Aku terkejut mendengar kemarahan Mas Akbar. Beliau seolah mengetahui masalah yang terjadi dalam rumah tanggaku.“Mas Akbar, apa maksudnya bicara seperti itu? memangnya Mas Adnan kenapa?” tanyaku ber[ura-pura tidak tahu alasan kemarahan kakak satu-satunya itu.“Kamu tidak usah menutupi masalah rumah tanggamu pada Mas, Dek. Aku saudara satu-satunya sekaligus pengganti kedua orang tua Kita. Kenapa Kamu menyembunyikan semuanya dari Mas, Dek?” tanya Mas Akbar dengan sorot mata penuh dengan kekecewaan.Sementara Mbak Nisa, terlihat berusaha menenangkan Mas Akbar yang sudah mulai emosi. Jemarinya yang lentik, mengusap perlahan punggung tangan Mas Akbar.“Ma-afkan Adek, Mas. Bukan maksud Adek menyembunyikan masalah yang sedang terjadi, tetapi Adek takut akan menjadi beban fikiran Mas Akbar!” jawabku memberikan alasan.“Membebani apa maksud Kamu, Dek? Mas ini Kakakmu, jadi berhak tahu apa yang terjadi dengan Adiknya. Mas tidak rela jika Kamu hidup menderita!" ujar Mas Akbar sedikit lebih tenan
Dengan ragu Aku menerima panggilan masuk itu. Terdengar suara berdehem, lalu kemudian suara seorang laki-laki yang terasa begitu asing di telinga.“Hallo, Aisha apa kabar? Ini Aku Reno.” Ucap laki-laki di seberang telepon dengan suara beratnya.“Deg” jantungku seakan berhenti berdetak. Bagaimana bisa kebetulan disaat Aku dan Alma sedang membicarakannya, lalu dia menelpon? tak salah lagi, ini pasti ulahnya Alma.“Kabar Aku baik-baik saja, Ren. Oia, kata Alma besok Kamu pulang ke Indonesia?” tanyaku dengan sedikit canggung.“Iya benar, besok Aku pulang ke Indonesia. Aku mengajukan cuti selama satu bulan!” jawab Reno dengan antusias.Aku terdiam mendengar jawaban Reno. AKu berfikir keras apa lagi yang akan menjadi topik pembicaraan dengannya.“Kamu mau Aku bawakan oleh-oleh apa dari Qatar? cokelat Al Nassma, boneka karikatur Timur Tengah, Kurma Qatar atau apa? Kamu bilang saja, pasti Aku akan bawakan!” tanya Reno dengan penuh semangat.“Terimakasih atas tawarannya. Kamu tidak perlu repot
Sikap Mas Adnan terlihat kurang sopan. Apa dia lupa, jika Kita berdua sudah bercerai dan sah di mata agama karena dia sudah menalakku. Sekarang dia bersikap seolah Aku masih menjadi istrinya. Aku mencari Mas Irwan, dia sudah tidak terlihat lagi. 'Kemana dia? apa jangan-jangn ini hanya akal-akalan mereka berdua?' tanyaku dalam hati."Maaf Mas, tolong jaga sikapmu. Kamu sudah menalakku. Jadi Kita bukan mahram!" hardikku kepada Mas Adnan. Dia terlihat gugup mendapat hardikkan dariku."Maafkan Aku, Aisha. Aku tidak bisa menahan diri, Aku... merindukanmu!" ucap Mas Adnan lagi seraya menatap wajahku dengan lekat.Aku mundur selangkah ke belakang. Sikap dan ucapannya yang terlihat aneh, membuatku merasa takut. Walau bagaimanapun, Aku hanya seorang wanita yang kekuatannya jauh di bawah laki-laki. Aku takut, Mas Adnan berbuat hal nekat."Maaf Mas, Aku ingin menjenguk Ibu. Beliau ada dimana?" tanyaku dengan wajah sinis.Mas Adnan terdiam. Dia terlihat menarik nafas dalam lalu menghembuskannya
“Laki-laki tidak tahu diuntung, bisa-bisanya tidak menghadiri sidang perceraianmu hanya karena menemani selingkuhanmu makan?” bentak Mas Akbar kepada Mas Adnan yang kini mulai menyadari pelaku penyiraman terhadapnya.Wajah Mas Adnan yang basah karena air jus yang tersiram ke wajahnya terlihat pucat pasi karena dipermalukan oleh Mas Akbar di muka umum. Beberapa pengunjung menatap ke arah Kami berempat dengan heran. Sementara Sarah, selingkuhannya Mas Adnan terlihat menundukkan wajah.“Mas Ak-bar. Ini tidak seperti yang ada di fikiran Mas Akbar!” sanggah Mas Adnan, masih bisa berusaha mengelak. Dia tidak menyadari kalau emosi Mas Akbar sudah memuncak ke ubun-ubun.“Lalu, apa yang harus ada di fikiranku sekarang hah? seharusnya dulu Aku tidak merestui pernikahan kalian, kalau pada akhirnya Kamu membuat Adikku menderita lahir dan batin. Kamu meninggalkan istri dan anakmu hanya demi wanita macam begini?” hardik Mas Akbar seraya menunjuk ke arah Sarah.Mas Akbar benar, entah apa yang ada di
“Mas Ak-bar, su-dah ba-ngun?” tanyaku gugup. Mas Akbar tidak menjawab pertanyaan, beliau hanya menatap tajam kearahku.“Mas Akbar, perkenalkan Aku Reno teman lamanya Aisha!” ucap Reno tiba-tiba seraya mengulurkan tangan. Aku sedikit terkejut mendengar ucapan Reno yang dengan beraninya memperkenalkan diri.Mas Akbar membalas uluran tangan Reno, “Akbar!” jawabnya dengan wajah tidak seangker tadi.Tak lama kemudian, mereka terlihat berbincang-bincang. Aku bernafas lega, karena apa yang Aku takutkan tidak terjadi. Aku berpamitan kepada dua laki-laki beda usia itu untuk ke belakang. Memberikan mereka waktu berbincang-bincang dengan akrab.“Bu Aisha, kok bisa ketemu laki-laki seganteng itu? andai saja masih muda, pasti Bibik mau menjadi pacarnya hehehe!” ucap Bik Darmi tiba-tiba dari arah dapur. Aku yang baru keluar dari kamar mandi sedikit terkejut sekaligus terkekeh geli.“Kalau sekarang mau jadi pacarnya juga gak apa-apa, Bik. Reno masih single kok,” timpalku seraya tersenyum menggoda k
“Aldi kenapa?” tanyaku heran dengan perubahan drastis pada Aldi.“Teman Ibu laki-laki, maksudnya pengganti Ayah Adnan?” tanya Aldi dengan wajah dingin.Jadi Aldi mengira jika Reno adalah calon pengganti Ayahnya yang baru. Pantas saja dia langsung berubah sikap. Alasannya tidak menyetujui dekat dengan laki-laki lain karena tidak ingin melihatku kecewa untuk yang kedua kalinya.“Aldi sayang, yang memberi hadiah kepada Ibu itu hanya teman lama yang baru pulang dari Qatar. Jadi bukan calon pengganti Ayah yang baru. Aldi tennag saja, Ibu akan berfikir ratusan kali jika ingin memutuskan menikah lagi. Karena Ibu tidak mau kecewa untuk yang kedua kalinya!” ucapku berusaha meyakinkan Aldi. Anak sulungku itu menatapku lekat dan kemudian tersenyum.“Ayo dimakan lagi coklatnya, jangan lupa sisakan untuk adikmu!”Aldi menjawab dengan anggukkan kepala dan kembali melahap coklat yang masih tersisa di tangannya.Sore hari menjelang petang, Mas Akbar sudah bersiap untuk kembali pulang ke tempat asalny
Aku terkejut sekaligus bercampur malu mendengar pertanyaan dari Pak RT. Bisa-bisanya Mas Adnan memfitnahku dan memutar balikan fakta. "Maaf Pak RT, informasi dari mantan Suami Saya itu tidak benar. Justru yang terjadi adalah kebalikannya. Mas Adnan memutar balikan fakta karena kecewa Saya menolak rujuk dengannya!" ucapku berusaha meyakinkan Pak RT.Tak lama berselang, Bik Darmi datang membawakan minuman. Rupanya Bik Darmi mendengar pembicaraanku dengan Pak RT. Setelah meletakkan nampan di atas meja, Bik Darmi meminta izin kepadaku untuk berbicara."Mohon maaf sebelumnya Pak RT, bukan Saya mau ikut campur dengan masalah yang sedang di bicarakan. Tetapi Saya perlu bicara karena ini menyangkut harga diri Bu Aisha!" ucap Bik Darmi seraya menatap ke arah Pak RT dan para keamanan."Silakan, Bik Darmi. Saya juga membutuhkan saksi untuk memastikan kebenaran masalah yang di sampaikan dari pihak Pak Adnan dan Bu Aisha!" ujar Pak RT dengan bijak.Bik Darmi menceritakan kejadian yang sebenarnya
