Seorang pria berusia senja terbaring di atas ranjang. Wajahnya terlihat lebih putih dengan kulit yang memucat. Ada lengkungan hitam di bagian bawah matanya, lengkap dengan guratan kerut yang nyaris memenuhi kulitnya. Pria gagah itu kini terlihat lemah dan nyaris habis masa. Dadanya terus bergerak naik turun dengan sangat lambat, seakan sesak karena terdengar suara mendengkur dari mulutnya. Pria tua itu benar-benar butuh pertolongan, bahkan hanya untuk sekedar bernapas ia harus dibantu tabung oksigen.
“Yak!” seru Dira dengan tangis yang terasa menyangkut di kerongkongan. Dengan jemarinya Dira menyentuh lembut tangan keriput ayahnya.
Seakan terhanyut, Dira pun membaringkan kepala di samping tangan ayahnya. Teringat masa kecil yang bahagia saat ibunya masih ada. Selalu tertawa dan kerap bermain bersama. Meskipun memainkan permainan pria, namun justru Dira sangat menyukainya. Dimulai dari memanah, berlari, melompat hingga memanjat po
“Eh, bisa cantik juga ternyata kau, Kak!” ledek Alia yang kini turut tersenyum memandangi wajah Dira melalui kaca.“Jangan cemberut ajalah. Udah cantek pun mukakmu. Ini hari bersejarah loh. Kalau aku jadi kau, Kak. Wih, yang bahagia kali aku. Bisa nikah sama cowok ganteng, baek hati, terkenal, ah ... entahlah! Kenapa pulalah dijodohkan samamu, yang sangat tak layak,” ucap Arini kesal.Terlalu kesal dan malas menjawab, Dira hanya menggerak-gerakkan bibirnya ke sana kemari. Jauh dalam hatinya, ia ingin kabur saja. Namun, semua itu ia urungkan. Ia sudah terlanjur berjanji untuk menuruti semua keinginan ayahnya yang mungkin akan menjadi keinginan terakhirnya. Karena keadaan sekarat ayahnya, bukanlah mengada-ngada. Tuhan bisa saja mengambil nyawa ayahnya malam ini juga.“Kak, cepat dikitlah. Udah dipanggil itu,” ucap Alia yang baru saja masuk ke ruangan Dira.“Sabar kau!” bentak Dira dengan kedua tangan menggengg
Akad pun terlaksana dengan hikmat. Semua merasa lega, terutama ayah Dira. Ia begitu bahagia hingga terus menangis.“Baru kali ini saya menikahkan pengantin sebahagia ini. Kalaulah orang-orang begini semua, mungkin tak banyak anak muda yang kawin lari ataupun hamil deluan. Habis cemana, syarat ke KUA bukannya mahal. Tapi syarat dari keluarga yang mahal. Mau pesta beginilah, undang segitulah. Terakhir, anaknya buat deluan. Kalau udah kejadian kan, terpaksa dinikahkan. Hah, terakhir jangankan pesta. Akad aja pun jadi. Ya kan?” curhat Tuan Kadi yang ternyata merisaukan apa yang terjadi. Sedikit banyak ia pun tahu apa yang terjadi. Sudah berpuluh tahun lamanya ia bekerja sebagai Tuan Kadi, tak jarang mempelai maupun keluarganya mengoceh di hadapannya, hingga ia tahu apa yang terjadi dibalik pesta mewah mereka.“Sudah yah, saya pamit. Sekali lagi selamat yah. Saya harap, tidak hanya saat ini tapi selamanya kalian bahagia. Meskipu
Alia dan Arini masih menanti di depan kamar ayah mereka. Begitu pula Leo, ia membiarkan Daffin dan Dira hanya berdua di dalam ruangan kosong.Seakan terhipnotis, Daffin terus menatap wajah Dira tanpa lelah. Wajah natural tanpa make up terlihat begitu cantik meski dengan dandanan yang tipis. Namun, saat ini wajah itu terlihat menyedihkan dengan kulit memucat dan kedua mata membengkak karena terus menangis. rambut panjangnya disanggul sederhana, namun berhasil menunjukkan sisi keibuannya. Begitu manis, membuat rasa cinta Daffin meningkat beberapa kali lipat dalam sekejap.Mencoba merasakan apa yang mungkin Dira rasa, hati Daffin tersentuh sampai-sampai berniat menyentuh Dira. Tangan Dira yang sedari tadi berada tak jauh dari tangannya terlihat begitu menggoda hingga ingin digenggam. Namun, Daffin menahan. Entah mengapa, ia merasa seperti bukan dirinya sendiri. Rasa dan perasaan itu hadir begitu saja, bahkan sulit dikendalikan. Membuatnya nyari
