"Haifa, dia ...."
Aku menelan ludah. Setelah jarak kami begitu dekat, wajah anak itu makin jelas mirip denganku. Mata ini menatap mereka. Ada yang berdesir hangat ketika melihat senyum ceria anak itu ketika berhasil menggapai tangan istriku."Kok Abyan ke sini? Kan tadi Bunda bilang tunggu saja di rumah." Haifa berjongkok, mensejajarkan diri dengan tinggi tubuh bocah yang ternyata bernama Abyan."Maaf, Bunda. Abyan jenuh kalau di rumah terus. Abyan mau bantuin Bunda jualan tapi ... sayangnya gak bisa," lirihnya di akhir kalimat.Dada ini berdenyut nyeri mendengar kalimat kekecewaan yang terlontar dari mulut Abyan. Manik matanya sudah berkaca. Anak itu pasti merasa sedih karena kondisinya yang tidak seperti anak yang lain."Gak papa, Sayang. Bunda kan sudah sering bilang kalau Bunda bisa jualan sendiri. Tugas Abyan itu belajar supaya jadi anak yang pintar."Hatiku terenyuh melihat interaksi Ibu dan anak itu. Setelah kuteliti lebih jelas, wajah anak itu memang mirip denganku. Ya Tuhan, mungkinkah dia?"Haifa. Mari kita bicara lagi. Masih banyak hal yang harus kamu jelaskan padaku. Tentang kepergianmu, alasannya, dan juga tentang ... Abyan.""Iya, Mas. Sebentar." Haifa kembali menoleh ke arah Abyan. "Abyan sama nenek dulu, ya. Bunda mau bicara sama Om.""Om? Om siapa, Bunda?""Om ini temannya Bunda. Sebentar ya, Nak. Bunda ada perlu sama Om. Bu, tolong bawa Abyan duduk di sana.""Baiklah, tapi jangan lama-lama. Kasihan Abyan kan baru sembuh."Haifa mengangguk ke arah wanita paruh baya itu. Kemudian, ia memberi isyarat kepadaku untuk duduk kembali di bangku tadi. Sedangkan Abyan dituntun ke arah bangku yang terletak di bawah pohon tak jauh dari kami."Silakan, Mas mau bertanya apa?" katanya setelah kami duduk bersebelahan."Oke, aku tidak ingin membuang waktu lagi. Kenapa kamu pergi tidak memberitahuku terlebih dahulu? Aku ini suamimu, Haifa. Apa begini sikap seorang istri yang menghormati suaminya? Pergi tanpa pamit, tak ada kabar dan menghilang. Apa kamu tahu bagaimana bingungnya aku mencarimu? Belum lagi Papa dan Mama yang terus saja menyalahkanku. Tidak bisakah kamu bersikap dewasa? Jangan kabur-kaburan sampai bertahun-tahun seperti ini!" cecarku yang merasa kesal atas sikap Haifa. Dia tidak tahu saja. Papa dan Mama hampir setiap hari menanyakan kabar tentang perkembangan pencarian menantunya padaku."Aku minta maaf karena telah membuat Mas kesusahan. Selama ini aku memang pergi ke Bogor dan menetap di sini. Untuk alasan kepergianku, bukankah tadi sudah aku jelaskan? Aku belum siap untuk mendengar kata talak dari Mas. Aku ...."Haifa tidak melanjutkan ucapannya. Manik mata perempuan yang masih berstatus istriku itu kini mengembun. Mungkinkah dia sedih karena aku terlalu menyudutkannya? Padahal, jika dipikir ulang, kejadian ini bukan sepenuhnya salah Haifa. Aku pun ikut andil dalam keputusan Haifa untuk memilih pergi karena malam itu aku telah melontarkan kata-kata kasar setelah kami ... Ya Tuhan! Aku baru ingat tentang kejadian malam itu. Apa jangan-jangan Abyan!Mata ini kembali meneliti wajah Abyan. Meski dari kejauhan, masih bisa aku lihat mata dan hidungnya yang mirip sekali denganku. Abyan adalah jelmaan seorang Gani ketika masih kecil. Diri ini makin yakin kalau Abyan itu adalah putraku."Apa Abyan itu anakku?"Haifa terbelalak. Tubuhnya bergerak gelisah dengan jemari yang saling meremas di atas paha wanita itu."Haifa, jawab aku! Apa karena kejadian malam itu kamu hamil?" cecarku lagi. "Jangan berbohong karena fakta yang ada di depan mata sudah sangat menjelaskan semuanya. Wajah Abyan sangat mirip denganku."Wajah wanita yang duduk di sebelahku