Aku bangkit dari tempat tidur karena begitu terkejut dengan informasi yang di sampaikan Mas Akbar. Bagaimana bisa Mas Adnan mengarang cerita kalau Aku ingin rujuk dengannya? Aku tidak habis fikir dengan jalan fikirannya. Apa otaknya sudah bergeser sejak bercerai denganku?"Mas Akbar, ucapan Mas Adnan itu sama sekali tidak benar. Aku tidak pernah berkata ingin rujuk dengannya. Kami sudah tidak bertemu dan berkomunikasi sejak nomornya Aku blokir!" ucapku menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."Serius, Dek? wah..nampaknya mantan Suamimu itu sudah tidak waras!" timpal Mas Akbar."Sepertinya dia menelpon Mas Akbar saat di sedang mabuk berat. Kapan memangnya Mas Adnan menghubungi Mas?""Kemarin malam," "Kemarin malam juga Mas Adnan membuat kegaduhan di depan gerbang rumah Adek. Dia berteriak memaki memanggil Adek wanita murahan. Rupanya dia mengetahui ada Reno berkunjung ke rumah!""Ya Tuhan...lalu, apa lagi yang dia lakukan?" "Adek tidak berani keluar rumah dan meminta bantuan Pak RT
Aku terbangun, saat mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an di telinga. Tubuhku tidak bereaksi seperti saat tadi mendengar lantunan shalawat. Bahkan kini terasa menenangkan hati. Aku perlahan membuka kedua mata. Cahaya yang begitu terang menerpa penglihatan, hingga kembali kupejamkan mata.“Aisha, Kamu sudah sadar?” bisik seseorang yang Aku kenal. Itu suara Alma. Aku kembali berusaha membuka mata dan kali ini cahaya bersinar tidak terlalu terang. Penglihatan yang semula kabur, kini jelas terlihat.“Alma, apa yang terjadi? Aku dimana?” tanyaku lirih. Alma nampak tersenyum kepadaku. Tangannya meraih gelas berisi minuman berwarna pekat. Dia membantuku untuk meminumnya. Meneguk sedikit demi sedikit, minuman yang terasa manis di lidah. Tubuhku rasanya begitu lemah, seperti habis melakukan aktivitas yang berat.“Kamu tadi pingsan, Aisha. Syukurlah, sekarang Kamu sudah sadar!” jawab Alma kembali tersenyum.“Kamu belum jawab pertanyaanku. Kita ada dimana?” tanyaku tidak sabar.“Kita di rumah
Aku tidak mau menduga-duga siapa pelakunya. Benar yang dikatakan Pak Ustadz, khawatirnya akan menjadi fitnah. Apalagi kasus sihir dan sejenisnya itu biasanya tidak ada bukti yang kongkrit. Sekarang yang terpenting Aku sudah terbebas dari sihir itu. Aku bisa mengambil hikmah dari kejadian ini.Kini saatnya Aku kembali menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim yang sudah lama Aku tinggalkan. Alasannya karena Aku sibuk bekerja dan saat libur bekerja disibukkan dengan mengurus kedua anakku.Hari-hari berikutnya, Aku berusaha istiqomah manjalankan kewajibanku mendirikan shalat lima waktu setiap harinya. Selain itu, kini Aku juga rutin mengikuti pengajian bersama Alma. Belakangan baru Aku tahu, Alma mengajakku mengaji dengan alasan ada Ustaz yang membuatnya kesengsem hanyalah siasatnya belaka. Tujuannya agar Aku penasaran dan mengikutinya.Padahal rencananya adalah ingin mengobatiku dengan cara rukiah kepada Pak Ustaz. Aku bersyukur karena di saat jauh dari Kakakku satu-satunya, masih a
