Aku menuntun Adeva masuk ke kamar dan duduk di atas tempat tidur. Sejak usia tiga tahun, dia memang sudah berpisah kamar denganku. Tujuannya tidak lain agar dia tumbuh menjadi Anak yang lebih mandiri."Ayah enggak pulang, Sayang. Ayah sibuk, karena usaha ayam bakarnya lagi ramai pembeli." Jawabku berbohong, seraya mengelus puncak kepalanya."Terus, kapan Ayah pulang?" tanyanya lagi."Kalau sudah tidak sibuk, secepatnya Ayah akan pulang." Aku berkata seraya tersenyum menghiburnya."Adeva malam ini boleh bobo sama Ibu saja, mau?" tawarku."Yeay, Adeva boleh bobo sama Ibu!" sorak Adeva senang."Tetapi sebelum bobo harus pipis dulu ke kamar mandi ya, biar enggak ngompol!" ucapku seraya tersenyum menggodanya."Adeva sudah tidak ngompol, Bu!" jawabnya polos."Iya deh, Anak Ibu yang cantik ini selain pintar juga sudah tidak mengompol. Tetapi, tetap harus ke toilet dulu ya." Ajakku seraya menurunkannya dari atas tempat tidur.Selesai dari toilet, Adeva naik ke atas tempat tidur sendiri."Bu, A
Aku mencoba mengingat suara yang ada di telepon itu. Sangat asing di telingaku. Ditambah, nomor ponselnya pun tidak ada dikontakku."Maaf, ini dengan siapa ya? mungkin Anda salah orang!" jawabku dengan suara hati-hati."Mbak Aisha sudah lupa ya? Aku, Sarah. Wanita yang bersama Mas Adnan semalam!" ucap Wanita itu dengan percaya dirinya.Darahku tiba-tiba mendidih setelah mengetahui identitas si penelpon. Dasar pelakor murahan, berani-beraninya dia menghubungi Istri sah dari selingkuhannya."Mau apa Kamu menghubungiku, Wanita murahan? tidak puas Kamu sudah merebut Mas Adnan dariku?" hardikku dengan penuh emosi.Andai saja Aku dan Wanita murahan itu bertatap muka, pasti sudah Aku tampar wajahnya."Puas enggak ya? mungkin untuk saat ini cukup puas. Secara, hubungan Kami baru seumur jagung, tetapi Mas Adnan sudah membelikanku satu unit rumah mewah secara cash, lho Mbak." Wanita itu berkata seolah sengaja memancing emosiku."Oh ya? apa Kamu tahu, selama ini Mas Adnan itu menikah denganku ha
"Hallo Mbak Aisha. Sendirian aja? kasiaaaaan banget sih!” cibir wanita tidak tahu malu itu kepadaku. Sementara laki-laki bermodal dengkul yang berdiri disampingnya, hanya tersenyum sinis. Aku tidak menanggapi mereka, karena takut terpancing emosi. Aku harus tetap menjaga sikap, karena sedang berada di tempat umum. “Mba Aisha mau kemana? kok buru-buru banget. Enggak mau lihat kemesraan Kita berdua lagi?” ucap wanita itu sedikit berbisik ke arahku. Aku menghindarinya, tidak sudi rasanyaberdekatan dengan wanita kotor sepertinya. “Kamu seharusnya belajar kepada Sarah, bagaimana caranya memuaskan Suami dengan baik!” timpal Mas Adnan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Amarah di dalam hatiku berdebur bagai ombak yang sedang pasang. Siap menerjang benda apapun yang menghalangi jalannya. Aku sudah berusaha bersabar, namun mereka membuat emosi terpancing. Saat Aku akan meluapkan amarahku, terjadi sesuatu hal yang tidak terduga. “Hai guys, ini dia pasangan kumpul kebo yang lagi naik daun. Y
"Saya kira Mas Adnan sudah menjelaskan kepada Ibu masalah dalam rumah tangga kami," jawabku dengan sopan.Aku sangat menghormati ibu mertuaku, karena sikap beliau selama ini begitu baik."Adnan hanya bilang telah terjadi kesalah pahaman diantara kalian berdua. Itu sebabnya, Ibu datang kesini untuk bertanya langsung kepadamu," jawab Ibu seraya menatapku dengan sorot matanya yang teduh."Kesalah pahaman katanya? Apakah ketika seorang Istri menangkap basah suaminya yang sedang tidur dengan wanita lain itu masih bisa dikatakan kesalah pahaman?" tanyaku kepada Ibu.Wajah ibu sedikit tercengang mendengar pertanyaanku. Berbeda dengan Mas Irwan, dia terlihat biasa saja."A-apa maksudmu Aisha? Adnan berselingkuh?" tanya Ibu seolah tidak percaya anak kesayanganya telah mengkhianati pernikahannya sendiri."Iya Bu. Mas Adnan berselingkuh dengan wanita yang lebih muda dariku. Mereka tidur di ruko tempat usaha Mas Adnan!" tegasku.Kedua netra ibu terlihat mengembun. Sementara wajahnya masih terlihat
“Mas Adnan? Apa maksud Kamu?” bentakku tak mau kalah.“Kamu bisa berlaku apapun kepadaku. Tetapi tidak kepada Ibu dan Kakakku. Kamu menantu kurang ajar, karena sudah bersikap tidak sopan kepada Ibu Mertuamu sendiri!” ucap Mas Adnan dengan suara bergetar. Nampaknya dia sedang dilanda emosi.“Memangnya apa yang sudah kulakukan kepada Ibu? tidak ada yang salah. Aku hanya menolak permintaan Ibu memberinya jatah bulanan, karena memang sedang membutuhkan banyak uang untuk proses pengajuan perceraian. Itupun Aku sampaikan dengan cara yang sopan, walaupun sebenarnya Aku sempat tersulut emosi karena sikap Mas Irwan!" sanggahku.“Tetapi bukan berarti Kamu bertindak kasar kepada Ibuku, mendorongnya hingga terjatuh!”“Mendorong? siapa bilang Aku mendorong Ibu? Aku masih bisa menahan emosi untuk tidak berbuat kasar, apalagi kepada Ibu yang sudah berusia lanjut. Walau bagaimanapun, Aku masih menghormati beliau!"“Alaah, Kamu tidak usah mengelak. Mas Irwan yang menjadi saksinya. Sekarang Kamu harus
"Bu Aisha, ini Aku Santi!" teriak seorang perempuan dari luar mobil. Aku menelisik wajahnya, karena penerangan di sekitar kurang begitu terang. Benar, dia adalah Santi salah satu karyawan Mas Adnan.Aku segera melepaskan seat belt dan membuka pintu mobil, menghampiri Santi yang sedang menungguku. "Ibu Aisha apa kabar?" tanya seorang gadis cantik bertubuh ramping itu seraya meraih punggung tanganku dan menciumnya takzim. Sudah menjadi kebiasaan semua karyawan wanita Mas Adnan, mencium tangan ketika bertemu denganku."Alhamdulillah, kabar Ibu baik Santi. Kamu sendiri?" tanyaku penasaran."Kalau kabar Saya kurang baik, Bu. Sudah satu minggu ini Saya dan karyawan lain di rumahkan!" jawab Santi lirih"Dirumahkan? maksudmu, rumah makan ini bangkrut?" Aku terkejut hingga membelalakkan mata."Iya, begitulah Bu. Sepertinya karena video Pak Adnan dan selingkuhannya yang sedang melabrak Ibu viral, berimbas sama pengunjung rumah makan!" jawab Santi dengan wajah sedih."Berarti rumah makan tutup
Aku sangat penasaran, siapa gerangan yang bertamu di jam istirahat seperti ini?“Ba-Pak Ad-nan, Bu!” jawab Bik Darmi gugup. Seketika Aku membelalakkan mata dan tanpa sadar menjatuhkan surat dalam genggaman. Dengan sigap Bik Darmi memungutnya dan meletakkan kembali ke tempat sebelumnya.“Apakah Ibu mau menemuinya? jika tidak biar Bibik yang sampaikan kalau Ibu sudah tidur!” ucap Bik Darmi memberikan ide.“Tidak perlu, Bi. Biar Saya temui saja,” Aku menolak ide Bik Darmi.‘Ada perlu apa sebenarnya Mas Adnan menemuiku? apakah dia juga sudah mendapatkan surat panggilan dari Pengadilan Agama?’ batinku.Aku melangkah perlahan menuju ruang tamu, rasa letih yang mendera sebelumnya seketika sirna. Dadaku sedikit bergemuruh jika berkaitan dengan laki-laki yang sudah menorehkan luka di hati. Aku berharap dia tidak membuat masalah lagi seperti tempo hari di telepon. Sesosok laki-laki yang dulu sangat Aku hormati sedang duduk menekur pada sofa yang berada di ruang tamu. Wajahnya sedikit kusut da