makin menunduk. Kemudian, satu kali anggukan yang ia tunjukkan sebagai jawaban membuat seluruh persendianku seketika terasa lemas.Ingatan ini melayang ke masa di mana aku tak sengaja menyentuh Haifa. Aku yang pulang dalam keadaan mabuk melihat wajah Haifa menjelma menjadi Nesya. Diri ini tidak dapat mengendalikan nafsu hingga malam naas itu terjadi. Masih kuingat tangis pilu Haifa saat aku sadar telah merenggut kesuciannya. Aku mengumpat, bahkan menghinanya dengan kata-kata kasar yang pasti sangat menyakiti hati wanita itu. Namun anehnya, Haifa hanya diam tanpa membalas sedikitpun. Bahkan, Haifa masih bersikap baik kepadaku dengan menyiapkan sarapan dan pakaian ganti seperti biasanya. Kadang aku berpikir, terbuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa dia masih bisa menampilkan senyum tulus ketika aku bersikap buruk kepadanya?"Jadi, itu benar? Abyan anakku?" lirihku dengan tubuh yang masih terasa lemas."Iya, Mas. Maaf telah menyembunyikannya darimu. Aku baru tahu kalau aku hamil setelah beberapa Minggu pergi dari rumah," terangnya.Kuusap wajahku dengan gusar, "Kamu egois, Haifa. Kalau kamu sadar saat itu tengah hamil, kenapa tidak kembali?" kejarku."Karena aku takut Mas tidak bisa menerima kehamilanku. Bukankah Mas tidak menginginkan aku? Maka bukan tidak mungkin Mas juga tidak menginginkan bayi yang sedang kukandung," jawabnya yang sukses menyentil diri ini. Apa yang ia katakan benar. Bahkan, aku tidak pernah bermimpi untuk mempunyai anak dari Haifa, apalagi dengan keadaan yang ... ah, dada ini terasa nyeri saat mengingat kondisi Abyan."Apa dia mempunyai gangguan penglihatan?" Aku memberanikan bertanya tentang hal yang pastinya cukup sensitif."I-iya. Abyan mempunyai gangguan penglihatan sejak lahir," lirihnya."Dengan kondisi anakmu yang seperti itu kamu masih nekat tidak pulang? Kalau kamu memberitahuku, setidaknya aku bisa membantu mencarikan donor mata untuknya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Papa dan Mama kalau mereka tahu bahwa cucunya--"Tenggorokan ini rasanya tercekat. Aku tidak mampu melanjutkan ucapan tentang kondisi Abyan."Buta?" Haifa memperjelas."Itulah salah satu alasan kenapa aku tidak pulang. Aku tidak ingin membuat Mas dan orang tua Mas malu karena kondisi Abyan. Biarlah aku merawat Abyan sendiri karena anak itu sudah terbiasa hidup hanya denganku.""Tapi aku ayahnya!" selaku dengan gusar. Ya, walau bagaimanapun kondisi anak itu, aku tetaplah ayahnya yang harus bertanggung jawab penuh atas dirinya.Kami sama-sama diam. Haifa tak lagi menjawab begitu pun dengan aku yang memilih menghentikan pertanyaan. Mata ini fokus menatap Abyan yang sedang berbincang dengan wanita paruh baya yang tadi ia sebut nenek. Meski memiliki kekurangan, tetapi wajah Abyan sangat sempurna. Ia memiliki garis wajah seperti diriku. Bukan bermaksud sombong. Namun setiap orang yang melihatku pasti akan mengatakan jika aku ini tampan, dan ternyata ketampananku ini diwarisi oleh putraku."Bolehkah aku berbicara dengannya?"Tiba-tiba saja satu keinginan muncul dalam diri ini. Aku ingin lebih dekat dengan Abyan dan mengakrabkan diri dengannya."Silakan kalau memang Mas bersedia."Tak ingin menyiakan kesempatan, aku bangkit dari duduk dan menghampiri Abyan yang tentu saja tidak menyadari kehadiranku. Setelah jarak kami begitu dekat, aku berjongkok di depan dia yang masih duduk di atas bangku."Hai. Nama kamu Abyan kan?" tanyaku sedikit gugup."Iya. Om siapa?" tanyanya dengan mata yang tetap fokus ke depan."Jangan panggil, Om. Panggil Papa." Namun sayang, kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan. Ego ini melarang