"Saya kira Mas Adnan sudah menjelaskan kepada Ibu masalah dalam rumah tangga kami," jawabku dengan sopan.
Aku sangat menghormati ibu mertuaku, karena sikap beliau selama ini begitu baik."Adnan hanya bilang telah terjadi kesalah pahaman diantara kalian berdua. Itu sebabnya, Ibu datang kesini untuk bertanya langsung kepadamu," jawab Ibu seraya menatapku dengan sorot matanya yang teduh."Kesalah pahaman katanya? Apakah ketika seorang Istri menangkap basah suaminya yang sedang tidur dengan wanita lain itu masih bisa dikatakan kesalah pahaman?" tanyaku kepada Ibu.Wajah ibu sedikit tercengang mendengar pertanyaanku. Berbeda dengan Mas Irwan, dia terlihat biasa saja."A-apa maksudmu Aisha? Adnan berselingkuh?" tanya Ibu seolah tidak percaya anak kesayanganya telah mengkhianati pernikahannya sendiri."Iya Bu. Mas Adnan berselingkuh dengan wanita yang lebih muda dariku. Mereka tidur di ruko tempat usaha Mas Adnan!" tegasku.Kedua netra ibu terlihat mengembun. Sementara wajahnya masih terlihat seolah tidak percaya dengan kenyataan yang ada. Mungkin dia tidak menduga jika anaknya melakukan perbuatan yang bisa mencoreng nama baik keluarga."Seharusnya kamu introspeksi, Aisha. Kenapa sampai Adnan berselingkuh darimu!" ucap Mas Irwan ketus.Hati terasa panas mendengar ucapan kakak iparku itu. Jadi menurutnya, Mas Adnan selingkuh karena kesalahanku?"Instrospeksi apa maksud kamu, Mas? Apa maksud Mas aku tidak becus menjalankan tugas sebagai seorang istri, begitu?" ucapku dengan intonasi yang meninggi.Emosiku tersulut karena merasa disudutkan oleh kesahalan yang tidak pernah dilakukan."Laki-laki itu kalau terpuaskan dirumah, tidak mungkin jajan diluar. Kalau Adnan berselingkuh, itu tandanya dia tidak puas denganmu!" ujarnya lagi dengan wajah tanpa dosa."Jadi menurut Mas Irwan, wajar jika laki-laki tidak puas dengan pelayanan istrinya di rumah dan berselingkuh, begitu?" sindirku."Bagiku wajar, karena laki-laki adalah kepala keluarga dalam rumah tangga. Lagipula, dalam agama kita laki-laki diperbolehkan memiliki lebih dari satu orang istri."Ucapan Mas Irwan semakin membuatku meradang. Kedatangannya bukan menjadi penengah diantara kemelut rumah tanggaku, namun malah sebaliknya."Jadi berzina menurutmu hal yang wajar juga, Mas? Kamu sama saja dengan Mas Adnan, sama-sama sudah tidak waras!!" bentakku."Enak saja bilang aku tidak waras. Wajar Adnan berselingkuh, dia tidak tahan dengan wanita sok berkuasa seperti kamu!"Amarahku mencapai puncaknya, darah dalam tubuh seakan mendidih dan mulai naik ke ubun-ubun. Namun saat aku ingin beraksi membalas perkataannya, ibu mertua segera bertindak."Sudah-sudah, cukup. Kita kesini mau mencari solusi dan jalan tengah masalah ini tetapi kenapa malah jadi berdebat seperti ini? Irwan, sebaiknya kamu tidak usah ikut bicara. Percuma kalau hanya semakin memperuncing masalah!" hardik ibu mertua kepada anak tertuanya.Aku menarik nafas dalam, sebelum menghembuskannya kasar. Mencoba berusaha mengatur emosi yang siap meledak bagaikan bom atom. Semua aku lakukan semata-mata karena masih menghormati ibu mertua."Aisha, kalau memang Adnan yang bersalah, tolong maafkan dia. Nanti biar Ibu yang bicara kepadanya dan meminta maaf kepadamu!" ibu mertua terlihat memohon kepadaku."Maafkan Aisha, Bu. Sudah menjadi komitmen Aisha, jika dalam pernikahan ada kekerasan dalam rumah tangga atau perselingkuhan, tidak akan ada kata maaf dan toleransi. Minggu depan Aisha akan mengajukan gugatan perceraian ke kantor pengadilan agama!" ucapku tegas."Aisha, jangan