Aku berjalan tergesa di sepanjang koridor rumah sakit. Si pedagang yang aku tanyai, berbaik hati mengantarku ke kontrakan milik Haifa. Di sana aku pun diberitahu tentang rumah sakit tempat Abyan dirawat oleh pria paruh baya yang mengaku sebagai ketua RT setempat.
Kamar Abyan berada di deretan ruang kelas 2. Aku bergegas ke sana, ingin segera memastikan bahwa keadaan putraku tidak separah yang kutakutkan."Mas Gani?"Haifa terlihat terkejut melihat kedatanganku. Mata bulatnya makin melebar ketika aku bertanya tentang Abyan."Bagaimana kondisi Abyan?""Dari mana Mas tahu Abyan dirawat di sini?" Dia malah balik bertanya."Dari tetangga kamu. Bagaimana kondisinya sekarang?""Alhamdulillah sudah lebih baik. Panasnya juga sudah turun. Kemungkinan nanti siang bisa pulang," terangnya."Boleh ... aku melihatnya?" tanyaku ragu. "Hari ini kemungkinan aku akan pulang ke Jakarta. Aku ingin bertemu Abyan terlebih dahulu sebelum berangkat.""Boleh, Mas. Silakan. Tapi Abyan masih tidur."Haifa memberiku ruang untuk mendekat ke arah ranjang tempat Abyan berbaring. Wajah tampan putraku terlihat tenang ketika sedang terlelap. Entah dorongan dari mana, aku refleks menundukkan wajah dan mengecup keningnya cukup lama."Cepat sembuh, Nak," bisikku di dekat telinga Abyan dengan tangan mengusap lembut rambut ikal putraku.Kutatap lekat wajah Abyan sepuas hati. Rasanya berat sekali meninggalkan dia dalam kondisi seperti ini. Namun, aku tidak bisa tinggal lebih lama di kota ini. Berulang kali Papa menelepon dan memintaku pulang untuk mengurus perusahaan. Andai beliau tahu bahwa aku tengah bersama cucunya, Papa pasti bergerak cepat menyusulku ke sini atau bahkan, memintaku membawa mereka pulang ke Jakarta.Akan tetapi, nyaliku belum cukup besar untuk memberitahu Papa tentang pertemuanku dengan Haifa dan Abyan. Apalagi aku belum siap jika sampai Nesya tahu aku memiliki seorang anak dari Haifa.Ponsel dalam saku celana ini bergetar. Aku sedikit menjauh karena tidak ingin mengganggu tidur Abyan. Refleks aku tersenyum ketika melihat nama Nesya terpampang di layar. Baru saja aku memikirkan tentang dia, kekasihku langsung menghubungiku. Apa ini yang dinamakan dengan satu hati?"Ya, Sayang?"[Masih belum pulang?]"Belum. Nanti siang aku berangkat. Kenapa?"[Kok nanya kenapa? Aku kangen, tahu!]Aku terkekeh. Kekasihku ini memang manja."Sabar, Sayang. Besok juga kita pasti ketemu.""Bunda ...."Suara Abyan menghentikan percakapanku dengan Nesya. Aku menoleh ke arah putraku yang ternyata sudah bangun dari tidurnya."Ya, Nak. Bunda di sini."Haifa tergopoh mendekat ke arah putra kami. Masih bisa kulihat istriku tengah mengusap sudut matanya yang berair. Haifa menangis? Apa karena ... ah, bodoh! Aku lupa jika saat ini aku tidak sedang sendirian. Haifa pasti mendengar percakapanku dengan Nesya. Memang, seperti inilah jika sudah menyangkut tentang kekasihku. Aku bisa dibuatnya lupa diri bahkan lupa segalanya.[Mas? Kok ada suara anak kecil? Memangnya kamu lagi di mana?]"Oh, ini. Aku sedang di luar, cari sarapan. Banyak orang di sini," jawabku sedikit gugup."Sudah dulu, ya. Nanti aku telepon lagi kalau sampai di Hotel."