Share

Bab 2

Penulis: Nelda Friska
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-22 15:28:18

"Haifa ...."

"M-mas Gani."

Kami sama-sama terkejut. Untuk sejenak, dunia rasanya berhenti berputar. Aku dan Haifa masih saling tatap hingga akhirnya dia memutus kontak mata kami terlebih dahulu. Haifa berjalan ke arahku dan Bayu seraya menampilkan selarik senyum. Penampilannya tidak berubah. Haifa masih tetap terlihat bersahaja dengan gamis dan jilbab lebar yang ia kenakan. Pun dengan wajahnya yang tidak pernah mendapat sentuhan make up. Namun, ada yang berbeda. Haifa terlihat lebih kurus dari terakhir kali kami bertemu.

"Haifa, kamu--"

"Mas mau pesan berapa porsi?" tanyanya sama sekali tak menghiraukan diriku yang masih terkejut atas pertemuan kami. Haifa bersikap seolah-olah kami adalah dua orang asing yang tidak terikat dalam tali pernikahan. Tak sadar, tanganku mengepal di atas paha ketika mendapati dia yang menganggapku hanya sebagai seorang pembeli, bukan suami yang sudah lama tidak ia jumpai.

Bayu pun pasti sama terkejutnya denganku. Terbukti, bukannya menjawab pertanyaan Haifa, dia malah melirikku dan Haifa secara bergantian.

"Mas? Maaf kalau memang tidak jadi memesan, saya harus melayani pembeli yang lain."

"Kami pesan dua porsi," selaku cepat sebelum Haifa sempat menghindar. Untuk sementara, akan kubiarkan dia menjalani perannya sebagai penjual nasi uduk yang harus melayani pembeli dengan baik. Mungkin memang bukan saat yang tepat jika aku langsung mengajak Haifa berbicara tentang nasib pernikahan kami. Aku harus mencari waktu lain agar kami bisa berbicara berdua dengan kondisi yang sudah sama-sama siap.

Mata ini tak lepas dari setiap pergerakan istriku. Haifa nampak gugup, terbukti dengan tangannya yang terlihat gemetar ketika menuang nasi ke atas piring. Setelah kontak mata kami tadi, Haifa seperti enggan kembali bersitatap denganku.

Tiba-tiba saja hati ini terasa ngilu. Sebegitu bencinya-kah dia padaku? Mengingat, perlakuanku dulu yang tidak pernah bersikap layaknya seorang suami kepada istrinya. Jarak yang sengaja aku ciptakan membuat Haifa tidak bisa menembus dinding kokoh yang telah aku bangun di antara kami. Ya, aku memang sebejat itu. Namun, aku merasa perlu melakukannya karena aku tidak ingin Haifa berharap lebih dari pernikahan tanpa cinta ini.

"Silakan, Mas."

Haifa meletakkan dua porsi nasi uduk ke atas meja berukuran panjang yang terdapat di sebelah gerobaknya, disusul dengan dua gelas teh hangat yang ia sediakan juga. Setelahnya, ia kembali melayani pembeli yang memang lumayan banyak.

Satu suap nasi uduk yang masuk ke mulut ini susah payah aku telan. Rasanya ... masih tetap sama. Masakan Haifa memang selalu lezat dan terasa pas di lidah. Pantas saja jualannya terlihat laris karena pembeli masih mengantri mengelilingi gerobak milik istriku. Tak terasa, ada yang mengembun di kedua kelopak mata ini. Haifa harus berjualan nasi uduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak ada yang tahu bahwa dia adalah istri dari seorang pemilik perusahaan Kontraktor ternama di Jakarta. Terdengar miris memang. Akan tetapi, bukankah ini semua bukan salahku? Dia yang memilih pergi tanpa pamit bahkan sampai bertahun-tahun tanpa memberi kabar padaku. Andai saja aku mengetahui keberadaannya sejak dulu, tidak mungkin aku membiarkan Haifa hidup kesusahan apalagi sampai harus berjualan dengan membawa gerobak seperti ini.