cepat mengambil keputusan. Ibu yakin, saat ini kamu sedang emosi. Coba dipertimbangkan kembali, kalian memiliki anak yang masih kecil. Adeva masih membutuhkan kasih sayang ayahnya," ratap ibu mertua seraya menggenggam jemariku."Maafkan Aisha, Bu karena tidak bisa memaafkan Mas Adnan. Bagi Aisha, berselingkuh itu adalah suatu penyakit yang akan sulit disembuhkan. Kalaupun sembuh, suatu saat pasti akan kambuh. Aisha tidak mau menanggung resiko tersiksa lahir batin, Bu," sahutku menolak permintaan ibu dengan halus."Biar saja dia menggugat cerai Adnan, Bu. Toh Adnan sudah memiliki usaha yang bagus, jadi tidak membutuhkan wanita ...." ucap Mas Irwan tidak meneruskan ucapannya.Sepertinya dia keceplosan bicara, namun terhenti karena ibu mertua melotot ke arahnya.Apa maksud perkataan Mas Irwan, jika Mas Adnan tidak membutuhkanku lagi karena sekarang dia sudah memiliki usaha? Apa selama ini Mas Adnan menikahiku karena ada tujuan tersembunyi?"Ibu harap, kamu mempertimbangkan kembali keputusanmu untuk bercerai dengan Adnan. Ingat, ada Adeva yang akan kehilangan kasih sayang ayahnya jika kalian bercerai!" ibu mertua tidak menyerah membujukku.Aku hanya mengangguk, seolah mengikuti permintaannya. Wanita paruh bayu itu kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berkata, " Aisha, maaf apakah uang bulanan ibu bisa ditransfer hari ini?" tanya ibu lirih namun berhasil membuatku terkejut.Rasa hormatku tiba-tiba sirna ketika mendengar permintaannya. Aku tidak menyangka, jika beliau masih mengharapkan jatah bulanan disaat rumah tangga sedang kacau karena ulah anaknya.Aku memang belum mengirimkan jatah rutin kepada ibu mertua bulan ini."Maaf Bu, mulai bulan ini dan seterusnya aku tidak akan mengirimkan jatah bulanan lagi. Aku membutuhkan uang banyak untuk proses pengajuan gugatan cerai!" jawabku dengan jujur.Wajah ibu yang awalnya terlihat sedih seketika berubah menjadi garang. Matanya menatapku sinis dan deru napasnya terdengar naik turun. Baru sekarang aku mengetahui watak asli wanita yang bergelar ibu mertua ini."Kamu masih sah menjadi istri Adnan, jadi masih menjadi kewajibanmu mengirimkan uang kepada Ibu, Aisha!" protes ibu dengan wajah tidak tahu malu."Maaf Bu, silakan minta saja pada Mas Adnan. Bukankah sekarang Mas Adnan sudah tidak membutuhkanku lagi?" sahutku dengan santai."Sudah Bu, jangan permalukan diri kita di depan wanita sombong ini. Pantas Adnan berselingkuh darinya, karena selain dia sombong dia juga punya sifat kikir kepada Ibu Mertuanya sendiri!!" teriak Mas Irwan seraya menyeret tangan ibu keluar dari rumah.Aku segera menutup pintu rumah dengan sekali hentakan, sebagai luapan emosi yang tidak tersalurkan. Biar saja sekalian aku di cap sebagai menantu kurang ajar karena bertindak kurang sopan kepada Ibu Mertua.Selama ini aku sudah berusaha menjadi Istri dan menantu yang baik. Namun semuanya percuma, karena kenyataannya Mas Adnan mengkhianatiku padahal selama ini dia sudah menjadi benalu dalam rumah tangga kami."Ada apa Bu? Apakah Ibu baik-baik saja?" tanya Bik Darmi yang terlihat berlari tergopoh-gopoh dari arah dapur."Tidak apa-apa, Bik. Saya cuma emosi saja sama keluarga benalu seperti mereka," jawabku seraya berusaha tersenyum dipaksakan."Benalu teh apa, Bu?" sepertinya Bibik baru dengar!" timpal Bik Darmi polos."Benalu itu sama kayak parasit Bik. Hidupnya merugikan orang lain," jawabku menjelaskan."Ooh itu maksudnya. Iya, Bibik paham Bu," ujar Bik Darmi seraya tersenyum malu-malu."Adeeva mana Bik?" tanyaku, karena daritadi tidak melihatnya."Non Adeeva sedang nonton kartun di TV, Bu," jawab Bik Darmi."Ya sudah, saya ke Adeva dulu Bik."Bik Darmi hanya mengangguk dan melangkah kembali menuju dapur....Malam harinya, ponselku berdering dengan kerasnya. Aku lupa mengatur volumenya, setelah mendengarkan alunan musik favorit tadi sore. Segera meraihnya tanpa melihat siapa yang menghubungiku di waktu malam begini."Hei wanita sombong!!!"Aku terkejut mendengar teriakan seseorang di sebrang sana....