[Oke. Miss you.]Aku melirik ke arah Haifa sejenak. Ternyata dia sedang fokus dengan putra kami."Miss you too," jawabku lirih karena tidak ingin Haifa sampai mendengarnya.Setelah sambungan telepon terputus, aku kembali menghampiri Abyan yang sudah duduk dibantu oleh bundanya."Abyan sudah sehat?" tanyaku begitu berada di dekatnya."Om? Om Gani kan?" tanyanya."Iya, Om ke sini untuk menjenguk Abyan. Bagaimana? Abyan sudah sehat?""Sudah, Om. Kata Bunda nanti siang Abyan boleh pulang. Abyan gak betah di sini," rajuknya yang membuatku mengulum senyum."Kalau begitu, Abyan istirahat lagi, biar pas pulang nanti makin sehat. Om mau bicara sebentar sama Bunda, boleh?"Abyan mengangguk. "Boleh, silakan, Om.""Kita bicara di luar?" Aku beralih menatap Haifa."Iya."Aku berjalan lebih dulu kemudian disusul Haifa setelah berpamitan kepada Abyan. Kami duduk di bangku tunggu yang tersedia di depan ruang perawatan. Haifa mengambil tempat duduk cukup jauh denganku. Sepertinya, istriku sengaja ingin menjaga jarak denganku."Aku yang akan membayar biaya pengobatan Abyan," ucapku setelah kami cukup lama sama-sama saling diam."Tidak usah, Mas. Aku masih punya tabungan untuk membayar biaya rumah sakit," tolaknya.Aku sudah menduga Haifa akan memberikan penolakan."Aku ayahnya, jangan lupa itu. Aku bertanggung jawab atas segala yang berhubungan dengan Abyan. Pokoknya aku yang akan membayar biaya rumah sakit dan setelah itu aku yang akan mengantar kalian pulang," tegasku tak ingin dibantah."Tapi aku sudah menghubungi Bu Wanti. Beliau yang akan menjemput kami pulang.""Batalkan saja. Kalian akan tetap pulang denganku," putusku final.Haifa terlihat pasrah. "Baiklah. Nanti aku memberitahu Bu Wanti supaya tidak usah ke sini.""Aku kebagian administrasi dulu. Kamu persiapkan semua keperluan Abyan untuk pulang."Aku beranjak meninggalkan Haifa yang masih duduk di kursi tunggu. Tepat pukul dua siang, akhirnya Abyan pulang bersamaku dan bundanya. Rasa haru tiba-tiba saja menyeruak ketika kami berada di dalam mobil bertiga. Haifa duduk di sebelahku sambil memangku Abyan yang masih sedikit lemah. Kami layaknya keluarga bahagia yang tengah menikmati kebersamaan. Seharunya memang begitu, bukan? Akan tetapi, hal seperti itu tidak mungkin terjadi karena pada kenyataannya ada jarak yang membentang antara aku dengan Haifa dan Abyan."Mobil Om pasti bagus. Wangi banget ya, Bun!" celoteh Abyan membuatku tersenyum."Iya, Nak. Mobil Om memang bagus." Haifa menjawab pertanyaan putra kami."Abyan suka?" tanyaku ikut menimpali obrolan mereka."Suka banget, Om. Abyan belum pernah naik mobil bagus kayak begini. Eh, pernah sekali waktu Abyan diajak ke Mall sama Om Akram. Abyan lupa!" ujarnya seraya tersenyum lebar."Om Akram?" Siapa?" Aku penasaran."Om Akram anaknya Nenek Wanti. Dia pernah ajak Abyan jalan-jalan naik mobil bagus kayak gini. Mobil Om Akram juga wangi."Perasaan ini langsung tak nyaman mendengar putraku juga akrab dengan pria lain. Apalagi kalau sampai pria itu masih muda dan belum berkeluarga. Bisa saja dia yang akan menggantikanku memberi peran ayah untuk Abyan.Ah, aku tidak rela!Suasana menjadi hening hingga kami sampai di rumah Haifa. Aku membantu menggendong Abyan meski anak itu sempat menolak. Hati ini terenyuh melihat kondisi rumah yang ditinggali istri dan anakku. Rumah sederhana yang bahkan luasnya tidak lebih besar dari dapur di rumahku."Abyan istirahat ya. Om tunggu di luar," ucapku setelah membaringkan Abyan di atas kasur tipis di kamarnya."Iya, Om. Terima kasih, Om sudah membantu Abyan dan Bunda. Om baik banget. Semoga ayahnya Abyan juga baik kayak Om."Mulut ini tercekat. Mati-matian menahan laju air mata yang hendak menerobos keluar dari kedua netra ini.Ini Ayah, Nak. Ayahnya Abyan! Sayangnya Ayah tidak sebaik yang Abyan kira."Om.""I-iya, Nak.""Abyan boleh minta tolong?""Katakan, Abyan mau minta tolong apa?""Tolong hibur Bunda. Bunda pasti sedih karena Abyan sakit. Abyan sering dengar Bunda nangis. Om mau kan bantu Abyan?""I-iya, Sayang. Om pasti bantu Abyan. Sekarang istirahat, ya. Om mau menemui Bunda kamu di luar.""Iya, Om."Aku keluar kamar dan mendapati Haifa sedang meletakkan segelas air putih di atas karpet yang digelar di ruang depan. Aku menghampiri dan duduk bersila di sana."Diminum dulu, Mas."Aku bergeming. Meneliti wajah ayu itu yang terlihat lelah. Haifa dengan segala beban hidup yang harus ia tanggung, tentu tidak mudah untuk dihadapinya. Rasa bersalah dalam diri ini terasa kian besar. Akan tidak adil bagi Haifa jika ia harus mengurus dan membesarkan Abyan sendirian."Mas ...." Haifa terlihat gugup."Ya?""Mas, mau pulang ke Jakarta sekarang kan?""Ya, seharusnya begitu," jawabku ragu."Sebelum Mas pulang, alangkah lebih baik kalau kita selesaikan urusan yang tertunda kemarin. Aku ... aku benar-benar sudah siap. Silakan Mas ucapkan kata talak sekarang."Aku terbelalak. Tidak pernah menduga Haifa akan bersikeras memintaku memberinya talak sekarang juga."Mas--""Aku belum bisa, Haifa.""Kenapa? Bukankah lebih cepat akan lebih baik?" kejarnya."Aku ... pokoknya aku belum siap mengucapkannya sekarang," tegasku."Bersiaplah. Besok kamu dan Abyan ikut aku pulang ke Jakarta. Dan untuk malam ini ... aku akan tidur di sini," ujarku lagi.Haifa terbelalak. Kepalanya menggeleng dengan cepat seakan tidak setuju atas apa yang aku ucapkan."Jangan menolak karena aku masih suamimu!" putusku final.**Bersambung.Seharusnya, kini aku sudah berada di Jakarta dan tidur di ranjang empuk milikku, bukan meringkuk di atas karpet tipis seperti ini. Atau paling tidak, aku kembali ke Hotel supaya tidurku terasa lebih nyaman di sana. Bukan di sini, di rumah sempit yang hanya memiliki satu kamar.Ya, seharusnya memang seperti itu. Namun, entah mengapa hati ini rasanya berat untuk meninggalkan Haifa dan Abyan. Aku ingin membantu Haifa menjaga putra kami di saat tengah sakit. Hal yang seharusnya aku lakukan dari bertahun-tahun lalu. Haifa menolak ketika aku mengajaknya pulang ke Jakarta. Akan tetapi, bukan Gani namanya jika aku tidak bisa memaksa dia untuk ikut. Dengan status suami yang masih aku sandang, bisa kujadikan senjata untuk menekan wanita penurut seperti dia. Alhasil, Haifa bersedia ikut dengan catatan tidak ingin berlama-lama di Jakarta. Aku iya-kan saja, toh tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Aku sudah memutuskan untuk mempertemukan Haifa dan Abyan dengan orang tuaku. Mere
Setelah drama yang sempat terjadi karena Bu Wanti tidak mengizinkan Haifa dan Abyan ikut bersamaku ke Jakarta, akhirnya di sinilah kami sekarang. Di dalam mobil dengan aku dan Haifa yang duduk di depan dan Abyan di belakang. Haifa sempat menawarkan kepada putra kami untuk duduk di depan saja. Namun, jawaban yang Abyan berikan sangat menohok hingga membuat kami langsung terdiam."Percuma Abyan duduk di depan. Abyan kan gak bisa melihat apa pun," katanya dengan raut sedih yang sangat kentara.Aku dan Haifa saling pandang, kemudian larut dalam pikiran masing-masing. Kami sama-sama memilih diam hingga Abyan terlelap dengan sendirinya di bangku belakang. Di sepanjang perjalanan, pikiran ini terasa makin was-was. Aku memikirkan bagaimana reaksi Mama dan Papa saat aku pulang membawa Haifa dan Abyan. Dengan kondisi putraku yang seperti ini, akankah mereka bisa menerima cucunya? Belum lagi dengan Nesya yang pasti merasa syok setelah kuberitahu bahwa aku memiliki seorang anak dari Haifa. Enta
Aku duduk bersimpuh di depan Papa yang masih terlihat marah. Setelah dua kali pukulan yang ia layangkan di wajah ini, Papa duduk di sofa yang terdapat di ruang kerjanya. Dada Papa terlihat naik turun, pun dengan tangannya yang masih mengepal di atas paha pria yang masih terlihat gagah di usianya yang sudah setengah abad itu.Aku tidak mampu melawan atau membela diri. Aku cukup sadar bahwa semua yang terjadi memang salahku. Kepergian Haifa, kehadiran Abyan yang tidak diketahui olehku dan keluargaku, juga kemarahan Papa yang sepertinya sudah saatnya meledak setelah beberapa tahun ia menahan diri untuk tidak menghajar putranya ini. Papa memang hampir melayangkan tamparan beberapa kali ketika memergoki diriku bersama Nesya di kantor. Namun, pria yang sangat aku hormati itu mengurungkan niat dan berkata."Sejak kamu kecil, Papa tidak pernah satu kalipun memukulmu. Papa terlalu sayang padamu hingga apa saja yang kamu inginkan akan Papa kabulkan. Tapi Papa sadar ternyata cara Papa mendidik k
"Nes, kita sudahi saja hubungan ini. Aku mau kita putus."Nesya melepas pelukannya dari pinggang ini. Wanita yang sudah menjadi kekasihku selama empat tahun tersebut perlahan mundur seraya menggeleng lemah."Jangan becanda, Mas. Ini gak lucu." Nesya tersenyum sumbang."Aku tidak sedang becanda. Aku memang ingin mengakhiri hubungan kita.""Tapi kenapa?" Kini, nada suara Nesya mulai meninggi. "Aku ... aku sudah menemukan Haifa dan ternyata aku memiliki seorang anak darinya.""A-apa? Anak?" Nesya menggeleng tak percaya. "Gak mungkin. Bukannya kamu bilang selama pernikahan kalian, kamu tidak pernah menyentuhnya?""Aku memang tidak pernah menyentuh Haifa selain malam itu. Malam di mana aku pulang dalam keadaan mabuk dan melihat dia itu dirimu. Aku tidak pernah menyangka jika kejadian satu malam itu akan menumbuhkan benih di rahimnya. Anak itu sudah berusia hampir delapan tahun dan selama itu pula aku tidak mengetahui keberadaanya. Sebagai seorang ayah, aku sangat merasa bersalah. Aku ingi
