"Sudah tenang?" tanya Bunda Tina saat Almera selesai minum. Tadi setelah menunggu beberapa menit, tangis Almera mereda. Ayah dan Bunda pun membawa Almera masuk, tidak enak juga jika dilihat tetangga apalagi kondisi Almera yang berantakan.
Almera mengangguk. Jujur saja saat ini dia berasa malu sekali. Kenapa tadi dia bisa kelepasan hingga menangis histeris seperti itu sih! Dulu dia akan menangis jika tidak dibuatkan kue coklat dan itu hanya menangis dalam diam, tidak seperti tadi. Namun dia tidak bisa berbohong bahwa sekarang hatinya terasa plong.
"Sekarang cerita, pelan-pelan aja," ucap Ayah Grisham. Dia cukup penasaran dengan alasan dibalik tangisan Almera tadi. Setahu dia, Almera itu anak yang kuat, bar-bar dan tidak mudah menangis. Sangat jarang sekali dia menunjukan kelemahannya, baru kali ini dia bersikap layaknya perempuan pada umumnya, menangis sampai histeris.
"Bunda, masih ingat sama cerita Al yang nabrak kemarin?" tanya Almera memulai pembicaraan.
Bunda Tina mengangguk.
"Sewaktu pulang, Al itu salah masuk mobil orang, Bun, Yah." Almera menatap Ayah dan Bundanya bergantian.
Ayah Grisham mengernyit bingung. "Kenapa sampai salah masuk mobil? Memangnya mobil kamu dimana?"
"Mobilnya Al tinggal di lampu merah, Yah. Al kira itu taxi karena ada perempuan yang turun dari mobil itu, ternyata karyawannya," jelas Almera menunduk, takut jika sang Ayah akan marah saat tahu bahwa dia meninggalkan mobilnya disembarang tempat.
"Terus apa hubungannya sama kamu nangis tadi, Sayang?" tanya Bunda Tina yang tidak paham.
"Orangnya itu minta Al untuk datang ke kantornya, Bun. Ternyata dia nyuruh Al untuk membersihkan gudang, tadi Al dikunci selama 4 jam dan gudang itu enggak ada jendelanya," terang Almera dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Kenapa hari ini dia ingin menangis terus?
"Wah, kurang ajar banget itu orang. Memangnya dia siapa? Sudah nyuruh anak gadis Bunda bersihkan gudang, dikunci lagi. Kalau ada apa-apa sama kamu bagaimana? Bunda akan tuntut itu orang!" geram Bunda Tina. Dia tidak terima jika putrinya diperlakukan seperti itu. Dia saja sebagai Ibunya tidak pernah menyuruh Almera untuk membersihkan gudang, sedangkan dia? Dengan seenaknya mengunci putrinya di gudang, memangnya Almera tikus?
"Yang bikin Al takut itu ada kardus yang bergerak, Bun, Yah. Terus tiba-tiba ada boneka yang keluar," sela Almera.
Ayah Grisham langsung menoleh cepat ke arah Almera. Bahkan Bunda Tina yang tadinya mengomel langsung terdiam. Keduanya saling berpandangan, apa mereka tidak salah mendengar?
"Kamu enggak lagi bercanda 'kan, Sayang?" tanya Ayah Grisham memastikan.
Almera menggeleng cepat. "Enggak, Ayah. Al serius," jawab Almera dengan nada yang meyakinkan.
"Yasudah, sekarang kamu bersih-bersih terus makan," ucap Bunda Tina mengalihkan pembicaraan.
"Kalian enggak percaya sama Al?" tanya Almera.
"Percaya kok. Memangnya kamu enggak risih dengan keadaan kamu yang seperti itu?" tanya Ayah Grisham.
Almera menunduk, menatap pakaiannya sendiri. Astaga, kenapa dia baru sadar bahwa penampilannya sangat kucel.
"Risih banget, Al mau mandi dulu ya," pamit Almera yang kemudian berlari menuju lantai dua.
"Yah," panggil Bunda Tina gelisah.