***“Mas Adnan? Apa maksud Kamu?” bentakku tak mau kalah.“Kamu bisa berlaku apapun kepadaku. Tetapi tidak kepada Ibu dan Kakakku. Kamu menantu kurang ajar, karena sudah bersikap tidak sopan kepada Ibu Mertuamu sendiri!” ucap Mas Adnan dengan suara bergetar. Nampaknya dia sedang dilanda emosi.“Memangnya apa yang sudah kulakukan kepada Ibu? tidak ada yang salah. Aku hanya menolak permintaan Ibu memberinya jatah bulanan, karena memang sedang membutuhkan banyak uang untuk proses pengajuan perceraian. Itupun Aku sampaikan dengan cara yang sopan, walaupun sebenarnya Aku sempat tersulut emosi karena sikap Mas Irwan!" sanggahku.“Tetapi bukan berarti Kamu bertindak kasar kepada Ibuku, mendorongnya hingga terjatuh!”“Mendorong? siapa bilang Aku mendorong Ibu? Aku masih bisa menahan emosi untuk tidak berbuat kasar, apalagi kepada Ibu yang sudah berusia lanjut. Walau bagaimanapun, Aku masih menghormati beliau!"“Alaah, Kamu tidak usah mengelak. Mas Irwan yang menjadi saksinya. Sekarang Kamu harus
"Bu Aisha, ini Aku Santi!" teriak seorang perempuan dari luar mobil. Aku menelisik wajahnya, karena penerangan di sekitar kurang begitu terang. Benar, dia adalah Santi salah satu karyawan Mas Adnan.Aku segera melepaskan seat belt dan membuka pintu mobil, menghampiri Santi yang sedang menungguku. "Ibu Aisha apa kabar?" tanya seorang gadis cantik bertubuh ramping itu seraya meraih punggung tanganku dan menciumnya takzim. Sudah menjadi kebiasaan semua karyawan wanita Mas Adnan, mencium tangan ketika bertemu denganku."Alhamdulillah, kabar Ibu baik Santi. Kamu sendiri?" tanyaku penasaran."Kalau kabar Saya kurang baik, Bu. Sudah satu minggu ini Saya dan karyawan lain di rumahkan!" jawab Santi lirih"Dirumahkan? maksudmu, rumah makan ini bangkrut?" Aku terkejut hingga membelalakkan mata."Iya, begitulah Bu. Sepertinya karena video Pak Adnan dan selingkuhannya yang sedang melabrak Ibu viral, berimbas sama pengunjung rumah makan!" jawab Santi dengan wajah sedih."Berarti rumah makan tutup
Aku sangat penasaran, siapa gerangan yang bertamu di jam istirahat seperti ini?“Ba-Pak Ad-nan, Bu!” jawab Bik Darmi gugup. Seketika Aku membelalakkan mata dan tanpa sadar menjatuhkan surat dalam genggaman. Dengan sigap Bik Darmi memungutnya dan meletakkan kembali ke tempat sebelumnya.“Apakah Ibu mau menemuinya? jika tidak biar Bibik yang sampaikan kalau Ibu sudah tidur!” ucap Bik Darmi memberikan ide.“Tidak perlu, Bi. Biar Saya temui saja,” Aku menolak ide Bik Darmi.‘Ada perlu apa sebenarnya Mas Adnan menemuiku? apakah dia juga sudah mendapatkan surat panggilan dari Pengadilan Agama?’ batinku.Aku melangkah perlahan menuju ruang tamu, rasa letih yang mendera sebelumnya seketika sirna. Dadaku sedikit bergemuruh jika berkaitan dengan laki-laki yang sudah menorehkan luka di hati. Aku berharap dia tidak membuat masalah lagi seperti tempo hari di telepon. Sesosok laki-laki yang dulu sangat Aku hormati sedang duduk menekur pada sofa yang berada di ruang tamu. Wajahnya sedikit kusut da