diriku untuk mengatakan siapa aku yang sebenarnya."Om, temannya Bunda kamu. Nama Om, Gani. Abyan suka es krim?""Suka, Om," jawabnya sambil mengangguk dan tersenyum."Mau beli?""Sebentar, Om. Abyan minta izin sama Bunda dulu."Tangan Abyan terulur seperti ingin menggapai sesuatu. "Bun, Bunda di sini kan? Abyan boleh beli es krim sama Om Gani?" tanyanya penuh harap."B-boleh, Sayang." Haifa menjawab sambil terisak lirih."Ayok, kita beli es krim di sana. Tapi Abyan sudah sarapan kan?""Sudah, Om.""Oke, ayok!"Aku membantu Abyan turun dari bangku yang ia duduki. Tangan mungilnya aku genggam untuk aku tuntun ke arah penjual es krim yang mangkal tidak jauh dari gerobak milik Haifa. Perasaan hangat seketika menjalar saat tangan kami bersentuhan."Tunggu, Om." Abyan tiba-tiba saja menarik tangannya dari genggamanku."Ada apa?" tanyaku bingung padahal kami sudah bersiap untuk melangkah."Gak usah saja, Om. Abyan takut nanti Om malu kalau jalan sama Abyan," lirihnya yang sukses membuat dada ini bak dihantam palu godam.**Bersambung."Mas, kami harus pulang. Kasihan Abyan baru sembuh dan dia harus banyak istirahat. Soal yang kita bahas tadi, Mas bisa menemuiku besok di sini. Mas tidak perlu merasa tidak enak. Aku benar-benar sudah siap untuk mendengar kata talak dari Mas." Haifa berujar lirih, mungkin ia tidak ingin pembicaraan kami sampai didengar Abyan. Anak itu memilih menjauh dariku dan kembali menghampiri neneknya. Meski hati ini teramat kecewa, tetapi aku harus bisa mengerti akan keadaan Abyan. Putraku pasti merasa rendah diri karena keadaannya. Padahal, aku sangat ingin berlama-lama dengannya. Tidak bisa aku tepis perasaan haru ketika tangan ini berhasil menyentuh tangan mungilnya."Mau aku antar? Kasihan Abyan kalau harus berjalan kaki. Rumah kamu gak jauh dari sini kan?" tawarku. "Lumayan jauh, tapi gak usah, Mas. Kami sudah terbiasa berjalan kaki," tolaknya. "Aku permisi," imbuhnya sebelum aku sempat mencegah. Entah kenapa lidah ini selalu saja terasa kelu jika ingin menawarkan sesuatu untuk Haifa. Hi
Pov Haifa"Fa, pria tadi itu beneran teman kamu? Kok Ibu baru melihatnya sekarang." Bu Wanti bertanya ketika kami tiba di rumah dan kini tengah duduk di kursi rotan yang berada di teras depan. Abyan sengaja aku suruh untuk beristirahat karena keadaannya yang belum pulih setelah kemarin putraku itu terserang demam. Bu Wanti sudah kuanggap seperti Ibu kandung sendiri. Pertama kali aku datang ke kota ini, dialah yang membantuku mencarikan kontrakan yang tidak jauh dari rumahnya. Wanita paruh baya itu adalah seorang janda dengan satu anak. Suaminya meninggal tiga tahun yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya. Hingga saat ini, Bu Wanti selalu ada jika aku sedang membutuhkan pertolongan. Termasuk menawarkan diri untuk menjaga dan mengantar Abyan ke sekolah ketika aku sedang berjualan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Bu Wanti mengandalkan uang pensiun suaminya yang dulu bekerja sebagai Guru di Sekolah Menengah Atas. Ditambah kiriman dari putranya yang bekerja sebagai TNI yang
Aku berjalan tergesa di sepanjang koridor rumah sakit. Si pedagang yang aku tanyai, berbaik hati mengantarku ke kontrakan milik Haifa. Di sana aku pun diberitahu tentang rumah sakit tempat Abyan dirawat oleh pria paruh baya yang mengaku sebagai ketua RT setempat.Kamar Abyan berada di deretan ruang kelas 2. Aku bergegas ke sana, ingin segera memastikan bahwa keadaan putraku tidak separah yang kutakutkan. "Mas Gani?" Haifa terlihat terkejut melihat kedatanganku. Mata bulatnya makin melebar ketika aku bertanya tentang Abyan."Bagaimana kondisi Abyan?""Dari mana Mas tahu Abyan dirawat di sini?" Dia malah balik bertanya."Dari tetangga kamu. Bagaimana kondisinya sekarang?""Alhamdulillah sudah lebih baik. Panasnya juga sudah turun. Kemungkinan nanti siang bisa pulang," terangnya."Boleh ... aku melihatnya?" tanyaku ragu. "Hari ini kemungkinan aku akan pulang ke Jakarta. Aku ingin bertemu Abyan terlebih dahulu sebelum berangkat.""Boleh, Mas. Silakan. Tapi Abyan masih tidur."Haifa memb