Leo yang penasaran mencoba mengikuti dan kini ia sudah berada di depan ruang Dokter berniat menguping pembicaraan keduanya. Namun sayang, ia harus pergi setelah seorang perawat memergokinya.“Abang ini ngapain di sini? Kalau mau masuk tunggu di sini dulu, nanti dipanggil yah,” ucap seorang perawat wanita yang kemudian memasuki ruangan Dokter.“Yeee ... gagal deh. Mana Daffin sengaja nyuruh gua nunggu di luar lagi. Emang lagi bahas apaan sih. Buat penasaran aja,” gerutu Leo. Ia pun terpaksa mencari ruang yang cukup sepi untuk mengangkat panggilan masuk.Leo kembali duduk di kursi yang ada di depan ruang Dokter. Menunggu lama dengan perasaan penasaran karena Daffin tak kunjung keluar. Gelisah, Leo memutuskan untuk mengetuk ruang Dokter.“Masih ada orang, Bang. Sabar yah,” jawab perawat yang sama.Leo kembali duduk. Ia membuka catatan yang ada di gawainya guna memeriksa jadwal Daffin yang sempat tertunda karea harus
Wajah tegang yang mereka perlihatkan pun mendadak sirna, berganti wajah bahagia penuh syukur mendengar ada seseoran yang berniat menyumbangkan satu ginjalnya. Namun, seketika wajah Dira berubah.“Kenapa kau, Kak?” tanya Alia yang lebih dulu menyadari wajah bingung Dira.“Enggak kok.”“Pasti mikirin biaya operasi Ayak kan?” sahut Arini dengan wajah pasrah.“Enggak juga. Kalau itu kecil lah. Kakak punya sertifikat. Bisa ambil pinjaman,” jelas Dira dengan bibir membulat di bagian bawah, menunjukkan keangkuhan.“Jadi ... mikirin suami kau yang enggak keliatan?” ledek Arini.“Apanya mulutmu. Kusobek jugak lama-lama,” jawab Dira kesal. Dira memutuskan pergi dan meminta kedua adiknya untuk menjaga sang ayah.“Abang ini kenapa pulak? Ngalah-ngalahin kami pulak, mukak Abang stresnya,” ucap Alia yang kemudian tersenyum geli dan segera menutupi mulutnya.L
Tiga hari berlalu dengan cepat, Ayah Dira sudah diperbolehkan untuk pulang. Betapa senang hatinya karena kini ayahnya terlihat jauh lebih baik. Gairah mudanya terlihat jelas, meski berbalut kulit keriput. Terus tersenyum dan kembali banyak cerita selama perjalanan pulang tak lantas membuat Dira kesal. Entah mengapa perasaan takut kehilangan membuatnya lebih mengerti betapa pentingnya kebersamaan. Pertengkaran kecil yang terus terjadi, peringatan-peringatan yang kerap menyakiti hati, semua itu menjadi momen indah yang kelak menjadi kenangan. Hampir saja Dira menitihkan air mata kala mengingat kejadian tempo hari. Hatinya terasa sakit seakan ada yang mengiris. Begitu pula dengan jantungnya yang berdetak sangat kencang hingga membuat dadanya sesak. Hanya bisa tersenyum sembari membuang jauh pandang agar tak ada yang menyadari perasaannya saat ini.Mobil melaju tenang dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam. Namun, tidak setenang keadaannya. Terlihat dari wajah kesal supir ojek saa
Sebuah koper telah tertata rapi di samping pintu. Ada beberapa benda dan baju yang harus Dira bawa. Tak henti-hentinya Dira memandang ke arah koper. Tatapan cemas dan bingung tergambar di sana. Ngedumel dengan dahi mengernyit, Dira merasa tak siap untuk berangkat.“Oalah, nasib-nasib ... cemanalah ini,” ucapnya dengan tatapan nanar.Sengaja membanting kuat tubuhnya ke atas ranjang, lalu memandang tajam ke langit-langit kamar, Dira merasa kesedihan yang mendalam. Entah mengapa momen masa lalu kembali hadir dalam benaknya. Momen dimana ibunya masih berada di sisinya.Saat itu Dira berusia lima tahun dan lahirlah Alia. Pembicaraan yang tak dimengerti Dira kecil pun terdengar.“Pak, ini anak boru. Jangan diajarkan kuat. Aku enggak mau ya, anakku sampek kehilangan jati diri. Lihat itu si Dira, Cuma rambutnya aja yang panjang. Tingkahnya mirip anak lajang. Kalau Bapak mau anak laki-laki, nanti kita buat lagi. Dengar Pak?” ucap ibu Dira sembari menggendong Alia dalam pangkuannya.“Hah! Ceman