"Lo masih mau di sini? Gue yakin kalian berdua harus bicara. Tapi kalau boleh gue kasih saran buat Lo, jangan ucapkan kata talak itu sekarang, bahkan kalau bisa pikirkan lagi keputusan Lo. Kasihan Haifa. Lo lihat sendiri bagaimana kehidupannya sekarang. Gue yakin Lo masih punya hati nurani untuk tidak menjatuhkan talak di pertemuan pertama kalian setelah bertahun-tahun terpisah." Bayu menepuk bahuku. "Lo yang bayar. Gue duluan ke Hotel," ucapnya sebelum pergi meninggalkanku yang kini termangu menimbang ucapannya barusan.

Haruskah aku menunda lagi? Bagaimana kalau setelah ini Haifa malah menghindar dan pergi lagi tanpa bisa kutemui?

Tak terasa mentari mulai merangkak naik. Aku masih duduk di bangku ini sembari menunggu Haifa selesai berjualan. Terlihat dia mulai membereskan peralatan dan bersiap untuk pulang. Dengan sigap, aku menghampirinya dan mengajaknya berbicara.

"Haifa, kita harus bicara," ucapku setelah berada di dekatnya.

"Iya, Mas. Aku sudah selesai. Sudah waktunya kita bicara." Tak kuduga, Haifa bisa bersikap tenang setelah tadi dia terlihat gugup. Aku mengikutinya duduk di bangku yang tadi kutempati bersama pembeli yang lain.

Haifa memejamkan mata. Entah apa yang tengah ia pikiran hingga akhirnya satu kalimat lolos dari bibirnya yang terlihat pucat.

"Silahkan Mas ucapakan talak sekarang. Aku sudah siap."

Aku terperangah, "Haifa ...."

"Dari dulu, Mas ingin mengucapkan itu kan? Maaf jika aku pergi tanpa pamit karena jujur waktu itu aku belum siap mendengarnya. Tapi sekarang, Mas tidak perlu khawatir aku akan mengulur waktu. Aku sudah sangat siap untuk mendengar kata talak dari Mas."

Tak sedikit pun keraguan yang aku lihat dari wajahnya. Haifa nampak sangat yakin atas keputusan berpisah yang sejak dulu memang aku inginkan. Akan tetapi mengingat ucapan Bayu, mengapa justru diri ini yang menjadi ragu?

"Haifa ...." Ah, lidah ini mendadak kelu.

"Mas--"

"Bunda!"

Aku dan Haifa terkesiap. Sontak kami menoleh ke arah bocah kecil yang dituntun oleh seorang wanita paruh baya. Wajah Haifa berubah tegang. Begitupun denganku setelah melihat wajah bocah kecil itu yang ternyata sangat mirip denganku.

"Bunda!" Teriaknya lagi saat dia hampir mendekat ke arah kami.

"I-iya, Sayang. Bunda di sini."

Aku melirik Haifa dan anak itu bergantian. Mata ini menyipit ketika melihat fokus anak itu yang hanya menatap ke satu arah dengan tangan yang bergerak seperti ingin menggapai sesuatu.

Satu pemikiran tiba-tiba terlintas dalam benak ini. Ya Tuhan! Jangan-jangan dia ... buta?

*

*

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
waaa....sex with no love, benar2 nggk mau rugi pokoknya si cowok,dah gitu siap2 nalak...hmmmm...enak bikinnya anak doang..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Talak Yang Tertunda   Bab 3

    "Haifa, dia ...."Aku menelan ludah. Setelah jarak kami begitu dekat, wajah anak itu makin jelas mirip denganku. Mata ini menatap mereka. Ada yang berdesir hangat ketika melihat senyum ceria anak itu ketika berhasil menggapai tangan istriku. "Kok Abyan ke sini? Kan tadi Bunda bilang tunggu saja di rumah." Haifa berjongkok, mensejajarkan diri dengan tinggi tubuh bocah yang ternyata bernama Abyan. "Maaf, Bunda. Abyan jenuh kalau di rumah terus. Abyan mau bantuin Bunda jualan tapi ... sayangnya gak bisa," lirihnya di akhir kalimat.Dada ini berdenyut nyeri mendengar kalimat kekecewaan yang terlontar dari mulut Abyan. Manik matanya sudah berkaca. Anak itu pasti merasa sedih karena kondisinya yang tidak seperti anak yang lain. "Gak papa, Sayang. Bunda kan sudah sering bilang kalau Bunda bisa jualan sendiri. Tugas Abyan itu belajar supaya jadi anak yang pintar." Hatiku terenyuh melihat interaksi Ibu dan anak itu. Setelah kuteliti lebih jelas, wajah anak itu memang mirip denganku. Ya Tuh

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-22
  • Talak Yang Tertunda   Bab 4

    "Mas, kami harus pulang. Kasihan Abyan baru sembuh dan dia harus banyak istirahat. Soal yang kita bahas tadi, Mas bisa menemuiku besok di sini. Mas tidak perlu merasa tidak enak. Aku benar-benar sudah siap untuk mendengar kata talak dari Mas." Haifa berujar lirih, mungkin ia tidak ingin pembicaraan kami sampai didengar Abyan. Anak itu memilih menjauh dariku dan kembali menghampiri neneknya. Meski hati ini teramat kecewa, tetapi aku harus bisa mengerti akan keadaan Abyan. Putraku pasti merasa rendah diri karena keadaannya. Padahal, aku sangat ingin berlama-lama dengannya. Tidak bisa aku tepis perasaan haru ketika tangan ini berhasil menyentuh tangan mungilnya."Mau aku antar? Kasihan Abyan kalau harus berjalan kaki. Rumah kamu gak jauh dari sini kan?" tawarku. "Lumayan jauh, tapi gak usah, Mas. Kami sudah terbiasa berjalan kaki," tolaknya. "Aku permisi," imbuhnya sebelum aku sempat mencegah. Entah kenapa lidah ini selalu saja terasa kelu jika ingin menawarkan sesuatu untuk Haifa. Hi

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-22
  • Talak Yang Tertunda   Bab 5

    Pov Haifa"Fa, pria tadi itu beneran teman kamu? Kok Ibu baru melihatnya sekarang." Bu Wanti bertanya ketika kami tiba di rumah dan kini tengah duduk di kursi rotan yang berada di teras depan. Abyan sengaja aku suruh untuk beristirahat karena keadaannya yang belum pulih setelah kemarin putraku itu terserang demam. Bu Wanti sudah kuanggap seperti Ibu kandung sendiri. Pertama kali aku datang ke kota ini, dialah yang membantuku mencarikan kontrakan yang tidak jauh dari rumahnya. Wanita paruh baya itu adalah seorang janda dengan satu anak. Suaminya meninggal tiga tahun yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya. Hingga saat ini, Bu Wanti selalu ada jika aku sedang membutuhkan pertolongan. Termasuk menawarkan diri untuk menjaga dan mengantar Abyan ke sekolah ketika aku sedang berjualan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Bu Wanti mengandalkan uang pensiun suaminya yang dulu bekerja sebagai Guru di Sekolah Menengah Atas. Ditambah kiriman dari putranya yang bekerja sebagai TNI yang

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-22
  • Talak Yang Tertunda   Bab 6

    Aku berjalan tergesa di sepanjang koridor rumah sakit. Si pedagang yang aku tanyai, berbaik hati mengantarku ke kontrakan milik Haifa. Di sana aku pun diberitahu tentang rumah sakit tempat Abyan dirawat oleh pria paruh baya yang mengaku sebagai ketua RT setempat.Kamar Abyan berada di deretan ruang kelas 2. Aku bergegas ke sana, ingin segera memastikan bahwa keadaan putraku tidak separah yang kutakutkan. "Mas Gani?" Haifa terlihat terkejut melihat kedatanganku. Mata bulatnya makin melebar ketika aku bertanya tentang Abyan."Bagaimana kondisi Abyan?""Dari mana Mas tahu Abyan dirawat di sini?" Dia malah balik bertanya."Dari tetangga kamu. Bagaimana kondisinya sekarang?""Alhamdulillah sudah lebih baik. Panasnya juga sudah turun. Kemungkinan nanti siang bisa pulang," terangnya."Boleh ... aku melihatnya?" tanyaku ragu. "Hari ini kemungkinan aku akan pulang ke Jakarta. Aku ingin bertemu Abyan terlebih dahulu sebelum berangkat.""Boleh, Mas. Silakan. Tapi Abyan masih tidur."Haifa memb