“Mas Adnan?” Aku mencoba memanggil namanya. Memastikan jika dia mendengar panggilanku.“Maaf, Mas Adnannya sedang sibuk jadi tidak bisa diganggu dengan urusan yang tidak penting!” jawab seseorang yang suarnya sangat Aku kenal. Itu suara Sarah, selingkuhannya Mas Adnan.“Aku tidak ada urusan denganmu. Cepat berikan pada Mas Adnan, ini menyangkut keselamatan putrinya!” hardikku dengan menahan emosi yang membuat sesak di dada.“Sudah Aku bilang Mas Adnan sibuk, ngerti enggak sih? lagipula, Mas Adnan pernah bilang kepadaku kalau dia sudah tidak peduli lagi dengan keluarganya, termasuk kepada Anaknya!” ucap Sarah dengan nada mengejek.Dadaku bergemuruh mendengar ejekannya, dengan cepat Aku langsung memutuskan panggilan, karena khawatir akan semakin tersulut emosi. Rasanya ingin menjambak dan menampar mulut wanita jalang itu. Aku juga sebenarnya tidak sudi menghubungi Mas Adnan, kalau bukan karena Adeeva membutuhkannya. Sekarang jelas bagiku, jika sikap Mas Adnan kemarin malam yang memohon
Aku masih belum percaya dengan ucapan Santi. Lagipula setahuku, ruko yang dijadikan tempat usaha Mas Adnan adalah sewa, bukan milik pribadi. Jadi mana mungkin bisa dijadikan jaminan hutang? Tidak tahu jika Mas Adnan dan pemilik ruko mempunyai kesepakatan.“Apakah ucapan Anto dapat di pertanggung jawabkan, Santi? apa dia punya bukti saat Bapak Adnan mengucapkan itu?” tanyaku mencoba meyakinkan ucapan Santi.“Ada, Bu. Kebetulan saat Bapak Adnan mengatakan akan membayar semua gaji karyawan, diam-diam Anto merekamnya. Tujuannya agar ada bukti jika suatu saat beliau ingkar janjinya!” jawab Santi membuatku sedikit lega.Santi meminta nomor kontakku dan mengirimkan rekaman suara Mas Adnan yang di dapat dari Anto. Tak lama kemudian, Santi berpamitan untuk kembali bekerja. Aku menatap kepergian Santi dengan tatapan kosong.Nafsu makanku tiba-tiba hilang setelah mendengar informasi dari Santi. Aku bergegas meninggalkan restaurant dan makanan yang belum habis di nikmati. Fikiranku kini berkecam
Langkahku terhenti, ketika Mas Adnan menghalangi jalan. Disusul kemudian oleh Ibu Mertua yang ikut menghadang jalanku.“Aisha, Kamu dapat informasi darimana kalau Aku ingin rujuk karena ingin memanfaatkanmu?” tanya Mas Adnan dengan tatapan memelas.“Kamu masih belum mau mengaku juga, Mas? apa bukti rekaman itu tidak cukup?” hardikku balik bertanya.“Aisha, dengarkan penjelasan Suamimu dulu, Nak. Tidak mungkin Anak Ibu mau memanfaatkan Kamu, dia benar-benar tidak ingin masa depan Adeeva hancur jika kalian bercerai,” ucap Ibu Mertua berusaha menengahi perdebatan Kami. Sejujurnya, Aku sudah muak melihat wajah Ibu dan Anak yang begitu kompak bersandiwara ini. Namun sayangnya, Aku bukan Aisha yang dulu. Istri dan menantu bodoh yang mau dimanfaatkan oleh Anak dan Ibu Mertua yang parasit.“Maaf Bu, Kita tunggu saja keputusan dari Pengadilan. Kalaupun nanti hasilnya tidak memuaskan, Aku akan tetap menuntut untuk berpisah dengan Mas Adnan. Aku sudah tidak sudi menjadi Istri yang selalu dibodo
Aku membunyikan klakson seraya menjulurkan kepala melalui jendela mobil.“Anto, bisa minta waktunya?” panggilku kepada Anto yang menoleh setelah mendengar suara klakson. Dia tersenyum seraya menganggukkan kepala. Lalu kemudian dia melajukan motornya dan berhenti di tempat parkiran halaman minimarket yang berada di area SPBU. Mobilku melaju mengikuti Anto. Setelah memarkirkan kendaraan dengan aman, Aku melangkah keluar mobil menghampiri Anto yang sudah menunggu di kursi besi yang tersedia di depan minimarket.“Apa kabar Anto?” sapaku mengawali pembicaraan.“Kabar Saya baik, Bu Aisha. Ibu sendiri bagaimana kabarnya?” Anto balik bertanya.“Kabar Saya juga baik-baik saja. Maaf kalau Saya mengganggu perjalanan Kamu. Sebenarnya, ada hal yang ingin Saya tanyakan!” berucap mengutarakan tujuanku.“Hal apa, Bu?” tanya Anto penasaran.“Apa benar, jika Mas Adnan menjanjikan akan membayar gaji kalian jika sudah rujuk dengan Saya?” tanyaku dengan tatapan menyelidik.Anto sedikit terkejut mendengar