"Bunda, ayok kita pulang."Lagi, Abyan merengek sambil mengguncang lengan Haifa. Aku tidak tahan lagi untuk memeluk putraku yang pasti tengah kecewa setelah mendengar perbincangan kami. Aku dekati dia dan duduk bersimpuh di depannya. Kutatap dia yang makin mengeratkan genggaman pada lengan bundanya."Nak, Papa minta maaf. Kemarin Papa belum bilang karena takut Abyan belum siap menerima Papa, bukan karena Papa malu mempunyai anak seperti Abyan," ucapku sembari berusaha meraih bahunya, tapi di luar dugaan, Abyan menepis tangan ini dengan sedikit kasar setelah berhasil memegangnya."Om pasti bohong. Om malu kan punya anak kayak Abyan?""Tidak, Nak, Papa sama sekali tidak malu." "Bunda, Abyan gak mau di sini. Abyan gak mau ketemu sama Om Gani lagi." Abyan terus merengek."Panggil, Papa, Nak. Jangan panggil Om." Aku tergugu. Rasanya sakit sekali mendapat penolakan dari putraku sendiri. "Haifa, tolong katakan pada Abyan kalau aku sangat menyayanginya." Aku memohon kepada Haifa yang sedari
Hening. Malam mulai merangkak naik dan waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku masih duduk di balkon kamar sembari menyesap sebatang rokok yang hampir habis. Mata ini tak jua terpejam padahal tubuh sangatlah lelah dan minta diistirahatkan. Bayang wajah Haifa dan Abyan terus memenuhi kepala ini. Penolakan dari keduanya membuatku seolah menjadi manusia tidak berguna. Tidak dibutuhkan dan tidak diinginkan.Apakah seperti ini yang dirasakan Haifa saat dulu aku menolak kehadirannya? Sakitnya tak bisa tergambar oleh kata-kata. Ah, mungkinkah ini yang dinamakan karma?Ponsel yang sedari tadi siang terus bergetar sama sekali tak kuhiraukan. Nama yang sama terus saja muncul di layar dan aku tidak berniat untuk mengangkatnya. Nesya, wanita itu pasti ingin menanyakan keputusanku tentang hubungan kami. Akan tetapi, aku sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengannya demi mendapatkan kembali hati istri dan anakku. Sesakit apa pun rasa ini karena harus berpisah dengan orang yang dici
"Boleh saya bergabung di sini?" Nesya mengulang pertanyaan ketika kami hanya diam. Aku terlalu kaget dengan kedatangannya di tempat ini. Aku takut Nesya akan berbuat nekat apalagi ada Abyan di sini. Putraku tidak boleh tahu siapa Nesya. Aku tidak ingin Abyan makin kecewa padaku dan mejauh dariku."Silakan, tapi maaf kami sudah selesai dan sebentar lagi harus pulang." Mama menjawab dengan nada yang terkesan dingin."Tidak apa, Tante." Nesya tersenyum simpul, matanya melirik ke arah Abyan. "Hai anak ganteng. Ini pasti Abyan kan?" "Iya, Tante." "Kenalkan, nama Tante, Nesya. Tante ... temannya papa kamu." Nesya melirik sekilas ke arahku. Tangannya terulur ke arah Abyan, tetapi tentu saja putraku tidak menyambutnya.Dahi wanita itu mengernyit. "Abyan gak mau bersalaman sama Tante?" tanyanya."Nes, pergilah. Aku mohon jangan membuat keributan," desisku dengan tangan yang mengepal. Aku teramat takut wanita ini akan mengatakan sesuatu yang membuat putraku bersedih. "Aku gak akan membuat k
