Kini Marsha mematut cermin, memoles make up tipis di wajahnya. Dia tengah bersiap-siap. Ya, hari ini dia akan bertemu dengan Raymond. Terpaksa Marsha harus beralasan pergi ke mall. Marsha tidak mungkin mengatakan pada William jika dia akan bertemu dengan Raymond. Itu sama saja bunuh diri jika Marsha mengatakan sebenarnya pada William. Awalnya memang Marsha tidak ingin bertemu dengan Raymond, tapi sepertinya memang benar banyak sekali hal yang ingin Marsha tanyakan pada Raymond. Bagaimana pun Raymond akan menjadi adik iparnya. Perasaan Marsha pada Raymond telah berkahir, yang Marsha cintai hanya William. Suaminya telah menempati hatinya. Mungkin Marsha akan bertanya kenapa Raymond tidak pernah memberi kabar padanya. Kenapa Raymond membuatnya menunggu dengan tidak adanya kepastiaan. Masrha sering melihat pemberitaan Raymond berkencan dengan wanita cantik. Tapi Marsha berusaha untuk mempercayai Raymond. Sampai akhirnya Marsha jatuh cinta pada William, suaminya sendiri. Kehadiran Willli
"Tuan Raymond Jefferson, apa yang ingin kau katakan padaku?" Suara Marsha bertanya dingin, tatapannya menatap lekat Raymond.Kini mereka, saling menatap satu sama lain. Jika Marsha menatap Raymond dengan tatapan yang dingin. Berbeda dengan Raymond. Terlihat tatapan Raymond yang begitu merindukan Marsha.Tatapan Raymond memancarkan rasa bersalah. Raymond meminta Marsha menunggu tapi dia tidak kembali. Saat dia kembali, Marsha harus di hadapkan Raymond akan menjadi adik iparnya sendiri. "Maaf kita harus bertemu dengan cara seperti ini Marsha." Suara Raymond terdengar sangat menyesal.Marsha tersenyum tipis. "Kenapa kau harus minta maaf padaku?" tukas Marsha dingin. "Maafkan aku Marsha. Aku pergi dan memberikan harapan palsu padamu. Aku memintamu menungguku tapi aku tidak pernah memberi kabar padamu. Aku sungguh minta maaf," Raymond menunduk, terlihar raut wajahnya yang menyesal telah mengecewakan Marsha. "Tanpa kau meminta maaf, aku sudah memaafkanmu. Bukankah bagus kau tidak kembali?
Sepulangnya Marsha dari restoran, tempat dia bertemu dengan Raymond, Marsha langsung mengurung diri di kamar. Kenyataan yang dia dengar benar-benar di luar dugaanya selama ini. Bagaimana bisa ayahnya melakukan itu? Uang yang diberikan ayahnya pada Raymond tidak sedikit. Marsha tahu, itu hanya masa lalu. Marsha tidak menyesali dirinya menikah dengan William. Karena pada akhirnya Marsha mencintai suaminya sendiri. Hanya Marsha sedikit kecewa dengan apa yang Mario lakukan. Tapi Marsha mencoba untuk menerimanya, mungkin memang ini takdirnya. Dirinya memang untuk William. Marsha dan Raymond telah berdamai dengan masa lalu mereka. Terlebih Marsha, sudah sejak lama dia telah melupakan Raymond. Di hati Marsha sekarang Raymond adalah teman masa kecilnya tidak lebih dari itu. Sekarang yang Marsha takutkan hanya bagaimana jika William tahu Raymond Jefferson adalah pria yang pernah Marsha cintai dan pria yang selalu Marsha tunggu sebelum Marsha mencintai William. Marsha sangat mengenal suaminy
Cuaca pagi hari begitu cerah, hari ini Marsha sudah kembali ke aktivitas sebelumnya. Marsha tersenyum senang menyambut pagi yang indah. Sebelumnya tadi pagi William sudah lebih dulu berangkat ke kantor karena William memiliki jadwal meeting pagi hari. Kini Marsha mematut cermin. Dia memoles make up tipis diwajahnya. Hari ini Marsha memilih mini dress berwarna navy dengan di padukan sneakers dengan warna yang senada dengan dress yang dipakainya. Setelah selesai berias, Marsha mengambil tasnya dan berjalan meninggalkan kamar menuju ruang makan. Marsha tidak terlalu suka breakfast di kamar. Dia lebih memilih untuk breakfast di ruang makan. "Morning, Marsha," sapa Laura saat melihat Marsha berjalan masuk ke dalam ruang makan. Marsha tersenyum. "Morning." Marsha menarik kursi, lalu duduk di hadapan Laura. Tidak lama kemudian, pelayan mengantarkan beef cheese omelette dan tomato juice pada Marsha. "Bagaimana kandunganmu, Laura? Apa kau masih mual?" tanya Marsha. Sejak kemarin dia meli