“Ren, maaf Aku tinggal sebentar ya. Di depan rumah ada Pak RT yang ingin bertemu!” ucapku berpamitan.Reno mengangguk, menyetujui permintaanku. Aku melangkah menuju pintu gerbang dan membukanya. Betapa terkejutnya Aku saat tidak hanya mandapati Pak RT dan dua orang keamanan, melainkan ada Mas Adnan juga. Aku jadi semakin penasaran, apa yang sebenarnya terjadi?“Maaf Pak RT, ada apa ini?” tanyaku tidak sabar.Pak RT menatap ke arah Mas Adnan sekilas, lalu kembali menatapku. “Mohon maaf sebelumnya Bu Aisha, karena sudah mengganggu waktunya. Saya mendapatkan laporan dari Pak Danang pihak keamanan yang sedang patroli, beliau melihat Pak Adnan sedang menggali tanah dan seperti sedang menguburkan sesuatu di depan gerbang rumah Bu Aisha!” Pak RT akhirnya menjelaskan alasannya ingin bertemu denganku.“Mengubur sesuatu? mengubur apa Pak?” tanyaku fokus pada Pak RT. Aku sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Mas Adnan diantara Kami.“Silakan tanyakan langsung pada Pak Adnan, Bu!” jawab Pak
"Tuh kan bener, apa Bibik bilang? Pak Adnan enggak bisa pakai cara kasar, jadi dia pakai cara halus. Naudzubillah, bukannya Bapak katanya dulu marbot, Bu?" tanya Bik Darmi heran."Iya, Bik. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu sifat dan sikap seseorang bisa saja berubah. Tergantung dengan kadar keimanannya!" jawabku lirih."Ya sudah Bu, sekarang istirahat saja. Enggak usah banyak fikiran. Bibik senang sekarang Ibu sudah kembali mendekatkan diri kepada Allah. Semoga untuk kedepannya, Allah akan selalu menjaga Ibu dan keluarga dari gangguan orang yang berniat jahat!" harap Bik Darmi dengan wajah tulusnya."Amiin. Terimakasih doanya, Bik. Saya permisi beristirahat dulu ya!" ucapku seraya melangkah menuju kamar. Malam ini mataku sulit untuk terpejam. Bayangan Mas Adnan tadi dengan kilatan amarah di matanya membuatku tidak tenang. Apalagi sebelum pergi dia sempat mengancam. Bagaimana jika dia sungguh-sungguh dengan ancamannya?Namun Aku berusaha meyakinkan diri, jika Kita jangan pernah
Nama Umi Mus tertera di layar ponselku. Jantungku berdebar kala menerima panggilan darinya. Ada apa gerangan beliau menghubungiku?"Assalamualaikum, Umi," sapaku mengawali pembicaraan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Mbak Aisha, mohon maaf mengganggu waktunya!" jawab Umi Mus."Tidak Umi, kebetulan Saya sedang santai. Adakah yang bisa Saya bantu?" tanyaku tanpa berbasa-basi."Tidak ada, Mbak Aisha. Saya hanya ingin mengobrol dan mengenal Mbak Aisha lebih jauh. Apa Mbak tidak keberatan?" tanya beliau, membuatku bertanya-tanya dalam hati.Umi Mus menghubungi hanya ingin mengobrol denganku? dan mengenalku lebih jauh? untuk apa?"Tidak keberatan sama sekali, Umi. Kalau untuk mempererat tali silaturahmi, Insya Allah Saya bersedia," balasku lagi.Kami akhirnya saling berbincang melalui telepon. Aku menjawab semua pertanyaan yang dilayangkan oleh Umi. Walaupun sedikit heran, namun Aku berusaha bersikap biasa saja. Mungkin saja apa yang dilakukan beliau, sama seperti kepada jemaah
“Lalu siapa, Bik?” tanyaku tidak sabar.“Pak Ustaz Azam dan istrinya, Bu!” jawab Bik Darmi membuatku terhenyak.Bagaimana bisa mereka tahu kalau Aku sedang tidak sehat? lagipula sakitku hanya demam biasa. Rasanya merepotkan saja sampai harus di jenguk segala.“Tolong sampaikan saya akan temui mereka, Bik!” ucapku seraya bangkit dari pembaringan. Melangkah perlahan menuju lemari pakaian, meraih jaket berbahan kain dan hijab seadanya. Setelah beberapa detik mematut diri di cermin, Aku melangkah menuju ruang tamu. Jantungku berdebar saat melangkah akan menemui mereka. Sepertinya Alma yang sudah memberitahukan kepada Umi Mus kalau Aku sedang tidak sehat. Ah, sahabatku itu memang menyebalkan.“Mba Aisha, kenapa keluar kamar?” tanya Umi Mus bangkit dari tempat duduknya dan menyambutku. Aku tersenyum dipaksakan dengan sedikit rasa gugup. “Tidak apa-apa Umi, saya hanya demam biasa. Sebentar juga akan sembuh!” jawabku sambil menundukkan wajah. Tidak berani menatap wajah beliau, apalagi ke ara