"Apa, Ma? Haifa pulang ke Bogor? Bukankah dia sudah setuju untuk tetap tinggal di sini?"Aku mencecar Mama setelah mendengar apa yang beliau ucapkan barusan. Hati ini tidak rela jika mereka pulang tanpa meminta izin terlebih dahulu padaku. Andai aku tahu, tentu aku akan menawarkan diri untuk mengantar istri dan putraku ke kota yang selama delapan tahun ini mereka jadikan tempat untuk bertahan hidup."Dia memang setuju untuk tetap tinggal di sini. Haifa kembali ke sana untuk mengambil beberapa barang penting yang tertinggal juga untuk berpamitan kepada tetangga di sana," terang Mama yang membuatku sedikit bernapas lega."Kenapa tidak memberitahuku? Aku kan bisa mengantar mereka ke sana.""Kamu yakin mereka mau diantar sama kamu?" Mama mencebik. "Sudahlah, Gan. Asal kamu tahu. Haifa ke Bogor untuk mengambil berkas penting yang akan ia gunakan untuk mengajukan gugatan. Semalam Haifa sudah memutuskan melakukan itu karena kamu tak kunjung memberinya talak."Aku terperangah. Diri ini tidak
"Bunda!"Aku dan Haifa terperanjat. Kami sama-sama menjauhkan diri ketika suara Qinara terdengar begitu nyaring. Aku menghela napas kasar. Baru saja kami akan bermesraan, harus kembali ditunda karena teriakan putri kami. "Buka dulu pintunya. Aku mau pakai baju," bisik Haifa sambil terkekeh. "Gak jadi lagi?" Aku memasang raut sendu. "Ya ... habisnya gimana." Haifa menaikan sebelah alis. Ah, aku suka gayanya yang seperti itu. Ingin sekali aku menerkam dan memenjarakan tubuhnya, tetapi harus kutahan karena Qinara kembali berteriak memanggil bundanya. "Bunda!""Sebentar, Sayang!" Haifa menyahut. "Cepat buka pintunya, Mas. Kasian Qinara.""Iya, Sayang. Tapi nanti kalau Qinara sudah tidur, kita lanjut lagi, ya."Haifa mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian mencuri satu kecupan di pipinya yang merona. "Mas!""Hmm?""Pakai dulu bajunya!"Oh, ya Tuhan! Aku lupa sedang bertelanjang dada. Bergegas kukenakan lagi pakaian karena gedoran disertai teriakan dari luar makin mengencang. Membuk
Kabar tentang Bu Wanti sangat membuat kami terkejut. Tanpa membuang waktu, hari itu juga kami berangkat ke Bogor untuk melihat keadaannya. Menurut cerita salah satu tetangga di sana, Bu Wanti terpeleset di kamar mandi hingga jatuh. Mungkin karena kondisinya yang sedang tidak enak badan, Bu Wanti kurang berhati-hati hingga terjadilah insiden itu. Kondisinya yang kritis membuat Ibu dari Akram itu tidak bisa bertahan lebih lama. Beliau meninggal setelah sebelumnya memberi amanat yang membuat kami terkejut. Beliau ingin mendonorkan matanya untuk Abyan sebagai ungkapan rasa sayang terakhir untuk putraku itu. Beruntung Bu Wanti sempat bertemu Dengan cucunya yang baru lahir ke dunia. Sebelum kabar ini kami dengar, Bu Wanti sempat datang ke rumah orang tuaku untuk menengok Qinara. Di sinilah kami sekarang. Di rumah sakit, menunggui Abyan yang sedang menjalani operasi. Menurut Dokter, kualitas mata Bu Wanti masih terbilang sehat dan bisa didonorkan. Tindakan operasi pun segera dilaksanakan s
"Kamu yang sabar. Beri Haifa waktu untuk berpikir sebelum dia memutuskan mau menerima kamu atau tidak."Papa menepuk pundak ini kemudian duduk di sampingku. Pria yang baru saja menggendong cucu keduanya itu pasti memahami perasaanku saat ini. Sebenarnya tidak masalah jika Haifa meminta waktu untuk berpikir. Akan tetapi, entah mengapa diri ini begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya. Aku tidak ingin lagi berpisah atau bahkan melihat Haifa bersanding dengan pria lain karena Haifa adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku sampai se-gila ini. "Ya, Pa. Aku paham dia masih ragu padaku. Aku akan berusaha sabar menunggu meski sebenarnya, aku takut dia akan menolakku karena ... ya, Papa pasti tahu alasannya."Papa mengangguk. "Ya, Papa tahu. Tidak mudah baginya menerima pria yang pernah menyakitinya," ujarnya membenarkan."Ngomong-ngomong, kondisi teman kamu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan Papa membuatku hampir saja mengumpat. Aku melupakan Sani yang entah s
