"Apa yang kau lakukan, Mas?!"
Rani berteriak kala melihat kamarnya berantakan.
Seluruh isi lemari berserak di lantai. Entah apa yang dicari Hendra, Rani tak tahu, sedang di sudut lain, mertuanya tengah membekap mulut Rara–anaknya.
“I–ibu….” lirih anaknya itu, hingga hati Rani sakit melihat wajah ketakutan putrinya.
Oleh karena itu, Rani mengabaikan amarahnya dan gegas berlari menuju ke arah sang anak untuk menolongnya.
"Lepaskan Rara Bu, dia bisa mati kehabisan napas."
BUK!
Namun, tangan Rani justru ditarik keras oleh sang suami, hingga perempuan itu terhuyung–membentur lemari.
"Serahkan sertifikat rumah warisan orang tuamu kalau kau tidak mau kehilangan Rara,” ancam Hendra dengan nada tinggi.
“Cepat!!"
“Aw!” rintih Rani kesakitan. Punggungnya terasa remuk karena dorongan Hendra begitu keras. Dia tak habis pikir dengan pola pikir suaminya ini. Meski Hendra menyelingkuhi dirinya, tapi bisa-bisanya pria itu mengorbankan anaknya hanya demi selembar kertas?
“Sertifikat?” lirihnya.
"Aku tak punya sertifikat itu, Mas. Dulu, aku gunakan untuk membayar biaya rumah sakit, saat bapak sama ibu kecelakaan," jelas Rani.
Sayangnya, Hendra tidak percaya dengan ucapan Rani. Pria itu justru menatapnya curiga. Seketika Rani merasa resah begitu melihat, anaknya mulai lemas. Dilihatnya sang Ibu mertua yang tampak tak peduli dengan keadaan cucunya. Dengan semangat, wanita paruh baya itu malah semakin membekap mulut Rara.
"Lepaskan Rara, Bu. Dia kesulitan bernapas!" teriak Rani panik, hingga wanita itu terkejut dan melonggarkan bekapan di wajah cucunya.
Hanya saja, Hendra tak memperhatikan itu. Dia malah menunjuk muka Rani dengan arogan. "Jangan berteriak pada ibuku, Ran! Kalau kau mau urusan kita cepat selesai, maka cepat serahkan sertifikat itu.
“Jangan mencoba melawan!” ancam suaminya lagi. Rani pun frustasi sendiri mendengar permintaan Hendra. "Sudah aku katakan padamu, Mas. Sertifikat itu tak ada lagi padaku. Jadi, percuma juga kau
mengancamku," jelasnya pada Hendra.
Ia berharap suaminya itu dapat mengerti.
Sayang, pria itu sepertinya terlalu bodoh untuk berpikir. Hendra justru malah menatap bengis Rani dan tertawa mengejek. "Kau pikir, aku bodoh, hingga percaya dengan omong kosong itu? Orang tuamu sudah lama meninggal dan selama itu juga, paman dan bibimu tinggal dengan tenang di rumah yang seharusnya menjadi milikku."
“Kalau bukan di kamu? Di siapa lagi? Aku sudah ke rumah pamanmu itu, Rani,” ucap Hendra, “dan dia, mengaku bahwa kamulah yang memegangnya.”
Rani pun mengacak rambutnya geram setelah mendengar ucapan Hendra. Sejak kapan rumah warisan miliknya menjadi milik Hendra?
Dan, meski memang tak masuk akal, tapi itulah yang terjadi pada sertifikatnya. Rani juga tak tau kenapa orang yang membawanya itu, tak pernah datang.
Namun, melihat putrinya yang tak berdaya di dekat sang mertua, Rani berusaha tenang.
Menahan tangis, ia pun berbicara, "Aku tak berbohong, Mas. Memang itu yang terjadi. Sertifikat itu, aku gunakan untuk jaminan agar bisa membayar rumah sakit waktu bapak dan ibu kecelakaan."
Rani berharap kedua orang tak punya hati itu percaya dan mau melepaskan anaknya yang terlihat semakin ketakutan. Sayang, kedua orang itu malah menatapnya kesal.
"Kau memang tak tau diri, Ran. Aku sudah kehabisan kesabarannya menghadapimu," ucap pria itu.
Tampak sekali, emosinya meningkat karena mengira Rani masih keras kepala menyembunyikan kertas-kertas itu. Bahkan, rahang pria itu tampak mengetat–seolah siap memukul Rani kapan saja.
"Aku sudah memberimu kesempatan, tapi kau masih keras kepala. Jadi jangan salahkan aku Rani," ucap Hendra dengan nada tinggi.
"Apa yang mau kau lakukan, Mas?" tanya Rani ketakutan begitu melihat Hendra memberi tanda pada ibunya.
Wanita tua itu tersenyum sinis ke arahnya.
Napas Rani seketika terasa sesak melihat anaknya meronta karena mertuanya membekap mulut anaknya semakin keras.
"Hentikan, Bu!" jerit Rani panik.
Entah kekuatan dari mana, ibu satu anak itu bahkan melompat lalu mendorong sang mertua, hingga tersungkur ke lantai.
Rani pun buru-buru memeluk Rara yang ketakutan.
Namun, tindakan Rani membuat murka Hendra berkali-kali lipat. Pria itu pun mendekati Rani hendak memberi pelajaran, tapi Rani tampak tak takut.
Perempuan itu justru menatap dengan ganas ke arah Hendra. "Sudah cukup, Mas! Kau keterlaluan,” ucap Rani tegas, “kau tak menafkahi aku dan Rara, aku terima. Aku bahkan hanya sesekali memprotes ketika kau lebih memanjakan ibu serta kekasih gelapmu itu.”
“Tapi, kenapa kau malah berani menyakiti anakmu?"
Rani meluapkan emosinya. Selama ini, dia sudah bersabar menghadapi suami dan mertuanya, tapi mereka justru semakin melunjak.
“Mas, kau–”
Ketika Rani ingin kembali berbicara, Hendra tiba-tiba memotongnya, "Sebaiknya, tutup mulutmu, Ran. Aku sudah muak mendengar ocehan itu. Seharusnya, kau menghormati suamimu, bukan terus melawan. Aku minta sertifikatmu itu untuk modal usaha. Itu juga demi kau dan Rara bukan untuk orang lain.
“Hahaha….” tawa Rani sinis. Tak ada sedikit pun rasa bahagia mendengar Hendra yang tiba-tiba ingin bertanggungjawab pada keluarga kecil mereka.
Tetangga sebelah rumah pun tahu kalau tujuan utama pria itu, adalah menikahi kekasihnya yang menginginkan resepsi mewah.
"Aku tak peduli, Mas,” ucap Rani nyalang, “Yang pasti, sertifikat itu tak ada padaku. Jadi, percuma kau memintanya.”
“Sekarang, tolong tinggalkan rumah ini! Aku sudah muak melihatmu," usir Rani yang tak tahan lagi melihat tingkah Hendra dan ibunya.
Dia berjanji pada dirinya tak akan memperpanjang urusan dengan kedua orang ini karena Rani tak ingin tensinya naik terus menghadapi mereka.
Namun, bukannya mengerti, kini malah sang Ibu mertua yang maju.
Dengan santainya, wanita itu tiba-tiba berbicara, "Percuma kau bicara dengan wanita bodoh ini, Hen. Lebih baik, ceraikan saja dia, lalu nikahi Anita itu jauh lebih baik."
Tangan Rani sontak mengepal, menahan geram. Ibu mertuanya ini memang senang sekali meminta Hendra untuk menceraikannya. Apakah dia pikir Rani tak mau melepaskan pria ini?
Cih! Jelas sekali, Rani sudah meminta ditalak berkali-kali, tetapi Hendra tak pernah mengabulkannya. Pria itu selalu membawa-bawa sang putri yang memang menyayanginya.
"Belum waktunya, Bu," ucap Hendra santai–seperti biasa. Tangan Rani mengepal mendengar ucapan yang sudah ia duga.
"Sampai kapan, Mas?Aku juga sudah tak sudi menjadi istrimu," tegas Rani yang membuat Hendra dan Ibunya seketika melotot.
"Tutup mulutmu itu, Rani!" teriak Ibu Mertuanya.
Belum sempat memproses, lagi-lagi Rani terkejut melihat mertuanya menarik tangan putrinya dan menghempaskan tubuh kecil itu ke dinding.
Rani pun tak sempat bereaksi, selain berteriak histeris memanggil nama anaknya, "Rara!"
