"Tuan Raymond?" Dion menerobos masuk ke dalam ruang kerja Raymond dengan begitu tergesa-gesa. "Jika kau datang hanya mengatakan belum mendapatkan apa pun, lebih baik kau pergi," seru Raymond dengan tatapan menghunus tajam ke arah asisstantnya. "Saya sudah mendapatkan data tentang Tuan Dimitry, Tuan," jawab Dion cepat. Raymond membuang napas kasar. "Katakan apa yang kau dapat?" "Tuan Dimitry pernah memiliki skandal dengan adik dari istrinya. Selain itu beberapa hari lalu saya berhasil menemukan sebuah mobil silver tertangkap kamera CCTV berada di Geovan Company," ujar Dion. "Mobil Silver? Apa kau mendapatkan plat mobil itu?" tanya Raymond yang tak sabar. "Sudah Tuan, saya sudah mendapatkan plat mobil itu," jawab Dion. "Kau sudah melacak alamat mobil silver itu?" Raymond kembali bertanya dengan tatapan begitu serius. "Adrian Franklin. Saya melihat mobil itu menuju kediaman Adrian Frankilin, Tuan," jawab Dion. "Adrian Franklin?" Raymond menautkan alisnya. "Apa William pernah mem
Flashback on#Albert melajukan mobil dengan kecepatan sedang menuju bandara. Sedangkan Wiliam yang duduk di samping Albert, lebih memilih melihat ke luar jendela. Namun, seketika senyum di bibir William terukir saat melihat ada sebuah mobil putih dengan jarak yang cukup dekat dengannya tengah mengikutinya. "Albert, ada yang mengikuti kita," tukas William dingin. Albert melirik ke arah spion, dan benar saja sebuah mobil tengah mengikutinya. "Tuan, apa rencana selanjutnya?" "Buat mereka seolah tahu kita pergi ke Milan," balas William dengan sorot mata menerawang ke depan. "Maaf Tuan? Seolah pergi ke Milan? Maksud Tuan kita tidak akan pergi ke Milan?" tanya Albert hati-hati. "Ya, jika mereka sudah tahu tujuanku ke Milan, maka mereka telah merencanakan sesuatu," jawab William. "Hubungi yang lain, melacak orang yang mengikuti kita." Albert mengangguk. "Baik Tuan. Lalu bagaimana dengan keadaan hotel di Milan?" "Minta direktur pemasaran untuk ke Milan besok pagi. Aku akan melihat hasi
"Ah satu lagi. Laura Geovan maaf maksudku Laura Jefferson, adikmu yang cantik itu. Maaf karena hingga detik ini adikmu belum sadar, bahkan wajah cantiknya harus rusak. Kau harus menyalahkan adik iparmu Raymond Jefferson, yang ikut campur dalam hal ini," tukas Adrian dengan seringai di wajahnya."Adrian Franklin, kau telah berani menyentuh istriku! Aku akan menghancurkanmu!" desis Raymond dengan geraman tertahan. Tatapannnya menghunus tajam ke arah Adrian. Jika Frans lepas kendali ingin menyerang Adrian, berbeda dengan Raymond yang tetap tidak bergeming pada tempatnya. Bukan tidak ingin melawan, tapi Raymond menunggu waktu untuk menyerang pria yang berani melukai anak dan istrinya itu.Adrian kembali tertawa melihat kemarahan Raymond. Sedangkan William masih tetap diam, namun tatapan William kali ini menatap tajam dan penuh kemarahan pada pria di hadapannya itu."Berikan aku alasan, kenapa kau berniat menghancurkanku. Aku bahkan tidak pernah menjalin kerja sama denganmu." Suara William
Kondisi ruangan itu begitu menegangkan, William dan Adrian saling melemparkan tatapan tajam dan permusuhan. Terlihat William tetap tenang, kala anak buah Adrian mengarahkan pistol ke kepalanya. Albert yang berdiri di samping William, dia langsung mengarahkan pistol ke kepala Adrian."Kau tidak akan pernah bisa selamat dari sini, William," tukas Adrian tajam.William tersenyum sinis. "Perkataan itu hanya tepat untukmu. Kau yang tidak akan pernah bisa selamat, karena telah berani melawanku.""Kau pikir dengan mengetahui kenyataan kau adalah pemegang saham di perusahaanku, aku harus takut padamu? William Geovan, nyatanya kau tidak akan pernah bisa keluar dari sini." Adrian tertawa, dia begitu mengejek William yang terlihat begitu santai dan percaya diri. Bagi Adrian, siapapun, yang datang menghampirinya, tidak akan pernah mungkin untuk bisa selamat. "Apa cara yang kau lakukan untuk bisa menahanku di sini? Apa kau meminta anak buahmu untuk menyerangku?" William menyeringai, dia berkata p
