"Ray, lepasin! Please," ucapku memohon, karena kurasakan pedih di pergelangan tanganku.
Laki-laki itu masih dengan wajah tegang menarikku ke tempat yang begitu sangat jauh dari ruang ICU.
Ketika sampai di pojok rumah sakit, dia melepaskan aku dengan kasar, sampai-sampai aku terjerembab.
Oh Tuhan! Kenapa, laki-laki ini menjadi kasar sekali. Tatatapanya begitu menakutkan. Wajah dinginnya begitu menyeramkan, bahkan bibir itu membentuk lengkungan tanpa kata. Terkatup rapat.
Diperhatikannya aku dengan sorotnya yang tajam. Hazel matanya berpendar dengan binar hitamnya. Aku menelan salivaku yang kering dengan susah payah.
Tapi, kali ini aku yang akan mengambil inisiatif. Aku mengenal Ray lebih dari 6 tahun. Mungkin hanya aku saat ini yang mampu menyamankan hatinya.
Aku mendekatinya dan berdiri tepat di hadapannya. Kuraih jemari yang terasa dingin itu. Dan dia merespon dengan cepat. Seketikaj itu aku merasakan ada aliran darah yang menyengat d
Hai pembaca yang budiman, saya up lagi ua Jangan lupa klik bintang dan koment besrta vote-nya. Terima kasih😊
Apa bisa semua kembali seperti semula, sedangkan hatiku merasa sangat terluka, meskipun tidak mengurangi kadar cintaku pada sosok ini. Laki-laki yang tengah memelukku dan memohon padaku untuk kembali padanya. Padahal beberapa hari atau minggu yang lalu dia lah yang mencampakkan aku dan meninggalkan aku demi akan menikahi mantannya. Aku masih bergeming dengan pelukannya, tanpa ingin membalasnya atau berniat menolaknya. Ada yang bergemuruh hebat di dadaku. Antara benci dan marah, tapi rasa cinta itu masih begitu besar terhadapnya. Tiba-tiba baik aku dan Ray dikejutkan dengan getaran yang berasal dari ponsel genggamku. Segera kuangkat panggilan itu. "Iya, Dok," "Move, Kamu di mana?" Cepat ke ruang perawatan ya, Nafisya sudah siuman." "Oh baik, Dok." Sekelumit pembicaraan singkat ditelpon dengan dokter Careld pun kututup. Berniat ingin pergi menemuinya, namun badanku terkungkung oleh Raya Dinata. "Lepasin Aku, Ray. Aku harus kerja.
"Move!" Suara itu memanggilku dengan langkahnya yang setengah berlari. Aku tak acuh. Ku abaikan dia, yang mengejar langkahku dengan tergesa. Aku kesal dengan sikap mereka. Kekanak-kanakan. Kalau perempuan lain mungkin bahagia dan bangga jadi rebutan. Lain dengan aku. Aku merasa seperti terhina di jadikan bahan rebutan apa lagi sampai berantem dan baku hantam. Aku merasa statusku ini sangat menyakitkan. Meskipun aku janda tapi aku tak semurah itu. Yang bisa dilempar sana lempar sini. Dari awal mula Dattan mengatakan ingin menikah denganku, sampai dokter Careld melamarku juga. Seolah-olah aku ini wanita gampangan. Apalagi Ray! Mentang-mentang mantannya hamil dengan suaminya yang belum jadi di ceraikan, seenak-enaknya saja laki-laki arogant itu mau kembali sama aku. Memangnya aku ini apa? Sampah yang bisa dibuang kalau sudah nggak berguna, terus di pungut lagi kalau masih ada manfaatnya! Dasar brengsek! Aku berjalan deng
Aku semakin terisak, punggungku terguncang hebat. Ray menghentikan aktivitasnya. Di putarnya tubuhku menghadapnya. Didapatinya air mata itu sudah membanjiri pipi tirusku. "Sayang, kenapa menangis seperti ini? Aku minta maaf sudah sangat menyakitimu. Aku minta maaf. Maaf, Sayang," ucapnya berulang-ulang sambil menghapus air mataku. "Jangan nangis lagi, kumohon ...," sekali lagi dia menghiba. Kucoba menghentikan air mataku. Walau terasa sesak dadaku dengan isak tangis yang terpaksa harus kuhentikan dengan mendadak. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku memejamkan mataku berusaha menghalau debar jantungku yang seolah mau copot. Padahal sudah 6 tahun aku mencintainya meskipun putus nyambung, tapi tetap aja kalau berdekatan dengannya selalu berdebar. Apalagi bau mintnya itu bikin ketagihan, bikin candu buatku. Tiba-tiba tangannya meraih daguku. Ketika aku membuka mata, wajahnya begitu dekat denganku. "Katakan, apakah kamu