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13
  • Talak Yang Tertunda   Bab 7

    Seharusnya, kini aku sudah berada di Jakarta dan tidur di ranjang empuk milikku, bukan meringkuk di atas karpet tipis seperti ini. Atau paling tidak, aku kembali ke Hotel supaya tidurku terasa lebih nyaman di sana. Bukan di sini, di rumah sempit yang hanya memiliki satu kamar.Ya, seharusnya memang seperti itu. Namun, entah mengapa hati ini rasanya berat untuk meninggalkan Haifa dan Abyan. Aku ingin membantu Haifa menjaga putra kami di saat tengah sakit. Hal yang seharusnya aku lakukan dari bertahun-tahun lalu. Haifa menolak ketika aku mengajaknya pulang ke Jakarta. Akan tetapi, bukan Gani namanya jika aku tidak bisa memaksa dia untuk ikut. Dengan status suami yang masih aku sandang, bisa kujadikan senjata untuk menekan wanita penurut seperti dia. Alhasil, Haifa bersedia ikut dengan catatan tidak ingin berlama-lama di Jakarta. Aku iya-kan saja, toh tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Aku sudah memutuskan untuk mempertemukan Haifa dan Abyan dengan orang tuaku. Mere

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13
  • Talak Yang Tertunda   Bab 8

    Setelah drama yang sempat terjadi karena Bu Wanti tidak mengizinkan Haifa dan Abyan ikut bersamaku ke Jakarta, akhirnya di sinilah kami sekarang. Di dalam mobil dengan aku dan Haifa yang duduk di depan dan Abyan di belakang. Haifa sempat menawarkan kepada putra kami untuk duduk di depan saja. Namun, jawaban yang Abyan berikan sangat menohok hingga membuat kami langsung terdiam."Percuma Abyan duduk di depan. Abyan kan gak bisa melihat apa pun," katanya dengan raut sedih yang sangat kentara.Aku dan Haifa saling pandang, kemudian larut dalam pikiran masing-masing. Kami sama-sama memilih diam hingga Abyan terlelap dengan sendirinya di bangku belakang. Di sepanjang perjalanan, pikiran ini terasa makin was-was. Aku memikirkan bagaimana reaksi Mama dan Papa saat aku pulang membawa Haifa dan Abyan. Dengan kondisi putraku yang seperti ini, akankah mereka bisa menerima cucunya? Belum lagi dengan Nesya yang pasti merasa syok setelah kuberitahu bahwa aku memiliki seorang anak dari Haifa. Enta

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13
  • Talak Yang Tertunda   Bab 9

    Aku duduk bersimpuh di depan Papa yang masih terlihat marah. Setelah dua kali pukulan yang ia layangkan di wajah ini, Papa duduk di sofa yang terdapat di ruang kerjanya. Dada Papa terlihat naik turun, pun dengan tangannya yang masih mengepal di atas paha pria yang masih terlihat gagah di usianya yang sudah setengah abad itu.Aku tidak mampu melawan atau membela diri. Aku cukup sadar bahwa semua yang terjadi memang salahku. Kepergian Haifa, kehadiran Abyan yang tidak diketahui olehku dan keluargaku, juga kemarahan Papa yang sepertinya sudah saatnya meledak setelah beberapa tahun ia menahan diri untuk tidak menghajar putranya ini. Papa memang hampir melayangkan tamparan beberapa kali ketika memergoki diriku bersama Nesya di kantor. Namun, pria yang sangat aku hormati itu mengurungkan niat dan berkata."Sejak kamu kecil, Papa tidak pernah satu kalipun memukulmu. Papa terlalu sayang padamu hingga apa saja yang kamu inginkan akan Papa kabulkan. Tapi Papa sadar ternyata cara Papa mendidik k

