Suara alat-alat rumah sakit menggema ditelinga anak perempuan itu, dia sedang menangisi ibunya yang telah lama tidak mau membuka mata lagi. Di umur yang masih sangat kecil, gadis itu harus mengenal rasa sakit hati, kesepian, sendirian. Ya, gadis kecil itu menunggu Ibu nya setiap hari agar terbangun dari tidur panjangnya.
Suara tangisannya semakin keras, disusul dengan suara mendengung dari layar pendeteksi detak jantung yang menunjukkan gelombang dan kini berubah menjadi garis lurus. Para perawat datang ke ruangan itu, tubuh gadis kecil itu digendong oleh salah satu perawat wanita dan membawanya menjauh dari ibunya yang dia ketahui sudah meniggal dunia.
Disaat anak seusianya bermain-main hingga tak ingat waktu, memainkan banyak permainan bersama teman-temannya seperti main bola bekel, congklak, gobak sodor, engklek, ular tangga, boneka kertas, yoyo, petak umpet, atau main petasan dari tumbuhan. Terpikirkan saja tidak olehAlsava Grizelle, anak 6 tahun itu. Hidupnya bak ratu yang terkurung di istana mewah dengan banyak pengawal yang menjaganya, bergelimang harta dan tak pernah kekurangan namun tidak mengenal kata bahagia.
Hari terburuk dimulai sewaktu Alsava sedang tertidur lelap di malam hari dan tidak sengaja terbangun karena merasa haus. Saat sampai di dapur, Alsava mendengar suara benda terjatuh dengan keras, membuatnya tersentak. Niat untuk mengambil minum dia urungkan, rasa penasarannya sangat besar dibandingkan rasa hausnya.
Saat itu juga, diruangan tengah, Alsava melihatnya. Dia melihat ayahnya menampar, menjambak dan membenturkan kepala ibunya ke tembok. Alsava berteriak, berusaha menghentikan aksi gila ayah terhadap ibunya.
Ayah Alsava akhirnya berhenti, keduanya terkejut melihat sosok gadis kecil berdiri di dekat tangga dengan air mata yang sudah berlinang. Ayahnya hendak menghampiri Alsava namun gadis kecil itu lebih dulu berlari menaiki tangga untuk sampai ke atas menuju kamarnya lagi. Dia menutup pintu dan menguncinya. Suara Ayah Alsava terdengar ada di balik pintu Alsava, memanggilnya dengan lembut. Tapi bujuk rayu apapun tidak akan bisa membuat Alsava membuka pintunya, bahkan dia lebih baik tertidur dan menahan hausnya hingga besok pagi. Alsava rela melakukan itu dibandingkan harus membuka pintu dan melihat wajah ayahnya.
Alsava masih mengingatnya dengan jelas kondisi Ibunya waktu itu, sudut bibir Ibu Alsava sudah berdarah, matanya bengkak dan merah. Semenjak kejadian itu, Ayah telah meninggalkan sebuah luka besar di hati Alsava kecil. Ayah yang biasanya menjadi cinta pertama anak gadisnya, kali itu dia menjadi patah hati pertama Alsava Grizelle.
****
kehidupan di rumah berubah drastis.
Rumah bagi Alsava seperti neraka, kalau dulu kepulangan Ayahnya selalu membuat Alsava senang, kini justru anomali. Kepulangan Ayah Alsava jadi sesuatu yang ditakuti, karena dia akan marah ke Ibu Alsava atau mencari-cari kesalahan, seperti gosokan baju tidak terlalu rapi, susunan berantakan di lemari, masakan yang terlalu asin, atau Ibunya lupa menggosok sepatu kerja Ayah Alsava yang akan dipakai di pagi hari. Kekerasan jadi makanan sehari-hari. Ayah Alsava jadi ringan tangan dan tidak merasa kalau dia melakukan kesalahan.
Kalau seandainya Ibu Alsava dipukuli, Alsava hanya bisa berharap, Panji Manusia Millenium, Gerhana, si Toloy, dan berbagai pahlawan yang sering Alsava tonton di TV bisa datang membantu.
Bahkan Alsava sempat berpikir untuk ingin menjadi dewasa, agar bisa membantu Ibunya untuk membalas perbuata ayahnya.
****
Hujan sore itu tidak begitu deras, namun rintikannya terasa menyakitkan bagi Alsava yang baru saja beberapa jam ditinggal pergi oleh orang yang sangat dirinya cintai, sayangi dan miliki.
Kini yang dia rasakan hanyalah kesepian, dia sendirian disini. Semua orang yang mengantar satu per satu telah pergi untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Lambat laun orang yang disayanginya akan dilupakan seiring berjalannya waktu. Didepan pusara Ibunya, tangisan Alsava akhirnya pecah, air matanya luruh begitu saja menetes bersamaan dengan ar hujan yang menemaninya runtuh. Alsava kecil menangis di makam ibunya sendirian. Ayahnya menunggu diparkiran terlebih dahulu karena Alsava tidak ingin ikut bersamannya.
Tangan kecilnya bergerak kearah patok kayu yang bertuliskan nama ibunya. Alsava memeluknya dengan erat, masih teringat pelukan hangat yang dulu sempat tercipta diantara keduanya, seakan semua tidak mungkin secepat ini menghilang. Dan yang tersisa hanya kenangan yang sang Mama tinggalkan, tidak ada lagi waktu untuk mereka bersama.
“Kenapa Mama pergi sendirian? Kenapa nggak ajak Cava, Ma?” ucapnya begitu lirih dengan tangisan yang luruh. Perkataan Alsava juga masih cadel.
Hari itu, Alsava merasa dirinya paling menderita di dunia. Seakan tadir begitu jahat padanya. Dengan segala luka yang dia sudah rasakan di umur yang terlalu dini, memunculkan sebuah pertanyaan yang tertahan dibenaknya:
Kalau memang Alsava tidak disayang, untuk apa Alsava lahir di dunia?
Ada sebuah standar konstruksi sosial yang Alsava benci selama hidup sebagai seorang permpuan di Indonesia. Pertama, seorang perempuan tidak boleh lebih tinggi pendidikannya daripada laki-laki atau risikonya adalah akan sedikit laki-laki yang mau pedekate. Alsava pernah disindir oleh Bibinya saat perkumpulan keluarga. “Jadi perempuan itu, ya nggak perlu sekolah tinggi-tinggi toh ujungnya nanti bakal bekerja di dapur, laki-laki juga kan punya ego yang tinggi, nggak mau dikalahkan sama perempuan.”Alsava yang panas pun langsung menjawab, “Tapi Bu, perempuan itu calon ibu yng bakal mendidik anak-anaknya kelak. Pendidikan pertama seorang anak didapat dari rumah, bukankah punya kebanggaan sendiri kalau punya istri dan ibu yang cerdas? Lagipula Bu, saya nggak mau menurunkan standar hidup saya hanya demi seorang laki-laki.”Alhasil tiap kali ada perkumpulan keluarga, Alsava jarang datang hanya untuk menghindari pertanyaan seputar “Kapan menikah?&r
“Ah masa nggak ada fotonya di sosmed?”“Anaknya tuh old fashioned banger, anjir. Nggak up to date. Lo nanyain berita-berita yang lagi hits juga dia nggak tahu.”“Boleh deh, bentar gue cek jadwal gue.”“Tuan ratu dengan jadwalnya yang super sibuk,” sindir Sofie.Alsava membuka kalender di ponselnya. Mengecek jadwal. “Hari Minggu gimana? Pukul 10-an gitu di kafe Vresteck.”“Dih enak banget lo asal buat jadwal, dimana-mana nih kalau ajak ketemuan harus menyamakan jadwal kedua belah pihak.”“Halah, gue tahu jadwal rakyat jelata kayak lo semua jam segini mah nggak ada kegiatan apa-apa.”“Kampret!” Kalau bukan Alsava yang bilang, mungkin es jeruk di depan Sofie sudah melayang. Mereka kena
“Hm, nggak ada yang salah, sih, tapi emang kamu hidup nggak mau punya ambisi?”“Ambisi sama obsesi beda lho ya.” Alsava mengangguk. “Btw, kamu keren di usia muda udah jadi founder. Pasti capek, ya?” Alsava terkejut dengan pertanyaan itu, karena biasanya orang-orang yang bertanya justru akan bilang, “Duh beruntung deh jadi kamu!” atau “Gimana sih caranya se-sukses ini?”“Excuse me? Capek gimana maksudnya?”“Yah iya, kamu udah berhasil di usia muda … pasti kehilangan banyak waktu, kan? Waktu main sama teman-teman, waktu istirahat, waktu buat leha-leha, waktu buat refreshing.” Alsava sama sekali tidak menyangka kalimat itu yang akan keluar dari bibir Alan. Namun di sisi lain, kalimat Alan terdengar seakan bisa membaca isi pikirannya. Perhatian Alsava kembai berkelana. Alan punya tangan yang ganteng—oke bisa dibilang ini
“Ya nggak gitu juga Va, meskipun Cuma kontrak tapi kan, ya, dia punya keluarga.” “Lusa dia bakal ngajak gue ketemu keluarganya, habis itu gue bawa dia ketemu keluarga gue. Selesai. Apa yang harus dipermasalahkan, deh?” Belum selesai percakapan kedua orang itu, Sofie muncul di pintu sambil menenteng higheels. Matanya menatap nyalang pada Alsava. “dasar wanita jahanam lo ya, bikin gue kaget! Gue nyaris nabrak mobil orang tahu nggak? Gara-gara VN yang lo kirimin di grup dan bilang lo mau kawin. Udah gila lo? Alsava, lo tuh ngajak kawin anak orang loh!” “Apasih reaksi lo berdua lebay banget dih.” Alsava memutar bola matanya dan membuat kedua temannya menahan diri untuk tidak menghantam kepalanya dengan vas bunga mewah di meja. “Lagian ngapain sih perihal kawin tuh diperlambat?” “Tauk deh, capek ngomong sama lo.” Alsava tersenyum sambil melihat tandatangan Ala
“Dih emang kenapa kalau outfit-nya gini?”“Yang ada lo didepak duluan sebelum masuk rumah. Dimana-mana kalau pertemuan keluarga, pakaiannya tuh formal dong!”“Oh, oke.” Alsava mengangguk setuju, tapi formal bagi Alsava rupanya kemeja berwarna putih dipadu jas hitam dan celana dasar yang kontan membuat Rara menepuk kening. “Apa lagi sih? Tadi lo bilang pakaian formal? Lah ini gue turutin.”“Ya nggak gitu juga, Beb. Pakaian lo tuh lebih cocok buat ngelamar kerja daripada ketemuan keluarga. Sini deh gue cariin. Minggir lo!” Rara menyentak tubuh Alsava agar memberikan ruang baginya untuk menjelajah isi lemari Alsava—atau lebih tepatnya dibilang fitted closet karena Alsava memiliki satu ruang khusus yang ukurannya sebesar kamar pribadi hanya untuk menampung pakaian, tas, sepatu, dan berbagai koleksi perhiasan.“Lo itu mau ket
“Hallooooo, selamat datang.” Alsava melihat seorang wanita berparas ramah dengan hidung mancung dan berjilbab menyambutnya, diikuti seorang wanita lainnya. “Ini Alsava, ya?’ Alan tentunya sudah bercerita sedikit mengenai Alsava ke bibinya, dan bibinya meneruskan ke anggota keluarga lain. Alan memiliki pasangan adalah informasi menarik yang harus segera disebarluaskan. “Va, kenalin ini kakak iparku, yang ini Kak Silva,” Alan memperkenalkan wanita berjilbab yang menyambut kali pertama, “istri dari abang sepupuku yang pertama, Kak Yesa. Disebelahnya, Kak Eca, sepupu perempuanku. “Alsava.” Alsava menjawa singkat, berusaha menarik ujung bibirnya yang terasa kaku. Melihat ekspresi Alsava yang kurang nyaman, Alan meletakkan tangannya di punggung Alsava. Tindakan itu sempat membuat Alsava meliriknya, sedikit terkejut. Lalu Alsava mendengar Alan berbisik lirih, “Relax, Va.” Seorang wanita tua muncul, Alsava bisa me
Akhirnya Alsava bisa bernapas lega setelah berpamitan dengan keluarga besar Alan. Sejauh ini, respons mereka bisa dibilang tidak ada yang curiga, sepertinya percaya dengan hubungan antara Alsava dan Alan. Bahkan kakak sepupu Alan sudah memberi kode, bertanya seputar tanggal pernikahan. Alsava kini sudah kembali duduk di boncengan Alan, kembali berpegangan erat karena takut jatuh. Dia memandangi wajah cowok itu dari spion. Alsava tersenyum sumringah, mengeluarkan ponsel, lalu memotret Alan dari spion kecil sembari meletakkan dagunya di pundak Alan.Perfecto.Siapa pun yang melihat foto itu pasti akan berpikir mereka adalah pasangan bahagia yang sedang kasmaran.Soal berpura-pura dan melakukan penyamaran, Alsava memang ratunya. Tepat pukul delapan malam, Alsava sudah sampai di rumah. “Thanks buat malam ini, Va, tinggal satu lagi agenda kita, kan? Ketemu sama keluarga kamu.”
“Alsava? Dari mana aja, Nak? Mami kangen banget sama kamu!” Perhatian Alsava tertuju ke seorang waita paruh baya yang rambutnya sudah sedikit beruban, “nggak keliatan selama ini.” Dia berniat memeluk Alsava, tapi Alsava mengelak, menunjukkan gesture bahwa dia tidak suka disentuh.Wanita itu adalah Nadia, ibu tirinya. Seorang wanita yang dianggap sebagai ibu peri dalam keluarga Grizelle karena mampu memberikan keturunan laki-laki dalam silsilah darah keturunan ayahnya, tapi bagi Alsava, dia tak ubah seorang nenek sihir yang merenggut kehidupan bahagia ibunya.“Alsava? Dari mana aja, sih? Udah lupa ya sama keluarganya?” Celetukan itu berasal dari Tante Yosi, istri dari pamannya. “Waktu lagi di atas aja nggak kelihatan batang hidungnya, eh waktu lagi di bawah, langsung muncul.”“Oh tenang aja, Tante, aku ke sini bukan karena aku lagi di bawah kok. Aku datang masih pakai stiletto yang harganya 80 juta, tas Hermes satu milyar dan juga bawa kabar baik,” Alsava berhenti bicara, memberi efek
Alsava:Aku udah sewa WO buat pernikahan kita. Hari ini undungan udh jadi, Senin dpn kita udh bisa nikah. Acara bakal diadakan di rumahku. What do u think?Alan baru saja terbangun dari tidurnya setelah dia mengantarkan Alsava pulang larut malam karena jalanan baru saja lengang di pukul sepuluh malam—dan jarak antara rumahnya dan rumah Alsava pun terbilang lumayan. Alhasil Alan baru sampai ke rumah di pukul setengah dua belas malam, untungnya Bi Nur sudah tidur, jadi tidak perlu menjawab berbagai rentetan pertanyaan yang pasti akan ditunjukkan untuknya. Dan kali ini, kantuk Alan langsung hilang sewaku membaca chat dari Alsava.Ponselnya bergetar lagi.Alsava:Kau butuh brp undangan? Mau ngundang temen2mu? Keluarga km?”Kali ini bukan kantuk yang menyerang Alan, melainkan sakit kepala. Padahal mereka punya waktu untuk mengobrol di jalan semalaman, tetapi tidak ada satu pun pertanyaan dari Alsava muncul seputar pernikahan mereka. Tidak menyebut undangan atau apa pun, tahu-tahu sudah boo
“Alsava? Dari mana aja, Nak? Mami kangen banget sama kamu!” Perhatian Alsava tertuju ke seorang waita paruh baya yang rambutnya sudah sedikit beruban, “nggak keliatan selama ini.” Dia berniat memeluk Alsava, tapi Alsava mengelak, menunjukkan gesture bahwa dia tidak suka disentuh.Wanita itu adalah Nadia, ibu tirinya. Seorang wanita yang dianggap sebagai ibu peri dalam keluarga Grizelle karena mampu memberikan keturunan laki-laki dalam silsilah darah keturunan ayahnya, tapi bagi Alsava, dia tak ubah seorang nenek sihir yang merenggut kehidupan bahagia ibunya.“Alsava? Dari mana aja, sih? Udah lupa ya sama keluarganya?” Celetukan itu berasal dari Tante Yosi, istri dari pamannya. “Waktu lagi di atas aja nggak kelihatan batang hidungnya, eh waktu lagi di bawah, langsung muncul.”“Oh tenang aja, Tante, aku ke sini bukan karena aku lagi di bawah kok. Aku datang masih pakai stiletto yang harganya 80 juta, tas Hermes satu milyar dan juga bawa kabar baik,” Alsava berhenti bicara, memberi efek
Akhirnya Alsava bisa bernapas lega setelah berpamitan dengan keluarga besar Alan. Sejauh ini, respons mereka bisa dibilang tidak ada yang curiga, sepertinya percaya dengan hubungan antara Alsava dan Alan. Bahkan kakak sepupu Alan sudah memberi kode, bertanya seputar tanggal pernikahan. Alsava kini sudah kembali duduk di boncengan Alan, kembali berpegangan erat karena takut jatuh. Dia memandangi wajah cowok itu dari spion. Alsava tersenyum sumringah, mengeluarkan ponsel, lalu memotret Alan dari spion kecil sembari meletakkan dagunya di pundak Alan.Perfecto.Siapa pun yang melihat foto itu pasti akan berpikir mereka adalah pasangan bahagia yang sedang kasmaran.Soal berpura-pura dan melakukan penyamaran, Alsava memang ratunya. Tepat pukul delapan malam, Alsava sudah sampai di rumah. “Thanks buat malam ini, Va, tinggal satu lagi agenda kita, kan? Ketemu sama keluarga kamu.”
“Hallooooo, selamat datang.” Alsava melihat seorang wanita berparas ramah dengan hidung mancung dan berjilbab menyambutnya, diikuti seorang wanita lainnya. “Ini Alsava, ya?’ Alan tentunya sudah bercerita sedikit mengenai Alsava ke bibinya, dan bibinya meneruskan ke anggota keluarga lain. Alan memiliki pasangan adalah informasi menarik yang harus segera disebarluaskan. “Va, kenalin ini kakak iparku, yang ini Kak Silva,” Alan memperkenalkan wanita berjilbab yang menyambut kali pertama, “istri dari abang sepupuku yang pertama, Kak Yesa. Disebelahnya, Kak Eca, sepupu perempuanku. “Alsava.” Alsava menjawa singkat, berusaha menarik ujung bibirnya yang terasa kaku. Melihat ekspresi Alsava yang kurang nyaman, Alan meletakkan tangannya di punggung Alsava. Tindakan itu sempat membuat Alsava meliriknya, sedikit terkejut. Lalu Alsava mendengar Alan berbisik lirih, “Relax, Va.” Seorang wanita tua muncul, Alsava bisa me
“Dih emang kenapa kalau outfit-nya gini?”“Yang ada lo didepak duluan sebelum masuk rumah. Dimana-mana kalau pertemuan keluarga, pakaiannya tuh formal dong!”“Oh, oke.” Alsava mengangguk setuju, tapi formal bagi Alsava rupanya kemeja berwarna putih dipadu jas hitam dan celana dasar yang kontan membuat Rara menepuk kening. “Apa lagi sih? Tadi lo bilang pakaian formal? Lah ini gue turutin.”“Ya nggak gitu juga, Beb. Pakaian lo tuh lebih cocok buat ngelamar kerja daripada ketemuan keluarga. Sini deh gue cariin. Minggir lo!” Rara menyentak tubuh Alsava agar memberikan ruang baginya untuk menjelajah isi lemari Alsava—atau lebih tepatnya dibilang fitted closet karena Alsava memiliki satu ruang khusus yang ukurannya sebesar kamar pribadi hanya untuk menampung pakaian, tas, sepatu, dan berbagai koleksi perhiasan.“Lo itu mau ket
“Ya nggak gitu juga Va, meskipun Cuma kontrak tapi kan, ya, dia punya keluarga.” “Lusa dia bakal ngajak gue ketemu keluarganya, habis itu gue bawa dia ketemu keluarga gue. Selesai. Apa yang harus dipermasalahkan, deh?” Belum selesai percakapan kedua orang itu, Sofie muncul di pintu sambil menenteng higheels. Matanya menatap nyalang pada Alsava. “dasar wanita jahanam lo ya, bikin gue kaget! Gue nyaris nabrak mobil orang tahu nggak? Gara-gara VN yang lo kirimin di grup dan bilang lo mau kawin. Udah gila lo? Alsava, lo tuh ngajak kawin anak orang loh!” “Apasih reaksi lo berdua lebay banget dih.” Alsava memutar bola matanya dan membuat kedua temannya menahan diri untuk tidak menghantam kepalanya dengan vas bunga mewah di meja. “Lagian ngapain sih perihal kawin tuh diperlambat?” “Tauk deh, capek ngomong sama lo.” Alsava tersenyum sambil melihat tandatangan Ala
“Hm, nggak ada yang salah, sih, tapi emang kamu hidup nggak mau punya ambisi?”“Ambisi sama obsesi beda lho ya.” Alsava mengangguk. “Btw, kamu keren di usia muda udah jadi founder. Pasti capek, ya?” Alsava terkejut dengan pertanyaan itu, karena biasanya orang-orang yang bertanya justru akan bilang, “Duh beruntung deh jadi kamu!” atau “Gimana sih caranya se-sukses ini?”“Excuse me? Capek gimana maksudnya?”“Yah iya, kamu udah berhasil di usia muda … pasti kehilangan banyak waktu, kan? Waktu main sama teman-teman, waktu istirahat, waktu buat leha-leha, waktu buat refreshing.” Alsava sama sekali tidak menyangka kalimat itu yang akan keluar dari bibir Alan. Namun di sisi lain, kalimat Alan terdengar seakan bisa membaca isi pikirannya. Perhatian Alsava kembai berkelana. Alan punya tangan yang ganteng—oke bisa dibilang ini
“Ah masa nggak ada fotonya di sosmed?”“Anaknya tuh old fashioned banger, anjir. Nggak up to date. Lo nanyain berita-berita yang lagi hits juga dia nggak tahu.”“Boleh deh, bentar gue cek jadwal gue.”“Tuan ratu dengan jadwalnya yang super sibuk,” sindir Sofie.Alsava membuka kalender di ponselnya. Mengecek jadwal. “Hari Minggu gimana? Pukul 10-an gitu di kafe Vresteck.”“Dih enak banget lo asal buat jadwal, dimana-mana nih kalau ajak ketemuan harus menyamakan jadwal kedua belah pihak.”“Halah, gue tahu jadwal rakyat jelata kayak lo semua jam segini mah nggak ada kegiatan apa-apa.”“Kampret!” Kalau bukan Alsava yang bilang, mungkin es jeruk di depan Sofie sudah melayang. Mereka kena
Ada sebuah standar konstruksi sosial yang Alsava benci selama hidup sebagai seorang permpuan di Indonesia. Pertama, seorang perempuan tidak boleh lebih tinggi pendidikannya daripada laki-laki atau risikonya adalah akan sedikit laki-laki yang mau pedekate. Alsava pernah disindir oleh Bibinya saat perkumpulan keluarga. “Jadi perempuan itu, ya nggak perlu sekolah tinggi-tinggi toh ujungnya nanti bakal bekerja di dapur, laki-laki juga kan punya ego yang tinggi, nggak mau dikalahkan sama perempuan.”Alsava yang panas pun langsung menjawab, “Tapi Bu, perempuan itu calon ibu yng bakal mendidik anak-anaknya kelak. Pendidikan pertama seorang anak didapat dari rumah, bukankah punya kebanggaan sendiri kalau punya istri dan ibu yang cerdas? Lagipula Bu, saya nggak mau menurunkan standar hidup saya hanya demi seorang laki-laki.”Alhasil tiap kali ada perkumpulan keluarga, Alsava jarang datang hanya untuk menghindari pertanyaan seputar “Kapan menikah?&r