Uhh! Badanku rentek semua. Mungkin karena sudah lama nggak begituan. Aku masih berdiam diri di balik selimut yang berbagi dengan laki-laki yang semalam dengan perkasanya memberikan kenikmatan batin untukku. Kutengok ke samping. Masih dengan mimpinya yang indah dia terpejam. Hanya segaris senyum tipis terlihat di bibirnya dengan mata terpejam. Aku mengelus pipi dengan rahang kokoh itu. "Tampan." batinku sambil tersenyum. Bagaimana bisa aku meninggalkannya, kalau laki-laki ini sekarang jadi canduku? Semakin ku pertegas elusan di pipinya. Kuurai rumbai rambutnya yang menutupi dahinya. Laki-laki muda yang usianya jauh di bawahku. Mampu membuat aku bertekuk lutut. Dengan hangat kusentuh dahi, mata, dan hidung itu dengan bibirku. Dan ku putus sentuhan itu ketika mendekati bibir kokohnya itu. Aku menarik kepalaku ke belakang. Tapi sesaat sudah terbenam di dalam rahang-rahang kokoh itu. Ray melahap habis bibir dan lid
Aku hanya bergeming ketika sudah sampai di tempat yang di maksud. Sebuah tempat yang nyaman, di sebuah mobil yang terbilang besar. Di dalamnya ada tempat untuk menjamu tamu yang datang. Di sana juga sudah ada sosok yang sangat ku kenal. Nathan! Ternyata ini semua sudah bagian dari rencananya. Aku tak menyangka kalau dia akan serius dengan ucapannya waktu itu. Dan aku kira apa yang sudah aku sampaikam waktu itu akan menjadi pemikiran buat orang tua Nathan terutama mamanya. Aku jadi pusing di buatnya. Ada rasa nggak enak tiba-tiba menjelma di hatiku. "Masuk, Move. Kita bicara di dalam." ucap mamanya Nathan pendek yang kusambut dengan anggukan. Setelah aku duduk berhadapan dengan laki-laki itu, lalu mama Nathan pun duduk di samping putranya. "Begini, Move. Tante to the point saja. Nathan menyukaimu dan dia ingin kamu menjadi istrinya. Tidak peduli dengan masa lalu kamu, meskipun kamu seorang janda atau mungkin kehidupanmu lebih susah daripada kam
"Hei! Stop! Stop--!" Aku panik melihat Ray yang kalap. Dan Nathan tak sedikitpun melawan. Ray tidak menghiraukan teriakanku, bahkan dia terus merangsak maju menggapai tubuh Nathan yang kekar. Memukulnya lagi dan menendangnya. Mencengkram leher laki-laki dewasa itu. "Ray! Cukup! Aku mohon!" teriakku sambil berlari menghampiri mereka berdua, mencoba melerai Ray yang sudah siap memukul Nathan lagi. Dan-- "Bukk-- Gelap! Aku merasakan gelap gulita, seolah tak ada pencahayaan. Bahkan aku merasakan sendiri dalam kegelapan itu.Lama-lama aku merasakan sesak napas dan sulit sekali bernapas. Ni---tt-- Suara itu terdengar setelah aku sudah nggak merasakan apa-apa selain teriakan itu. "Move! Move!" Itu suara teriakan Ray dan Nathan.Setelah itu aku tak bisa mendengar apa-apa lagi. Seolah mimpi panjang, aku membuka mataku pelan. Aku tahu aku pingsan. Aku masih ingat betul bagaimana caranya Ray melayangkan pukulan itu. Bahkan puk
Dengan berlari secepatnya, dokter Careld segera membuka pintu VIP tersebut diikuti oleh Ray. Dan mereka hanya bergeming, tertegun dengan apa yang mereka lihat. Ray, rasanya ingin melompat dan menubrukkan dirinya pada sosok itu. Sedang Carel rasanya tak percaya dengan netranya. Dia mengerjabkan mata berkali-kali hanya untuk memastikan apa yang dia lihat itu nyata apa mimpi. Sosok itu menoleh. Wajah piasnya terlihat jelas. Tapi senyum di bibir pucatnya tetap menawan. "Hei, kalian--, ada di sini. Boleh nggak, Aku minta tolong. Aku haus, tapi nggak ada air minum di sini." Dengan buru-buru kedua laki-laki itu saling bertubrukan hanya untuk mengambil segelas air putih. "Ini Move!" Dengan berbarengan mereka menyerahkan segelas air minum itu. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku mereka. "Dok, sudah berapa lama Saya di ruangan ini?" Dengan tatapan penasaran aku meminta jawaban atas pertanyaannya. Dok
Aku tertunduk dan mulai terisak. Ku coba mebahan tangis itu, tapi aku gagal. Guncangan hebat itu nampak dari puncak punggungku. Ray sedikit terkejut. Tapi dia sudah tidak ingin menyakiti lebih jauh lagi perasaanku. Dibiarkannya isakku makin terdengar. Dan itu semakin membuat perih hatiku. "Kenapa kamu tidak oernah bilang, kalau kamu tidak menginginkan hubungan yang terikat. Kenapa kamu tega membiarkan aku menunggumu selama 6 tahun kebih?" Suaraku masih sedikit serak, ketika beberapa menit aku mencoba menguasai diriku lagi. Tak ada hawaban dari Ray. Dan itu sudah biasa. "Aku harap kita tidak usah ada hububgan apa-apa lagi. Dan jangan sampai kita kembali menjalin hubungan ini. Aku akan berusaha melupakanmu dan menutup hatiku untukmu." Kalimatku yang agak panjang itu mampu membuat Ray merespon. Laki-laki itu menolehkan wajahnya yang keliatan berantakan. Dengan pandangan kosong dia menatapku. "Semoga kamu bisa bahagia setelah aku lepaskan
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo