Ray memburu suara itu, dengan cepat dia mendekati wanita yang kini benar-benar dicintai dan satu-satunya tanpa ragu lagi.
"Move kamu sudah sadar?" Suara itu menggema di telingaku. Kubuka mataku perlahan. Lantas mengangguk.
Hati Ray terasa teriris melihat anggukan dariku. Kerusakan kornea mata yang permanen karena kepalaku jatuh membentur batu dan langsung berhubungan dengan saraf mata.
Kebutaanku yang kemarin semakin parah karena kecelakaanku. Bahkan efek kecelakaan kemarin, aku buta permanen, itu kata dokter yang menanganiku. Masih bersyukur nyawa masih bisa diselamatkan. Karena keadaanku kemarin sungguh sangat mengenaskan.
"Aku haus," kataku dengan bibir bergetar. Oh dengan segera pria tampan itu buru-buru beranjak mengambilkan air mineral buatku.
Ku edarkan pandanganku. Perasaan tadi masih terdengar suara tante Alliya dan juga Farhan. Dan itu memang benar. Meteka semua masih di sini. Dan jujur aku sangat terharu. Aku pikir aku n
Melihat keterbengongan mereka, aku hanya terdiam lalu menyuapkan sup ayam kesukaanku ke mulutku tanpa merasa bersalah dengan keterdiaman dan keterbengongan mereka. Sebenarnya ada apa sich? Kok sampai sebegitunya mereka melihatku. Kaget mungkkn aku hidup lagi. Beberapa jsm yang lalu aku kan divonis sekarat. Setelah habis makan supnya, alu memperhatikan satu per satu wajah-wajah hetan di depanku. Mungkin iya, aku lebih tak acuh, aku caoek jadi orang patih dihina mulu. Agak tetgesa akj beranjak dari tempat tidur pasien. "Move, mau kemana?" tanya Ray panik dan segeta menghadangku. Aku mdngerutkan dahi kuat-kuat fan menatap wajah Ray drngan tatapan bingung. "Kudekatkan bibirku ketelinganya. "Aku msu pipis," bisikku pelan. Wajah Ray seketika mrmetsh malu. "Mau ikut?" tanyaku menggoda dan tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung berjalan menuju kama mandi dengan tatapan bingung yang mereka perlihatkan. "Ray, panggil Careld," tiyah Alliya, mamanya.
Hatiku meringis nyeri mengingat kejadian menyakitkan itu. Hari lahirku hadi awal malapetaka dan itu kado yang tak kan pernah bisa aku lupakan. Saat itu Ray akan bertunangan entah sama siapa dan saat itu juga adalah hari lahirku yang tak pernah kuinginkan ada kejadian menyakitkan. Aku terjatuh dan buta lalu Farhan berniat mendonorkan matanya untuk menebus segala kesalahannya yang tak sengaja mendorongku hingga jatuh. Hingga pada akhirnya aku lari dari rumah sakit dan tertabrak oleh pengendara motor yang tak bertanggung jawab sampe pada titik aku sudah tidak diselamatkan. Namun kuasa Tuhan yang maha dasyat, aku selamat dan kebutaan permanen ku pun sembuh total. Luar biasa kuasa illahi, maha dasyat kuasa sang khalik. Dan itu membuktikan kekuatan dan kuasa Tuhan. "Farhan, terima kasih sudah mengikhlaskan matamu buatku. Tapi Tuhan punya kuasa lain, mata yang ada di tempat kamu itu milikmu bukan milikku dan akan tetap menjadi milikmu. Percayalah akan kuasanya
Aku masih terpana dengan kejadian ini. Masih terhipnotis dengan sikap tante Alliya, mamanya Raya dan Farhan Dinata.Bahka Feronika menangis bukan hanya karena tamparan wanita paru baya itu tetapi karena sikap wanita itu yang tiba-tiba tidak berpihak kepadanya."Tante, salahku apa? Kenapa, Tante menamparku?" Rintih Feronika menghiba sambil mengusap-usap pipinya yang sudah memerah."Fero!" Suara itu tidak seperti biasanya. Begitu tenang dan tegas tanpa senyum sedikit pun."Dari kecil orang tuamu tidak pernah mendidikmu untuk menghina harga diri orang lain apalagi menjatuhkannya, tapi kenapa kamu memilikk sifat sepicik ini? Awal mula kamu membenci Move, Tante paham karena kesakitanmu kehilangan Ray. Tapi kenapa barusan Tante dengar kamu bawa-bawa masalah janda?" Berhenti sejenak unguk menelan saliva."Apa kamu pikir di dunia ini wanita punya pilihan untuk menjadi janda? Siapa yang mau menjadi janda? Tidak satu pun yang menginginkannya. Kamu jang meleb
