Sinar matahari pagi menembus jendela, menyentuh kulih wajah Marsha. Perlahan Marsha mulai membuka matanya. Dia mengerjap, lalu melirik jam dinding kini sudah pukul sembilan pagi. Beruntung, hari ini Marsha tidak memiliki jadwal kuliah. Marsha beranjak dari ranjang dan menuju kamarnya. Dia, yakin William pasti sudah berangkat ke kantor. Benar saja, saat Marsha masuk ke dalam kamarnya, William sudah berangkat. Jika mengingat kejadian tadi malam, rasanya Marsha ingin sekali pergi jauh. Tapi bagaimanapun ini terjadi karena Marsha tidak jujur pada William. Marsha berjalan menuju kamar mandi. Dia memilih untuk berendam air hangat. Aroma madu dengan milk membuat kulitnya semakin halus. Tidak hanya itu, berendam bisa merilekskan tubuh Marsha, dan membantu dirinya dalam melupakan sesaat hal yang membebani pikirannya. Tidak lama kemudian, setelahh Marsha sudah selesai berendam dan sudah mengganti pakaiannya. Hari ini, dia memilih untuk tetap di rumah. Marsha duduk di sofa kamar sambil membaca
William duduk di kursi kebesarannya. Pagi ini dia datang lebih pagi. Dia sengaja menghindar dari Marsha, karena dirinya masih belum bisa mengendalikan amarahnya. Mengingat Marsha telah berbohong padanya rasanya dia sulit untuk mendengar penjelasan dari Marsha. Sebenarnya William merasa menyesal karena kemarin telah melukai Marsha. William bahkan tidak memperdulikan tangis dan teriakan Marsha yang memohon padanya untuk berhenti. William terlalu dipenuhi dengan amarah. Terlebih William mendengar jika Marsha bertemu dengan Raymond dibelakangnya. Dipikiran William selalu berpikir Marsha masih mencintai Raymond. William sudah mendengar Marsha begitu setia menunggu Raymond kembali ke Kanada. Itu yang membuat William geram dan tidak bisa mengendalikan amarahnya. William menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya dan memejamkan mata lelah. Masalah adiknya belum terselesaikan, sekarang harus bertambah dengan istrinya yang tidak berkata jujur padanya. Dia tidak akan pernah membiarkan Laura m
"Apa kau tidak mendengar apa yang aku katakan tadi? Lebih baik kau pulang, Aku tidak ingin mendengar penjelasan darimu!" balas William tegas. Sorot matanya begitu tajam ke arah Marsha."Kalau kau ingin aku pulang, maka aku akan pulang. Tapi sebelum aku pulang aku harus menjelaskan semuanya padamu. Kau boleh tidak menganggapku ada di ruangan ini. Aku hanya memintamu mendengarkan perkataanku karena aku hanya menjelaskan satu kali. Aku tidak akan menjelaskan untuk kedua kalianya," ucap Marsha dengan suara tenang. Dia berusaha untuk mengendalikan emosinya.Marsha menatap dalam mata William, dia tidak perduli William ingin mendengarkan atau tidak. Tapi dia akan tetap menjelaskanya. Sedangkan William, terlihat begitu menahan amarahnya."Dulu, aku dan Raymond saling mencintai. Ya, kau benar aku memang menunggunya kembali ke Kanada. Terakhir sebelum dia meninggalkan Kanada, dia berpesan padaku untuk menunggunya. Aku dengan setia menunggunya. Meski banyak pemberitaan dia berkencan dengan wanit
William turun dari mobil, dia membanting kasar pintu mobilnya dan langsung masuk ke dalam mansion. Dia tidak berhasil mengejar Marsha, saat dia mengejar Marsha, mobil yang dibawa istrinya itu sudah lebih dulu menghilang dari pandangannya. Wajah Marsha menangis terus berada dipikiran William, dia tidak henti menyalahkan dirinya. Dia sungguh menyesal membuat istrinya menangis. Kecemburuannya membuat istrinya terluka. Bahkan dia benar-benar tidak menyangka dirinya begitu melukai istrinya. William memang tidak pernah bisa mengendalikan emosi dan amarahnya. Terlebih ketika mendengar pria masa lalu dari istrinya kembali. Dia hanya takut jika istrinya kembali pada pria di masa lalunya itu. Rasa takutnya membuatnya telah melukai istrinya."Marsha." panggil William saat memasuki kamar, namun dia tidak berhasil menemukan keberadaan istrinya itu."Marsha, sayang.." teriak William. Dia mencari Marsha di setiap sisi ruangan, tapi tetap saja tidak menemukan Marsha.Laura yang tadi menatap William
