Keesokan pagi, William sudah berada di ruang kerjanya. Pagi ini memang dia berangkat kerja lebih pagi. Dia sengaja berangkat lebih pagi, sungguh dia merasa kehilangan sosok istrinya. Biasanya Marsha selalu menyiapkan dasi dan jas untuknya tapi saat William bangun disampingnya tidak ada istrinya. Meski baru hanya satu hari, tapi rasanya dia tidak sanggup. William tidak bisa bertahan lebih lama lagi. DIa tidak bisa menahan diri, ingin sekali dia menjemput Marsha untuk pulang. Tapi dia yakin pasti Marsha akan menolaknya. William menyandarkan punggungnya di kursi, kemudian dia menekan tombol interkom, untuk menghubungiAlbert. Dia meminta assiatntnya itu untuk segera menemuinya. Tidak lama kemudian, Albert masuk ke dalam ruang kerja William. "Tuan," sapa Albert menundukan kepalanya saat melangkah masuk ke dalam. "Kosongkan jadwalku hari ini, aku sedang tidak ingin diganggu," tukas Wiliam dingin.Albert mengangguk patuh. "Baik, Tuan." "Albert, aku ingin bertanya padamu?" Kini William me
Marsha berjalan keluar dari kelas, dia baru saja menyelesaikan kelas pagi. Dia melirik arloji kini sudah pukul dua belas siang. Sudah waktunya Masha untuk makan siang. Marsha menoleh mencari keberadaan Karin. Meski kini pikiran dan hatinya terus memikirkan William, tapi dia tidak bisa meninggalkan kuliahnya. Marsha tetap pada tujuan awal, dia ingin lulus sebelum satu tahun. "Marsha," Suara teriakan Karin begitu kencang dan berlari ke arah Marsha. Marsha membuang napas kasar, mendengar suara teriakan Karin. Dahabatnya itu benar-benar seperti di hutan. "Ya," jawab Marsha singkat. Karin mengerutkan keningnya. Ketika melihat wajah Marsha yang tampak muram. "Kau kenapa, Marsha? Kau marah karena menungguku? Maaf, aku tadi lupa mengerjakan tugasku," kata Karin dengan senyum lebarnya memperlihatkan gigi putihnya. "Bukan, ini bukan karenamu. Aku memang sedang dalam keadaan yang tidak baik. Lebih baik kita makan. Aku tidak terlalu lapar, tapi sepertinya makan cake dan ice cream di siang har
Kini Mobil William sudah berada di hotel yang ditempati oleh Marsha. Tepat saat mobil Marsha memasuki parkiran, tidak lama kemudian hujan turun begitu deras dan kilatan petir terdengar begitu kencang. William dan Albert yang masih berada di dalam mobil. William masil terus memperhatikan Marsha saat Marsha berlari masuk ke dalam hotel dan saat kilatan petir terdengar begitu kencang, Marsha terlihat begitu takut. Wajah Marsha langsung memucat saat mendengar suara petir. Rasanya William ingin sekali membawa Marsha ke dalam pelukannya, menenangkan Marsha dari rasa takutnya. Menjaga istrinya agar tidak takut lagi. Biasanya ketika hujan dan petir seperti ini Marsha selalu memeluk William dengan erat. William benar-benar merindukan Marsha. Bahkan demi melihat Marsha, hari ini William membatalkan seluruh meeting dengan rekan bisnisnya. Dia juga tidak ingin di ganggu oleh siapapun. William tidak perduli dengan kerja sama dengan rekan bisnisnya. Saat ini yang ada di pikiran William adalah Ma
Sinar matahari pagi menembus jendela, perlahan Marsha mulai membuka matanya, menguap dan menggeliat. Dia melirik ke jam dinding kini sudah pukul delapan pagi. Marsha menoleh melihat ke arah Wiliam yang masih tertidur pulas. Marsha menempelkan tangannya ke dahi William, badan William masih hangat. Tadi malam badan William demam, Marsha harus mengompres badan William yang demam. Beruntung butik langganan Marsha tadi malam mau mengatarkan beberapa pakaian untuk William, jadi William tidak lagi memakai bathdrobe. Marsha mengambil kain dan air dingin. Dia harus mengompres badan William yang masih demam. "Cepatlah sembuh, William," kata Marsha. Dia menarik selimut William, menutupi tubuh suaminya itu. Marsha terdiam menatap William yang masih tertidur lelap, dia kembali mengingat semua perkataan William tadi malam. Hatinya memang tersentuh saat mendengar semua ucapan William. Tapi tetap hatinya masih sangat terluka dengan apa yang di lakukan William. Marsha bisa melihat William begitu m
