Pak Askara memberikan informasi jika dia berhasil melakukan investigasi di bengkel tempat Mas Azam membawa mobilnya sebelum keberangkatan ke Bali. Melalui rekaman CCTV, diketahui bahwa memang ada seseorang yang masuk ke dalam mobil Mas Azam saat sedang berada di bengkel. Seorang pria yang mengenakan topi serta masker di wajahnya. Namun tetapi orang itu dipastikan bukan karyawan, karena semua penghuni bengkel tidak ada yang mengenalinya. Aku sedikit kecewa mendengarnya, karena itu artinya belum diketahu dengan pasti siapa peneror yang sebenarnya. “Pak Askara, bagaimana dengan nomor ponsel peneror yang kemarin saya kirimkan?” tanyaku tidak sabar.“Setelah dilakukan penelusuran, ternyata peneror itu menggunakan identitas palsu untuk mendaftar kartu SIM di ponselnya.” Pak Askara menjawab pertanyaanku dengan menatap ke arah kami berdua secara bergantian.“Bukannya pendaftaran kartu SIM pada ponsel itu harus dengan identitas yang valid ya, Pak? Lalu bagaimana bisa peneror itu menggunakan id
“Kamu pulang diantar Pak Askara?” tanya Mas Azam dengan tatapan menyelidik.“Iya, tadi kebetulan dia lewat dan menawarkan tumpangan. Aku terpaksa menerima tawarannya, karena hari sudah malam, sedangkan nomor kamu tidak dapat dihubungi!” jawabku tegas.Aku tidak mau disalahkan hanya karena pulang bersama Pak Askara. Andai saja suasana tidak genting seperti saat ini, pasti lebih memilih menantinya datang menjemput. “Terpaksa katamu? Apa kamu tahu alasanku tidak menjemputmu?” tanya Mas Azam lagi, kali ini netranya memancarkan kilatan amarah.“Mana aku tahu, Mas! Sementara nomor ponselmu saja tidak dapat dihubungi sejak pukul setengah lima sore tadi,” jawabku tidak mau kalah.“Mobilku mogok, jadi terpaksa kembali masuk bengkel. Sementara ponselku mati karena lupa mengisi dayanya.”“Lalu, menurutmu aku harus menunggumu sampai datang? Sedangkan keadaan sedang genting begini? Kalau peneror itu nekat berbuat jahat kepadaku bagaimana?” cecarku kini kepada Mas Azam yang terlihat semakin menekan
“Ngomong yang bener kamu, Al. Mas Azam kenapa?” tanyaku tidak sabar.“Anu … mungkin aku salah lihat, Sha!” jawab Alma semakin membuatku penasaran.“Memangnya kamu lihat apa? Jangan bikin aku penasaran, Al!” ucapku sedikit dengan penekanan. Aku ingin tahu, apa yang sudah dilihatnya.“A-ku me-lihat Ustaz Azam ber-duaan de-ngan wa-nita di restaurant,” jawab Alma dengan terbata.Jantungku rasanya seperti berhenti berdetak saat mendengar jawaban Alma. Rasanya tidak percaya, tetapi tidak mungkin Alma berbohong. Dia sahabat yang paling aku percaya. “Memangnya kamu tidak bekerja?Kenapa jam segini berada di restaurant?” tanyaku seolah menepis kenyataan yang baru saja didengar. “Aku memang sengaja mengajukan cuti selama 2 hari, karena masih belum siap bekerja tanpamu. Kebetulan hari ini suamiku ngajak lunch di restaurant langganannya. Aku juga awalnya tidak percaya, sampai menanyakan langsung kepada suamiku. Ternyata memang benar, itu Ustaz Azam.”“Kamu punya photonya tidak? Aku mau lihat bukt
"Mbak Nisa kenapa, Mas?" tanyaku penasaran."Mbakmu, selingkuh...." Aku terkejut mendengar kabar dari Mas Akbar tentang Mbak Nisa. Rasanya tidak mungkin dia berselingkuh, karena setahuku dia bucin kepada Mas Akbar. Walaupun sebenarnya kata Mas Akbar kini sikap Mbak Nisa berubah, tetapi aku mengira itu hanya ujian dalam rumah tangganya. Mungkin Mbak Nisa merasa bosan dengan pernikahan yang sudah berusia puluhan tahun. Aku sama sekali tidak menyangka jika dia berselingkuh."Mas enggak boleh sembarangan menuduh kalau tanpa bukti!" ucapku berusaha menepis kabar dari Mas Akbar."Mas enggak nuduh, Dek. Mbakmu sendiri yang mengakuinya.""Dia mengakui kalau telah berselingkuh, Mas?" tanyaku tidak percaya."Dia tidak blak-blakan mengakui berselingkuh, tetapi dia bilang kalau sudah enggak cinta lagi sama Mas.""Mas percaya apa yang dikatakan Mbak Nisa? Mungkin dia hanya ingin menguji kesabaran Mas, atau mungkin ingin mengerjai Mas." Aku masih bersikukuh meyakinkan jika kakak iparku itu tidak se
Aku merasa heran, karena Mas Azam hanya terpaku menatap layar ponsel tanpa menerima panggilannya. Aku memberikan kode kepadanya agar mengangkat panggilan itu. Akan tetapi, dering ponselnya sudah tidak terdengar. “Kenapa enggak diangkat, Huby?” tanyaku heran. “Udah keburu mati,” jawabnya singkat. Mas Azam kembali melajukan mobil yang dikendarainya menuju pondok pesantren Aldi. Hampir dua jam menempuh perjalanan, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Aku menemani Aldi masuk ke pondok, sementara Mas Azam terlihat sedang memarkirkan mobilnya. Suasana pondok pesantren kali ini sangat ramai, mengingat semua santri telah kembali dari liburan mereka.Setelah mengantar Aldi dan berpamitan, aku mencari Mas Azam yang belum juga menyusul ke dalam pondok pesantren. Aku melangkah menuju parkiran tadi, tetapi tidak menemukan Mas Azam disana. Aku berjalan mengitari ke seluruh area parkiran, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya aku berkeliling mencari keberadaan Mas Azam dan berhasil menemukannya. Ternyat
"Mas Azam beberapa hari yang lalu kepergok sedang makan bersama wanita lain oleh Alma.”“Kamu ada buktinya, enggak?”“Enggak ada, Mas. Aku percaya kepada Alma, enggak mungkin dia bohong. Alma sahabat baikku, Mas!" jawabku dengan penuh keyakinan.“Dek, zaman sekarang ini kita tidak boleh percaya kepada siapapun tanpa ada bukti yang nyata. Termasuk kepada orang yang dekat dengan kita sekalipun. Kita enggak pernah tahu hati seseorang seperti apa. Kalau kata pepatah, dalamnya laut masih bisa diselami, tetapi dalamnya hati manusia belum tentu bisa diselami, Dek.”Aku semakin tertampar oleh ucapan Mas Akbar, karena begitu mudahnya percaya kepada Alma tanpa meminta bukti yang nyata darinya. Padahal, itu menyangkut kelangsungan rumah tanggaku.“Menurut Mas, sebaiknya apa yang harus aku lakukan,?”“Kamu sebaiknya lebih berhati- hati dengan kabar atau berita yang diterima apalagi jika menyangkut rumah tanggamu. Jangan mudah percaya tanpa ada bukti yang jelas. Kalau perlu, kamu sendiri yang menca
Mbak Nisa tertegun mendengar pertanyaanku. Tangan yang tadinya hendak meraih cangkir berisi kopi pun, ditariknya kembali. Dia menatap ke arahku dengan tatapan sinis. Sungguh aku merasa Mbak Nisa yang sekarang berbeda dengan yang dulu.“Rumah tangga Mbak dan Mas Akbar sebenarnya tidak ada masalah, kami baik-baik saja. Hanya saja….”Mbak Nisa menggantung ucapannya sehingga membuatku penasaran.“Hanya saja apa, Mbak?”“Hanya saja, Mbak sudah tidak mencintainya lagi.”Mbak Nisa berucap dengan begitu santai, sementara aku terkejut dibuatnya.“Mbak enggak becanda, kan? Setelah enam belas tahun mengarungi bahtera rumah tangga, dengan mudahnya Mbak mengatakan tidak cinta lagi kepada Mas Akbar?” tanyaku dengan penuh penekanan. Aku tidak setuju dengan jawaban yang dilontarkan kakak ipar yang dulu disayangi ini.“Untuk apa Mbak becanda, Sha? Mbak serius. Bukankah tidak baik jika pernikahan dijalani tanpa ada rasa cinta?” Mbak Nisa malah melontarkan pertanyaan kepadaku. Seolah apa yang diperbuatn