"Rara," panggil Rani lemah. Air matanya mengalir deras saat menyaksikan buah hatinya meregang nyawa. Bahkan, darah kental sang putri masih membasahi tangan Rani yang memegang kepala anaknya.Hendra yang tadi sempat terpaku langsung merebut tubuh kecil itu. Begitu kesadarannya pulih, Rani ikut keluar saat Hendra berlari membawa Rara menuju ke rumah sakit."Sial, semua ini tak akan terjadi kalau kau tak keras kepala, Ran. Ingat, kalau terjadi sesuatu pada Rara kau akan menyesal," ujar Hendra sedangkan Rani hanya diam sembari memeluk sang buah hati.Jantungnya berdetak semakin kencang, ketika merasa mobil seakan berjalan lambat. Di depan kemudi Hendra terus mengomel panjang, menyalahkan Rani tanpa berpikir kalau itu karena ulah ibunya. Di mata Hendra, hanya dia yang bersalah sedangkan ibunya tetap tak bersalah."Tolong Mas lebih cepat kasihan Rara," pinta Rani memelas melihat keadaan putrinya semakin parah. "Diam dan tutup mulutmu itu, Rani. Kau tak berhak bicara pada Hendra seperti
"Saudari Rani Putri Prameswari, Anda kami tangkap atas laporan tuan Hendra yang mengatakan bahwa Anda lalai menjaga anak kalian, hingga menyebabkan meninggal dunia."Ucapan petugas berseragam itu kembali terngiang di kepala Rani. Kini, sudah lima bulan Rani mendekam di penjara, tanpa ada satu orang pun yang mengunjunginya. Jangankan sang suami, paman dan bibinya juga tak peduli padanya.Hendra hanya sekali menemuinya. Itu pun, untuk mengatakan kalau dia akan menceraikan Rani secara sah. Sejak itu, tak ada lagi yang datang, hingga masa Iddah Rani benar-benar berakhir di penjara."Rani, ada yang ingin bertemu. Silakan keluar," ujar seorang petugas membuyarkan lamunan perempuan itu.Ia sungguh terkejut mendengar ada seseorang yang mengunjunginya. "Siapa yang ingin menemui saya, Bu?" tanyanya sembari mengikuti langkah petugas itu.Rani benar-benar heran. Tak ada satu orang pun yang terlintas dalam pikirannya. Siapa yang sudi menemuinya di penjara sebagai narapadina?"Duduklah, jangan mem
“Menikah?”Rani yang mendengar tawaran Sean terpaku di tempatnya. Bahkan, asisten pria itu juga tampak terkejut. Sepertinya, permintaan Sean tak ada dalam rencana mereka. ‘Mungkinkah, Sean jatuh cinta pada pandangan pertama?’ batin Miko yang segera menggelengkan kepala. Pria itu segera menepis pikiran itu karena Sean tak kehabisan wanita cantik. Jika mau, sepuluh wanita rela bahkan bisa jatuh dalam pelukannya gratis. Kenapa Sean malah memilih Rani?Rani tampak menarik napas panjang. Perempuan itu lalu menatap dalam Sean. "Kau bicara apa? Meski aku sudah bercerai dan masa Iddahku sudah selesai, tak semudah itu juga aku menikah dengan pria lain. Sepertinya, pertemuan ini hanya omong kosong. Maaf, aku harus kembali ke dalam sel," Tadinya, Rani sempat berniat untuk menerima kerjasama itu, tapi mendengar ucapan Sean yang ingin menikahinya, justru membuatnya takut. Jangan-jangan, mereka memang punya niat lain? Pengkhianatan dan fitnah Hendra membuat Rani belajar untuk selalu waspada,
Dua hari sudah berlalu sejak Rani dan Sean berbicara malam itu. Perubahan emosi Sean saat itu membuat hubungan mereka menjadi canggung. Namun, Rani mencoba tenang dan berpikir mungkin Sean belum siap memberitahu Rani soal sang ibu."Kita sudah dapatkan semua berkas milikmu, Ran. Orang yang kau katakan itu, benar-benar luar biasa! Dia bisa dengan mudah meminta banyak hal dari si bodoh Hendra."Sean segera menunjukkan sebuah map berisi berkas miliknya, termasuk KTP dan kartu keluarga.Hal itu membuat Rani tersadar dari lamunannya,Ia pun tersenyum mendengar informasi itu. Bukan tanpa sebab Rani memberikan nama orang yang dimaksud Sean. Sejak mengenal Hendra, ia tahu benar hanya Antonlah yang Hendra takuti."Preman itu paling tak suka pada Hendra. Sejak dulu, dia menjadi objek pukulan Anton, aku rasa sifat pengecutnya itu tak bisa hilang di depan Anton. Jadi, apa saja yang pria itu minta pasti dia turuti," ucap Rani pelan.Dia lantas membuka map itu dan melihat isinya. Senyum puas ter
