"PAK!"
Romeo yang sedang memacu langkahnya supaya segera sampai di gudang seketika berhenti mendadak. Siapa yang berteriak seperti itu? Sangat tidak sopan, apalagi dia sedang terburu-buru. Pikirannya bercabang, bagaimana keadaan perempuan itu? Bagaimana pun juga jika terjadi sesuatu pasti yang terkena adalah dia dan perusahaan.
"Ada apa?" tanya Romeo dengan nada datar. Ternyata yang berteriak tadi adalah Rizky, pantas saja begitu berani. Karena setahu dia, seluruh karyawan disini tidak ada yang berani memanggilnya dengan cara berteriak.
"Bapak, mau kemana?" tanya Rizky setelah sampai di depan Romeo dengan napas yang naik turun.
"Gudang," jawab Romeo singkat.
"Saya ikut ya, Pak," pinta Rizky.
Romeo menaikkan sebelah alisnya. "Punya kaki sendiri, jalan sendiri. Kenapa masih izin?" Romeo langsung melenggang pergi meninggalkan Rizky yang terbengong. Sungguh sangat pedas sekali omongan bosnya itu. Padahal dia meminta izin supaya terlihat sopan, tetapi responnya? Sangat menakjubkan. Nanti jika dia tidak izin, pasti dimarahi karena ikut campur urusan bosnya. Tidak mau kehilangan jejak bosnya, Rizky bergegas mengikutinya.
"Pak, mau ngapain ke gudang?" tanya Rizky penasaran setelah sampai di gudang dan Romeo mengeluarkan kunci dari saku jasnya.
Romeo tidak menjawab dan terus melanjutkan kegiatannya, membuka pintu gudang. Sepi menyapa, saat pintu sudah terbuka sempurna. Seperti gudang pada umumnya, tidak ada suara atau tanda-tanda adanya seseorang. Romeo memasuki gudang dan menatap sekelilingnya. Ternyata Almera sudah mengerjakan pekerjaannya, terbukti dari gudang yang terlihat rapi dan bersih. Tetapi kemana perginya Almera?
"Bapak, mencari siapa?" tanya Rizky mengernyit bingung, melihat tingkah Romeo yang seperti mencari seseorang.
"Almera," jawab Romeo singkat.
"Maksudnya, Almera ada disini, Pak?" tanya Rizky memastikan, semoga saja tebakannya salah. Namun, semuanya pudar saat Romeo menganggukkan kepalanya yang berarti iya.
"Bantu saya cari Almera." Romeo terus memperhatikan sekelilingnya. Dia yakin bahwa Almera masih disini, karena kondisi gudang ini tidak memungkinkan untuk kabur. Disini tidak ada jendela, apalagi pintu yang terbuat dari besi sangat tidak mungkin untuk perempuan seperti Almera mendobrak.
"Pak, itu," tunjuk Rizky ke arah pojok dekat pintu. Romeo menoleh, menghampiri seseorang yang sedang berada meringkuk seperti ketakutan.
"Khem," deham Romeo menepuk bahu Almera pelan. Almera tidak bergerak dari posisinya, hanya suara isak tangis yang terdengar sangat pelan.
"Dek," panggil Rizky mengelus rambut Almera yang berantakan.
Almera mendongak. Matanya sembab, hidungnya memerah, terlihat sangat memprihatinkan dengan jejak air mata di kedua pipinya. Almera menghapus air matanya kasar, lalu menatap Romeo tajam. Dia kesal, dia benci dengan lelaki di hadapannya ini. Almera berdiri dengan segala emosi yang sedari tadi dia tahan. Romeo dan Rizky ikut berdiri, menatap Almera bingung.
"Dasar laki-laki tidak punya perasaan!" jerit Almera menatap tajam Romeo.
"Jaga-"
"Jika anda ingin saya membersihkan gudang ini, bicara secara baik-baik. Jangan mengunci saya seperti ini. Bagaimana jika saya meninggal karena kekurangan oksigen? Disini tidak ada jendela dan anda mengunci saya disini selama 4 jam. Saya sedari tadi ketakutan disini, bagaimana jika saya trauma? Apa menurut anda ini lelucon? Anda adalah orang yang benar-benar tidak memiliki perasaan!" murka Almera dan berjalan cepat keluar dari gudang. Dia ingin pulang, tidak peduli dengan urusannya sudah selesai atau tidak dengan bapak Romeo. Hatinya masih diselimuti ketakutan, bahkan tubuhnya terasa lemas.