"Farhan!" teriakku sambil menubruk tubuhnya yang benar-benar mengeluarkan darah dari dadanya dan ini bukan sekedar halusinasiku seperti beberapa minggu yang lalu."Farhan, bangun! Ini aku, kamu nggak boleh begini!" ucapku histeris. "Tolong, panggil dokter!" teriakku kembali lebih panik.Dan kulihat Ray sudah datang dengan dokter Careld. Tubuh Farhan yang sudah lemah dan terdiam segera dipindahkan dan di buka baju yang membalut badannya. Terlihat di sana di dada Farhan luka itu menganga dan darah masih terus mengalir. Sama persis mimpiku beberapa minggu yang lalu.Jantung buatan itu terbuka karena beban tubuh Feronika yang tiba-tiba memimpanya tanpa sengaja. Aku, Ray dan sluruh yang ada di situ panik. Nerujing di ruang gawat darurat dan Profesor LinHuang di panggil segera.Aku lihat wanita paruh baya itu menangis tersedu di tempat duduk penungguan. Di sampingnya om Halim suaminya. Ray yang sedang tak berbaik hati mukanya sedang Dattan yang barusan da
Nit nit nit ...Suara itu sebenarnya menggangguku uang sedang larut dalam kesedihan. Namun aku simak. Ini sebenarnya suara apa. Aku merenggangkan pelukannya Rau."Ini suara apa Ray?" tanyaku sambil menyusut air mata yang terus mengalir di pipi tirusku.Ray hanya bergeming dan seolah mendengarkan sesuatu."Suara monitorkan, Sayang,"Mak jleb di hatiku mendengar Ray memanggilku begitu."Iya, memang monitor, tapi monitor siapa?" tanyaku sambil mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan."Ya Tuhan! Farhan!" Aku menjerit bukan lagi kaget. Lengkingan jeritanku terdengar sampai ke luar ruangan. Membuat orang yang di luar langsung masuk terutama Profesor LinHuang dan dokter Careld."Farhan," jeritku kembali tertahan.Dokter Careld mendekat tergesa di mana tubuh Farhan yang sudah dingin kembali menghangat."Puji syukur ya Alloh," aku makin terjerembab ke dalam dekapannya Ray. Kulihat Farhan menggerakan tangannya.
Kakiku berhenti seketika mendengar suara itu. Dengan gerakan reflek aku memutar badanku menghadap arah suara itu.Feronika Alfarest, wanita itu menatapku dengan pandangan mengharap sesuatu. Dengan pandangan yang dingin aku mendekati wanita itu."Move," panggilnya luruh membuat hatiku seketika mencelos. "Maafkan, Aku,"ucapnya dengan suara menguar perih terdengar di hatiku.Kupeluk erat wanita itu dan kubusikkan sesuatu yang mampu membuatnya bangun dari segala mimpi buruknya."Aku sahabatmu, Fero. Bangunlah, jangan menyerah," ternyata ucapan itu mampu membuat wanita yang umurnya jauh di bawahku itu tersedu. Kutepuk pelan punggungnya lalu kuelus dengan lembut."Dok, bagaimana perkembangannya?""Dia butuh teman oebdukung, mbak Move. Dan saya rasa, Mbak lah yang cocok untuk mendampinginya,""Tapi, Dok," aku hanya memandang tak mengerti."Kami ini saling bermusuhan," akhirnya aku meloloskan ucapan pahitku.Dokter itu hanya ter
"Sial!" Dengusnya membuat beberapa perawat memperhatikan sikapnya."Pak Ray nggak masuk?" Salah satu suster menyapa dengan ramahnya."Oh iya, Sus." Agak gugup Ray membalas sapaan suster itu. Dengan kekesalannya dia masuk ke ruangan itu dan masih melihat drama ala korea dan china. Saling membelai dan menggenggam tangan."Sudah belum dramanya?" tanyanya tanpa basa-basi.Aku dan Farhan saling bertatapan dan melepas tangan satu sama lain."Ray, kenapa?" tanya Farhan polos membuat Ray yang awalnya ingin marah tiba-tiba melunak. Aku bangkit dan mendekatinya."Kalian ngobrolah, Aku tinggal dulu." ucapku sambil bangkit dan berjalan menjauhi mereka."Move," panggil Ray. Dan sesaat aku berhenti."Kamu dan Farhan tidak bermain curang di belakangku kan?"Aku saling tatap dengan Farhan dan entah kenapa aku ingin tertawa geli. Ada seulas senyum terukir di bibir Farhan."Memang boleh kalau Aku ambil dia dari kamu?" l
"Tante Alliya!" teriakku sedikit terpekik. Aku melihat wanita anggun itu tertunduk mengambil pecahan piring yang pecah."Biar saya aja, Tante," ucapku sambil menunduk memunguti pecahan piring itu."Tante duduk di sofa aja, ya biar saya saja," sekali ucapku dengan hormat."Maafkan, Tante ya, Move," aku hanya tersenyum lantas ku ekor sosoknya menuju sofa.Aku kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba apalagi tahu-tahu sudah ada di dapur."Auw," ringisku pelan karena tergores beling piring. Baru saja hari itu mau aku angkat, tangan seseorang sudah mengambilnya dan menghisap jari yang berdarah itu."Ray," suaraku bergetar melihat sosok tampan itu sudah ada di depan mataku dsn mengulum serta menghisap jemariku."Kapan datang?" Kembali kuajukan pertanyaan. Lagi-lagi hanya dijawab dengan senyuman. Lalu mengecup jemariku."Semalam waktu kamu tidur," jawabnya."Sama tante?" Ray hanya mengangguk lalu memunguti sisa pecahan p
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo