“Sa-saya, Tuan?” Sasmi tergagap. Ia menunduk dalam-dalam. Sorot mata Dirga begitu tajam dan menusuk, membuatnya ciut.
“Aku tidak suka mengulangi kata-kataku.” Dirga langsung berbalik dan menghampiri Kana setelahnya, tanpa memedulikan Sasmi yang membungkuk hormat sebelum undur diri, kembali ke dapur.“Sudah tidak apa-apa?” tanya pria itu kemudian sembari menyodorkan segelas air putih pada istri keduanya. Berbeda ketika ia bicara dengan Sasmi tadi, nada suara Dirga terdengar lebih lembut dan hangat. Sorot matanya juga lebih ramah.Dengan ragu, Kana menurunkan tangan yang menutupi hidung dan mulutnya sejak tadi. Perasaan mualnya menghilang begitu saja. Dengan tenang, perempuan itu meneguk air putih yang disodorkan Dirga sementara dengan tangannya yang bebas, suaminya tersebut merapikan anak rambut Kana dengan hati-hati.Tepat seperti dugaan Dirga, Sasmilah penyebab Kana merasa mual sebelumnya. Beruntung tadi Dirga mampu menghubungkan kondisi istri keduanya tersebut dengan informasi yang ia dapatkan dari dokter kemarin; bahwa indra ibu hamil lebih sensitif, terutama indra perasa dan penciumannya.“... Masih tidak mau ke rumah sakit?” tanya pria itu kemudian.Tanpa menunggu tanggapan dari Kana, Barra mengalihkan fokusnya pada Dirga. “Kakakku sedang sakit?” tanyanya.Dirga balas menatap Barra selama beberapa saat sebelum bibirnya mengucapkan tiga kata singkat.“Kana sedang hamil.”Sepasang mata Barra membesar, tampak terkejut dengan perkembangan terbaru ini. Entah kenapa, dia seperti merasa sesuatu meremas hatinya.Dalam kurang lebih lima jam terakhir, Barra terus saja mendapatkan informasi mengejutkan. Diawali dari pernikahan sang kakak, lalu sekarang dengan kehamilan wanita itu. Semua hal ini membuatnya berpikir bahwa kembali ke Nusantara seakan-akan menjadi ejekan takdir baginya.Sementara itu, Dirga justru merasa terhibur melihat perubahan ekspresi pria asing di hadapannya tersebut, entah kenapa.“Aku lihat kondisi Kak Kana tidak terlihat baik. Sebaiknya, aku pulang,” ujar Barra dengan sebuah senyuman yang terlihat dipaksakan.Dirga terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi dirinya didahului oleh Kana yang langsung berkata, “Tunggu, jangan pulang dulu. Kamu baru tiba.” Dia tersenyum tipis. “Masih banyak yang harus kita bicarakan.”Mendengar ucapan Kana, ekspresi cerah Dirga sekejap kembali menggelap. Dia menatap Barra yang membalas ucapan kakaknya dengan sebuah senyuman.Barra tidak bisa menolak, tapi dia perlu waktu sebentar untuk memproses segala informasi. Demikian, dia pun meminta izin untuk menggunakan toilet.“Silakan ke arah yang dituju Sasmi,” kata Dirga, tidak berniat menunjukkan jalan lebih lanjut.Barra mengangguk dan berlalu dari ruang tamu. Kepalanya dipenuhi peristiwa-peristiwa yang berfokus pada kakaknya.Kana telah menikah dengan Dirga Dewantara sebagai istri kedua dan kini tinggal bersama suami beserta istri pertama pria itu saja sudah merupakan sebuah kejutan bagi Barra. Kini ditambah kakaknya telah mengandung, padahal keduanya baru dua bulan menikah?Tak elak Barra akui, dirinya diselimuti sebuah perasaan aneh memikirkan hal tersebut. Meskipun memang ia mengkhawatirkan kakak perempuan satu-satunya itu, tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.“Baru saja hamil muda, sudah menyusahkan. Bagaimana kalau setelah melahirkan?”Langkah Barra terhenti ketika mendengar kata-kata itu. Ia berhenti tepat sebelum kelokan menuju dapur. Keningnya berkerut mendapati dua kalimat singkat tersebut dikatakan dengan nada gusar dan penuh kebencian, serta diiringi isakan dari lawan bicaranya. Siapa–“Tuan Dirga sudah be-berubah banyak, Nyonya.”Barra mengenali suara si asisten rumah tangga yang tadi mengantarkan minuman ke ruang tamu, diikuti oleh isakan-isakan kecil. Sepertinya, wanita tersebut merasa sakit hati setelah diusir Dirga tadi.Lalu, apakah sosok yang dipanggil ‘nyonya’ itu adalah istri pertama Dirga?Ingin mendengarkan lebih jauh, Barra menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan kedua tangan berada di dalam saku celana. Meskipun awalnya tidak berniat mencuri dengar, tetapi Barra penasaran dengan apa yang akan mereka ocehkan tentang kakaknya dan mengapa kedua orang itu terdengar tidak suka dengan Kana.“Ya, aku bisa lihat,” sahut sang nyonya. Suara wanita itu terdengar angkuh, meskipun Barra menemukan kegelisahan dalam kata-katanya.“Saya tidak menyangka di balik wajah polosnya, Arkana cukup licik, Nyonya Helena.”Barra sedikit menoleh mendengar penuturan si asisten rumah tangga. Siapa tadi namanya? Sasti? Sasmi?Tidak penting, yang jelas … Barra tidak menyukai perempuan yang baru saja menghina kakaknya itu.“Perempuan itu pasti akan menggunakan kehamilannya lebih jauh lagi untuk mengambil perhatian Tuan Dirga,” imbuh Sasmi.Wanita yang dipanggil ‘Helena’ itu mendengus. "Perhatian hanyalah perhatian, Sasmi. Perempuan itu tidak akan mampu merebut cinta Dirga," ucap Helena.Mendengar hal itu, raut wajah Barra terlihat buruk. Sebelumnya Dirga mengatakan bahwa Kana diperlakukan dengan baik di sini. Namun, kenyataannya, dalam waktu setengah jam ia bertamu, Barra sudah menemukan dua orang yang kurang menyukai keberadaan Kana di sini.Tidak bisa dicegah, Barra kembali khawatir tentang sang kakak."Meskipun, memang, Dirga menjadi agak berlebihan karena kehamilan Arkana." Helena kembali melanjutkan.Ah, baik. Barra mengangguk. Mungkin memang sebaiknya Barra mulai memercayai kakak iparnya itu. Dari cara bicara Helena, kentara bahwa Dirga memang memperhatikan Kana … betapapun Barra merasa terganggu dengan kenyataan itu.Namun, bukan masalah. Yang paling penting adalah kebahagiaan Kana."Semoga hal itu tidak berlangsung terlalu lama ya, Nyonya."Barra mendengar Helena tertawa kecil menanggapi ucapan Sasmi. "Hanya selama kehamilannya saja. Ingat, Sasmi. Dirga akan menceraikan Arkana begitu ia mendapatkan anak dari perempuan itu."***"Merasa lebih baik?"Kana mengangguk, tersenyum lebih lebar pada suaminya, membuat sudut-sudut bibir Dirga membentuk senyum kecil ketika melihat betapa polosnya wajah sang istri. Meskipun sorot mata pria itu masih saja tampak serius.“Aku akan mengambil kesimpulan kalau kamu tidak terganggu dengan bau tubuhku, kalau begitu,” ucap Dirga kemudian.“Tentu saja tidak!” balas Kana segera. Sebaliknya, perempuan itu justru menyukai aroma tubuh Dirga, yang merupakan perpaduan bau tubuh asli pria itu dan wangi woody, menciptakan kesan maskulin yang digemari Kana. “Tapi aku tidak menyangka kalau aku akan bereaksi sensitif seperti ini.”“Sudah kubilang. Harusnya kita ke rumah sakit,” Dirga menyahut. Namun, selanjutnya pria itu tampak berpikir dengan usulnya dan meralat, “Tidak. Lebih baik aku mencari ahli gizi khusus ibu hamil dan dokter pribadi untukmu.”Kana menghela napas. Ini memang kehamilan pertamanya dan ia benar-benar tidak memiliki pengetahuan dasar. Kana tidak tahu apa yang harus dan tidak boleh ia lakukan, apa yang baiknya ia hindari, maupun apa saja yang baik untuk dirinya dan si buah hati.Tidak hanya itu, Kana juga tidak memiliki tempat bertanya. Ia tidak mungkin menghubungi Nyonya Mahendra untuk hal ini. Perempuan ini tidak memiliki figur ibu atau sosok wanita lebih tua dan lebih berpengalaman untuk ditanyai.Tanpa sadar, wajah ceria Kana perlahan menjadi suram lantaran memikirkan hal tersebut. Untungnya, Dirga menyadari hal ini. Dengan lembut, pria itu menyentuh tangan Kana dan membawanya ke pangkuan dan menepuk punggung tangan istrinya pelan.“Jangan terlalu memikirkan hal ini sendirian,” ucap Dirga dengan suara rendahnya. “Bayi itu bukan hanya anakmu, Kana.”Kana mengangkat kepala untuk memandang wajah suaminya. Mungkin ini juga merupakan pengaruh hormon, tetapi ia benar-benar merasa terharu dengan kata-kata Dirga.Benar. Janin di dalam perutnya ini adalah anak mereka berdua.Melihat sang istri tampak seperti ingin menangis, Dirga mencoba menenangkan Kana dengan memasang senyum lebih lebar sembari membelai rambut Kana. Perlahan, sorot mata Dirga berubah lembut.Ia tidak tahu berapa lama mereka ada dalam posisi itu. Namun, Dirga baru menyadari bahwa wajah mereka berdua hanya berjarak beberapa senti dan keduanya nyaris berciuman ketika tiba-tiba Dirga mendengar suara dehaman."Aku tidak bisa menemukan kamar kecil." Detik berikutnya, suara Barra terdengar.Dirga langsung menoleh ke arah adik angkat Kana tersebut dan sorot mata kedua pria tersebut bertemu, tampak dingin dan kaku."Sebenarnya letaknya tidak begitu sulit," ucap Kana, menyembunyikan sikap canggungnya dengan berbicara meskipun wajahnya memerah. Ia bangkit berdiri. "Ayo kuantar, Bar."Kana merutuki dirinya sendiri karena telalu terbawa suasana. Beruntung bukan Helena yang datang. Ia benar-benar tidak ingin memicu konflik atau emosi apa pun dari kakak madunya tersebut."Tidak perlu, Kak." Barra langsung menolak. Pria itu kembali duduk di hadapan Dirga dan Kana. "Ayo lanjut mengobrol saja."Kana kembali duduk di samping suaminya, meskipun ia merasa heran.'Kenapa Barra memasang wajah yang begitu serius?' batin perempuan itu.Tepat ketika Kana memikirkan hal tersebut, Barra pun mengalihkan perhatiannya kepada Dirga. "Dirga, apa kamu menikahi kakakku hanya untuk mendapatkan keturunan?"Mata Kana melebar, merasa terkejut. Namun, perempuan itu lantas menanggapinya dengan tertawa kecil.
“Yang benar saja, Bar,” ucap Kana. Apakah adiknya itu mencoba mencairkan suasana dengan candaan seperti biasanya? Ia mengulum senyum dan menoleh pada Dirga.
Melihat Dirga hanya terdiam dan tidak merespons, senyuman di wajah Kana menghilang. Ditambah kepala Dirga perlahan menunduk dan seakan berpikir keras untuk memberikan sebuah jawaban, dada Kana merasa sesak.
Dengan alis bertaut, Kana pun berujar, “Dirga?”
Waduh, kok reaksinya Dirga begitu. Kira-kira Dirga bakal gimana ya setelah "ditembak"?
“Dirga?” Kana memanggil sang suami. Dia mencengkeram ujung pakaiannya. “Dirga, yang Barra bilang–” "Aku tidak tahan lagi,” gumam Dirga secara mendadak. Pria itu mengangkat pandangannya dan menatap marah sosok Barra. “Apa maksudmu?” Suara Dirga terdengar dingin ketika menyahuti ucapan Barra, membuat Kana langsung terdiam. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Ia menyadari bahwa sedetik setelah suaminya mendengar pertanyaan itu, aura yang menyelimuti tubuh pria itu berubah gelap dan mengerikan. Namun, walaupun demikian, Barra tidak takut. Pria itu memandang lurus kepada suami kakaknya itu. "Aku pikir pertanyaanku mudah dipahami," balasnya. “Apa kamu menikahi kakakku hanya untuk seorang anak?” Ada rasa marah yang tersirat dari nada bicaranya. "Tidak ada masalah dengan pertanyaanmu," sahut Dirga. "Yang tidak bisa kupahami adalah sikapmu." Dirga dengan jelas tidak dapat mengiakan pertanyaan Barra. Tidak hanya pria di hadapannya ini akan menghajarnya, Dirga juga bisa mema
“Helena, hentikan!” Suara Dirga terdengar keras, kentara terkejut dengan apa yang baru saja istri pertamanya lakukan. Baru saja Dirga pulang dari kantor dengan niat membawa Kana berkonsultasi ke dokter. Namun, niatan tersebut terhenti lantaran Helena berkata ingin bicara dua mata dengan pria itu. Tidak pernah dia duga bahwa Helena akan tiba-tiba memojokkannya, mendorong Dirga ke tempat tidur dan mencium pria itu setelah ia duduk di pangkuan sang suami. Terkejut, Dirga berusaha dengan lembut mendorong Helena menjauh. Akan tetapi, tingkah Helena justru makin menjadi hingga Dirga harus mendorong wanita itu dengan kuat dan menarik dingin dengan paksa. “Apa yang kamu pikir kamu laku–” Belum sempat Dirga menyelesaikan ucapannya, Helena terlebih memotongnya, "Kamu jatuh cinta pada Arkana.” Itu tidak terdengar seperti pertanyaan, melainkan pernyataan. Dirga membeku, menampakkan wajah terkejut. "Kenapa diam, Dirga?” tekan Helena dengan air mata menuruni wajahnya. “Itu alasan kamu menola
“Jangan pernah mengungkit hal ini lagi,” titah Dirga dengan tatapan dingin. “Aku akan anggap percakapan ini tidak pernah terjadi,” imbuh pria itu seraya mengendurkan dasi yang melingkari lehernya. Dirga berdiri, kemudian berjalan ke pintu, meninggalkan Helena yang tidak berani menahannya pergi. “Lagi pula," kata Dirga sebelum keluar. "Kamu harus ingat, Helen. Pernikahan ini adalah perintah darimu.” *** "Arkana?" Kana mendongak ketika mendengar suara tersebut dan terkesiap karena melihat suaminya. Mata perempuan itu turut melebar, tanpa bisa ditahan. Sejak tadi ia menunggu Dirga di kamar karena suaminya tersebut mengajaknya untuk pergi konsultasi ke dokter. Meskipun melalui telepon Dirga mengatakan bahwa ia akan sampai dalam beberapa menit, pria itu tidak kunjung datang. Kana tidak tahu apa yang terjadi hingga Dirga muncul dengan penampilan berantakan seperti ini. Belum lagi ekspresi pria yang biasanya tampak dingin dan tenang tersebut kini terlihat– Seperti malam itu, ketika D
“Ah.” Kana tertegun mendengar kalimat tersebut keluar dari si wanita asing, sebelum kemudian tersenyum ramah. “Halo.” Sebelumnya, Kana tidak pernah bertemu dengan wanita tersebut, mengingat pernikahan kecilnya hanya dihadiri segelintir orang–bahkan keluarga Dirga pun tidak hadir. Istri kedua Dirga itu berniat menghampiri sang tamu untuk bersalaman, tetapi Dirga menahan Kana agar tetap di sebelahnya. “Ibuku sudah meninggal,” kata Dirga dengan suara dinginnya, membuat Kana menoleh pada pria itu seketika. Perempuan itu bisa melihat kebencian pada sorot mata suaminya. Tentunya Kana tahu bahwa ibu kandung Dirga sudah meninggal. Pria itu sempat menyinggungnya sebelum mereka menikah. Kana juga sempat menduga bahwa hubungan suaminya dengan ayah serta sang ibu tiri tidak terlalu baik, tetapi ia tidak menyangka bahwa Dirga membenci ibu tirinya. Kana tidak pernah berpikir Dirga memiliki emosi negatif sekuat itu. Namun, kembali lagi–suaminya tersebut memang sedikit rumit. Sementara itu, sang
"Oh. Lama tidak bertemu, Helen." Langkah Helena terhenti ketika mendengar suara yang tidak asing itu. Benar saja. Elia sedang duduk dengan santainya di sofa ruang tamu. Wanita paruh baya itu tersenyum sembari melambaikan tangan. 'Apa yang wanita itu lakukan di sini? Di mana Dirga?' batin Helena. "Suamimu tadi pergi bersama istri keduanya," ucap Elia seakan tahu apa yang ada dalam pikiran Helena. "Kamu dan Dirga sama saja. Bagaimana bisa kalian tidak membalas sapaanku?" Mendengar hal itu, Helena memasang senyum pura-puranya dan duduk di hadapan Elia. Tidak ada untungnya bersikap tidak ramah apabila Dirga tidak di rumah. "Selamat malam, Tante." Elia mendengus. "Memang hanya Arkana yang ramah padaku di sini ya. Sayang sekali dia sedang pergi kencan dengan Dirga." Helena tetap berusaha tersenyum meskipun mendengar informasi baru tersebut. Meskipun terakhir kali Dirga memarahinya dan sekarang sudah cukup larut. Helena akan menghubungi suaminya tersebut setelah ini, tetapi ia harus b
"Ada apa, Tante?" Elia tersenyum kecil. “Boleh masuk? Ada yang mau Ibu bicarakan.” Kana tampak ragu untuk sesaat, mengingat peringatan Dirga tadi malam. Namun, apabila Kana menolak, kemungkinan ia akan menciptakan masalah baru untuk Dirga lantaran sebelumnya Elia menyinggung bahwa wanita paruh baya tersebut di sini atas perintah sang kakek, kepala keluarga Dewantara. Lagi pula, tidak baik menciptakan musuh baru, bukan? “Silakan, Tante.” Kana membuka pintu kamarnya lebih lebar. Ia kemudian mengajak Elia duduk di sofa. Ibu tiri Dirga tersebut menggenggam tangan Kana dengan kedua tangannya. Kana melihat bagaimana Elia tetap memasang senyumnya, tetapi mata wanita itu tampak sedih. “Kana,” ucap Elia kemudian. Suaranya terdengar lembut. “Aku tahu Dirga memperlakukanku seperti orang asing. Tapi apakah kamu juga harus memperlakukanku seperti itu?” Kana tampak terkejut. Ia buru-buru menunduk. “Saya tidak bermaksud seperti itu, Tante.” Elia menghela napas, tampak kecewa karena Kana masih
Dirga baru masuk ke dalam mobil dan berniat pergi ke tempat istri keduanya ketika ponsel pria itu berdering. Kata ‘Kakek’ muncul di layar, membuat mata hitam Dirga berkilat marah. Tidak ada yang sesuai dengan keinginannya sejak pagi. Bahkan tampaknya Kana yang ia peringatkan sebelumnya pun kini mengabaikannya dan bergabung dengan istri kedua sang ayah. Dirga harus mengurusnya nanti.“Kakek,” sapa Dirga singkat setelah ia mengangkat panggilan tersebut. Pria itu mendengarkan suara lawan bicaranya di ujung lain saluran telepon selama beberapa waktu. Tangannya menggenggam kemudi dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih.Hingga tiba-tiba, tepat ketika sang kakek memutuskan sambungan telepon, Dirga melempar ponselnya ke kursi penumpang di sampingnya berkat informasi terbaru yang baru saja ia dapatkan.Kakeknya tidak pernah mengirim Elia ke rumahnya. Dari sini Dirga tahu bahwa wanita itu memang berniat menggagalkan rencana Dirga untuk menjadi penerus sang kakek dengan mencelakai Kana.“D
"Astaga, Kana!"Elia tidak menyangka bahwa ia bisa membodohi istri kedua Dirga semudah ini. Ternyata memang benar, paling baik memanglah bersandiwara sebagai seorang ibu bagi sosok yang tidak pernah mendapatkan figur ibu dalam hidupnya.Buktinya, Kana jatuh dengan mudah. Elia bisa membuat perempuan itu melakukan hal-hal yang ia inginkan sampai akhirnya Kana kelelahan, meskipun Elia harus meminta beberapa orang suruhan untuk menjadi temannya dan membuat Kana makin tertekan.Namun, toh, hal tersebut berhasil.Dengan begini, Elia bisa dengan mudah menyingkirkan janin yang ada di perut Kana. Tanpa calon bayi itu, Dirga tidak akan memenuhi syarat menjadi penerus Keluarga Dewantara. Dengan sedikit dorongan lagi–"Jika terjadi sesuatu pada mereka, aku akan membuatmu membayar dengan harga yang pantas."Celakanya bagi Elia, Dirga datang saat itu bersama beberapa orang penjaga yang langsung mencengkeram kedua lengan Elia dan membawa wanita paruh baya itu menjauh, sementara Dirga mengangkat tubuh
"Astaga, Kana!"Elia tidak menyangka bahwa ia bisa membodohi istri kedua Dirga semudah ini. Ternyata memang benar, paling baik memanglah bersandiwara sebagai seorang ibu bagi sosok yang tidak pernah mendapatkan figur ibu dalam hidupnya.Buktinya, Kana jatuh dengan mudah. Elia bisa membuat perempuan itu melakukan hal-hal yang ia inginkan sampai akhirnya Kana kelelahan, meskipun Elia harus meminta beberapa orang suruhan untuk menjadi temannya dan membuat Kana makin tertekan.Namun, toh, hal tersebut berhasil.Dengan begini, Elia bisa dengan mudah menyingkirkan janin yang ada di perut Kana. Tanpa calon bayi itu, Dirga tidak akan memenuhi syarat menjadi penerus Keluarga Dewantara. Dengan sedikit dorongan lagi–"Jika terjadi sesuatu pada mereka, aku akan membuatmu membayar dengan harga yang pantas."Celakanya bagi Elia, Dirga datang saat itu bersama beberapa orang penjaga yang langsung mencengkeram kedua lengan Elia dan membawa wanita paruh baya itu menjauh, sementara Dirga mengangkat tubuh
Dirga baru masuk ke dalam mobil dan berniat pergi ke tempat istri keduanya ketika ponsel pria itu berdering. Kata ‘Kakek’ muncul di layar, membuat mata hitam Dirga berkilat marah. Tidak ada yang sesuai dengan keinginannya sejak pagi. Bahkan tampaknya Kana yang ia peringatkan sebelumnya pun kini mengabaikannya dan bergabung dengan istri kedua sang ayah. Dirga harus mengurusnya nanti.“Kakek,” sapa Dirga singkat setelah ia mengangkat panggilan tersebut. Pria itu mendengarkan suara lawan bicaranya di ujung lain saluran telepon selama beberapa waktu. Tangannya menggenggam kemudi dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih.Hingga tiba-tiba, tepat ketika sang kakek memutuskan sambungan telepon, Dirga melempar ponselnya ke kursi penumpang di sampingnya berkat informasi terbaru yang baru saja ia dapatkan.Kakeknya tidak pernah mengirim Elia ke rumahnya. Dari sini Dirga tahu bahwa wanita itu memang berniat menggagalkan rencana Dirga untuk menjadi penerus sang kakek dengan mencelakai Kana.“D
"Ada apa, Tante?" Elia tersenyum kecil. “Boleh masuk? Ada yang mau Ibu bicarakan.” Kana tampak ragu untuk sesaat, mengingat peringatan Dirga tadi malam. Namun, apabila Kana menolak, kemungkinan ia akan menciptakan masalah baru untuk Dirga lantaran sebelumnya Elia menyinggung bahwa wanita paruh baya tersebut di sini atas perintah sang kakek, kepala keluarga Dewantara. Lagi pula, tidak baik menciptakan musuh baru, bukan? “Silakan, Tante.” Kana membuka pintu kamarnya lebih lebar. Ia kemudian mengajak Elia duduk di sofa. Ibu tiri Dirga tersebut menggenggam tangan Kana dengan kedua tangannya. Kana melihat bagaimana Elia tetap memasang senyumnya, tetapi mata wanita itu tampak sedih. “Kana,” ucap Elia kemudian. Suaranya terdengar lembut. “Aku tahu Dirga memperlakukanku seperti orang asing. Tapi apakah kamu juga harus memperlakukanku seperti itu?” Kana tampak terkejut. Ia buru-buru menunduk. “Saya tidak bermaksud seperti itu, Tante.” Elia menghela napas, tampak kecewa karena Kana masih
"Oh. Lama tidak bertemu, Helen." Langkah Helena terhenti ketika mendengar suara yang tidak asing itu. Benar saja. Elia sedang duduk dengan santainya di sofa ruang tamu. Wanita paruh baya itu tersenyum sembari melambaikan tangan. 'Apa yang wanita itu lakukan di sini? Di mana Dirga?' batin Helena. "Suamimu tadi pergi bersama istri keduanya," ucap Elia seakan tahu apa yang ada dalam pikiran Helena. "Kamu dan Dirga sama saja. Bagaimana bisa kalian tidak membalas sapaanku?" Mendengar hal itu, Helena memasang senyum pura-puranya dan duduk di hadapan Elia. Tidak ada untungnya bersikap tidak ramah apabila Dirga tidak di rumah. "Selamat malam, Tante." Elia mendengus. "Memang hanya Arkana yang ramah padaku di sini ya. Sayang sekali dia sedang pergi kencan dengan Dirga." Helena tetap berusaha tersenyum meskipun mendengar informasi baru tersebut. Meskipun terakhir kali Dirga memarahinya dan sekarang sudah cukup larut. Helena akan menghubungi suaminya tersebut setelah ini, tetapi ia harus b
“Ah.” Kana tertegun mendengar kalimat tersebut keluar dari si wanita asing, sebelum kemudian tersenyum ramah. “Halo.” Sebelumnya, Kana tidak pernah bertemu dengan wanita tersebut, mengingat pernikahan kecilnya hanya dihadiri segelintir orang–bahkan keluarga Dirga pun tidak hadir. Istri kedua Dirga itu berniat menghampiri sang tamu untuk bersalaman, tetapi Dirga menahan Kana agar tetap di sebelahnya. “Ibuku sudah meninggal,” kata Dirga dengan suara dinginnya, membuat Kana menoleh pada pria itu seketika. Perempuan itu bisa melihat kebencian pada sorot mata suaminya. Tentunya Kana tahu bahwa ibu kandung Dirga sudah meninggal. Pria itu sempat menyinggungnya sebelum mereka menikah. Kana juga sempat menduga bahwa hubungan suaminya dengan ayah serta sang ibu tiri tidak terlalu baik, tetapi ia tidak menyangka bahwa Dirga membenci ibu tirinya. Kana tidak pernah berpikir Dirga memiliki emosi negatif sekuat itu. Namun, kembali lagi–suaminya tersebut memang sedikit rumit. Sementara itu, sang
“Jangan pernah mengungkit hal ini lagi,” titah Dirga dengan tatapan dingin. “Aku akan anggap percakapan ini tidak pernah terjadi,” imbuh pria itu seraya mengendurkan dasi yang melingkari lehernya. Dirga berdiri, kemudian berjalan ke pintu, meninggalkan Helena yang tidak berani menahannya pergi. “Lagi pula," kata Dirga sebelum keluar. "Kamu harus ingat, Helen. Pernikahan ini adalah perintah darimu.” *** "Arkana?" Kana mendongak ketika mendengar suara tersebut dan terkesiap karena melihat suaminya. Mata perempuan itu turut melebar, tanpa bisa ditahan. Sejak tadi ia menunggu Dirga di kamar karena suaminya tersebut mengajaknya untuk pergi konsultasi ke dokter. Meskipun melalui telepon Dirga mengatakan bahwa ia akan sampai dalam beberapa menit, pria itu tidak kunjung datang. Kana tidak tahu apa yang terjadi hingga Dirga muncul dengan penampilan berantakan seperti ini. Belum lagi ekspresi pria yang biasanya tampak dingin dan tenang tersebut kini terlihat– Seperti malam itu, ketika D
“Helena, hentikan!” Suara Dirga terdengar keras, kentara terkejut dengan apa yang baru saja istri pertamanya lakukan. Baru saja Dirga pulang dari kantor dengan niat membawa Kana berkonsultasi ke dokter. Namun, niatan tersebut terhenti lantaran Helena berkata ingin bicara dua mata dengan pria itu. Tidak pernah dia duga bahwa Helena akan tiba-tiba memojokkannya, mendorong Dirga ke tempat tidur dan mencium pria itu setelah ia duduk di pangkuan sang suami. Terkejut, Dirga berusaha dengan lembut mendorong Helena menjauh. Akan tetapi, tingkah Helena justru makin menjadi hingga Dirga harus mendorong wanita itu dengan kuat dan menarik dingin dengan paksa. “Apa yang kamu pikir kamu laku–” Belum sempat Dirga menyelesaikan ucapannya, Helena terlebih memotongnya, "Kamu jatuh cinta pada Arkana.” Itu tidak terdengar seperti pertanyaan, melainkan pernyataan. Dirga membeku, menampakkan wajah terkejut. "Kenapa diam, Dirga?” tekan Helena dengan air mata menuruni wajahnya. “Itu alasan kamu menola
“Dirga?” Kana memanggil sang suami. Dia mencengkeram ujung pakaiannya. “Dirga, yang Barra bilang–” "Aku tidak tahan lagi,” gumam Dirga secara mendadak. Pria itu mengangkat pandangannya dan menatap marah sosok Barra. “Apa maksudmu?” Suara Dirga terdengar dingin ketika menyahuti ucapan Barra, membuat Kana langsung terdiam. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Ia menyadari bahwa sedetik setelah suaminya mendengar pertanyaan itu, aura yang menyelimuti tubuh pria itu berubah gelap dan mengerikan. Namun, walaupun demikian, Barra tidak takut. Pria itu memandang lurus kepada suami kakaknya itu. "Aku pikir pertanyaanku mudah dipahami," balasnya. “Apa kamu menikahi kakakku hanya untuk seorang anak?” Ada rasa marah yang tersirat dari nada bicaranya. "Tidak ada masalah dengan pertanyaanmu," sahut Dirga. "Yang tidak bisa kupahami adalah sikapmu." Dirga dengan jelas tidak dapat mengiakan pertanyaan Barra. Tidak hanya pria di hadapannya ini akan menghajarnya, Dirga juga bisa mema
“Sa-saya, Tuan?” Sasmi tergagap. Ia menunduk dalam-dalam. Sorot mata Dirga begitu tajam dan menusuk, membuatnya ciut.“Aku tidak suka mengulangi kata-kataku.” Dirga langsung berbalik dan menghampiri Kana setelahnya, tanpa memedulikan Sasmi yang membungkuk hormat sebelum undur diri, kembali ke dapur. “Sudah tidak apa-apa?” tanya pria itu kemudian sembari menyodorkan segelas air putih pada istri keduanya. Berbeda ketika ia bicara dengan Sasmi tadi, nada suara Dirga terdengar lebih lembut dan hangat. Sorot matanya juga lebih ramah.Dengan ragu, Kana menurunkan tangan yang menutupi hidung dan mulutnya sejak tadi. Perasaan mualnya menghilang begitu saja. Dengan tenang, perempuan itu meneguk air putih yang disodorkan Dirga sementara dengan tangannya yang bebas, suaminya tersebut merapikan anak rambut Kana dengan hati-hati.Tepat seperti dugaan Dirga, Sasmilah penyebab Kana merasa mual sebelumnya. Beruntung tadi Dirga mampu menghubungkan kondisi istri keduanya tersebut dengan informasi yang