"Aku ingin kita membicarakan ini, Marsha. Maafkan aku, sayang," ucap William dengan penuh penyesalan."Lebih baik kau pulang sekarang, Wiliam. Aku sudah mengatakan tadi di kantormu aku hanya membahasnya denganmu satu kali. Tidak untuk ke dua kali. Aku mohon kau pulang," ucap Marsha dengan suara tenang. Bukan ingin mengusir William, tapi saat ini dirinya membutuhkan waktu untuk sendiri.William menatap dalam mata Marsha. "Aku ingin kita membahas ini, Marsha. Aku tidak ingin kita bertengkar. Maafkan aku, Marsha," Suara William terdengar begitu parau. Marsha mundur dan menjauh dari William. Matanya sudah berkaca-kaca, dia berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. "William, aku tidak ingin membahas apapun. Pulanglah ke rumah, kita harus menenangkan diri kita masing-masing.""Tidak, Marsha, aku tidak bisa! Aku tidak mau meninggalkanmu di sini. Kalau aku pulang, kau juga harus pulang. Kita harus pulang bersama!" tukas William tegas. Tatapannya terus menatap lekat Marsha, yang kini terus
"Semua yang aku lakukan hanya karena aku takut kehilangaanmu dan itu semua karena aku mencintaimu, Marsha. Aku tidak sanggup jika kau memilih pria di masa lalumu. Aku tidak sanggup kau memilih dia. Aku tidak bisa hidup jika tidak ada dirimu, Marsha," ucap William dengan suara lemah. Dia masih menundukan kepalanya.Sedangkan Marsha, terdiam mendengarkan ucapan William. Hatinya masih begitu sakit dan sesak. Air matanya, tidak mampu lagi tertahan. Terlebih melihat William mengucapan itu. Marsha melihat penyesalan dari dalam diri William. Namun, jujur saat ini Marsha tidak mungkin mudah begitu saja melupakan hal yang telah menyakitinya. Jika mengingat itu, Marsha benar-benar sulit untuk menerimanya.Marsha terus menatap Wiliam yang masih bersimpuh di lantai. Ini pertama kalinya, dia melihat suaminya seperti ini. Hati Marsha begitu sedih melihat William harus seperti ini. Tapi tidak, hati Marsha masih belum bisa menerima semuanya, William terlalu melukai hatinya. Setip perkataan William me
Keesokan pagi, William sudah berada di ruang kerjanya. Pagi ini memang dia berangkat kerja lebih pagi. Dia sengaja berangkat lebih pagi, sungguh dia merasa kehilangan sosok istrinya. Biasanya Marsha selalu menyiapkan dasi dan jas untuknya tapi saat William bangun disampingnya tidak ada istrinya. Meski baru hanya satu hari, tapi rasanya dia tidak sanggup. William tidak bisa bertahan lebih lama lagi. DIa tidak bisa menahan diri, ingin sekali dia menjemput Marsha untuk pulang. Tapi dia yakin pasti Marsha akan menolaknya. William menyandarkan punggungnya di kursi, kemudian dia menekan tombol interkom, untuk menghubungiAlbert. Dia meminta assiatntnya itu untuk segera menemuinya. Tidak lama kemudian, Albert masuk ke dalam ruang kerja William. "Tuan," sapa Albert menundukan kepalanya saat melangkah masuk ke dalam. "Kosongkan jadwalku hari ini, aku sedang tidak ingin diganggu," tukas Wiliam dingin.Albert mengangguk patuh. "Baik, Tuan." "Albert, aku ingin bertanya padamu?" Kini William me
Marsha berjalan keluar dari kelas, dia baru saja menyelesaikan kelas pagi. Dia melirik arloji kini sudah pukul dua belas siang. Sudah waktunya Masha untuk makan siang. Marsha menoleh mencari keberadaan Karin. Meski kini pikiran dan hatinya terus memikirkan William, tapi dia tidak bisa meninggalkan kuliahnya. Marsha tetap pada tujuan awal, dia ingin lulus sebelum satu tahun. "Marsha," Suara teriakan Karin begitu kencang dan berlari ke arah Marsha. Marsha membuang napas kasar, mendengar suara teriakan Karin. Dahabatnya itu benar-benar seperti di hutan. "Ya," jawab Marsha singkat. Karin mengerutkan keningnya. Ketika melihat wajah Marsha yang tampak muram. "Kau kenapa, Marsha? Kau marah karena menungguku? Maaf, aku tadi lupa mengerjakan tugasku," kata Karin dengan senyum lebarnya memperlihatkan gigi putihnya. "Bukan, ini bukan karenamu. Aku memang sedang dalam keadaan yang tidak baik. Lebih baik kita makan. Aku tidak terlalu lapar, tapi sepertinya makan cake dan ice cream di siang har
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d