"Gani, kamu mau ikut Papa atau tetap di sini?"Pertanyaan Papa menyadarkan aku dari keterpakuan. Kabar Haifa yang akan melahirkan membuatku bertambah tidak tenang. Andai saja bisa, aku ingin mendampingi dan memberinya dukungan hingga prosesnya lancar. Namun, teringat Sani yang masih ditangani, aku pun dilanda bimbang. Aku tidak mungkin meninggalkan Sani sendirian tanpa ada yang menungguinya. Apalagi, aku merasa harus bertanggung jawab karena secara tidak langsung, aku-lah penyebab Sani seperti ini. "Gani, kok malah melamun?""Eh, i-iya, Pa. Sebenarnya aku ingin ikut ke sana tapi temanku tidak ada yang menjaga. Nanti kalau aku sudah memastikan dia baik-baik saja, aku pasti menyusul Papa," jawabku akhirnya memilih memastikan kondisi Sani terlebih dahulu."Baiklah, kalau begitu Papa ke sana dulu.""Iya, Pa."Setelah kepergian Papa, aku kembali duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Meski ragaku ada di sini, tetapi hati tetap memikirkan Haifa. Bagaimana perasaannya ketika melahirkan tanpa
"Jangan becanda, Mas. Gak lucu!"Perkataan Haifa masih saja terngiang di telinga ini. Katanya, aku becanda? Apa dia sama sekali tidak melihat keseriusan di wajahku saat mengatakannya? Tangan ini memukul stir kemudi beberapa kali. Jujur saja, hati ini rasanya sakit saat mendengar Haifa justru menganggap pengakuanku sebagai sebuah lelucon. Dulu, aku memang pria brengsek yang telah tega menyakitinya. Namun setelah semua yang terjadi, aku selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi pria yang pantas untuk menjadi imam dari wanita seperti dirinya."Kenapa kamu gak ngerti juga, Fa. Aku itu mencintai kamu, bukan wanita lain." Lagi, tangan ini mendarat cukup kencang di atas stir kemudi.Setelah cukup lama berdiam diri di parkiran, aku menghidupkan mesin mobil untuk kembali ke kantor. Meski diri ini yakin tidak akan bisa fokus pada pekerjaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap konsisten pada apa yang sudah menjadi tanggung jawabku.Benar saja, jangankan fokus, melihat
"Tante Sani ini ... bukan calon istri Papa, kan?"Aku terperangah mendengar pertanyaan Abyan. Calon istri? Bagaimana mungkin putraku bisa menebak sampai sejauh itu? Aku melirik ke arah Haifa juga Mama dan Papa. Ketiga orang itu pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala."Kok Abyan ngomongnya gitu? Tante Sani ini cuma teman Papa. Dia datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Papa membawanya ke sini biar Opa sama Oma, terus Abyan juga gak salah paham. Abyan ngerti kan?"Anak itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seulas senyum pun kembali mengembang di bibirnya. "Abyan kira, Papa gak pulang- pulang dan betah di sana karena ada Tante Sani. Biasanya kalau orang sampai lupa pulang itu karena ada sesuatu yang membuatnya betah dan ingin tinggal lebih lama. Iya kan, Oma?"Putraku ini memang anak yang cerdas. Pemikiran Abyan terbilang kritis untuk anak seusia dirinya. Meski dia baru bertemu dengan Sani sekarang,