Kini William sudah berada di dalam mobil Frans. Kali ini William dengan terpaksa harus ikut dengan Frans, walau sebenarnya dia tidak ingin ikut dengan Frans. Dia ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan Marsha. Tapi hingga detik ini Marsha, masih belum mau bicara dengannya. William sudah berkali-kali berusaha untuk mengajak Marsha berbicara, tapi Marsha selalu menolak dirinya. "William, kau ingin aku antar langsung ke rumah?" tanya Frans tanpa mengalihkan pandangannya. Dia masih tetap fokus menyetir mobil. "Ya," jawab William singkat."Aku tahu kau bertengkar dengan istrimu, kan? Apa karena wanita yang mengantarmu itu?" kekeh Frans sembari melirik Wiliam sekilas. "Beraninya kau mentertawakanku!" William menghunuskan tatapan tajamnya ke arah Frans. "Aku sudah memberitahumu, jangan membawa wanita itu. Kau dengan berani membawa wanita itu. Sekarang kau rasakan sendiri akibat dari yang kau lakukan," jawab Frans dengan santai. Kali ini, dia tidak mau di salahkan karena sebelumnya d
Keesokan pagi, Marsha sudah berada di kampus. Sebenarnya Marsha terus memikirkan keadaan William, dia selalu khawatir pada kesehatan William. Terakhir Marsha mengirim pesan pada Laura menanyakan apakan dokter pribadi William sudah memeriksa Wiliam atau belum. Untungnya, William mendengar perkataan Marsha, kemarin dokter datang memeriksa keadaan William. Setidaknya kini Marsha bisa jauh lebih tenang. Marsha melangkah masuk ke dalam kampus, namun langkahnya terhenti ketika dia mendengar suara yang berteriak memanggil namanya. Marsha membuang napas kasar, dia sudah tahu siapa lagi kalau bukan Karin. Sahabatnya itu memang suka sekali berteriak, seperti di hutan saja. "Marsha.." Karin kembali berteriak semabari erlari menghampiri Marsha. "Karin, aku mendengarmu. Tidak perlu sampai berteriak, aku tidak tuli!" seru Marsha kesal. Karin tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya. "Aku hanya memastikan, kau mendengarku." Marsah mendengus, dia menatap kesal Karin. "Sudah jangan marah, le
Di dalam ruang meeting, William duduk di kursi kebesarannya. Kini dirinya tengah membahas kerja samanya dengan Kim, rekan bisnya dari Hong Kong. Sudah dua hari William menunda meeting ini. Tentu semua kerena seluruh pusat perhatiannya hanya pada Marsha. Tapi meski dirinya tidak sedang berada bersama dengan Marsha, William sudah meminta beberapa anak buahnya mengawasi istrinya itu dari kejauhan. Setidaknya itulah yang membuat William jauh lebih tenang. "Tuan William, jadi apa kita akan melakukan pembangunan apartemen di Jepang?" Kim bertanyaa saar dirinya baru saja selesai membaca proposal yang diberikan asistantny itu. Wiliam mengangguk. "Ya, Jepang memiliki banyak tourist. Harga properti disana juga sangat mahal. Aku rasa akan sangat bagus kita membangun apartemen di Jepang. Tapi aku tidak hanya ingin di Asakusa." "Baik Tuan William, assistant saya akan mengurus semuanya." jawab Kim."Alright, kalau begitu meeting sampai hari ini. Kontrak kerja sama bisa anda kirim langsung ke ass
William tidak memperdulikan saat paparazzi mengambil gambarnya dengan istrinya. Tidak perduli dengan pemberitaan di media saat dirinya mengejar dan membopong istrinya. Bagi William yang terpenting saat ini adalah menjelaskan semuanya pada istrinya. Dia tidak ingin semuanya berlarut. Sudah cukup dia berjauhan dari istrinya, dia tidak bisa lagi menahan diri. Kini William membawa Marsha masuk ke dalam kamar hotel yang baru saja dia pesan. Kali ini dia akan memaksa istrinya itu untuk berbicara dengannya. Tidak perduli Marsha menolaknya, dia akan terus memaksa istrinya untuk berbicara denganya. "Lepaskan aku William, aku ingin pulang!" Marsha mendorong tubuh William, dia hendak meninggalkan kamar hotel itu namun William langsung memeluk pinggangnya. Hingga membuat Marsha tidak berkutik. "Kita harus bicara, Marsha," tukas Wiliam menekankan. "Lepas! Aku tidak ingin bicara padamu!" Marsha berontak, dia terus mendorong tubuh suaminya itu. "Kita bicara, jika kau tidak mau bicara denganku.
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d