Aku terkejut mendengar kemarahan Mas Akbar. Beliau seolah mengetahui masalah yang terjadi dalam rumah tanggaku.“Mas Akbar, apa maksudnya bicara seperti itu? memangnya Mas Adnan kenapa?” tanyaku ber[ura-pura tidak tahu alasan kemarahan kakak satu-satunya itu.“Kamu tidak usah menutupi masalah rumah tanggamu pada Mas, Dek. Aku saudara satu-satunya sekaligus pengganti kedua orang tua Kita. Kenapa Kamu menyembunyikan semuanya dari Mas, Dek?” tanya Mas Akbar dengan sorot mata penuh dengan kekecewaan.Sementara Mbak Nisa, terlihat berusaha menenangkan Mas Akbar yang sudah mulai emosi. Jemarinya yang lentik, mengusap perlahan punggung tangan Mas Akbar.“Ma-afkan Adek, Mas. Bukan maksud Adek menyembunyikan masalah yang sedang terjadi, tetapi Adek takut akan menjadi beban fikiran Mas Akbar!” jawabku memberikan alasan.“Membebani apa maksud Kamu, Dek? Mas ini Kakakmu, jadi berhak tahu apa yang terjadi dengan Adiknya. Mas tidak rela jika Kamu hidup menderita!" ujar Mas Akbar sedikit lebih tenan
Aku dan Alma hanya menatap dengan wajah tegang saat melihat Mas akbar melayangkan tinjunya ke wajah Pak Askara. Terdengar erangan kesakitan, bersamaan dengan cairan merah segar yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tetapi Mas akbar sepertinya sudah dilanda emosi saat mengetahui semua kebenarannya. Pak Askara menginginkan cinta dariku, seorang wanita yang telah bersuami. Terlebih dia mempermainkan hati wanita yang dicintainya, Alma. Dia menjalin hubungan dengan Alma hanya bertujuan ingin membalaskan sakit hatinya karena mendapatkan penolakan dariku.Beberapa jam sebelumnya, saat Mas Azam berkata akan menemui Pak Askara, aku sangat mengkhawatirkannya. Sehingga lekas menghubungi Mas Akbar untuk meminta bantuannya. Kebetulan dia sedang berada diluar. Namun bersamaan dengan itu, Alma pun datang berkunjung ke rumah. Akhirnya aku mengajaknya serta untuk menyusul Mas Azam dan Pak Askara di tempat yang belum diketahui keberadaannya. Namun kemudian Mas Akbar memberit
Aku melangkah lebar meninggalkan Aisha, istriku. Dia melepas kepergian dengan tatapan kosong. Pasti dia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan karena akan menemui Pak Askara, laki-laki yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.Laki-laki yang menginginkan Aisha, padahal dengan jelas mengetahui statusnya telah bersuami.Kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang terletak di pusat kota. Entah apa yang akan terjadi diantara kami berdua. Seandainya laki-laki itu mengajak menyelesaikan masalah secara jantan, mau tidak mau harus siap meladeninya. Ini semua demi harga diriku dan Aisha.Mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan tinggi melesat menembus jalan raya yang cukup padat. Sebenarnya jika menuruti hawa nafsu, emosiku sudah terpancing sejak mendengar percakapannya dengan Aisha. Dia seolah mengancam, akan menghancurkan hati Alma sahabatnya karena tidak menerima cinta laki-laki itu. Sebenarnya memang sudah sejak lama aku menaruh rasa cemburu kepadanya.Bahkan aku hampir saja menyera
Aku menepiskan rasa heran karena calon suami Alma tidak berada diantara kami.“Mas, sebaiknya segera pangil ambulance,” ucapku memberi saran kepada Mas Akbar yang sedang menopang tubuh Alma, dia masih belum juga sadarkan diri.“Saya sudah memanggil ambulance, Mbak. Mungkin sebentar lagi datang,” timpal wanita yang dipanggil bu rt oleh Alma.Benar saja, tidak lama kemudian terdengar bunyi sirine yang memecah kesunyian malam. Warga yang berada di sekitar kejadian seketika membubarkan diri saat mobil ambulance perlahan menepi. Salah satu warga yang mengendong Shania pun tengah bersiap menyambut kedatangan kendaraan yang ditakuti oleh beberapa kalangan orang ini.Mas Azam berinisiatif meminta izin untuk mengambil alih Shania, setelah mobil ambulance berhenti tepat di hadapan kami. Dua orang petugas menurunkan brankar untuk membawa pasien. Mas Azam menggendong Shania dan meletakkannya di atas brankar. Setelah mengucapkan terimakasih kepada semua warga yang membantu, Mas Azam, Mas Akbar bes
Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, sosok laki-laki berpangkat Wakapolres itu duduk bersisian denganku. Seperti biasa, dia melemparkan senyum manis ke arahku. Dia menyapa Adeeva dengan penuh kehangatan dan seperti biasa putriku itu mencium punggung tangan Pak Askara dengan takzim.“Mau setor juga, Pak?” alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik. Pak Askara mengangguk. Lalu dengan semangatnya dia bercengkrama dengan Adeeva. Putri kecilku itu terlihat ceria bersamanya. Putriku termasuk anak yang supel, sehingga mudah akrab dengan siapa saja. Ditambah Pak Askara bukan lagi orang baru baginya.Aku jadi teringat dengan Alma. Apa sebaiknya aku tanyakan mengenai hubungan mereka? Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepadanya.“Pak Askara, maaf sebelumnya jika saya lancang bertanya,” ucapku ragu.“Mau bertanya apa, Bu Aisha? Kelihatannya serius ….,” jawabnya seraya tersenyum simpul.Aku sedikit keraguan untuk bertanya hal yang cukup ribadi kepada laki-laki ya
Mas Azam mengajak kami semua menuju ruang tunggu. Menurut informasi dari maskapai, perkiraan delay akan berlangsung selama setengah sampai satu jam kemudian. Namun tidak dapat dipastikan, tepat atau malah meleset dari perkiraan.“Bagaimana ini, Hubby? Apa kita harus menunggu, mengganti jadwal penerbangan atau digagalkan saja?” tanyaku dengan wajah cemas.“Sebaiknya kita tunggu saja. Semoga delaynya tidak memakan waktu lama,” jawab Mas Azam menenangkanku.“Iya, Sha kita tunggu aja. Biar nggak bete, lebih baik kita photo-photo dulu. Bagaimana?” tanya Alma memberi ide. Dia terlihat santai dengan kabar delay ini. Alma memang sudah terbiasa bepergian menggunakan pesawat, sementara ini adalah pengalaman pertama bagiku.Kami akhirnya menuruti ide Alma. Berganti-ganti pose mengikuti arahan Alma yang bertindak sebagai photographer dadakan. Dengan tingkah lucunya, dia bisa membuat kami semua tertawa. Bahkan Mas Akbar yang beberapa bulan terakhir bermuram durja, kini sudah bisa tersenyum. Dia se
Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Abraham, tiba-tiba terdengar bunyi sirine ambulance yang memekakkan telinga. Sontak membuat kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Asisten rumah tangga Mas Akbar berlari membukakan pintu gerbang, ketika bunyi sirine menghilang dan tergantikan oleh suara klakson mobil Mas Akbar.Abraham berjalan menuju halaman rumah, mencari tahu asal suara sirine yang kini sudah tidak terdengar lagi. Detik berikutnya, sebuah mobil ambulance melaju memasuki halaman rumah, disusul kemudian oleh mobil Mas Akbar yang mengikuti dari belakang. Dua orang petugas turun dari mobil ambulance dan menurunkan brankar yang diatasnya terdapat keranda berselimutkan kain berwarna putih. Mas Akbar turun dari mobil dan berlari kecil menyusul kedua petugas itu.Jantungku berdegub kencang menyaksikan pemandangan ini. Mas Azam yang berada bersisian denganku turut membantu mendorong brankar memasuki rumah. Sementara Abraham terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. .Setelah men