"Mas, aku harus bagaimana? Bapak ninggalin aku sendirian. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Bapak. Aku--"Sani terus meracau dalam pelukanku. Kudekap ia lebih erat, demi memberinya kekuatan setelah ayahnya meninggalkan gadis ini untuk selamanya. Ya, begitu aku dan Sani sampai di rumah, Pak Warman sudah tidak bernyawa. Sani sempat histeris dan mengguncang tubuh ayahnya dan dengan sigap aku menenangkan gadis itu. Entah karena kebetulan atau memang sudah takdir, dua wanita yang menempati posisi masing-masing di hati ini tengah berduka. Haifa ditinggalkan oleh suaminya dan Sani oleh sang ayah. Kini keduanya berada dalam kondisi berkabung. Akan tetapi, tentu saja aku tidak bisa memeluk Haifa ketika memberinya semangat karena entah mengapa, selalu terasa ada jarak yang membentang di antara aku dan dia. Meninggalkan Sani yang kini hidup sebatangkara bukanlah pilihan yang tepat. Apalagi Juragan Karta masih saja berusaha untuk menjadikan gadis itu istri ketiganya. Tidak ada pili
Memilih antara Haifa dan Sani adalah hal yang paling sulit kulakukan. Kedua wanita itu mempunyai tempat tersendiri di hati ini. Namun, tentu saja aku tidak bisa merengkuh keduanya dalam satu waktu karena hal itu tidaklah mungkin bisa kulakukan. Akhirnya, di sini lah aku sekarang. Di rumah sakit bersama Abyan juga orang tuaku, menunggu Haifa yang sedang diperiksa. Untuk membantu Sani, aku sudah meminta salah satu anak buahku di sana untuk menemuinya ke rumah sakit dan menyelesaikan segala urusan di sana, termasuk soal biaya administrasi.Aku duduk dengan gelisah, takut terjadi sesuatu pada mantan istriku yang masih tidak sadarkan diri. Begitu berat cobaan yang Haifa hadapi selama ini. Ditinggalkan suami ketika seharusnya Mereka tengah menikmati suasana pengantin baru, pasti sangatlah menyesakkan. Memang, sudah menjadi resiko bagi istri seorang abdi negara yang harus siap dengan kemungkinan terburuk setiap suaminya berangkat bertugas. Namun, satu hal yang pasti, Akram gugur dalam keadaa
Kabar dari Mama tentang Haifa benar-benar membuatku gelisah. Tanpa pikir panjang, aku gegas mempersiapkan diri untuk pulang ke Jakarta. Aku ingin melihat kondisi Haifa yang kata Mama tidak sadarkan diri setelah mendengar kabar tentang Akram yang kemungkinan gugur saat bertugas di negara yang saat ini tengah rawan konflik. Memang belum ada konfirmasi lagi dari sana. Akan tetapi, keluarga tetap harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun."Mas jadi pulang ke Jakarta?"Sani yang tengah menungguku di teras rumah berdiri ketika melihatku membawa tas berisi pakaian. Wajah wanita itu ditekuk entah karena apa. Mungkin ia tidak rela aku meninggalkannya di sini. "Iya. Aku harus memastikan Haifa baik-baik saja. Aku juga khawatir pada Abyan karena bundanya tengah bersedih," jawabku sembari berjalan menuju mobil. Sani mengikutiku. Setelah memasukkan tas ke dalam bagasi mobil, aku menghampiri gadis itu yang tengah memperhatikan gerak gerik-ku."Aku berangkat dulu. Kamu jaga diri