William duduk di kursi kepemimpinan dalam ruang meeting bersama dengan Kim, rekan bisnisnya dari Hong Kong. Kini mereka tengah membahas kerja sama mereka. Wiliam berencana akan membangun apartemen di Hong Kong. Mengingat Hong Kong adalah negara maju, yang memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Harga properti di Hong Kong bahkan hampir sama dengan harga properti di Amerika. Rencananya William juga akan bekerja sama dengan ayah mertuanya sendiri. Namun, terakhir Mario mengatakan pada Wiliam jika proyek ini akan diserahkan pada Marsha. Mario ingin Marsha langsung belajar dalam mengelola perusahaan. "Tuan William, bagaimana jika kita juga mengembangkan proyek ini di Jepang?" tanya Mr. Kim sambil menatap Wiliam yang duduk tidak jauh darinya. "Aku rasa itu ide yang cukup bagus. Kau ajukan proposalnya dan berikan pada assistantku. Nanti aku akan mempelajarinya," jawab William datar. Kim mengangguk. "Aaya akan segera memperikan proposalnya." "Alright, meeting kita lanjutkan besok
Saat mobil William sudah tiba di mansion, William langsung menarik kasar tangan Marsha turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Dia tidak memperdulikan rintihan sakit Marsha, amarahnya kini benar-benar membuat matanya menggelap. Terlebih Raymond datang ke kampus Marsha. Dia sudah tidak bisa lagi menahan diri, istrinya berani menutupi sesuatu hal besar padanya. "William, lepas! Aku akan menjelaskannya." Marsha mencoba untuk melepaskan cengkraman tangan William. Namun William semakin mencengkram kuat tangan Marsha. "Kakak, apa yang kau lakukan!" Suara teriakan Laura ketika melihat William menarik kasar tangan Marsha."Kau jangan ikut campur Laura, pergi dan masuk ke kamarmu!" bentak William menyalang menatap tajam Laura. "Tidak, kakak jangan lukai Marsha!" seru Laura dengan tatapan penuh peringatan. "Laura, aku tidak apa-apa.." Marsha berusaha tersenyum ke arah Laura, dia tidak ingin Laura terkena masalah karena membela dirinya.Laura menggeleng cepat. "Tidak Marsha, kakakku meluk
Suara detuman musik terdengar hinga keluar, William memarkirkan Bugatti Veyron miliknya di parkian Mademoiselle, klub malam yang terkenal di Toronto. William turun dari mobil, dan berjalan masuk ke dalam klub malam. Klub malam ini biasa didatangi oleh para artis dan kalangan atas. Ya, William memilih mengalihkan emosinya pergi ke nightklub. Dia tidak ingin lebih menyakiti Marsha. Beberapa wanita berusaha menggoda William. Namun, dengan hanya melayangkan tatapan tajam pada para wanita itu, membuat wanita itu tidak berani mendekati dirinya. Tujuan William memilih mendatangi klub malam, selain karena tidak ingin menyakiti Marsha, pikiranya kini tidak bisa berpikir jernih. Rasa marah didirinya semakin bertambah, mengingat Marsha telah membohonginya. Bukan hanya itu, bahkan Marsha bertemu dengan Raymond di belakang William. Jika mengingat itu, rasanya William ingin membunuh Raymond detik ini juga. William masuk ke ruang VIP, dia sudah melihat Frans dikelilingi para wanita. Frans memang
Sinar matahari pagi menembus jendela, menyentuh kulih wajah Marsha. Perlahan Marsha mulai membuka matanya. Dia mengerjap, lalu melirik jam dinding kini sudah pukul sembilan pagi. Beruntung, hari ini Marsha tidak memiliki jadwal kuliah. Marsha beranjak dari ranjang dan menuju kamarnya. Dia, yakin William pasti sudah berangkat ke kantor. Benar saja, saat Marsha masuk ke dalam kamarnya, William sudah berangkat. Jika mengingat kejadian tadi malam, rasanya Marsha ingin sekali pergi jauh. Tapi bagaimanapun ini terjadi karena Marsha tidak jujur pada William. Marsha berjalan menuju kamar mandi. Dia memilih untuk berendam air hangat. Aroma madu dengan milk membuat kulitnya semakin halus. Tidak hanya itu, berendam bisa merilekskan tubuh Marsha, dan membantu dirinya dalam melupakan sesaat hal yang membebani pikirannya. Tidak lama kemudian, setelahh Marsha sudah selesai berendam dan sudah mengganti pakaiannya. Hari ini, dia memilih untuk tetap di rumah. Marsha duduk di sofa kamar sambil membaca
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d