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13
  • Talak Yang Tertunda   Bab 10

    "Nes, kita sudahi saja hubungan ini. Aku mau kita putus."Nesya melepas pelukannya dari pinggang ini. Wanita yang sudah menjadi kekasihku selama empat tahun tersebut perlahan mundur seraya menggeleng lemah."Jangan becanda, Mas. Ini gak lucu." Nesya tersenyum sumbang."Aku tidak sedang becanda. Aku memang ingin mengakhiri hubungan kita.""Tapi kenapa?" Kini, nada suara Nesya mulai meninggi. "Aku ... aku sudah menemukan Haifa dan ternyata aku memiliki seorang anak darinya.""A-apa? Anak?" Nesya menggeleng tak percaya. "Gak mungkin. Bukannya kamu bilang selama pernikahan kalian, kamu tidak pernah menyentuhnya?""Aku memang tidak pernah menyentuh Haifa selain malam itu. Malam di mana aku pulang dalam keadaan mabuk dan melihat dia itu dirimu. Aku tidak pernah menyangka jika kejadian satu malam itu akan menumbuhkan benih di rahimnya. Anak itu sudah berusia hampir delapan tahun dan selama itu pula aku tidak mengetahui keberadaanya. Sebagai seorang ayah, aku sangat merasa bersalah. Aku ingi

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13

Bab terbaru

  • Talak Yang Tertunda   Bab 34

    "Bunda!"Aku dan Haifa terperanjat. Kami sama-sama menjauhkan diri ketika suara Qinara terdengar begitu nyaring. Aku menghela napas kasar. Baru saja kami akan bermesraan, harus kembali ditunda karena teriakan putri kami. "Buka dulu pintunya. Aku mau pakai baju," bisik Haifa sambil terkekeh. "Gak jadi lagi?" Aku memasang raut sendu. "Ya ... habisnya gimana." Haifa menaikan sebelah alis. Ah, aku suka gayanya yang seperti itu. Ingin sekali aku menerkam dan memenjarakan tubuhnya, tetapi harus kutahan karena Qinara kembali berteriak memanggil bundanya. "Bunda!""Sebentar, Sayang!" Haifa menyahut. "Cepat buka pintunya, Mas. Kasian Qinara.""Iya, Sayang. Tapi nanti kalau Qinara sudah tidur, kita lanjut lagi, ya."Haifa mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian mencuri satu kecupan di pipinya yang merona. "Mas!""Hmm?""Pakai dulu bajunya!"Oh, ya Tuhan! Aku lupa sedang bertelanjang dada. Bergegas kukenakan lagi pakaian karena gedoran disertai teriakan dari luar makin mengencang. Membuk

  • Talak Yang Tertunda   Bab 33

    Kabar tentang Bu Wanti sangat membuat kami terkejut. Tanpa membuang waktu, hari itu juga kami berangkat ke Bogor untuk melihat keadaannya. Menurut cerita salah satu tetangga di sana, Bu Wanti terpeleset di kamar mandi hingga jatuh. Mungkin karena kondisinya yang sedang tidak enak badan, Bu Wanti kurang berhati-hati hingga terjadilah insiden itu. Kondisinya yang kritis membuat Ibu dari Akram itu tidak bisa bertahan lebih lama. Beliau meninggal setelah sebelumnya memberi amanat yang membuat kami terkejut. Beliau ingin mendonorkan matanya untuk Abyan sebagai ungkapan rasa sayang terakhir untuk putraku itu. Beruntung Bu Wanti sempat bertemu Dengan cucunya yang baru lahir ke dunia. Sebelum kabar ini kami dengar, Bu Wanti sempat datang ke rumah orang tuaku untuk menengok Qinara. Di sinilah kami sekarang. Di rumah sakit, menunggui Abyan yang sedang menjalani operasi. Menurut Dokter, kualitas mata Bu Wanti masih terbilang sehat dan bisa didonorkan. Tindakan operasi pun segera dilaksanakan s