Seharusnya, kini aku sudah berada di Jakarta dan tidur di ranjang empuk milikku, bukan meringkuk di atas karpet tipis seperti ini. Atau paling tidak, aku kembali ke Hotel supaya tidurku terasa lebih nyaman di sana. Bukan di sini, di rumah sempit yang hanya memiliki satu kamar.Ya, seharusnya memang seperti itu. Namun, entah mengapa hati ini rasanya berat untuk meninggalkan Haifa dan Abyan. Aku ingin membantu Haifa menjaga putra kami di saat tengah sakit. Hal yang seharusnya aku lakukan dari bertahun-tahun lalu. Haifa menolak ketika aku mengajaknya pulang ke Jakarta. Akan tetapi, bukan Gani namanya jika aku tidak bisa memaksa dia untuk ikut. Dengan status suami yang masih aku sandang, bisa kujadikan senjata untuk menekan wanita penurut seperti dia. Alhasil, Haifa bersedia ikut dengan catatan tidak ingin berlama-lama di Jakarta. Aku iya-kan saja, toh tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Aku sudah memutuskan untuk mempertemukan Haifa dan Abyan dengan orang tuaku. Mere
Setelah drama yang sempat terjadi karena Bu Wanti tidak mengizinkan Haifa dan Abyan ikut bersamaku ke Jakarta, akhirnya di sinilah kami sekarang. Di dalam mobil dengan aku dan Haifa yang duduk di depan dan Abyan di belakang. Haifa sempat menawarkan kepada putra kami untuk duduk di depan saja. Namun, jawaban yang Abyan berikan sangat menohok hingga membuat kami langsung terdiam."Percuma Abyan duduk di depan. Abyan kan gak bisa melihat apa pun," katanya dengan raut sedih yang sangat kentara.Aku dan Haifa saling pandang, kemudian larut dalam pikiran masing-masing. Kami sama-sama memilih diam hingga Abyan terlelap dengan sendirinya di bangku belakang. Di sepanjang perjalanan, pikiran ini terasa makin was-was. Aku memikirkan bagaimana reaksi Mama dan Papa saat aku pulang membawa Haifa dan Abyan. Dengan kondisi putraku yang seperti ini, akankah mereka bisa menerima cucunya? Belum lagi dengan Nesya yang pasti merasa syok setelah kuberitahu bahwa aku memiliki seorang anak dari Haifa. Enta
Aku duduk bersimpuh di depan Papa yang masih terlihat marah. Setelah dua kali pukulan yang ia layangkan di wajah ini, Papa duduk di sofa yang terdapat di ruang kerjanya. Dada Papa terlihat naik turun, pun dengan tangannya yang masih mengepal di atas paha pria yang masih terlihat gagah di usianya yang sudah setengah abad itu.Aku tidak mampu melawan atau membela diri. Aku cukup sadar bahwa semua yang terjadi memang salahku. Kepergian Haifa, kehadiran Abyan yang tidak diketahui olehku dan keluargaku, juga kemarahan Papa yang sepertinya sudah saatnya meledak setelah beberapa tahun ia menahan diri untuk tidak menghajar putranya ini. Papa memang hampir melayangkan tamparan beberapa kali ketika memergoki diriku bersama Nesya di kantor. Namun, pria yang sangat aku hormati itu mengurungkan niat dan berkata."Sejak kamu kecil, Papa tidak pernah satu kalipun memukulmu. Papa terlalu sayang padamu hingga apa saja yang kamu inginkan akan Papa kabulkan. Tapi Papa sadar ternyata cara Papa mendidik k
"Nes, kita sudahi saja hubungan ini. Aku mau kita putus."Nesya melepas pelukannya dari pinggang ini. Wanita yang sudah menjadi kekasihku selama empat tahun tersebut perlahan mundur seraya menggeleng lemah."Jangan becanda, Mas. Ini gak lucu." Nesya tersenyum sumbang."Aku tidak sedang becanda. Aku memang ingin mengakhiri hubungan kita.""Tapi kenapa?" Kini, nada suara Nesya mulai meninggi. "Aku ... aku sudah menemukan Haifa dan ternyata aku memiliki seorang anak darinya.""A-apa? Anak?" Nesya menggeleng tak percaya. "Gak mungkin. Bukannya kamu bilang selama pernikahan kalian, kamu tidak pernah menyentuhnya?""Aku memang tidak pernah menyentuh Haifa selain malam itu. Malam di mana aku pulang dalam keadaan mabuk dan melihat dia itu dirimu. Aku tidak pernah menyangka jika kejadian satu malam itu akan menumbuhkan benih di rahimnya. Anak itu sudah berusia hampir delapan tahun dan selama itu pula aku tidak mengetahui keberadaanya. Sebagai seorang ayah, aku sangat merasa bersalah. Aku ingi
"Bunda, ayok kita pulang."Lagi, Abyan merengek sambil mengguncang lengan Haifa. Aku tidak tahan lagi untuk memeluk putraku yang pasti tengah kecewa setelah mendengar perbincangan kami. Aku dekati dia dan duduk bersimpuh di depannya. Kutatap dia yang makin mengeratkan genggaman pada lengan bundanya."Nak, Papa minta maaf. Kemarin Papa belum bilang karena takut Abyan belum siap menerima Papa, bukan karena Papa malu mempunyai anak seperti Abyan," ucapku sembari berusaha meraih bahunya, tapi di luar dugaan, Abyan menepis tangan ini dengan sedikit kasar setelah berhasil memegangnya."Om pasti bohong. Om malu kan punya anak kayak Abyan?""Tidak, Nak, Papa sama sekali tidak malu." "Bunda, Abyan gak mau di sini. Abyan gak mau ketemu sama Om Gani lagi." Abyan terus merengek."Panggil, Papa, Nak. Jangan panggil Om." Aku tergugu. Rasanya sakit sekali mendapat penolakan dari putraku sendiri. "Haifa, tolong katakan pada Abyan kalau aku sangat menyayanginya." Aku memohon kepada Haifa yang sedari
"Bunda!"Aku dan Haifa terperanjat. Kami sama-sama menjauhkan diri ketika suara Qinara terdengar begitu nyaring. Aku menghela napas kasar. Baru saja kami akan bermesraan, harus kembali ditunda karena teriakan putri kami. "Buka dulu pintunya. Aku mau pakai baju," bisik Haifa sambil terkekeh. "Gak jadi lagi?" Aku memasang raut sendu. "Ya ... habisnya gimana." Haifa menaikan sebelah alis. Ah, aku suka gayanya yang seperti itu. Ingin sekali aku menerkam dan memenjarakan tubuhnya, tetapi harus kutahan karena Qinara kembali berteriak memanggil bundanya. "Bunda!""Sebentar, Sayang!" Haifa menyahut. "Cepat buka pintunya, Mas. Kasian Qinara.""Iya, Sayang. Tapi nanti kalau Qinara sudah tidur, kita lanjut lagi, ya."Haifa mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian mencuri satu kecupan di pipinya yang merona. "Mas!""Hmm?""Pakai dulu bajunya!"Oh, ya Tuhan! Aku lupa sedang bertelanjang dada. Bergegas kukenakan lagi pakaian karena gedoran disertai teriakan dari luar makin mengencang. Membuk
Kabar tentang Bu Wanti sangat membuat kami terkejut. Tanpa membuang waktu, hari itu juga kami berangkat ke Bogor untuk melihat keadaannya. Menurut cerita salah satu tetangga di sana, Bu Wanti terpeleset di kamar mandi hingga jatuh. Mungkin karena kondisinya yang sedang tidak enak badan, Bu Wanti kurang berhati-hati hingga terjadilah insiden itu. Kondisinya yang kritis membuat Ibu dari Akram itu tidak bisa bertahan lebih lama. Beliau meninggal setelah sebelumnya memberi amanat yang membuat kami terkejut. Beliau ingin mendonorkan matanya untuk Abyan sebagai ungkapan rasa sayang terakhir untuk putraku itu. Beruntung Bu Wanti sempat bertemu Dengan cucunya yang baru lahir ke dunia. Sebelum kabar ini kami dengar, Bu Wanti sempat datang ke rumah orang tuaku untuk menengok Qinara. Di sinilah kami sekarang. Di rumah sakit, menunggui Abyan yang sedang menjalani operasi. Menurut Dokter, kualitas mata Bu Wanti masih terbilang sehat dan bisa didonorkan. Tindakan operasi pun segera dilaksanakan s
"Kamu yang sabar. Beri Haifa waktu untuk berpikir sebelum dia memutuskan mau menerima kamu atau tidak."Papa menepuk pundak ini kemudian duduk di sampingku. Pria yang baru saja menggendong cucu keduanya itu pasti memahami perasaanku saat ini. Sebenarnya tidak masalah jika Haifa meminta waktu untuk berpikir. Akan tetapi, entah mengapa diri ini begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya. Aku tidak ingin lagi berpisah atau bahkan melihat Haifa bersanding dengan pria lain karena Haifa adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku sampai se-gila ini. "Ya, Pa. Aku paham dia masih ragu padaku. Aku akan berusaha sabar menunggu meski sebenarnya, aku takut dia akan menolakku karena ... ya, Papa pasti tahu alasannya."Papa mengangguk. "Ya, Papa tahu. Tidak mudah baginya menerima pria yang pernah menyakitinya," ujarnya membenarkan."Ngomong-ngomong, kondisi teman kamu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan Papa membuatku hampir saja mengumpat. Aku melupakan Sani yang entah s
"Gani, kamu mau ikut Papa atau tetap di sini?"Pertanyaan Papa menyadarkan aku dari keterpakuan. Kabar Haifa yang akan melahirkan membuatku bertambah tidak tenang. Andai saja bisa, aku ingin mendampingi dan memberinya dukungan hingga prosesnya lancar. Namun, teringat Sani yang masih ditangani, aku pun dilanda bimbang. Aku tidak mungkin meninggalkan Sani sendirian tanpa ada yang menungguinya. Apalagi, aku merasa harus bertanggung jawab karena secara tidak langsung, aku-lah penyebab Sani seperti ini. "Gani, kok malah melamun?""Eh, i-iya, Pa. Sebenarnya aku ingin ikut ke sana tapi temanku tidak ada yang menjaga. Nanti kalau aku sudah memastikan dia baik-baik saja, aku pasti menyusul Papa," jawabku akhirnya memilih memastikan kondisi Sani terlebih dahulu."Baiklah, kalau begitu Papa ke sana dulu.""Iya, Pa."Setelah kepergian Papa, aku kembali duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Meski ragaku ada di sini, tetapi hati tetap memikirkan Haifa. Bagaimana perasaannya ketika melahirkan tanpa
"Jangan becanda, Mas. Gak lucu!"Perkataan Haifa masih saja terngiang di telinga ini. Katanya, aku becanda? Apa dia sama sekali tidak melihat keseriusan di wajahku saat mengatakannya? Tangan ini memukul stir kemudi beberapa kali. Jujur saja, hati ini rasanya sakit saat mendengar Haifa justru menganggap pengakuanku sebagai sebuah lelucon. Dulu, aku memang pria brengsek yang telah tega menyakitinya. Namun setelah semua yang terjadi, aku selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi pria yang pantas untuk menjadi imam dari wanita seperti dirinya."Kenapa kamu gak ngerti juga, Fa. Aku itu mencintai kamu, bukan wanita lain." Lagi, tangan ini mendarat cukup kencang di atas stir kemudi.Setelah cukup lama berdiam diri di parkiran, aku menghidupkan mesin mobil untuk kembali ke kantor. Meski diri ini yakin tidak akan bisa fokus pada pekerjaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap konsisten pada apa yang sudah menjadi tanggung jawabku.Benar saja, jangankan fokus, melihat