"Enggak papa, cuma kebetulan," ucap Ayah Grisham menenangkan Bunda Tina dengan mengelus pundaknya pelan.
**
Almera keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah melekat indah di tubuhnya, wajahnya terlihat sangat segar. Dengan langkah pelan, Almera berjalan menuju meja rias, dia ingin mengeringkan rambutnya dan berskincare ria.
"Ternyata gue cantik banget ya," gumam Almera yang menatap pantulan dirinya di cermin.
Setelah selesai dengan segala urusannya, Almera berjalan keluar kamar. Ternyata hari sudah sore, pantas saja cacing di perutnya sudah berdendang meminta makan.
"Bun," panggil Almera berjalan menghampiri Bunda Tina yang menata makanan di meja makan.
"Mau makan sekarang?" tanya Bunda Tina tanpa menoleh ke arah Almera.
Meskipun Bundanya tidak melihat, Almera tetap mengangguk lalu mendudukkan dirinya di kursi.
"Ini, Sayang," ucap Bunda Tina menyodorkan sepiring nasi di hadapan Almera.
"Terima kasih, Bunda." Dengan semangat Almera mengambil kuah soto. Hidungnya tidak tahan dengan aroma soto yang sangat menggoda. Bunda Tina yang sudah sangat hapal dengan kebiasaan Almera hanya menghela napas. Almera jika bertemu soto pasti mengambil suwiran ayam dalam jumlah banyak dan hanya menyisakan sedikit untuk anggota keluarga yang lain.
Almera memakan makanannya dengan lahap. Masakan Bundanya memang sangat nikmat. Apalagi dalam keadaan yang masih panas seperti sekarang. Tanpa menunggu lama Almera sudah menyelesaikan makannya, hingga bersih tidak tersisa satu butirpun.
"Sudah, mau nambah lagi?" tanya Bunda Tina. Sedari dulu dia selalu menemani suami dan anak-anaknya makan hingga selesai.
Almera yang sedang minum hanya bisa mengangguk.
"Bunda mau bicara boleh?" tanya Bunda Tina saat Almera sudah meletakkan gelas yang sudah kosong.
"Ngomong aja, Bun," sahut Almera.
"Bagaimana keputusan kamu tentang perjodohan itu, Sayang?" tanya Bunda Tina. Sebenarnya yang akan menanyakan hal ini adalah suaminya. Namun karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan, jadilah dia yang bertanya.
"Bunda, Al enggak mau," ucap Almera memelas. Dia tidak ingin dijodohkan, selain tidak kenal dengan orangnya, dia juga ingin lulus kuliah hingga mencapai cita-citanya untuk memiliki sanggar tari.
"Sayang, lihat Bunda." Bunda Tina menangkup wajah Almera supaya menghadapnya.
"Kenapa enggak mau? Memangnya kamu enggak kasihan sama Bunda dan ayah? Lagi pula lelaki yang akan dijodohkan dengan kamu itu anak teman ayah. In sya Allah dia adalah jodoh yang tepat untuk kamu. Bunda dan ayah mau yang terbaik untuk kamu, Sayang. Enggak mungkin Bunda menjerumuskan anak Bunda sendiri," ucap Bunda Tina menatap dalam mata Almera. Dia menjodohkan Almera karena dia ingin yang terbaik untuk anak bungsunya ini. Dia tidak ingin Almera salah dalam memilih jodoh.
"Bunda," rengek Almera. Hatinya terenyuh saat Bundanya berkata seperti itu. Dia harus bagaimana? Di satu sisi dia tidak mau dijodohkan, tetapi di sisi lain dia tidak ingin membuat kedua orang tuanya sedih.
"Al, mau ya," desak Bunda Tina.
Almera hanya diam menatap wajah sang Bunda yang menatap dirinya dengan penuh harap. Almera sangat paham dengan sifat kedua orang tuanya yang tidak mudah menyerah sebelum mendapatkan apa yang mereka mau. Dia yakin, mereka pasti akan terus mendesaknya untuk menerima perjodohan ini. Menurutnya ini sangat konyol, sekonyong-konyong koder.
"Ini masih tahap pendekatan 'kan, Bun?" tanya Almera. Mungkin dia bisa mempertimbangkan jika perjodohan ini hanya untuk pendekatan, jika tidak cocok ya tidak dilanjutkan.
Bunda Tina menggeleng. "Enggak, Sayang."
Almera menatap Bundanya dengan kening berkerut. Maksudnya enggak itu apa?
"Tunangan?" tanya Almera memastikan.
"Enggak juga, Sayang," jawab Bunda Tina.
Almera semakin dibuat bingung. Pendekatan katanya enggak, pertunangan juga enggak, lalu apa? Pikiran Almera berkelana kemana-mana. Apa jangan-jangan menikah? Oh no! Dia tidak ingin menikah muda. Bagaimana dengan nasib kuliahnya? Teman-temannya pasti mengira dia hamil duluan.
"Sayang."
"Sayang."Almera menoleh, ternyata Ayahnya yang memanggilnya. Dia semakin dibuat takut, bagaimana ini?"Bagaimana?" tanya Ayah Grisham.Almera yang sudah tahu kemana arah pembicaraan sang Ayah hanya terdiam kaku. Pikirannya mendadak blank, dia tidak bisa memikirkan alasan apa yang pas untuk menolak perjodohan ini."Perjodohan maksudnya kita pendekatan gitu 'kan, Yah?" tanya Almera. Siapa tahu jawaban Ayah berbeda dengan Bundanya."Iya, pendekatan setelah menikah," jawab Ayah Grisham tersenyum.Seperti ada bom yang meledak di dadanya, jantung Almera langsung berdegup kencang dua kali lipat. Dia berharap jawaban Ayah berbeda dengan Bundanya dan ternyata memang berbeda, saking berbedanya hampir membuat dia terjengkang karena terkejut. Ternyata tebakannya tidak salah."Kalian mau ngusir Al secara halus ya?" tanya Almera dengan wajah yang seolah tersakiti. Siapa tahu bakat aktingnya berguna disaat seperti ini, membantunya untuk kelua
Ayah Grisham terus mencoba menghubungi nomor Almera, tetapi selalu diluar jangkauan. Sedari tadi Bunda Tina tidak berhenti menangis. Dia khawatir, apalagi sekarang sudah malam. Kemana perginya Almera? "Bun, apa Almera kabur karena tidak mau dijodohkan?" tanya Ayah Grisham mendudukkan dirinya di samping Bunda Tina yang bersandar lemas di sofa. "Enggak tahu. Ayo cari Al, Yah," ucap Bunda Tina pelan. Tenaga dia seakan terkuras karena memikirkan putri bungsunya itu. "Kita cari kemana, Bun?" tanya Ayah Grisham frustrasi. Sudah malam begini dia harus mencari Almera kemana? Sedangkan rumah sahabat Almera saja dia tidak tahu. ** Sedangkan yang dikhawatirkan justru asik berjoget ria. Ya, dia Almera. Dia memutuskan untuk kabur dari rumah, hanya dengan cara seperti ini dia bisa menolak perjodohan sialan itu dan disinilah dia berada sekarang, di rumah Widya. Tadi Widya sedang asik memutar musik dengan berjoget, lalu Almera datang secara tiba-tiba tanpa me
Setelah drama kabur dan saling meminta maaf, Almera kembali ke rumah dengan kedua orang tuanya."Bun," panggil Almera yang tidur di paha Bunda Tina."Ada apa hm?" tanya Bunda Tina menunduk.Almera merubah posisi menjadi duduk. "Nikahnya masih lama 'kan, Bun?" tanya Almera. Meskipun dia sudah menerima perjodohan ini, tetapi rasanya masih belum siap jika harus menikah begitu cepat."Nanti malam kita bertemu sama keluarga calon kamu untuk membahas lebih lanjut," jawab Bunda Tina tersenyum lembut.Badan Almera langsung tegak. Nanti malam akan bertemu dengan calonnya? Kenapa dia menjadi ragu dan takut? Bagaimana jika calonnya itu bapak-bapak tua berjenggot yang sudah beristri, atau om-om pedofil dengan perut buncitnya."AAAA!" teriak Almera tiba-tiba yang membuat Bunda Tina terlonjak kaget."Anak ini ... mau buat Bunda terkena serangan jantung, iya?" Bunda Tina menjewer telinga Almera saking kesalnya. Anaknya yang satu ini selalu membuat d
"Maaf, saya terlambat." Suara bariton khas seorang lelaki dewasa membuat Almera menundukkan kepalanya dalam. Dia takut untuk melihat seseorang itu, dia yakin itu adalah lelaki yang akan dijodohkan dengannya.Bunda dan Ayah tersenyum lebar. Akhirnya seseorang yang sedari tadi mereka tunggu datang juga."Enggak papa, Nak. Ayo duduk," ucap Bunda Tina ramah yang dijawab anggukan oleh lelaki itu, kemudian mencium tangan Bunda dan Ayah dengan sopan."Ini anak saya," ucap Ayah Grisham menunjuk Almera yang tetap pada posisinya, menunduk.Bunda Tina menyenggol lengan Almera pelan. Memberi kode supaya mengangkat kepalanya.Almera yang paham dengan kode Bundanya mendengkus kesal. Apa Bundanya ini tidak tahu bahwa dia belum siap untuk melihat wajah calon suaminya. Karena takut terkena omelan, Almera mengangkat kepalanya pelan. Saat sudah terangkat sempurna, mata Almera melotot kaget saat tahu siapa seseorang yang duduk di hadapannya."Loh, Bapak?"
"Pagi, Yah, Bun," sapa Almera mencium pipi kedua orang tuanya yang sudah duduk tenang di meja makan."Pagi juga, Sayang," balas Bunda Tina."Pagi, Calon manten," balas Ayah Grisham menggoda.Almera memberenggut kesal. Baru saja dia lupa akan pertunangan semalam, sekarang Ayah dengan santainya mengingatkan. Semalam dia tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena terus memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Dia selalu terbayang bagaimana jadinya jika dia menikah dan satu rumah dengan lelaki seperti Romeo. Dia juga memikirkan bagaimana dengan tambatan hatinya? Padahal dia sangat menyukai Farrel."Jangan digoda dong, Yah. Lihat tuh bibirnya sudah seperti bebek," ledek Bunda Tina terkekeh geli."Bunda," rengek Almera."Lebih baik kita makan daripada kalian goda Al terus, enggak akan kenyang," lanjut Almera."Iya, kamu mau makan apa?" tanya Bunda Tina.Almera menyodorkan piringnya. "Nasi goreng."Lalu Bunda Tina mengambil piring
"Guys, gimana kalau kita ke rumah Almera. Girls Time kita," usul Amel mengalihkan pembicaraan. Daripada nanti drama Almera semakin berkepanjangan, lebih baik dia mengalihkan pembicaraan."Boleh," sahut Almera menyetujui."Sekarang ke kelas yuk!" ajak Widya.Mereka bertiga pun berjalan menuju kelas diiringi canda tawa. Jika sudah berkumpul menjadi satu seperti ini, mereka tidak akan bisa diam. Selalu ada bahan untuk dibuat lelucon. Apalagi Almera yang sudah bar-bar dari dulu, selalu bisa membuat orang sekitarnya tertawa dan emosi dalam waktu yang bersamaan. Setelah sampai di kelas, mereka duduk di kursinya masing-masing. Tidak lama kemudian dosen masuk."Baru juga duduk, sudah muncul aja itu dosen. Untung gue enggak terlambat," gumam Almera. Hari ini dia ada jam pelajaran yang dosennya terkenal killer. Jika ada yang terlambat maka akan mendapat hukuman, menari di depan kelas. Almera sendiri tidak pernah terlambat dalam kelas dosen ini, karena Almera selalu
Tidak terasa waktu cepat berlalu. Saat ini di rumah Almera sangat ramai, para saudara Almera yang dari luar kota maupun luar negeri sudah datang. Mereka ingin menyaksikan pernikahan Almera yang akan diselenggarakan 3 hari lagi. Hari ini rencananya Almera akan fitting baju bersama Romeo."Dek," panggil seseorang di balik pintu kamar Almera.Almera yang sedang memakai skincare pun menoleh. "Masuk!""Kakak, ada apa?" tanya Almera kepada seseorang yang baru masuk ke kamarnya. Dia adalah Vika, kakak kandung Almera yang sudah menikah."Adek, sini!" Kak Vika mendudukkan dirinya di kasur Almera.Almera menurut dan berjalan menuju kakaknya berada."Adek, ternyata sudah besar ya. Sudah mau menikah," ucap Kak Vika mengelus rambut Almera sayang."Padahal kakak belum puas main sama, Adek. Bukannya kakak enggak suka Adek menikah, tetapi kakak hanya enggak menyangka. Adek kecil ini sudah besar," lanjut Kak Vika dengan mata yang berkaca-kaca. Dia sed
Romeo yang sedang asik bermain handphone langsung mendongak kala ada yang memanggil namanya. Romeo menyimpan handphone nya di saku celana, pandangan matanya tidak lepas dari Almera."Bagaimana, Pak?" tanya Almera menunjukkan gaun yang dia pakai."Punggungnya terbuka, ganti!" perintah Romeo."Pa-""Ganti!" perintah Romeo mutlak.Almera mendengkus kesal. Padahal baju ini begitu bagus dan hanya karena bagian punggungnya terbuka, dia disuruh ganti? Almera rasa Romeo tidak paham dengan fashion, karena banyak orang yang memakai gaun lebih terbuka dari ini."Dasar Bapak kudet," gerutu Almera melirik sinis Romeo, kemudian berjalan menuju ruang ganti.Beberapa menit kemudian, Almera kembali ke hadapan Romeo dengan pakaian yang berbeda dan warna yang berbeda pula. Jika tadi berwarna biru, maka sekarang berwarna soft pink."Kalau yang ini bagaimana,
Di sebuah ruangan berwarna abu-abu, terdapat seorang pria yang berdiri di dekat jendela. Romeo, pria yang dulunya bertubuh kekar kini semakin kurus. Rambut-rambut halus mulai tumbuh di sekitar dagunya. Bahkan kumisnya sudah tebal seperti bapak-bapak yang ada di warung kopi. Dengan tangan yang berada di saku celana, Romeo menatap kosong langit malam yang penuh bintang. Sudah pukul sepuluh malam, tetapi matanya enggan terpejam. Padahal besok pagi ada rapat penting. Ingatannya kembali berputar pada kejadian beberapa bulan lalu. Di saat Almera masih di sini dan dia melukainya seenak hati. Perasaan bencinya kepada Almera telah melebur menjadi penyesalan. Penyesalan yang sangat dalam. "Bahkan sampai saat ini pun saya belum bisa nemuin kamu," ujar Romeo tersenyum kecut. Hidup memang selalu berputar. Jika dulu nama Almera tidak pernah ada di pikirannya, maka sekarang tiada hari tanpa memikirkan perempuan itu. Semakin memikirkan maka semakin dalam dan besar pu
"Wid, Widya," panggil Almera mengetuk pintu kamar Widya. Ketukan yang awalnya pelan semakin keras dan cepat saat tidak mendapat sahutan dari sahabatnya. "Widya! Widya!" teriak Almera tidak sabaran. Sedangkan di dalam kamar, Widya yang sedang tidur siang pun mulai terusik. Mengubah posisi tidurnya menjadi miring lalu menutup telinganya dengan bantal. Merasa tidak berguna, Widya melempar bantalnya asal dan kembali terlentang. Selanjutnya, dia menendang selimut lalu bangkit dengan mata yang memerah. Antara mengantuk dan marah. Widya membuka pintu kasar. "Apaan sih? Lo ganggu tidur gue tau nggak!" Bukannya merasa takut atau bersalah, Almera justru cengengesan tidak jelas. "Wid, jalan-jalan yuk!" ajak Almera antusias. Dengan gerakan malas, Widya menoleh ke dalam kamarnya, melihat jam yang menunjukkan pukul satu siang. Seketika matanya melotot. "Lo gila? Siang-siang gini lo ngajak gue jalan? Please deh, Al, lo jangan aneh-aneh. Ini panas ban
"Bagaimana?" tanya Romeo kepada Rizky yang berdiri di depannya. Saat ini keduanya berada di ruangan Romeo.Rizky mengernyit tidak paham. Ini Bosnya bertanya tentang apa sih? "Maaf, Pak, maksudnya apa ya?""Bagaimana kabar pencarian Almera? Apa sudah menemukan jejak?" tanya Romeo memperjelas, membuat bibir Rizky membentuk bulatan kecil seraya mengangguk pelan."Maaf, Pak. Belum ada," jawab Rizky menatap Romeo sendu. "Terakhir kali mereka berdua berada di rumah Widya."Romeo menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Punggung tegapnya dia sandarkan pada sandaran kursi. Perlahan matanya terpejam dengan tangan kanan yang memijat pelan pelipisnya. Kepalanya semakin sakit, begitu pula dengan rasa bersalah dan juga gelisah.Kapan dia bisa bertemu Almera? Harus berapa lama lagi dia menunggu kabar tentang keberadaan sang istri? Atau mungkin selamanya dia t
Hal yang paling membahagiakan bagi para orang tua adalah dengan kehadiran anggota keluarga baru. Apalagi seorang bayi mungil yang menggemaskan. Meskipun tidak ada hubungan darah, tetapi orang tua Widya begitu antusias saat mendengar kabar tentang kehamilan Almera. Mereka yang awalnya sedang perjalanan bisnis di Bandung langsung terbang ke Bali. Selama perjalanan, senyum Vania dan Efendi - orang tua Widya tidak luntur satu detik pun. Perasaan mereka benar-benar bahagia. Brak! Suara pintu yang dibuka kencang sukses membuat Almera yang sedang menonton kartun terlonjak kaget. Belum sempat melihat siapa pelakunya, Almera kembali dikejutkan dengan sebuah pelukan yang sangat erat. Sampai membuat badannya sedikit terhuyung. Tidak jauh berbeda dengan Almera, Widya dan Nenek Mia yang berada di dapur pun juga terkejut. Keduanya saling pandang lalu berjalan tergopoh-gopoh menuju tempat Almera dengan perasaan panik. Takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada ibu h
"Nek, Widya mana?" tanya Almera kepada Nenek Mia yang sedang menata makanan di meja.Mendengar suara seseorang yang semalam membuatnya khawatir, lantas Nenek Mia menghentikan kegiatannya dan mendongak. Terlihat Almera yang memakai dress berwarna abu-abu selutut berdiri empat langkah di depannya."Kamu sudah bangun, Nak? Ayo makan dulu!" ajak Nenek Mia tanpa menjawab pertanyaan Almera. Kakinya bergerak gesit menghampiri Almera dan menuntunnya duduk. Senyumnya pun merekah bahagia.Semua rasa khawatir yang dia rasakan semalam langsung sirna.Almera duduk dengan wajah bingungnya. "Nenek, Widya mana?""Oh itu Widya lagi di toko," jawab Nenek Mia santai yang mendapat tatapan penuh binar dari Almera."Almera mau ke sana! Ayo, Nek! Al udah dari kemarin-kemarin pingin ke toko roti punya Nenek." Almera menatap antusias Nenek Mia yang hendak meng
"Inget ya, Al, lo nggak boleh makan sembarangan. Harus banyak istirahat. Nggak boleh banyak pikiran," ucap Widya seraya menuntun Almera menaiki tangga menuju kamarnya. Sejak Almera sadar dan diperiksa bahwa sahabatnya itu hamil, Widya tidak berhenti mengeluarkan petuah-petuah dengan kalimat yang sama secara berulang. Terutama nenek Mia yang sangat antusias hingga langsung membuat kue untuk dibagikan ke tetangga. Sedangkan sang empu justru menutup mulut rapat-rapat dengan pandangan kosong. Pikiran dan perasaannya menjadi campur aduk. Meskipun sudah menikah dan menginginkan malaikat kecil hadir di rumah tangganya, tetapi tidak cara seperti ini. Calon anaknya hadir karena paksaan yang Romeo kira bahwa dirinya adalah Citra, kekasihnya. Bukan atas dasar saling mau dengan balutan cinta yang menggebu. Ada rasa terkejut, sedih, marah dan senang di hati Almera. Kenapa anak ini hadir di saat dirinya masih dibaluti rasa takut dan pergi dari Romeo? Bagaimana cara dia men
Di dalam ruangan yang tampak berantakan dengan kertas yang berhamburan, Romeo duduk termenung di meja kerjanya. Beberapa hari tidak datang ke kantor membuat mejanya dipenuhi tumpukan berkas. Karena memang sedang dalam kondisi hati dan pikiran yang kacau, akhirnya tanpa ragu Romeo melempar semua berkas-berkas tersebut. Sebenarnya laki-laki yang memakai kemeja biru muda itu sangat malas untuk bekerja. Dia hanya ingin mencari Almera. Namun, atas paksaan papanya dengan dalih akan membantu mencari Almera, akhirnya Romeo pun menurut. Meskipun sekarang yang dia lakukan hanya duduk termenung. Romeo menunduk dengan tangan yang memegang kening dan mata terpejam lelah. "Almera, maaf," gumamnya. Semenjak kepergian Almera, Romeo merasakan sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Hatinya terasa kosong seolah ada yang hilang. Bahkan Romeo tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bagaimana tidak, setiap memejamkan mata selalu terbayang wajah Almera dari yang tersenyum hingga menangis.
"Sini, Nak, makan!" Nenek Mia melambaikan tangannya memanggil Almera yang baru saja datang dari arah tangga. "Nenek hari ini masak sop buntut, perkedel sama sambal. Kata Widya, kamu suka sama sayur sop." Mendengar perkataan Nenek Mia, Almera langsung mengalihkan pandangannya ke meja makan. Benar, makanan yang disebut Nenek Mia sudah tertata rapi dan terlihat menggoda. "Widya mana, Nek?" tanya Almera setelah duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. "Tadi pamitnya mau ke depan sebentar. Udah biarin aja. Sekarang kamu makan ya? Yang banyak, mau dihabisin juga nggak papa," jawab Nenek Mia seraya mengambil piring Almera lalu mengisinya dengan nasi yang lumayan banyak. Almera dibuat meringis melihat piringnya yang penuh. Porsi makannya tidak sebanyak itu! "Nek, udah nanti aku ambil sendiri aja kalau kurang. Ini kebanyakan," ungkap Almera mengambil alih piring tersebut. "Sekarang kamu makan gih! Nenek mau nyiram tanaman dulu." Tanpa
Sesuai ajakan Widya kemarin, kini sepasang sahabat itu sedang berada di pantai. Sebenarnya, Almera ingin ke pantai ketika hari sudah menjelang sore. Namun apalah daya, Widya sang sahabat dengan tidak tahu dirinya justru membangunkan Almera dari pagi-pagi buta. Bahkan Nenek Mia saja lelah dengan tingkah Widya yang terus merengek untuk segera berangkat. Entah Widya yang memang tidak pernah ke pantai atau ada maksud terselubung hingga gadis itu begitu antusias. "Bagusnya kalau ke pantai itu sore-sore. Sekalian liat sunset," gerutu Almera menghentakkan kakinya kesal. Di dalam hati perempuan yang memakai kaos berwarna biru dan dipadukan dengan hotpants itu tidak berhenti untuk menyumpah serapahi sahabatnya. Bayangkan, Widya membangunkan dirinya dari mulai pukul empat pagi. Cara membangunkannya pun tidak ada sopan-sopannya. Mengguncang, menyiratkan air dan memutar musik dengan volume full tepat di telinganya. Sebenarnya Widya ini ingat tidak sih kalau Almer