Dengan cepat aku merapikan diri. Masih dalam posisi berbaring, aku mendengar jelas suara itu milik siapa. Ray! Yah, itu Ray! Untuk apa dia kesini? Ada perlukah dengan dokter Careld?
Ada perasaan sedikit bersalah kalau mengingat setiap kali aku bercumbu dengan dokter Careld. Lho! Untuk apa? Nggak perlu aku merasa bersalah, toh aku dan dia sudah bebas. Jadi aku mau sama siapa juga nggak ada hubungannya dia .
Terkadang aku merasa aku punya dendam pada setiap laki-laki. Kenapa mereka menyakitiku. Rasanya aku ingin juga menyakiti mereka. Agar mereka merasakan hal yang sama kurasakan.
"Untuk apa kamu ke sini, Ray? Di dalam ada Move. Bagaimana kalau dia nanti mendengar apa yang akan kamu bicarakan. Apalagi tentang kasus tadi siang."
Aku mengerutkan dahi. Apa yang nggak boleh aku dengar? Terus ada kasus apa tadi siang, di mana?
Akh! Aku makin penasaran. Namun kedua laki-laki itu segera pergi ke rumah utama. Aku penasaran sebenarnya apa yang terjadi ha
Silakan mampir dengan karya saya yang lain @Sang Kapten @Fatamorgana
Dengan masih terpaku, Nathan, laki-laki dewasa itu menatap kepergian wanita yang sudah resmi menduduki hatinya dari pertama dia bertemu itu. Benarkah, yang dikatakannya tadi. Bahwa dia ingin dirinya membawa wanita itu pergi jauh dari orang-orang yang menyakitinya. Sebenarnya ada apa degan kehidupan seorang Move, seolah-olah wanita itu sangat menderita. Dari setiap ucapan yang keluar dari mulutnya selalu berupa penekanan bahwa dirinya sudah tidak ingin hidup bersama lingkaran setan. Yang tak mungkin dia lepaskan dengan mudah. Wanita itu seakan meminta bantuan padanya agar bisa terlepas dari sebentuk lingkaran kehidupan yang penuh dengan manipuladi dan skenario bahkan sempat terdengar publik bahwa dirinya menjadi korban konspirasi oleh beberapa orang yang menginginkan kehidupan pribadinya, tanpa terkecuali Raya Dinata. Move Herdianata, Seorang janda yang mandiri dan pekerja keras itu, merelakan hidupnya di skenario dam menjadi bahan konspirasi d
Hari itu juga aku menghilang mendadak. Bahkan ponsel genggam juga aku matiin. Tidak kerja dan juga sudah pindah rumah. Jujur saat ini aku hanya ingin sendiri, menghilang dan tidak ada yang menggangguku. Bahkan tidak ingin aku dengar kabar apapun dan dari siapapun. Tidak ingin pula dicari. Di tempat terpencil ini, aku mulai nyaman. Kabar terakhir dari Nathan, dia sudah terbang ke Los Angeles untuk pekerjaan dinasnya. Dan aku tak perlu apapun lagi dengan dia. Biaya ngontrak rumahnya sudah aku transfer untuk selama 6 bulan. Bulan setelahnya aku akan pergi dari kota ini, berpetualang kemanapun aku mau. Hatiku terperangah, bahkan kata kaget dan terkejut pun sudah tidak bisa menggambarkan reaksiku waktu itu. Ketika aku tahu rahasia besar apa yang disembunyikan oleh keluarga Dinata. Lebih mirisnya, aku yang jadi tokoh utama dari skenario juga konspirasi itu. Alangkah sakitnya aku menerima kenyataan itu. Kenapa aku bisa berurusan dengan orang-orang yang
Melihat notifikasi di ponselnya, jantung Ray seakan berhenti. Ada yang menusuk di ulu hatinya. Siapkah besok dia bertemu dengan sosok yang untuk pertama kali akan dia temuinya. Hatinya tiba-tiba didera kesakitan. Apakah ini cara terbaik. Ketika Move pergi menghilang untuk kesekian kalinya, seseorang yang seperti berhak sekali atas diri perempuan itu. Dengan gontai dia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kerjanya, berusaha membagi berita itu pada keluarganya. "Ma!" suaranya terputus, ketila mendengar panggilannya di sahutin sang mama. "Besok dia, datang" ucapnya sekali lagi yang membuat suara mamanya tiba-tiba menghilang. Ray hanya menghela napas sesak mengetahui orang yang melahirkannya itu seolah sock mendengar kabar itu. Ray tahu betul, sebenarnya wanita separu baya itu juga tidak menginginkan pertemuan yang seperti ini. Untuk pertama kalinya, dia akan bertemu dengan orang yang sangat mirip dengan dirinya bahkan mungkin
Tenggorokan Ray seperti tercekat mendengar permintaan lawan bicaranya di seberang. Hatinya benar-benar berkecamuk. Harus jawab apa dia dengan permintaan laki-laki yang tak lain adalah Farhan Dinata saudara kembarnya. "Raya!" Panggil Farhan dari seberang telpon. "Eh, iya, Far sorry. Aku lagi di jalan, nanti Aku telpon kamu lagi. Bye! Klik." Sambungan telpon terputus. Ada titik keringat yang mengembun di dahinya yang bersih dan berwarna gading itu. "Ada apa?" tanya Careld dengan serius. "Dia minta nomor telpon Move." Careld memandang wajah sepupunya itu. Ada rasa iba tapi itu cukup buat menghukum Ray atas semua yang dilakukannya pada Move selama 6 tahun. "Itu hak dia, kasihlah. Toh nomor telpon itu juga nggak aktif sekarang." "Bukan itu masalahnya?" Careld kembali menatap dalam wajah Ray, dahinya berkerut tanda dia tak mengerti. "Dari mana dia tahu, kalau aku mengenal Move!" Deg! Benar! Darim
Pagi ini, keluarga Dinata menjadi trending topik di media berita. Kedatangan Farhan yang wajahnya bagai pinang dibelah dua benar-benar mengundang kekagetan semua orang. Semua orang tidak pernah menyangka kalau selama ini di keluarga Dinata ada anak kembar. Saudara kembar Raya Dina bernana Farhan Dinata. Yang tak sedikitpun mereka berbeda. Hanya saja kalau Raya Dinata sosok yang lebih angkuh dan dingin sedangkan Farhan Dinata adalah sosok yang ramah dan hangat. Murah senyum walau ada sisi kurangnya. Apapun yang menjadi keinginan seorang Farhan harus dia dapatkan. Media berita mana saja hari ini menerbitkan Headline yang sama. Berita yang menghebohkan masyarakat dan menjadi trending topik. Viral di media sosial manapun. Bahkan menggelar konferensi pers. Untuk menjelaskan duduk permasalahannya. Karena dengan kedatangan Farhan ternyata menimbulkan pro dan kontra. Banyak dari para pembaca media sosial yang pro dan kontra, mengomentari tentang kemanakah sel
Aku tercekat dengan tenggorokan kering, melihat sosok yang sudah tepat berada di hadapanku."Astaga! Ini siapa? Ray, kah? Farhan, kah?" Tiba-tiba aku merasa pening mendapati sosok di depanku ini tidak bergeming. Hanya tatapan dinginnya membuatku beringsut ke belakang.Tanpa diperintah sosok tampan itu berangsur mendekatiku. Mencoba menggapai tanganku. Tapi aku semakin terpojok. Mencari sesuatu yang mampu membuatku tenang.Ini sebenarnya siapa? Bahkan dalam keadaan seperti ini, pikiranku pun tak mampu ku ajak bekerja sama. Sungguh, aku tak mengenali siapa pria ini?Terlalu mirip! Sama bahkan. Dari garis rahangnya yang keras, lengkung hidungnya yang mancung, bahkan sinar pendar di matanya, pun sama warnanya. Coklat mengkilat.Sampai tubuhku menyentuh dinding belakang, laki-laki itu bahkan tak melepaskan ku. Tubuhku gemetar, kaki dan tanganku bergetar. Sesaat panik attack itu menderaku, mengkoyak keberanianku. Dengan bibir thremorku mencoba mencari ta
"Plak-plakk--!" Aku meringis dan mengusap pipi kanan dan kiriku. "Dasar perempuan tak tahu diri!" Kembali wanita itu mengayunkan tangannya namun urung dijatuhkan dipipiku lagi. Aku meregang, mengepalkan tembok mendengar apa yang barusan keluar dari mulut perempuan itu. "Sekarang, kamu puas melihat mereka saling memukul dan membunuh?! Inikah yang kamu inginkan. Kamu mau membalas dendam kepada mereka?!" Bertubi-tubi pertanyaan bernada pernyataan itu. Aku hanya bergeming di tempatku berdiri. Tak kutampik semua yang dikatakan perempuan itu, Aliya mama dari si kembar Ray dan farhan Dinata. Iya! Akulah yang nenyebabkan pertengkaran demi pertengakara mereka. Memang seharusnya aku nggak di sini. Dengan cepat aku berkari menuju ke pelataran gedung perusahaan Dinata Group. Ingin secepatnya aku menghilang dari dunia mereka. Sudah cukup rasanya aku dihina oleh mereka. Tak ingin lagi aku ada diantara meteka lagi. "Move!"
Panggilan itu membuatku tersentak. Aku nggak menyangka ada yang mihatku bersembunyi di balik dinding di lorong koridor ini. Pria itu mendekati aku. Raya Dinata, si kembar yang dingin, panggilan buatnya baru-baru ini. Semenjak munculnya kembarannya yang super ganteng. "Ayok!" Dia menarik tanganku dan sedikit menyeretku untuk mendekati dokter yang menangani jantung Farhan. "Dok, ini yang namanya Move Herdianata." ucapnya pada dokter yang mencariku. "Baik, mari ikut," aku terlongo mendengar kedua orang itu bicara. "Pergilah!" kata dia sambil menatapku penuh harap. Aku hanya membalas tatapannya dengan kebingungan. Ternyata dibalik keangkuhannya terselip kepeduilan yang sangat tinggi untuk saudara kembarnya yang baru pertama kali juga ia temukan selama hampir 30 tahun. Sekilas kulirik tante Aliya, yang begitu sinis menatapku. "Ray! Kenapa di biarkan dia masuk ke ruangan Farhan?" Ray menghela napas mendegar ucapan mam