Aku berusaha bangkit untuk berdiri, namun tidak bisa. Rasa sakit menjalar pada ibu jari kaki yang sedikit terluka akibat gesekan lantai parkiran. Itu karena Aku menggunakan sepatu sandal yang bagian ujungnya terbuka."Ibu kenapa? Ibu baik-baik saja?" tanya Aldi sambil membantuku berdiri.Berkat bantuan Aldi, Aku berhasil berdiri. "Ibu baik-baik saja, Nak. Mungkin karena melamun itu sebabnya Ibu jatuh. Perasaan Ibu tidak enak, Aldi!" ucapku meluapkan isi hati."Ya sudah kita pulang sekarang, Bu. Apakah Ibu bisa menyetir mobil? kalau tidak bisa sebaiknya kita pulang memesan taxi. Nanti biar mobil kita dititip di sini sebentar sampai kaki Ibu membaik!" ucap Aldi memberikan saran."Enggak usah, Ibu tidak apa-apa. Insya Allah Ibu kuat untuk mengendarai mobil," jawabku yakin."Baiklah kalau begitu. Nyetirnya pelan-pelan saja, Bu!" pesan Aldi kemudian. Aku menjawab dengan anggukkan. Tak berapa lama Kami pun pergi meninggalkan hotel.Disepanjang perjalanan, jantungku berdetak tidak karuan. Tid
Aku dan Alma hanya menatap dengan wajah tegang saat melihat Mas akbar melayangkan tinjunya ke wajah Pak Askara. Terdengar erangan kesakitan, bersamaan dengan cairan merah segar yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tetapi Mas akbar sepertinya sudah dilanda emosi saat mengetahui semua kebenarannya. Pak Askara menginginkan cinta dariku, seorang wanita yang telah bersuami. Terlebih dia mempermainkan hati wanita yang dicintainya, Alma. Dia menjalin hubungan dengan Alma hanya bertujuan ingin membalaskan sakit hatinya karena mendapatkan penolakan dariku.Beberapa jam sebelumnya, saat Mas Azam berkata akan menemui Pak Askara, aku sangat mengkhawatirkannya. Sehingga lekas menghubungi Mas Akbar untuk meminta bantuannya. Kebetulan dia sedang berada diluar. Namun bersamaan dengan itu, Alma pun datang berkunjung ke rumah. Akhirnya aku mengajaknya serta untuk menyusul Mas Azam dan Pak Askara di tempat yang belum diketahui keberadaannya. Namun kemudian Mas Akbar memberit
Aku melangkah lebar meninggalkan Aisha, istriku. Dia melepas kepergian dengan tatapan kosong. Pasti dia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan karena akan menemui Pak Askara, laki-laki yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.Laki-laki yang menginginkan Aisha, padahal dengan jelas mengetahui statusnya telah bersuami.Kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang terletak di pusat kota. Entah apa yang akan terjadi diantara kami berdua. Seandainya laki-laki itu mengajak menyelesaikan masalah secara jantan, mau tidak mau harus siap meladeninya. Ini semua demi harga diriku dan Aisha.Mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan tinggi melesat menembus jalan raya yang cukup padat. Sebenarnya jika menuruti hawa nafsu, emosiku sudah terpancing sejak mendengar percakapannya dengan Aisha. Dia seolah mengancam, akan menghancurkan hati Alma sahabatnya karena tidak menerima cinta laki-laki itu. Sebenarnya memang sudah sejak lama aku menaruh rasa cemburu kepadanya.Bahkan aku hampir saja menyera
Aku menepiskan rasa heran karena calon suami Alma tidak berada diantara kami.“Mas, sebaiknya segera pangil ambulance,” ucapku memberi saran kepada Mas Akbar yang sedang menopang tubuh Alma, dia masih belum juga sadarkan diri.“Saya sudah memanggil ambulance, Mbak. Mungkin sebentar lagi datang,” timpal wanita yang dipanggil bu rt oleh Alma.Benar saja, tidak lama kemudian terdengar bunyi sirine yang memecah kesunyian malam. Warga yang berada di sekitar kejadian seketika membubarkan diri saat mobil ambulance perlahan menepi. Salah satu warga yang mengendong Shania pun tengah bersiap menyambut kedatangan kendaraan yang ditakuti oleh beberapa kalangan orang ini.Mas Azam berinisiatif meminta izin untuk mengambil alih Shania, setelah mobil ambulance berhenti tepat di hadapan kami. Dua orang petugas menurunkan brankar untuk membawa pasien. Mas Azam menggendong Shania dan meletakkannya di atas brankar. Setelah mengucapkan terimakasih kepada semua warga yang membantu, Mas Azam, Mas Akbar bes
Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, sosok laki-laki berpangkat Wakapolres itu duduk bersisian denganku. Seperti biasa, dia melemparkan senyum manis ke arahku. Dia menyapa Adeeva dengan penuh kehangatan dan seperti biasa putriku itu mencium punggung tangan Pak Askara dengan takzim.“Mau setor juga, Pak?” alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik. Pak Askara mengangguk. Lalu dengan semangatnya dia bercengkrama dengan Adeeva. Putri kecilku itu terlihat ceria bersamanya. Putriku termasuk anak yang supel, sehingga mudah akrab dengan siapa saja. Ditambah Pak Askara bukan lagi orang baru baginya.Aku jadi teringat dengan Alma. Apa sebaiknya aku tanyakan mengenai hubungan mereka? Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepadanya.“Pak Askara, maaf sebelumnya jika saya lancang bertanya,” ucapku ragu.“Mau bertanya apa, Bu Aisha? Kelihatannya serius ….,” jawabnya seraya tersenyum simpul.Aku sedikit keraguan untuk bertanya hal yang cukup ribadi kepada laki-laki ya
Mas Azam mengajak kami semua menuju ruang tunggu. Menurut informasi dari maskapai, perkiraan delay akan berlangsung selama setengah sampai satu jam kemudian. Namun tidak dapat dipastikan, tepat atau malah meleset dari perkiraan.“Bagaimana ini, Hubby? Apa kita harus menunggu, mengganti jadwal penerbangan atau digagalkan saja?” tanyaku dengan wajah cemas.“Sebaiknya kita tunggu saja. Semoga delaynya tidak memakan waktu lama,” jawab Mas Azam menenangkanku.“Iya, Sha kita tunggu aja. Biar nggak bete, lebih baik kita photo-photo dulu. Bagaimana?” tanya Alma memberi ide. Dia terlihat santai dengan kabar delay ini. Alma memang sudah terbiasa bepergian menggunakan pesawat, sementara ini adalah pengalaman pertama bagiku.Kami akhirnya menuruti ide Alma. Berganti-ganti pose mengikuti arahan Alma yang bertindak sebagai photographer dadakan. Dengan tingkah lucunya, dia bisa membuat kami semua tertawa. Bahkan Mas Akbar yang beberapa bulan terakhir bermuram durja, kini sudah bisa tersenyum. Dia se
Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Abraham, tiba-tiba terdengar bunyi sirine ambulance yang memekakkan telinga. Sontak membuat kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Asisten rumah tangga Mas Akbar berlari membukakan pintu gerbang, ketika bunyi sirine menghilang dan tergantikan oleh suara klakson mobil Mas Akbar.Abraham berjalan menuju halaman rumah, mencari tahu asal suara sirine yang kini sudah tidak terdengar lagi. Detik berikutnya, sebuah mobil ambulance melaju memasuki halaman rumah, disusul kemudian oleh mobil Mas Akbar yang mengikuti dari belakang. Dua orang petugas turun dari mobil ambulance dan menurunkan brankar yang diatasnya terdapat keranda berselimutkan kain berwarna putih. Mas Akbar turun dari mobil dan berlari kecil menyusul kedua petugas itu.Jantungku berdegub kencang menyaksikan pemandangan ini. Mas Azam yang berada bersisian denganku turut membantu mendorong brankar memasuki rumah. Sementara Abraham terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. .Setelah men