Tak pernah melihat wajah tenang ayahnya seperti saat ini, Dira sibuk mengutuk diri yang merasa kurang perduli.“Huh! Entah udah berapa lama aku enggak ngomong baik-baik kekgini dengan Ayak. Sampek aku lupa kapan terakhir Ayak bahagia kayak tadi,” gumam Dira setelah duduk tenang di atas kursi miliknya.Memandangi keheningan landasan udara dari jendela pesawat, Dira merasa sedih harus pergi. Padahal keputusan awal berkat tekadnya yang kuat. Yah, saat itu Dira bertengkar hebat dengan ayahnya yang tak henti menjodohkan dirinya. Memilih kabur dengan alasan tugas, menjadi pilihan. Tak menyangka, dari begitu banyak keputusan nekad dan mendadak yang sudah ia perbuat hanya keputusan kali ini yang ia sesali.“Andai aja aku enggak nerima tawaran itu, mungkin enggak gini kejadiannya?”Beragam sangka dan prasangka pun timbul. Bayang-bayang keadaan yang mungkin terjadi pun hadir memenuhi benak. Hingga sebuah keadaan pun terbayang jelas dalam mata yang kini terpejam.Bayang dimana Dira duduk di atas
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Belaian lembut di kepalanya membuat Dira tersadar akan kantuknya. Wangi yang tak asing berhasil menggelitik hidungnya. Sadar betul akan sosok yang kini duduk memandanginya Dira, perlahan membuka matanya. Meski kabur, Dira tahu benar bahwa Daffin kini duduk tersenyum menatapnya.“Kau?” ucapnya menatap tak percaya.Memutuskan untuk bangkit dan segera memeluk Daffin. Tersenyum penuh haru kebahagiaan, Dira merasa senang sekali saat ini. Terisak, ia melampiaskan semua kekacauan hatinya. Memeluk kian erat, hingga membuat kerutan pada sebahagian kemeja Daffin.Sepertinya tidak hanya Dira, melainkan Daffin pun menunjukkan tatapan yang sama. Keduanya terhanyut dalam hangatannya pelukan rindu. Seling memeluk erat seakan tak ingin kembali dipisahkan.Semua ini terasa begitu nyata, hingga akhirnya tatapan Dira yang sedari tadi bersembunyi di dada Daffin kini beralih pada Devi. Senyum penuh syukur yang terlihat pada wajah wanita tua itu memberi isyarat bahwa semua ini nyata.Masih tak menyadari da
Dira masih saja menatap bingung ke arah pemuda itu. Pemuda yang begitu mirip dengan rekannya Tomi.“Kau kok bisa di sini, Tom?” tanya Dira dengan nyolotnya.“Maaf, salah orang. Saya bukan Tomi,” ucapnya sembari menunjukkan senyuman. Lalu memutuskan pergi. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, Dira lebih dulu menahan pundaknya dengan tangan.“Enggak usah main-main kau! Ngapain kau di sini?” tanya Dira kembali. Perasaan curiga mendadak hadir. Tepatnya semenjak kemarin, dimana mereka harus menangkap pengedar di bar.“Le, Cepat sini! Malah kenalan sama cewek,” ucap relawan lain. Ia melambaikan tangan ke arah pria yang diduga Tomi.“Maaf, Mba. Sekali lagi saya bilang, saya bukan Tomi. Mungkin kami hanya mirip,” ungkapnya menolak halus. Tangannya dengan lembut melepaskan tangan Dira dari pundaknya.“Enggak, kau pasti Tomi!” ungkap Dira. Kali ini ia bertindak nekad dengan menepis tangan kemeja pria itu. Terlihat ada tato kecil bergambar bintang di sana. Memperjelas kalau dia bukanlah Tomi yang
Terik cuaca tak lantas membuat Dira menyerah. Perut yang belum sempat terisi tak menunjukkan gejala lapar. Yang ada dalam benak Dira saat ini hanyalah ingin segera menemukan Daffin. Terus melangkah dan mencoba memasang telinga, Dira berharap bisa mendengar kata tolong dari seseorang. Bayang wajah Daffin yang tengah kesakitan pun membuat Dira semakin cemas.“Woy! Kemari!” teriak salah satu relawan.Dira dan timnya pun turut mendekati asal suara. Ternyata mereka menemukan tas berisi uang tunai yang tak sedikit jumlahnya. Tas kecil berupa koper itu bewarna putih. Sesaat Dira sadar akan penjelasan aparat kemarin.“Jangan bilang yang dilihat supir truk itu koper ini. Bukannya orang,” gumam Dira yang mulai mencemaskan akan keberadaan Daffin saat ini.Kini hari mendekati siang, suasana semakin panas meski ada banyak pohon yang melindungi mereka. Lelah, kaki Dira mulai gemetar. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tubuhnya terasa lemas sekali. “Mba, ini minum dulu! Wajah Mba pucat banget,” uca
“Daffin!” teriakan Dira menggema. Sebuah tepukan di pundaknya membuka matanya.“Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak? Minum teh dulu!” pinta Devi dengan wajah sembabnya.Dira tersadar dan seketika merasa malu. Ternyata apa yang baru saja ia lamai hanyalah sebuah mimpi.“Kamu mimpiin Daffin ya?” tanya Devi sembari mendekap tubuh Dira.Tangis yang sedari pagi ia tahan pun meledak. Dira menangis terisak berharap sesak didadanya berkurang. Ia terus menangis sambil membayangkan wajah Daffin yang ia lihat di dalam mimpi. Ia tak bisa membayangkan jika penampakan Daffin yang ia temui adalah keadaan nyata yang Daffin alami. Bisa saja darah yang ada pada tangan dan kaki Daffin itu nyata dan kini Daffin masih terbaring kesakitan menanti ajal di tengah hutan belantara.Tangis Dira sungguh sulit dikontrol, meski ia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Namun, hatinya tak mampu membohongi diri. Pilu jika Daffin benar pergi untuk selamanya, sedangkan ia mulai menyadari bahwa telah jatuh hati.“Kita doaka
Malam itu mobil putih pintu geser yang sering Daffin gunakan untuk bekerja itu melaju kencang di tengah jalan sepi. Jalan lintas yang berjarak sempit dan cukup berkelok sedikit menyeramkan karena lampu penerangan jalan yang sangat minim. Seakan tak takut akan hal buruk yang mungkin terjadi, mobil putih itu terus melaju kencang seirama dengan musik DJ yang begitu deras.Sopir pribadi Daffin terus tertawa riang, bahkan sesekali ia bergoyang menikmati alunan nada. Bersorak dan ikut bernyanyi, ia begitu menikmati perjalanannya. Mungkin itu cara untuknya agar bisa terus melakukan perjalanan meski sudah tengah malam.Meski tak banyak kendaraan yang melintas, namun tak jarang mobil truk pengangkut barang berat melintas di tengah malam. Mereka sengaja bepergian di jam sepi, saat tak banyak kendaraan pribadi.Seakan memiliki nyawa cadangan, sopir itu terus saja melaju kencang meski sudah beberapa kali melewati mobil besar pengangkut barang berat. Langit malam itu terlihat lebih gelap, tanpa bi
Suasana berubah haru diikuti wajah kebingungan. Terdengar kabar bahwa mobil yang dikendarai Daffin mengalami kecelakaan fatal di salah satu tol. Berita ini disampaikan langsung oleh pihak kepolisian yang bertugas dan Devi selaku pihak keluarga diminta untuk datang ke kantor kepolisian sekitar.“Kenapa, Bu?” tanya Minah yang segera menghampiri nyonya pemilik rumah.Devi semakin syok setelah melihat foto yang berisi mobil Daffin yang penyot dibagian depan dan samping kiri. Dira yang sedari tadi diam pun turut menghampiri Devi. Saat ini sudah pukul setengah sebelas malam, tak mungkin mereka memaksakan diri untuk datang. Dira memutuskan untuk berangkat esok pagi bersama Devi dan sopir pribadinya.Malam ini terasa kacau. Pikiran Dira sungguh tak tenang. Waktu menunjukkan pukul satu malam, namun matanya masih enggan terpejam. Berulang kali mengubah gaya tidur, tak lantas membuatnya terlelap. Pikirannya dipenuhi dengan keadaan Daffin. Bayang wajah Daffin yang kini terbaring di atas ranjang d
Tomi lebih dulu masuk ke ruangan, memaksa Dira mengikuti rencana dadakannya. Melangkah masuk dengan gemuruh di dada Dira siap melakukan bela diri untuk menangkap salah satu bandar yang sedang berada di sana.Tetapi hal mengejutkan terjadi. Ruang yang Dira masuki terlihat kosong. Meninggalkan seorang pelayan yang tengah berbenah.“Kemana semua tamunya?” tanya Dira bingung.“Udah pada pulang, Mba. Emangnya Mba cari siapa ya?” tanya si pelayan bar yang tak kalah bingungnya. Menyadari Dira bisa masuk dengan mudah ke dalam ruangan, pelayan itu sadar jika Dira bukan orang sembarang. Jika bukan karena memiliki kenalan orang dalam, setidaknya ia pejabat negara.“Jadi, para pejabat sialan itu udah pada kabur?” tanya Dira kesal. Giginya saling beradu hingga menimbulkan bunyi.“Pejabat? Bukan Mba. Tapi anak muda biasa kok. Enggak ada anak pejabat juga pun,” ungkap si pelayan sambil menunjukkan wajah tengah berpikir keras.“Arrgh! Ini pasti kerjaan Tomi. Dia mau angkat telor rupanya,” gumam Dira