"Tante Sani ini ... bukan calon istri Papa, kan?"Aku terperangah mendengar pertanyaan Abyan. Calon istri? Bagaimana mungkin putraku bisa menebak sampai sejauh itu? Aku melirik ke arah Haifa juga Mama dan Papa. Ketiga orang itu pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala."Kok Abyan ngomongnya gitu? Tante Sani ini cuma teman Papa. Dia datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Papa membawanya ke sini biar Opa sama Oma, terus Abyan juga gak salah paham. Abyan ngerti kan?"Anak itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seulas senyum pun kembali mengembang di bibirnya. "Abyan kira, Papa gak pulang- pulang dan betah di sana karena ada Tante Sani. Biasanya kalau orang sampai lupa pulang itu karena ada sesuatu yang membuatnya betah dan ingin tinggal lebih lama. Iya kan, Oma?"Putraku ini memang anak yang cerdas. Pemikiran Abyan terbilang kritis untuk anak seusia dirinya. Meski dia baru bertemu dengan Sani sekarang,
"Mas, aku harus bagaimana? Bapak ninggalin aku sendirian. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Bapak. Aku--"Sani terus meracau dalam pelukanku. Kudekap ia lebih erat, demi memberinya kekuatan setelah ayahnya meninggalkan gadis ini untuk selamanya. Ya, begitu aku dan Sani sampai di rumah, Pak Warman sudah tidak bernyawa. Sani sempat histeris dan mengguncang tubuh ayahnya dan dengan sigap aku menenangkan gadis itu. Entah karena kebetulan atau memang sudah takdir, dua wanita yang menempati posisi masing-masing di hati ini tengah berduka. Haifa ditinggalkan oleh suaminya dan Sani oleh sang ayah. Kini keduanya berada dalam kondisi berkabung. Akan tetapi, tentu saja aku tidak bisa memeluk Haifa ketika memberinya semangat karena entah mengapa, selalu terasa ada jarak yang membentang di antara aku dan dia. Meninggalkan Sani yang kini hidup sebatangkara bukanlah pilihan yang tepat. Apalagi Juragan Karta masih saja berusaha untuk menjadikan gadis itu istri ketiganya. Tidak ada pili
Memilih antara Haifa dan Sani adalah hal yang paling sulit kulakukan. Kedua wanita itu mempunyai tempat tersendiri di hati ini. Namun, tentu saja aku tidak bisa merengkuh keduanya dalam satu waktu karena hal itu tidaklah mungkin bisa kulakukan. Akhirnya, di sini lah aku sekarang. Di rumah sakit bersama Abyan juga orang tuaku, menunggu Haifa yang sedang diperiksa. Untuk membantu Sani, aku sudah meminta salah satu anak buahku di sana untuk menemuinya ke rumah sakit dan menyelesaikan segala urusan di sana, termasuk soal biaya administrasi.Aku duduk dengan gelisah, takut terjadi sesuatu pada mantan istriku yang masih tidak sadarkan diri. Begitu berat cobaan yang Haifa hadapi selama ini. Ditinggalkan suami ketika seharusnya Mereka tengah menikmati suasana pengantin baru, pasti sangatlah menyesakkan. Memang, sudah menjadi resiko bagi istri seorang abdi negara yang harus siap dengan kemungkinan terburuk setiap suaminya berangkat bertugas. Namun, satu hal yang pasti, Akram gugur dalam keadaa
Kabar dari Mama tentang Haifa benar-benar membuatku gelisah. Tanpa pikir panjang, aku gegas mempersiapkan diri untuk pulang ke Jakarta. Aku ingin melihat kondisi Haifa yang kata Mama tidak sadarkan diri setelah mendengar kabar tentang Akram yang kemungkinan gugur saat bertugas di negara yang saat ini tengah rawan konflik. Memang belum ada konfirmasi lagi dari sana. Akan tetapi, keluarga tetap harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun."Mas jadi pulang ke Jakarta?"Sani yang tengah menungguku di teras rumah berdiri ketika melihatku membawa tas berisi pakaian. Wajah wanita itu ditekuk entah karena apa. Mungkin ia tidak rela aku meninggalkannya di sini. "Iya. Aku harus memastikan Haifa baik-baik saja. Aku juga khawatir pada Abyan karena bundanya tengah bersedih," jawabku sembari berjalan menuju mobil. Sani mengikutiku. Setelah memasukkan tas ke dalam bagasi mobil, aku menghampiri gadis itu yang tengah memperhatikan gerak gerik-ku."Aku berangkat dulu. Kamu jaga diri