  • Talak Yang Tertunda   Bab 32

    "Kamu yang sabar. Beri Haifa waktu untuk berpikir sebelum dia memutuskan mau menerima kamu atau tidak."Papa menepuk pundak ini kemudian duduk di sampingku. Pria yang baru saja menggendong cucu keduanya itu pasti memahami perasaanku saat ini. Sebenarnya tidak masalah jika Haifa meminta waktu untuk berpikir. Akan tetapi, entah mengapa diri ini begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya. Aku tidak ingin lagi berpisah atau bahkan melihat Haifa bersanding dengan pria lain karena Haifa adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku sampai se-gila ini. "Ya, Pa. Aku paham dia masih ragu padaku. Aku akan berusaha sabar menunggu meski sebenarnya, aku takut dia akan menolakku karena ... ya, Papa pasti tahu alasannya."Papa mengangguk. "Ya, Papa tahu. Tidak mudah baginya menerima pria yang pernah menyakitinya," ujarnya membenarkan."Ngomong-ngomong, kondisi teman kamu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan Papa membuatku hampir saja mengumpat. Aku melupakan Sani yang entah s

  • Talak Yang Tertunda   Bab 31

    "Gani, kamu mau ikut Papa atau tetap di sini?"Pertanyaan Papa menyadarkan aku dari keterpakuan. Kabar Haifa yang akan melahirkan membuatku bertambah tidak tenang. Andai saja bisa, aku ingin mendampingi dan memberinya dukungan hingga prosesnya lancar. Namun, teringat Sani yang masih ditangani, aku pun dilanda bimbang. Aku tidak mungkin meninggalkan Sani sendirian tanpa ada yang menungguinya. Apalagi, aku merasa harus bertanggung jawab karena secara tidak langsung, aku-lah penyebab Sani seperti ini. "Gani, kok malah melamun?""Eh, i-iya, Pa. Sebenarnya aku ingin ikut ke sana tapi temanku tidak ada yang menjaga. Nanti kalau aku sudah memastikan dia baik-baik saja, aku pasti menyusul Papa," jawabku akhirnya memilih memastikan kondisi Sani terlebih dahulu."Baiklah, kalau begitu Papa ke sana dulu.""Iya, Pa."Setelah kepergian Papa, aku kembali duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Meski ragaku ada di sini, tetapi hati tetap memikirkan Haifa. Bagaimana perasaannya ketika melahirkan tanpa

  • Talak Yang Tertunda   Bab 30

    "Jangan becanda, Mas. Gak lucu!"Perkataan Haifa masih saja terngiang di telinga ini. Katanya, aku becanda? Apa dia sama sekali tidak melihat keseriusan di wajahku saat mengatakannya? Tangan ini memukul stir kemudi beberapa kali. Jujur saja, hati ini rasanya sakit saat mendengar Haifa justru menganggap pengakuanku sebagai sebuah lelucon. Dulu, aku memang pria brengsek yang telah tega menyakitinya. Namun setelah semua yang terjadi, aku selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi pria yang pantas untuk menjadi imam dari wanita seperti dirinya."Kenapa kamu gak ngerti juga, Fa. Aku itu mencintai kamu, bukan wanita lain." Lagi, tangan ini mendarat cukup kencang di atas stir kemudi.Setelah cukup lama berdiam diri di parkiran, aku menghidupkan mesin mobil untuk kembali ke kantor. Meski diri ini yakin tidak akan bisa fokus pada pekerjaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap konsisten pada apa yang sudah menjadi tanggung jawabku.Benar saja, jangankan fokus, melihat

  • Talak Yang Tertunda   Bab 29

    "Tante Sani ini ... bukan calon istri Papa, kan?"Aku terperangah mendengar pertanyaan Abyan. Calon istri? Bagaimana mungkin putraku bisa menebak sampai sejauh itu? Aku melirik ke arah Haifa juga Mama dan Papa. Ketiga orang itu pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala."Kok Abyan ngomongnya gitu? Tante Sani ini cuma teman Papa. Dia datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Papa membawanya ke sini biar Opa sama Oma, terus Abyan juga gak salah paham. Abyan ngerti kan?"Anak itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seulas senyum pun kembali mengembang di bibirnya. "Abyan kira, Papa gak pulang- pulang dan betah di sana karena ada Tante Sani. Biasanya kalau orang sampai lupa pulang itu karena ada sesuatu yang membuatnya betah dan ingin tinggal lebih lama. Iya kan, Oma?"Putraku ini memang anak yang cerdas. Pemikiran Abyan terbilang kritis untuk anak seusia dirinya. Meski dia baru bertemu dengan Sani sekarang,