“Mas Adnan?” Aku mencoba memanggil namanya. Memastikan jika dia mendengar panggilanku.“Maaf, Mas Adnannya sedang sibuk jadi tidak bisa diganggu dengan urusan yang tidak penting!” jawab seseorang yang suarnya sangat Aku kenal. Itu suara Sarah, selingkuhannya Mas Adnan.“Aku tidak ada urusan denganmu. Cepat berikan pada Mas Adnan, ini menyangkut keselamatan putrinya!” hardikku dengan menahan emosi yang membuat sesak di dada.“Sudah Aku bilang Mas Adnan sibuk, ngerti enggak sih? lagipula, Mas Adnan pernah bilang kepadaku kalau dia sudah tidak peduli lagi dengan keluarganya, termasuk kepada Anaknya!” ucap Sarah dengan nada mengejek.Dadaku bergemuruh mendengar ejekannya, dengan cepat Aku langsung memutuskan panggilan, karena khawatir akan semakin tersulut emosi. Rasanya ingin menjambak dan menampar mulut wanita jalang itu. Aku juga sebenarnya tidak sudi menghubungi Mas Adnan, kalau bukan karena Adeeva membutuhkannya. Sekarang jelas bagiku, jika sikap Mas Adnan kemarin malam yang memohon
Aku dan Alma hanya menatap dengan wajah tegang saat melihat Mas akbar melayangkan tinjunya ke wajah Pak Askara. Terdengar erangan kesakitan, bersamaan dengan cairan merah segar yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tetapi Mas akbar sepertinya sudah dilanda emosi saat mengetahui semua kebenarannya. Pak Askara menginginkan cinta dariku, seorang wanita yang telah bersuami. Terlebih dia mempermainkan hati wanita yang dicintainya, Alma. Dia menjalin hubungan dengan Alma hanya bertujuan ingin membalaskan sakit hatinya karena mendapatkan penolakan dariku.Beberapa jam sebelumnya, saat Mas Azam berkata akan menemui Pak Askara, aku sangat mengkhawatirkannya. Sehingga lekas menghubungi Mas Akbar untuk meminta bantuannya. Kebetulan dia sedang berada diluar. Namun bersamaan dengan itu, Alma pun datang berkunjung ke rumah. Akhirnya aku mengajaknya serta untuk menyusul Mas Azam dan Pak Askara di tempat yang belum diketahui keberadaannya. Namun kemudian Mas Akbar memberit
Aku melangkah lebar meninggalkan Aisha, istriku. Dia melepas kepergian dengan tatapan kosong. Pasti dia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan karena akan menemui Pak Askara, laki-laki yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.Laki-laki yang menginginkan Aisha, padahal dengan jelas mengetahui statusnya telah bersuami.Kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang terletak di pusat kota. Entah apa yang akan terjadi diantara kami berdua. Seandainya laki-laki itu mengajak menyelesaikan masalah secara jantan, mau tidak mau harus siap meladeninya. Ini semua demi harga diriku dan Aisha.Mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan tinggi melesat menembus jalan raya yang cukup padat. Sebenarnya jika menuruti hawa nafsu, emosiku sudah terpancing sejak mendengar percakapannya dengan Aisha. Dia seolah mengancam, akan menghancurkan hati Alma sahabatnya karena tidak menerima cinta laki-laki itu. Sebenarnya memang sudah sejak lama aku menaruh rasa cemburu kepadanya.Bahkan aku hampir saja menyera
