjadi Reva, dia juga sama tidak akan ingin tinggal di sana.Reva menunduk sejenak, sebelum ke
Roy tak menjawab, justru membawa dirinya kesebuah menara. Menaiki menara yang lumayan tinggi, namun juga sangat indah.“Kita lihat dari sini maksudnya,” balas Roy tersenyum ke arah Reva.Reva takjub, melihat pemandangan danau yang dua kali lebih indah dari dibawah. Terlihat banyak juga buring-burung, yajg turun ke danau mencari ikan. Danau yang sangat tenang, seperti tidak ada masalah. Dengan air yang sangat jernih, membuat dia menjadi ingat di desanya.“Bagaiamna? Bagus tidsk?” tanya Roy.Reva menganggukan kepalanya dengan cepat. “Bagus sekali, aku pertama kali melihat danau. Kalau di desa gadis sama sekali tidak boleh ke danau,” jawab Reva, Roy hanya menganggukan kepalanya.“Kenapa kita harus melihat dari atas seperti ini?” tanya Reva, melihat ada beberapa menara lainnya yang nrada di sekitaran danau tersebut.“Duduk Reva,” ujar Roy, mengajak Reva duduk di sebuah menara itu terdapat dua kursi.“Kita diperbolehkan melihat danau dari atas menara, karena jika dari dekat dan dapat berm
Tio dan MilaDi tempat lain, di kehidupan Tio—mantan suami Reva, dan Mila—istri baru Tio. Mereka hidup sangat berkecukupan, tinggal di rumah yang sederhana, dan bekerja untuk makan sehari-hari.Brak!Mila memukul meja makan dengan keras, membuat Tio yang baru saja selesai bekerja sangat kaget melihatnya.“Mas! Kamu kalau kerja yang bener, masak uang bulanan aku dikit banget, ngerti dong kamu!” Bentak Mila, sambil mengambilkan beberapa yang dihadapan Tio.Tio menatap Mila dengan lesu. “Mila, kamu juga mengerti bagaimana kondisi kita saat ini. Aku sudah berusaha mencari kerja yang lebih, tapi tidak ada yang mau menerimaku!” jawab Tio, sudah berapa kali Tio berusaha untuk membuat istrinya tenang tentang keuangan, namun dia selalu salah.“Halah! Bilang saja, jika kamu sudah malas menafkahi istri dan anakkmu kan? Kamu fikir uang bulanan yang kamu kasih itu cukup? Jelas tidak!” bentak Mila. “beli susu Angga, uang dapur, belum lagi untuk aku! Kurang mas kurang!”Nafas Mila naik turun, bert
Vian berdecak. “Harusnya itu yang kamu pikirkan terlebih dahulu, kamu cantik, tubuh juga oke. Harusnya kamu sama pria yang lebih pantas!” jawab Vian membuat Mila tersipu malu mendengarnya. “Aku jadi malu,” kekeh Mila. “tapi kali ini aku belum, namun jika beberapa bulan kedepan tidak ada perubahan aku tak segan-degan pergi dari hadapannya saat itu jug!”Vian mengacungkan jari jempolnya. “Aku sangat setuju itu, harus kamu lakukan itu semua biar dia kapok!”Mila menyetujui perkataan Vian, dia juga sudah malas berurusan dengan Tio. Jika bukan karena dia masih sayang dengan Angga, dia tidak akan Sudi untuk tinggal disana.18:00Menjelang magrib Tio baru saja pulang dari kerja, karena banyak pekerjaan yang harus dia lakukan membuat dia harus pulang sore hari seperti ini.Menginjak halaman rumah membuat Tio menghembuskan nafasnya dengan pasrah, sungguh malas dia pulang kerumah. Dia pasti akan mendapatkan cacian, makian, dan bentakan dari Mila. Jika bukan Angga yang menjadi penyemangat hidu
“Kamu suami terlalu perhitungan kepadaku, menyesal kepadaku, dan tak pernah membahagiakan istri!” bentak Mila, tepat dihadapan Tio dengan perasaan yang sangat kesal.Tio mengepalkan tangannya tak kuasa menahan emosi, mendengar perkataan Mila berhasil membuat emosi di ujung tanduk.“Apa yang kau katakan?!” Tanya Tio, dengan tatapan nyalangnya.Mila berdecih, dia sama sekali tidak merasa takut dengan tatapan yang di layangkan oleh Tio kepada dirinya.“Kenapa? Mau marah, jelas itu sudah benar Tio!” Balas Mila. “Kau selalu saja mengatakan jika aku, yang menghabiskan sertifikat rumah! Itu saja yang kamu selalu jadi alasan, disaat aku ingin marah kepadamu!”“Lalu? Apakah aku yang menjadi salahnya?” tanya Balik Tio, dengan tatapan heran sekaligus menahan emosi. Dia juga tidak bisa melampiaskan emosinya kepada wanita di hadapannya, yang masih berstatus sebagai istrinya.“Aku sama sekali tidak pernah merasakan uangnya, Mila!” Tio menunjuk wajah Mila dengan tangan terkepal. Mila mendorong pund
“Aduhh suami yang baik hati, tidak bekerja toh mas?” tanya ibu-ibu tetangga, yang tak sengaja lewat dan melihat Tio yang tengah menggendong Angga.Tio menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum dengan singkat. “Tidak, aku harus libur terlebih dahulu. Kasihan Angga tidak ada yang mengurusnya,” jawab Tio, membuat ibu tersebut hanya mengangukan kepalanya.“Kalau begitu saya permisi, ya. Titip salam sama Mbak Mila, jarang sekali saya lihat keluar,” ujarnya, sembari berjalan dengan sopan pergi dari hadapan Tio.Tio menatap Angga yang sudah tertidur tenang di dalam gendongannya, dia mencubit pelan degan gemas hidungnya yang indah. “Loh, Tio? Kamu belum berangkat kerja juga?” tanya teman Tio, menatap Tio yang masih memakai pakaian kemarin.Tio menghembuskan nafasnya, dia mendekati teman Tio pergi dari pekarangan rumahnya agar Nila tidak mendengar pembicaraan mereka berdua.“Aku sekarang belum bisa bekerja, Bim. Istriku sudah marah-marah dari kemarin, bahkan tidur saja aku diluar,” ujar Tio d
Tio tidak main-main dengan ucapannya, keesokan harinya dia bangun sangat pagi sekali. Bahkan Mila belum bangun, dia sudah pergi dari rumah Tio berjalan sendirian di jalanan, melihat orang yang sudah berlalu lalang untuk bekerja atau ke pasar. Tio akan berusaha Untuk mencari sebuah pekerjaan tambahan, dari kejauhan dia melihat sebuah ruko kecil. Dia pun tersenyum, dengan langkah cepat mendekati ruko tersebut “Permisi pak, apakah disini memerlukan seorang karyawan?” Tanya Tio dengan sopan, berharap dengan apa yang berada di alam pikirannya.“maaf mas, tapi kami sudah memiliki banyak karyawan,” jawab sang pemilik.Tio menganggukan kepalanya. “Baiklah kalau begitu, saya pernisi pak.” Tio pergi dari ruko tersebut, walau terlihat perasaan kecewa namun tidak membuat semangatnya pudar untuk mencari pekerjaan tambahan untuk dirinya sendiri.Tio kembali berjalan di pinggir, mencari pekerjaan yang layak dan cocok untuk dia kerjakan.Tio kembali mendatangi sebuah warung yang lebih besar, dia m