“Asalkan apa, Abraham?” tanyaku penasaran.“Asalkan Mama normal seperti yang lainnya!” jawab Abraham tegas.Aku terdiam mendengar jawaban Abraham. Dia mewarisi sifat keras kepala seperti ibunya. Sementara Mas Akbar juga terdiam mendengar jawaban putra semata wayangnya. Mobil terus melaju menembus jalan raya yang terlihat sedikit ramai oleh para pengendara yang berlalu lalang. Ditambah cuaca yang sedikit terik, membuat cadangan oksigen di dalam mobil terasa berkurang.Mobil yang dikemudikan Mas Azam akhirnya tiba di polres kota. Aku sudah menyiapkan diri jika seandainya bertemu dengan Pak Askara. Kejadian sebelumnya akan menjadi pelajaran untukku. Jangan sampai terjadi kesalah pahaman lagi antara Mas Azam dan Pak Askara.Mas Akbar mendahului dengan menghampiri petugas yang berjaga dan menyampaikan maksud dan tujuan kami. Setelah melengkapi semua prosedur untuk jadwal kunjungan, kami dipersilakan untuk menuju ruang khusus yang tersedia dan terletak di bagian belakang Polres. Letaknya ya
Aku memasuki villa terlebih dahulu. Tidak sabar untuk mencari keberadaan Mas Azam. Berkeliling memeriksa satu persatu ruangan yang berada di lantai bawah. Napasku memburu seiring berpacu dengan waktu, khawatir Mbak Nisa kembali ke villa ini. Namun seberapa keras mencari, sosok yang aku harapkan tidak kunjung kutemukan. Sementara itu, Mas Akbar dan Alma naik ke lantai atas untuk ikut membantu mencari Mas Azam. Namun tidak lama kemudian mereka pun turun."Ruangan atas kosong Dek, tidak ada seorang pun.” Mas Akbar melaporkan hasil pencariannya. Sementara Alma mengangguk membenarkan laporan kakakku.“Di semua ruangan bawah juga tidak ada, Mas. Sepertinya Mbak Nisa sengaja menjebak kita, Mas,” ucapku mengungkapkan kecurigaan. “Sepertinya begitu, Dek. Nisa bukan wanita yang bodoh, pasti dia sudah mengetahui rencana kita," jawab Mas Akbar sependapat denganku. “Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Mas? Perasaanku semakin tidak enak. Aku mengkhawatirkan keadaan Mas Azam.” Aku beruc
Aku tidak hentinya tertawa.Ya ... menertawakan kebodohan mereka. Apa mereka pikir, sebodoh itu sehingga tidak mengetahui tindakan mereka yang menguntitku?Tidak semudah itu mereka mengalahkan seorang Annisa Putri Rahmawati Muttaqin. Seorang putri pemilik pondok pesantren terkenal di daerah Jawa Tengah. Kecerdasanku yang berada di atas rata-rata terbukti sejak masih duduk di bangku SD selalu meraih gelar juara kelas, bahkan hingga menyelesaikan gelar S1 dengan predikat cumelaude.Namun sayang, harapanku untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan sekolah S2 ke Mesir terhalang restu kedua orangtua. Mereka tidak merestui karena penyakit yang aku derita. Bipolar disorder. Penyakit yang begitu asing ditelinga, tetapi berhasil menghancurkan semua mimpiku. Aku merupakan sosok wanita yang ambisius dalam segala hal. Selalu ingin menjadi orang nomor satu di kehidupan, karena sejak lahir sudah terbiasa dinomor satukan dalam keluarga karena aku adalah anak tunggal.Lingkungan keluargaku sangat ag