Hendra merasakan kepalanya nyaris pecah. Ia rasa bisa gila bila itu ternyata benar. Meski dia pria tak baik, tapi diselingkuhi istri seperti Rani, menjadi sebuah penghinaan baginya dan itu melukai egonya. Bahkan, ia kini tak fokus mengerjakan sesuatu."Hendra, kau membuat kesalahan lagi. Pak Rendi mengamuk, kali ini timmu dalam masalah besar, bisa jadi akan mempengaruhi posisimu sebagai kandidat untuk menempati jabatan Manager," ucap rekan kerja Hendra.Brak ...Terdengar suara meja dipukul. Mendengar ucapan temannya, membuat Hendra pun murka. Bagaimana bisa masalah satu tim dilimpahkan hanya padanya?"Gak masuk akal! Jangan-jangan, kau mencoba menyabotase pemilihan itu, Nisa? Ingat, aku tak akan tinggal diam. Aku sudah bekerja keras untuk posisi ini, jangan mencoba jadi penghalang."Hendra melotot ke arah teman kantornya itu yang hanya dibalas dengan tawa. Nisa tampak tak habis pikir dengan Hendra, bagaimana bisa begitu percaya diri untuk menduduki posisi Manager? Padahal, semua
"Apa, perusahaan diakuisisi. Kok bisa?"Hendra terduduk lemas saat mendengar soal perusahaan tempatnya bekerja. Dia memang tahu sedikit masalah perusahaan dari Ita, sang kekasih. Akan tetapi, dia tak menyangka akan separah ini. Dia seketika takut bila masalah akuisisi ini akan mempengaruhi posisi Manajer yang Ita tawarkan untuknya."Tentu saja benar, dengar-dengar besok pemilik baru perusahaan akan datang dan mulai menduduki perusahaan. Selain itu, aku juga dengar akan ada perombakan besar pada staf seperti kita," ujar Amris."Perombakan staf seperti kita?" tanya Hendra lagi, “apa maksudmu?”"Iya, bos baru kita ini orangnya perfeksionis dan juga jujur. Dia tak suka pekerja yang tak berguna, apalagi yang menjadi beban perusahaan," ucap Amris sembari melirik ke arah Hendra yang terlihat melamun. Jelas saja, pria itu tersadar saat mendengar ucapan Amris. "Kau mau bilang kalau aku salah satu beban perusahaan, Ris?""Tidak,” ucapnya cepat, “tapi, kalau kau sadar syukur sih, Hen. Jangan
"Untung saja anda datang tepat waktu, Pak Miko."Rani kembali berkata sembari duduk berjongkok di lantai. Ia mengamati lift yang sedang naik ke atas menuju ruangan yang akan ditempati oleh Sean nantinya. Sementara itu, Miko hanya menatap Rani datar. Asisten Sean itu bahkan menarik napas panjang kala tak sengaja menatap Rani yang terlihat gemetar."Aku masih tak mengerti, Ran. Kenapa Sean memilih wanita lemah sepertimu untuk menjadi rekan balas dendamnya?" ucap Miko santai, "meski kau mengetahui tentang musuhnya, tapi aku merasa kau tak terlalu berguna sama sekali," Sungguh, dia meragukan kekuatan Rani untuk menghancurkan musuh Sean yang kebetulan mantan suami perempuan itu. Rani saja bahkan tak bisa berbuat apa-apa melihat putri tunggalnya meninggal. Lalu, bagaimana ...?"Kau tak tahu apa yang dilihat Sean, Tuan Miko. Percayalah, kau akan terkejut jika waktunya sudah tiba." Kali ini, Rani langsung berdiri dengan tegak meski kakinya masih gemetar.Mendengar itu, Miko pun memilih diam
"Kita mau ke mana? Ini bukan jalan ke rumah, kan?" tanya Rani pelan.Namun, bukannya menjawab pertanyaan Rani, Sean justru mengambil sesuatu dari kantong bajunya. Pria itu lalu menyerahkan sebuah kartu ATM. Rani yang bingung, jelas tak langsung menerimanya. Hal ini membuat Sean langsung meletakkan benda itu ke telapak tangan Rani."Pergunakan itu untuk membeli segala keperluanmu, termasuk kebutuhan rumah tangga. Mulai sekarang, kau masak di rumah karena aku tak mau lagi membeli makanan dari luar," ucap Sean santai, sedangkan Rani kembali menatapnya dengan pandangan bingung."Ada apa dengan tatapanmu itu?" tanya Sean.Rani menarik napas lalu memalingkan wajahnya. Jujur, dia mulai bingung dengan sikap Sean. Apakah pria ini ingin memulai hubungan mereka atau hanya sebatas ingin makan masakannya? Entahlah, Rani tak mengerti dengan hubungan ini."Turun, kita belanja keperluan rumah, termasuk isi kulkas juga."Rani pun tersentak dari lamunan saat mendengar suara Sean. Entah sejak kapan me