Aku menoleh ke arah sumber suara. Mas Azam sudah berdiri di belakangku. Refleks aku terbangun dari tempat duduk. Sementara Pak Askara, terlihat sama terkejutnya denganku."Istri macam apa kamu, pergi tanpa berpamitan dan ternyata sedang bersama laki-laki lain? Apa jangan-jangan kamu pergi bersama polisi ini?" hardik Mas Azam dengan wajah yang terlihat garang. Kedua netranya memancarkan kilatan emosi yang membara."Mas, kamu salah paham. Aku tidak pergi bersama Pak Askara, semalam aku menginap di rumah Mas Akbar." Aku berusaha meluruskan kesalah pahaman ini. Memang salahku karena pergi tanpa berpamitan lebih dahulu kepadanya."Jangan banyak alasan. Kamu tega mengkhianatiku, Aisha? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan jika membenci yang namanya pengkhianatan. Akan tetapi kenapa kamu sekarang melakukannya?" cecar Mas Azam masih dengan emosi yang tertahan. Urat lehernya hingga timbul, sementara giginya terdengar gemeretak. Aku tahu dia sedang diliputi emosi yang hampir tidak terbendung.
Aku dan Alma hanya menatap dengan wajah tegang saat melihat Mas akbar melayangkan tinjunya ke wajah Pak Askara. Terdengar erangan kesakitan, bersamaan dengan cairan merah segar yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tetapi Mas akbar sepertinya sudah dilanda emosi saat mengetahui semua kebenarannya. Pak Askara menginginkan cinta dariku, seorang wanita yang telah bersuami. Terlebih dia mempermainkan hati wanita yang dicintainya, Alma. Dia menjalin hubungan dengan Alma hanya bertujuan ingin membalaskan sakit hatinya karena mendapatkan penolakan dariku.Beberapa jam sebelumnya, saat Mas Azam berkata akan menemui Pak Askara, aku sangat mengkhawatirkannya. Sehingga lekas menghubungi Mas Akbar untuk meminta bantuannya. Kebetulan dia sedang berada diluar. Namun bersamaan dengan itu, Alma pun datang berkunjung ke rumah. Akhirnya aku mengajaknya serta untuk menyusul Mas Azam dan Pak Askara di tempat yang belum diketahui keberadaannya. Namun kemudian Mas Akbar memberit
Aku melangkah lebar meninggalkan Aisha, istriku. Dia melepas kepergian dengan tatapan kosong. Pasti dia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan karena akan menemui Pak Askara, laki-laki yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.Laki-laki yang menginginkan Aisha, padahal dengan jelas mengetahui statusnya telah bersuami.Kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang terletak di pusat kota. Entah apa yang akan terjadi diantara kami berdua. Seandainya laki-laki itu mengajak menyelesaikan masalah secara jantan, mau tidak mau harus siap meladeninya. Ini semua demi harga diriku dan Aisha.Mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan tinggi melesat menembus jalan raya yang cukup padat. Sebenarnya jika menuruti hawa nafsu, emosiku sudah terpancing sejak mendengar percakapannya dengan Aisha. Dia seolah mengancam, akan menghancurkan hati Alma sahabatnya karena tidak menerima cinta laki-laki itu. Sebenarnya memang sudah sejak lama aku menaruh rasa cemburu kepadanya.Bahkan aku hampir saja menyera