Mas Adnan terlihat gugup mendapatkan pertanyaan dariku. Wajahnya nampak sedikit pucat."Fitnah apa, Aisha? Aku tidak memfitnahmu!" elaknya."Kamu tidak usah mengelak lagi, Mas. Aku datang kesini untuk memperingatkanmu agar jangan sampai menyebarkan kabar berita yang tidak benar tentangku!" hardikku sambil menatapnya tajam."Mungkin karena Aku mabuk, jadi tidak ingat kejadian semalam, Aisha!" sanggah Mas Adnan lagi."Tidak usah menyangkal, buktinya sudah jelas. Saat ini Aku maafkan. Tetapi jika Kamu melakukannya lagi, Aku tidak segan-segan melaporkanmu ke Polisi!" ancamku."Dasar wanita sombong, seenaknya mau melaporkan ke Polisi. Apa Kamu tega melaporkan Ayah dari anakmu ke Polisi?" bentak Mas Irwan yang datang secara tiba-tiba."Kenapa tidak tega? dia juga tega menfitnahku di depan orang-orang?" Aku balik bertanya kepada Mas Irwan. "Dasar wanita keras kepala, pantas saja Adikku mencari penggantimu. Aku doakan selamanya Kamu tidak akan mendapatkan pengganti Adikku!" sumpah serapah kel
Aku dan Alma hanya menatap dengan wajah tegang saat melihat Mas akbar melayangkan tinjunya ke wajah Pak Askara. Terdengar erangan kesakitan, bersamaan dengan cairan merah segar yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tetapi Mas akbar sepertinya sudah dilanda emosi saat mengetahui semua kebenarannya. Pak Askara menginginkan cinta dariku, seorang wanita yang telah bersuami. Terlebih dia mempermainkan hati wanita yang dicintainya, Alma. Dia menjalin hubungan dengan Alma hanya bertujuan ingin membalaskan sakit hatinya karena mendapatkan penolakan dariku.Beberapa jam sebelumnya, saat Mas Azam berkata akan menemui Pak Askara, aku sangat mengkhawatirkannya. Sehingga lekas menghubungi Mas Akbar untuk meminta bantuannya. Kebetulan dia sedang berada diluar. Namun bersamaan dengan itu, Alma pun datang berkunjung ke rumah. Akhirnya aku mengajaknya serta untuk menyusul Mas Azam dan Pak Askara di tempat yang belum diketahui keberadaannya. Namun kemudian Mas Akbar memberit
Aku melangkah lebar meninggalkan Aisha, istriku. Dia melepas kepergian dengan tatapan kosong. Pasti dia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan karena akan menemui Pak Askara, laki-laki yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.Laki-laki yang menginginkan Aisha, padahal dengan jelas mengetahui statusnya telah bersuami.Kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang terletak di pusat kota. Entah apa yang akan terjadi diantara kami berdua. Seandainya laki-laki itu mengajak menyelesaikan masalah secara jantan, mau tidak mau harus siap meladeninya. Ini semua demi harga diriku dan Aisha.Mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan tinggi melesat menembus jalan raya yang cukup padat. Sebenarnya jika menuruti hawa nafsu, emosiku sudah terpancing sejak mendengar percakapannya dengan Aisha. Dia seolah mengancam, akan menghancurkan hati Alma sahabatnya karena tidak menerima cinta laki-laki itu. Sebenarnya memang sudah sejak lama aku menaruh rasa cemburu kepadanya.Bahkan aku hampir saja menyera