“Asalkan apa, Abraham?” tanyaku penasaran.“Asalkan Mama normal seperti yang lainnya!” jawab Abraham tegas.Aku terdiam mendengar jawaban Abraham. Dia mewarisi sifat keras kepala seperti ibunya. Sementara Mas Akbar juga terdiam mendengar jawaban putra semata wayangnya. Mobil terus melaju menembus jalan raya yang terlihat sedikit ramai oleh para pengendara yang berlalu lalang. Ditambah cuaca yang sedikit terik, membuat cadangan oksigen di dalam mobil terasa berkurang.Mobil yang dikemudikan Mas Azam akhirnya tiba di polres kota. Aku sudah menyiapkan diri jika seandainya bertemu dengan Pak Askara. Kejadian sebelumnya akan menjadi pelajaran untukku. Jangan sampai terjadi kesalah pahaman lagi antara Mas Azam dan Pak Askara.Mas Akbar mendahului dengan menghampiri petugas yang berjaga dan menyampaikan maksud dan tujuan kami. Setelah melengkapi semua prosedur untuk jadwal kunjungan, kami dipersilakan untuk menuju ruang khusus yang tersedia dan terletak di bagian belakang Polres. Letaknya ya
Aku memasuki villa terlebih dahulu. Tidak sabar untuk mencari keberadaan Mas Azam. Berkeliling memeriksa satu persatu ruangan yang berada di lantai bawah. Napasku memburu seiring berpacu dengan waktu, khawatir Mbak Nisa kembali ke villa ini. Namun seberapa keras mencari, sosok yang aku harapkan tidak kunjung kutemukan. Sementara itu, Mas Akbar dan Alma naik ke lantai atas untuk ikut membantu mencari Mas Azam. Namun tidak lama kemudian mereka pun turun."Ruangan atas kosong Dek, tidak ada seorang pun.” Mas Akbar melaporkan hasil pencariannya. Sementara Alma mengangguk membenarkan laporan kakakku.“Di semua ruangan bawah juga tidak ada, Mas. Sepertinya Mbak Nisa sengaja menjebak kita, Mas,” ucapku mengungkapkan kecurigaan. “Sepertinya begitu, Dek. Nisa bukan wanita yang bodoh, pasti dia sudah mengetahui rencana kita," jawab Mas Akbar sependapat denganku. “Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Mas? Perasaanku semakin tidak enak. Aku mengkhawatirkan keadaan Mas Azam.” Aku beruc
Aku tidak hentinya tertawa.Ya ... menertawakan kebodohan mereka. Apa mereka pikir, sebodoh itu sehingga tidak mengetahui tindakan mereka yang menguntitku?Tidak semudah itu mereka mengalahkan seorang Annisa Putri Rahmawati Muttaqin. Seorang putri pemilik pondok pesantren terkenal di daerah Jawa Tengah. Kecerdasanku yang berada di atas rata-rata terbukti sejak masih duduk di bangku SD selalu meraih gelar juara kelas, bahkan hingga menyelesaikan gelar S1 dengan predikat cumelaude.Namun sayang, harapanku untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan sekolah S2 ke Mesir terhalang restu kedua orangtua. Mereka tidak merestui karena penyakit yang aku derita. Bipolar disorder. Penyakit yang begitu asing ditelinga, tetapi berhasil menghancurkan semua mimpiku. Aku merupakan sosok wanita yang ambisius dalam segala hal. Selalu ingin menjadi orang nomor satu di kehidupan, karena sejak lahir sudah terbiasa dinomor satukan dalam keluarga karena aku adalah anak tunggal.Lingkungan keluargaku sangat ag