Aku menepiskan rasa heran karena calon suami Alma tidak berada diantara kami.“Mas, sebaiknya segera pangil ambulance,” ucapku memberi saran kepada Mas Akbar yang sedang menopang tubuh Alma, dia masih belum juga sadarkan diri.“Saya sudah memanggil ambulance, Mbak. Mungkin sebentar lagi datang,” timpal wanita yang dipanggil bu rt oleh Alma.Benar saja, tidak lama kemudian terdengar bunyi sirine yang memecah kesunyian malam. Warga yang berada di sekitar kejadian seketika membubarkan diri saat mobil ambulance perlahan menepi. Salah satu warga yang mengendong Shania pun tengah bersiap menyambut kedatangan kendaraan yang ditakuti oleh beberapa kalangan orang ini.Mas Azam berinisiatif meminta izin untuk mengambil alih Shania, setelah mobil ambulance berhenti tepat di hadapan kami. Dua orang petugas menurunkan brankar untuk membawa pasien. Mas Azam menggendong Shania dan meletakkannya di atas brankar. Setelah mengucapkan terimakasih kepada semua warga yang membantu, Mas Azam, Mas Akbar bes
Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, sosok laki-laki berpangkat Wakapolres itu duduk bersisian denganku. Seperti biasa, dia melemparkan senyum manis ke arahku. Dia menyapa Adeeva dengan penuh kehangatan dan seperti biasa putriku itu mencium punggung tangan Pak Askara dengan takzim.“Mau setor juga, Pak?” alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik. Pak Askara mengangguk. Lalu dengan semangatnya dia bercengkrama dengan Adeeva. Putri kecilku itu terlihat ceria bersamanya. Putriku termasuk anak yang supel, sehingga mudah akrab dengan siapa saja. Ditambah Pak Askara bukan lagi orang baru baginya.Aku jadi teringat dengan Alma. Apa sebaiknya aku tanyakan mengenai hubungan mereka? Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepadanya.“Pak Askara, maaf sebelumnya jika saya lancang bertanya,” ucapku ragu.“Mau bertanya apa, Bu Aisha? Kelihatannya serius ….,” jawabnya seraya tersenyum simpul.Aku sedikit keraguan untuk bertanya hal yang cukup ribadi kepada laki-laki ya
Mas Azam mengajak kami semua menuju ruang tunggu. Menurut informasi dari maskapai, perkiraan delay akan berlangsung selama setengah sampai satu jam kemudian. Namun tidak dapat dipastikan, tepat atau malah meleset dari perkiraan.“Bagaimana ini, Hubby? Apa kita harus menunggu, mengganti jadwal penerbangan atau digagalkan saja?” tanyaku dengan wajah cemas.“Sebaiknya kita tunggu saja. Semoga delaynya tidak memakan waktu lama,” jawab Mas Azam menenangkanku.“Iya, Sha kita tunggu aja. Biar nggak bete, lebih baik kita photo-photo dulu. Bagaimana?” tanya Alma memberi ide. Dia terlihat santai dengan kabar delay ini. Alma memang sudah terbiasa bepergian menggunakan pesawat, sementara ini adalah pengalaman pertama bagiku.Kami akhirnya menuruti ide Alma. Berganti-ganti pose mengikuti arahan Alma yang bertindak sebagai photographer dadakan. Dengan tingkah lucunya, dia bisa membuat kami semua tertawa. Bahkan Mas Akbar yang beberapa bulan terakhir bermuram durja, kini sudah bisa tersenyum. Dia se
Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Abraham, tiba-tiba terdengar bunyi sirine ambulance yang memekakkan telinga. Sontak membuat kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Asisten rumah tangga Mas Akbar berlari membukakan pintu gerbang, ketika bunyi sirine menghilang dan tergantikan oleh suara klakson mobil Mas Akbar.Abraham berjalan menuju halaman rumah, mencari tahu asal suara sirine yang kini sudah tidak terdengar lagi. Detik berikutnya, sebuah mobil ambulance melaju memasuki halaman rumah, disusul kemudian oleh mobil Mas Akbar yang mengikuti dari belakang. Dua orang petugas turun dari mobil ambulance dan menurunkan brankar yang diatasnya terdapat keranda berselimutkan kain berwarna putih. Mas Akbar turun dari mobil dan berlari kecil menyusul kedua petugas itu.Jantungku berdegub kencang menyaksikan pemandangan ini. Mas Azam yang berada bersisian denganku turut membantu mendorong brankar memasuki rumah. Sementara Abraham terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. .Setelah men