Aku menepiskan rasa heran karena calon suami Alma tidak berada diantara kami.“Mas, sebaiknya segera pangil ambulance,” ucapku memberi saran kepada Mas Akbar yang sedang menopang tubuh Alma, dia masih belum juga sadarkan diri.“Saya sudah memanggil ambulance, Mbak. Mungkin sebentar lagi datang,” timpal wanita yang dipanggil bu rt oleh Alma.Benar saja, tidak lama kemudian terdengar bunyi sirine yang memecah kesunyian malam. Warga yang berada di sekitar kejadian seketika membubarkan diri saat mobil ambulance perlahan menepi. Salah satu warga yang mengendong Shania pun tengah bersiap menyambut kedatangan kendaraan yang ditakuti oleh beberapa kalangan orang ini.Mas Azam berinisiatif meminta izin untuk mengambil alih Shania, setelah mobil ambulance berhenti tepat di hadapan kami. Dua orang petugas menurunkan brankar untuk membawa pasien. Mas Azam menggendong Shania dan meletakkannya di atas brankar. Setelah mengucapkan terimakasih kepada semua warga yang membantu, Mas Azam, Mas Akbar bes
Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, sosok laki-laki berpangkat Wakapolres itu duduk bersisian denganku. Seperti biasa, dia melemparkan senyum manis ke arahku. Dia menyapa Adeeva dengan penuh kehangatan dan seperti biasa putriku itu mencium punggung tangan Pak Askara dengan takzim.“Mau setor juga, Pak?” alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik. Pak Askara mengangguk. Lalu dengan semangatnya dia bercengkrama dengan Adeeva. Putri kecilku itu terlihat ceria bersamanya. Putriku termasuk anak yang supel, sehingga mudah akrab dengan siapa saja. Ditambah Pak Askara bukan lagi orang baru baginya.Aku jadi teringat dengan Alma. Apa sebaiknya aku tanyakan mengenai hubungan mereka? Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepadanya.“Pak Askara, maaf sebelumnya jika saya lancang bertanya,” ucapku ragu.“Mau bertanya apa, Bu Aisha? Kelihatannya serius ….,” jawabnya seraya tersenyum simpul.Aku sedikit keraguan untuk bertanya hal yang cukup ribadi kepada laki-laki ya
Mas Azam mengajak kami semua menuju ruang tunggu. Menurut informasi dari maskapai, perkiraan delay akan berlangsung selama setengah sampai satu jam kemudian. Namun tidak dapat dipastikan, tepat atau malah meleset dari perkiraan.“Bagaimana ini, Hubby? Apa kita harus menunggu, mengganti jadwal penerbangan atau digagalkan saja?” tanyaku dengan wajah cemas.“Sebaiknya kita tunggu saja. Semoga delaynya tidak memakan waktu lama,” jawab Mas Azam menenangkanku.“Iya, Sha kita tunggu aja. Biar nggak bete, lebih baik kita photo-photo dulu. Bagaimana?” tanya Alma memberi ide. Dia terlihat santai dengan kabar delay ini. Alma memang sudah terbiasa bepergian menggunakan pesawat, sementara ini adalah pengalaman pertama bagiku.Kami akhirnya menuruti ide Alma. Berganti-ganti pose mengikuti arahan Alma yang bertindak sebagai photographer dadakan. Dengan tingkah lucunya, dia bisa membuat kami semua tertawa. Bahkan Mas Akbar yang beberapa bulan terakhir bermuram durja, kini sudah bisa tersenyum. Dia se
Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Abraham, tiba-tiba terdengar bunyi sirine ambulance yang memekakkan telinga. Sontak membuat kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Asisten rumah tangga Mas Akbar berlari membukakan pintu gerbang, ketika bunyi sirine menghilang dan tergantikan oleh suara klakson mobil Mas Akbar.Abraham berjalan menuju halaman rumah, mencari tahu asal suara sirine yang kini sudah tidak terdengar lagi. Detik berikutnya, sebuah mobil ambulance melaju memasuki halaman rumah, disusul kemudian oleh mobil Mas Akbar yang mengikuti dari belakang. Dua orang petugas turun dari mobil ambulance dan menurunkan brankar yang diatasnya terdapat keranda berselimutkan kain berwarna putih. Mas Akbar turun dari mobil dan berlari kecil menyusul kedua petugas itu.Jantungku berdegub kencang menyaksikan pemandangan ini. Mas Azam yang berada bersisian denganku turut membantu mendorong brankar memasuki rumah. Sementara Abraham terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. .Setelah men