Aku menepiskan rasa heran karena calon suami Alma tidak berada diantara kami.“Mas, sebaiknya segera pangil ambulance,” ucapku memberi saran kepada Mas Akbar yang sedang menopang tubuh Alma, dia masih belum juga sadarkan diri.“Saya sudah memanggil ambulance, Mbak. Mungkin sebentar lagi datang,” timpal wanita yang dipanggil bu rt oleh Alma.Benar saja, tidak lama kemudian terdengar bunyi sirine yang memecah kesunyian malam. Warga yang berada di sekitar kejadian seketika membubarkan diri saat mobil ambulance perlahan menepi. Salah satu warga yang mengendong Shania pun tengah bersiap menyambut kedatangan kendaraan yang ditakuti oleh beberapa kalangan orang ini.Mas Azam berinisiatif meminta izin untuk mengambil alih Shania, setelah mobil ambulance berhenti tepat di hadapan kami. Dua orang petugas menurunkan brankar untuk membawa pasien. Mas Azam menggendong Shania dan meletakkannya di atas brankar. Setelah mengucapkan terimakasih kepada semua warga yang membantu, Mas Azam, Mas Akbar bes
Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, sosok laki-laki berpangkat Wakapolres itu duduk bersisian denganku. Seperti biasa, dia melemparkan senyum manis ke arahku. Dia menyapa Adeeva dengan penuh kehangatan dan seperti biasa putriku itu mencium punggung tangan Pak Askara dengan takzim.“Mau setor juga, Pak?” alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik. Pak Askara mengangguk. Lalu dengan semangatnya dia bercengkrama dengan Adeeva. Putri kecilku itu terlihat ceria bersamanya. Putriku termasuk anak yang supel, sehingga mudah akrab dengan siapa saja. Ditambah Pak Askara bukan lagi orang baru baginya.Aku jadi teringat dengan Alma. Apa sebaiknya aku tanyakan mengenai hubungan mereka? Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepadanya.“Pak Askara, maaf sebelumnya jika saya lancang bertanya,” ucapku ragu.“Mau bertanya apa, Bu Aisha? Kelihatannya serius ….,” jawabnya seraya tersenyum simpul.Aku sedikit keraguan untuk bertanya hal yang cukup ribadi kepada laki-laki ya
Mas Azam mengajak kami semua menuju ruang tunggu. Menurut informasi dari maskapai, perkiraan delay akan berlangsung selama setengah sampai satu jam kemudian. Namun tidak dapat dipastikan, tepat atau malah meleset dari perkiraan.“Bagaimana ini, Hubby? Apa kita harus menunggu, mengganti jadwal penerbangan atau digagalkan saja?” tanyaku dengan wajah cemas.“Sebaiknya kita tunggu saja. Semoga delaynya tidak memakan waktu lama,” jawab Mas Azam menenangkanku.“Iya, Sha kita tunggu aja. Biar nggak bete, lebih baik kita photo-photo dulu. Bagaimana?” tanya Alma memberi ide. Dia terlihat santai dengan kabar delay ini. Alma memang sudah terbiasa bepergian menggunakan pesawat, sementara ini adalah pengalaman pertama bagiku.Kami akhirnya menuruti ide Alma. Berganti-ganti pose mengikuti arahan Alma yang bertindak sebagai photographer dadakan. Dengan tingkah lucunya, dia bisa membuat kami semua tertawa. Bahkan Mas Akbar yang beberapa bulan terakhir bermuram durja, kini sudah bisa tersenyum. Dia se
Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Abraham, tiba-tiba terdengar bunyi sirine ambulance yang memekakkan telinga. Sontak membuat kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Asisten rumah tangga Mas Akbar berlari membukakan pintu gerbang, ketika bunyi sirine menghilang dan tergantikan oleh suara klakson mobil Mas Akbar.Abraham berjalan menuju halaman rumah, mencari tahu asal suara sirine yang kini sudah tidak terdengar lagi. Detik berikutnya, sebuah mobil ambulance melaju memasuki halaman rumah, disusul kemudian oleh mobil Mas Akbar yang mengikuti dari belakang. Dua orang petugas turun dari mobil ambulance dan menurunkan brankar yang diatasnya terdapat keranda berselimutkan kain berwarna putih. Mas Akbar turun dari mobil dan berlari kecil menyusul kedua petugas itu.Jantungku berdegub kencang menyaksikan pemandangan ini. Mas Azam yang berada bersisian denganku turut membantu mendorong brankar memasuki rumah. Sementara Abraham terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. .Setelah men
“Asalkan apa, Abraham?” tanyaku penasaran.“Asalkan Mama normal seperti yang lainnya!” jawab Abraham tegas.Aku terdiam mendengar jawaban Abraham. Dia mewarisi sifat keras kepala seperti ibunya. Sementara Mas Akbar juga terdiam mendengar jawaban putra semata wayangnya. Mobil terus melaju menembus jalan raya yang terlihat sedikit ramai oleh para pengendara yang berlalu lalang. Ditambah cuaca yang sedikit terik, membuat cadangan oksigen di dalam mobil terasa berkurang.Mobil yang dikemudikan Mas Azam akhirnya tiba di polres kota. Aku sudah menyiapkan diri jika seandainya bertemu dengan Pak Askara. Kejadian sebelumnya akan menjadi pelajaran untukku. Jangan sampai terjadi kesalah pahaman lagi antara Mas Azam dan Pak Askara.Mas Akbar mendahului dengan menghampiri petugas yang berjaga dan menyampaikan maksud dan tujuan kami. Setelah melengkapi semua prosedur untuk jadwal kunjungan, kami dipersilakan untuk menuju ruang khusus yang tersedia dan terletak di bagian belakang Polres. Letaknya ya
Aku memasuki villa terlebih dahulu. Tidak sabar untuk mencari keberadaan Mas Azam. Berkeliling memeriksa satu persatu ruangan yang berada di lantai bawah. Napasku memburu seiring berpacu dengan waktu, khawatir Mbak Nisa kembali ke villa ini. Namun seberapa keras mencari, sosok yang aku harapkan tidak kunjung kutemukan. Sementara itu, Mas Akbar dan Alma naik ke lantai atas untuk ikut membantu mencari Mas Azam. Namun tidak lama kemudian mereka pun turun."Ruangan atas kosong Dek, tidak ada seorang pun.” Mas Akbar melaporkan hasil pencariannya. Sementara Alma mengangguk membenarkan laporan kakakku.“Di semua ruangan bawah juga tidak ada, Mas. Sepertinya Mbak Nisa sengaja menjebak kita, Mas,” ucapku mengungkapkan kecurigaan. “Sepertinya begitu, Dek. Nisa bukan wanita yang bodoh, pasti dia sudah mengetahui rencana kita," jawab Mas Akbar sependapat denganku. “Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Mas? Perasaanku semakin tidak enak. Aku mengkhawatirkan keadaan Mas Azam.” Aku beruc
Aku tidak hentinya tertawa.Ya ... menertawakan kebodohan mereka. Apa mereka pikir, sebodoh itu sehingga tidak mengetahui tindakan mereka yang menguntitku?Tidak semudah itu mereka mengalahkan seorang Annisa Putri Rahmawati Muttaqin. Seorang putri pemilik pondok pesantren terkenal di daerah Jawa Tengah. Kecerdasanku yang berada di atas rata-rata terbukti sejak masih duduk di bangku SD selalu meraih gelar juara kelas, bahkan hingga menyelesaikan gelar S1 dengan predikat cumelaude.Namun sayang, harapanku untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan sekolah S2 ke Mesir terhalang restu kedua orangtua. Mereka tidak merestui karena penyakit yang aku derita. Bipolar disorder. Penyakit yang begitu asing ditelinga, tetapi berhasil menghancurkan semua mimpiku. Aku merupakan sosok wanita yang ambisius dalam segala hal. Selalu ingin menjadi orang nomor satu di kehidupan, karena sejak lahir sudah terbiasa dinomor satukan dalam keluarga karena aku adalah anak tunggal.Lingkungan keluargaku sangat ag