Marsha menatap keluar jendela. Sudah dua hari kondisi kesehatannya menurun. Meski dia tidak ingin makan apapun, tapi dia masih berusaha memaksakan dirinya untuk makan. Beruntung, Karin selalu menemani Marsha. Namun, Marsha tidak pernah bisa diajak bicara oleh Karin. Hanya terkadang Karin berusaha meminta Marsha fokus pada kandungannya. Dan kenyataannya, Marsha terus menangis. Dia tidak henti memanggil nama William. Setiap malam, Karin menemani Marsha tidur, tapi Marsha tetap masih tidak berhenti menangis. "Marsha? Apa kau sudah makan?" Karin yang berdiri di ambang pintu, dia menatap Marsha yang tengah melamun. Dia langsung mendekat dan duduk di samping sahabatnya itu. Marsha menoleh menatap Karin yang ada di sampingnya. "Karin, apa kau sudah mendengar kabar tentang William? Kenapa hingga detik ini aku belum mendapatkan kabar tentang William?" tanya Marsha dengan suara begitu lemah. Terlihat wajahnya begitu rapuh dan tatapan yang sendu. Karin menyentuh tangan Marsha, dia mengelus pu
"Karin.." Langkah Karin terhenti, ketika ada yang memanggil namanya. Dia langsung membalikan tubuhnya ke sumber suara itu. Seketika tubuhnya mematung, kala melihat Frans melangkah mendekat ke arahnya. Saat Frans mendekat, Karin segera mundur perlahan. Matanya berembun, saat melihat Frans. Ya, sejak kejadian Karin melihat Frans tidur di hotel dengan seorang wanita, Frans tidak menemuinya sama sekali. Bahkan Frans tidak menjelaskan apapun padanya. Dengan cepat, Karin memutar tubuhnya hendak meninggalkan Frans. Namun, langkahnya kembali terhenti saat Frans menahan lengannya. Tatapan Karin menghunus tajam ke arah Frans yang memegang tangannya. Karin menghentakan tangannya, dia tidak mau Frans menyentuh dirinya. Sebisaa mungkin Karin mendorong tubuh Frans, tapi ketika Karin berontak, Frans langsung memeluk erat tubuh Karin. "Lepas! Aku tidak mau disentuh olehmu! Lepasakan aku!" Karin mendorong tubuh Frans, dia terus memukul Frans agar pria itu melepaskan dirinya. Tapi percuma saja, tena
William menatap Marsha yang tertidur pulas dalam pelukannya. Sejak tadi Marsha tidak mau lepas darinya. William mengelus lembut pipi Marsha, dia memberikan kecupan bertubi-tubu di bibir istrinya. Marsha menggeliat, dia merasakan ada yang menyentuhnya. Dia mulai membuka matanya. Senyum di bibirnya terukir melihat suaminya tengah menciumnya. Marsha mengeratkan pelukannya. Dia membenamkan wajahnya dalam pelukan William. Mencium aroma parfume milik suaminya yang selalu menjadi candu baginya. Kemudian, Marsha mendongakan kepalanya dalam pelukan William. "William, kenapa kau belum menceritakan padaku tentang berita di televisi beberapa hari lalu?" William tersenyum, dia mengecup kening Marsha. Sebelumnya, William memang sengaja untuk tidak langsung menceritakannya. Mengingat kondisi kesehatan Marsha menurun, itu yang membuat William menunda untuk menceritakan pada istrinya itu. William menyelipkan rambut Marsha ke belakang daun telinga istrinya itu. "Maaf membuatmu cemas dan khawatir. A
Sudah beberapa hari setelah William pulang ke rumah, Marsha tidak pernah mau ditinggal. Itu yang membuat William harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya di rumah. Kemarin, media memberitakan kabar tentang Adrian Franklin yang saat ini berada di penjara. Meski William sudah mengatakan pada Marsha, semuanya telah baik-baik saja, tapi Marsha tetap selalu merasa khawatir. Bahkan Marsha juga melarang William untuk melakukan perjalanan bisnis. Marsha memperbolehkan William untuk melakukan perjalanan bisnis, jika pergi bersama dengannya. Marsha melangkah keluar dari kamar mandi, dia baru saja selesai berendam. Tatapannya kini menatap jam dinding, kini sudah pukul dua siang. Kemudian, Marsha langsung mengganti pakaiannya dengan dress sederhana khusus ibu hamil. Setelah mengganti pakaiannya, Marsha memutuskan untuk menyusul William di ruang kerjanya. Meski berada di rumah, William akan tetap menyelesaikan pekerjaannya. "William?" panggil Marsha saat masuk ke dalam ruang kerja William. Wi
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d