  • Talak Yang Tertunda   Bab 28

    "Mas, aku harus bagaimana? Bapak ninggalin aku sendirian. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Bapak. Aku--"Sani terus meracau dalam pelukanku. Kudekap ia lebih erat, demi memberinya kekuatan setelah ayahnya meninggalkan gadis ini untuk selamanya. Ya, begitu aku dan Sani sampai di rumah, Pak Warman sudah tidak bernyawa. Sani sempat histeris dan mengguncang tubuh ayahnya dan dengan sigap aku menenangkan gadis itu. Entah karena kebetulan atau memang sudah takdir, dua wanita yang menempati posisi masing-masing di hati ini tengah berduka. Haifa ditinggalkan oleh suaminya dan Sani oleh sang ayah. Kini keduanya berada dalam kondisi berkabung. Akan tetapi, tentu saja aku tidak bisa memeluk Haifa ketika memberinya semangat karena entah mengapa, selalu terasa ada jarak yang membentang di antara aku dan dia. Meninggalkan Sani yang kini hidup sebatangkara bukanlah pilihan yang tepat. Apalagi Juragan Karta masih saja berusaha untuk menjadikan gadis itu istri ketiganya. Tidak ada pili

  • Talak Yang Tertunda   Bab 27

    Memilih antara Haifa dan Sani adalah hal yang paling sulit kulakukan. Kedua wanita itu mempunyai tempat tersendiri di hati ini. Namun, tentu saja aku tidak bisa merengkuh keduanya dalam satu waktu karena hal itu tidaklah mungkin bisa kulakukan. Akhirnya, di sini lah aku sekarang. Di rumah sakit bersama Abyan juga orang tuaku, menunggu Haifa yang sedang diperiksa. Untuk membantu Sani, aku sudah meminta salah satu anak buahku di sana untuk menemuinya ke rumah sakit dan menyelesaikan segala urusan di sana, termasuk soal biaya administrasi.Aku duduk dengan gelisah, takut terjadi sesuatu pada mantan istriku yang masih tidak sadarkan diri. Begitu berat cobaan yang Haifa hadapi selama ini. Ditinggalkan suami ketika seharusnya Mereka tengah menikmati suasana pengantin baru, pasti sangatlah menyesakkan. Memang, sudah menjadi resiko bagi istri seorang abdi negara yang harus siap dengan kemungkinan terburuk setiap suaminya berangkat bertugas. Namun, satu hal yang pasti, Akram gugur dalam keadaa

  • Talak Yang Tertunda   Bab 26

    Kabar dari Mama tentang Haifa benar-benar membuatku gelisah. Tanpa pikir panjang, aku gegas mempersiapkan diri untuk pulang ke Jakarta. Aku ingin melihat kondisi Haifa yang kata Mama tidak sadarkan diri setelah mendengar kabar tentang Akram yang kemungkinan gugur saat bertugas di negara yang saat ini tengah rawan konflik. Memang belum ada konfirmasi lagi dari sana. Akan tetapi, keluarga tetap harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun."Mas jadi pulang ke Jakarta?"Sani yang tengah menungguku di teras rumah berdiri ketika melihatku membawa tas berisi pakaian. Wajah wanita itu ditekuk entah karena apa. Mungkin ia tidak rela aku meninggalkannya di sini. "Iya. Aku harus memastikan Haifa baik-baik saja. Aku juga khawatir pada Abyan karena bundanya tengah bersedih," jawabku sembari berjalan menuju mobil. Sani mengikutiku. Setelah memasukkan tas ke dalam bagasi mobil, aku menghampiri gadis itu yang tengah memperhatikan gerak gerik-ku."Aku berangkat dulu. Kamu jaga diri

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status