“Asalkan apa, Abraham?” tanyaku penasaran.“Asalkan Mama normal seperti yang lainnya!” jawab Abraham tegas.Aku terdiam mendengar jawaban Abraham. Dia mewarisi sifat keras kepala seperti ibunya. Sementara Mas Akbar juga terdiam mendengar jawaban putra semata wayangnya. Mobil terus melaju menembus jalan raya yang terlihat sedikit ramai oleh para pengendara yang berlalu lalang. Ditambah cuaca yang sedikit terik, membuat cadangan oksigen di dalam mobil terasa berkurang.Mobil yang dikemudikan Mas Azam akhirnya tiba di polres kota. Aku sudah menyiapkan diri jika seandainya bertemu dengan Pak Askara. Kejadian sebelumnya akan menjadi pelajaran untukku. Jangan sampai terjadi kesalah pahaman lagi antara Mas Azam dan Pak Askara.Mas Akbar mendahului dengan menghampiri petugas yang berjaga dan menyampaikan maksud dan tujuan kami. Setelah melengkapi semua prosedur untuk jadwal kunjungan, kami dipersilakan untuk menuju ruang khusus yang tersedia dan terletak di bagian belakang Polres. Letaknya ya
Aku memasuki villa terlebih dahulu. Tidak sabar untuk mencari keberadaan Mas Azam. Berkeliling memeriksa satu persatu ruangan yang berada di lantai bawah. Napasku memburu seiring berpacu dengan waktu, khawatir Mbak Nisa kembali ke villa ini. Namun seberapa keras mencari, sosok yang aku harapkan tidak kunjung kutemukan. Sementara itu, Mas Akbar dan Alma naik ke lantai atas untuk ikut membantu mencari Mas Azam. Namun tidak lama kemudian mereka pun turun."Ruangan atas kosong Dek, tidak ada seorang pun.” Mas Akbar melaporkan hasil pencariannya. Sementara Alma mengangguk membenarkan laporan kakakku.“Di semua ruangan bawah juga tidak ada, Mas. Sepertinya Mbak Nisa sengaja menjebak kita, Mas,” ucapku mengungkapkan kecurigaan. “Sepertinya begitu, Dek. Nisa bukan wanita yang bodoh, pasti dia sudah mengetahui rencana kita," jawab Mas Akbar sependapat denganku. “Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Mas? Perasaanku semakin tidak enak. Aku mengkhawatirkan keadaan Mas Azam.” Aku beruc
Aku tidak hentinya tertawa.Ya ... menertawakan kebodohan mereka. Apa mereka pikir, sebodoh itu sehingga tidak mengetahui tindakan mereka yang menguntitku?Tidak semudah itu mereka mengalahkan seorang Annisa Putri Rahmawati Muttaqin. Seorang putri pemilik pondok pesantren terkenal di daerah Jawa Tengah. Kecerdasanku yang berada di atas rata-rata terbukti sejak masih duduk di bangku SD selalu meraih gelar juara kelas, bahkan hingga menyelesaikan gelar S1 dengan predikat cumelaude.Namun sayang, harapanku untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan sekolah S2 ke Mesir terhalang restu kedua orangtua. Mereka tidak merestui karena penyakit yang aku derita. Bipolar disorder. Penyakit yang begitu asing ditelinga, tetapi berhasil menghancurkan semua mimpiku. Aku merupakan sosok wanita yang ambisius dalam segala hal. Selalu ingin menjadi orang nomor satu di kehidupan, karena sejak lahir sudah terbiasa dinomor satukan dalam keluarga karena aku adalah anak tunggal.Lingkungan keluargaku sangat ag