“Asalkan apa, Abraham?” tanyaku penasaran.“Asalkan Mama normal seperti yang lainnya!” jawab Abraham tegas.Aku terdiam mendengar jawaban Abraham. Dia mewarisi sifat keras kepala seperti ibunya. Sementara Mas Akbar juga terdiam mendengar jawaban putra semata wayangnya. Mobil terus melaju menembus jalan raya yang terlihat sedikit ramai oleh para pengendara yang berlalu lalang. Ditambah cuaca yang sedikit terik, membuat cadangan oksigen di dalam mobil terasa berkurang.Mobil yang dikemudikan Mas Azam akhirnya tiba di polres kota. Aku sudah menyiapkan diri jika seandainya bertemu dengan Pak Askara. Kejadian sebelumnya akan menjadi pelajaran untukku. Jangan sampai terjadi kesalah pahaman lagi antara Mas Azam dan Pak Askara.Mas Akbar mendahului dengan menghampiri petugas yang berjaga dan menyampaikan maksud dan tujuan kami. Setelah melengkapi semua prosedur untuk jadwal kunjungan, kami dipersilakan untuk menuju ruang khusus yang tersedia dan terletak di bagian belakang Polres. Letaknya ya
Aku memasuki villa terlebih dahulu. Tidak sabar untuk mencari keberadaan Mas Azam. Berkeliling memeriksa satu persatu ruangan yang berada di lantai bawah. Napasku memburu seiring berpacu dengan waktu, khawatir Mbak Nisa kembali ke villa ini. Namun seberapa keras mencari, sosok yang aku harapkan tidak kunjung kutemukan. Sementara itu, Mas Akbar dan Alma naik ke lantai atas untuk ikut membantu mencari Mas Azam. Namun tidak lama kemudian mereka pun turun."Ruangan atas kosong Dek, tidak ada seorang pun.” Mas Akbar melaporkan hasil pencariannya. Sementara Alma mengangguk membenarkan laporan kakakku.“Di semua ruangan bawah juga tidak ada, Mas. Sepertinya Mbak Nisa sengaja menjebak kita, Mas,” ucapku mengungkapkan kecurigaan. “Sepertinya begitu, Dek. Nisa bukan wanita yang bodoh, pasti dia sudah mengetahui rencana kita," jawab Mas Akbar sependapat denganku. “Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Mas? Perasaanku semakin tidak enak. Aku mengkhawatirkan keadaan Mas Azam.” Aku beruc
Aku tidak hentinya tertawa.Ya ... menertawakan kebodohan mereka. Apa mereka pikir, sebodoh itu sehingga tidak mengetahui tindakan mereka yang menguntitku?Tidak semudah itu mereka mengalahkan seorang Annisa Putri Rahmawati Muttaqin. Seorang putri pemilik pondok pesantren terkenal di daerah Jawa Tengah. Kecerdasanku yang berada di atas rata-rata terbukti sejak masih duduk di bangku SD selalu meraih gelar juara kelas, bahkan hingga menyelesaikan gelar S1 dengan predikat cumelaude.Namun sayang, harapanku untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan sekolah S2 ke Mesir terhalang restu kedua orangtua. Mereka tidak merestui karena penyakit yang aku derita. Bipolar disorder. Penyakit yang begitu asing ditelinga, tetapi berhasil menghancurkan semua mimpiku. Aku merupakan sosok wanita yang ambisius dalam segala hal. Selalu ingin menjadi orang nomor satu di kehidupan, karena sejak lahir sudah terbiasa dinomor satukan dalam keluarga karena aku adalah anak tunggal.Lingkungan keluargaku sangat ag