Romeo dan Rizky masih mematung, tidak menyadari bahwa Almera sudah beranjak dari sana. Apa saya salah? Batin Romeo. Kenapa melihat air mata Almera yang mengalir deras seperti tadi membuatnya merasa bersalah? Sejujurnya dia tidak ada niat untuk mengurung Almera selama 4 jam, dia benar-benar lupa jika Almera berada di gudang.
"Jadi?" Rizky meminta penjelasan. Dia masih belum terlalu faham dengan apa yang terjadi.
"Kemarin Almera menaiki mobil saya dan mengira sebagai taxi, singkat cerita saya meminta Almera membayarnya dengan membersihkan gudang, saya kunci pintunya supaya Almera tidak kabur. Namun saya tidak ada niat sedikitpun untuk menguncinya selama 4 jam," jelas Romeo, dengan terpaksa dia memberi tahu alasan sebenarnya meskipun tidak detail.
Rizky mengangguk paham. "Menurut gue, lo salah, Rom. Lo dengan seenaknya mengunci Almera di gudang yang pengap ini. Almera anak yang bertanggung jawab, tidak mungkin dia kabur saat lo suruh membersihkan gudang, lo kelewatan." Disaat seperti ini, Rizky akan berbicara selayaknya sahabat, tidak menutup kemungkinan ada sedikit rasa tidak suka dengan perilaku Romeo yang mengunci Almera disini. Rizky langsung berjalan keluar gudang, dia ingin mengejar Almera. Semoga saja masih ada di gedung ini. Melihat kondisi Almera seperti tadi membuatnya khawatir.
Romeo menghela napas pelan dan berjalan meninggalkan gudang, menuju ruangannya. Baru kali ini dia merasa bersalah kepada seseorang. Biasanya dia akan cuek, tidak peduli dengan apa yang telah dia lakukan. Kenapa sekarang berbeda? Apa dia sudah keterlaluan?
**
"Gue kesel sama itu bapak-bapak," ucap Almera yang mengendarai mobil dengan sesekali menghapus air matanya yang turun.
"Ini juga, kenapa air matanya ngalir terus sih." Almera masih merasa ketakutan, terbayang bagaimana kardus itu bisa bergerak dan mengeluarkan boneka. Dia tidak pernah mengalami hal seperti ini. Menurutnya Romeo sudah sangat keterlaluan, jika tahu akhirnya akan begini, dia tidak akan mau datang ke kantor itu.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan lama, Almera sampai di rumah mewahnya. Tadi Almera mengendarai mobilnya dengan kecepatan pelan. Dia tidak ingin mengambil resiko, apalagi kondisinya dia sedang menangis.
"Assalamualaikum," salam Almera dengan mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam," jawab Bunda Tina membukakan pintu. Dia menatap Almera dari atas sampai bawah, memastikan bahwa yang di hadapannya ini adalah putri bungsunya. Kenapa menjadi memprihatinkan seperti ini? Rambut yang biasanya tertata rapi, menjadi kusut bahkan cepolannya sudah tidak karuan. Baju dan celananya sangat kotor.
"Are you oke?" tanya Bunda Tina mengelus kepala Almera lembut.
Air mata yang tadinya sudah kering, kini mengalir lagi. Bahkan lebih deras dari pada sebelumnya. Almera memeluk Bunda Tina dengan erat, menumpahkan segala emosi dalam tangis.
Bunda Tina mengernyit bingung, kenapa tangisan Almera menjadi histeris seperti ini. Sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan putri bar-barnya ini?
"Sayang, ada apa?"
Rasa sesak memenuhi rongga dada Almera. Dia ingin menjelaskan tetapi rasanya sangat sulit. Suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Hanya menangis yang bisa dia lakukan untuk saat ini.
"Ada apa, Bun?" tanya Grisham. Tadi dia sedang menikmati secangkir teh dan mendengar suara tangisan yang histeris. Takut istrinya kenapa-napa dia segera berjalan menuju pintu utama.
"Loh, Al. Ada apa?" tanya Grisham menatap bingung Almera yang menangis di pelukan istrinya.
"Ditanya nanti aja, Yah," ucap Bunda Tina. Biarkan saja Almera menumpahkan segala emosi dengan menangis, siapa tahu bisa membuatnya tenang.
"Sudah tenang?" tanya Bunda Tina saat Almera selesai minum. Tadi setelah menunggu beberapa menit, tangis Almera mereda. Ayah dan Bunda pun membawa Almera masuk, tidak enak juga jika dilihat tetangga apalagi kondisi Almera yang berantakan.Almera mengangguk. Jujur saja saat ini dia berasa malu sekali. Kenapa tadi dia bisa kelepasan hingga menangis histeris seperti itu sih! Dulu dia akan menangis jika tidak dibuatkan kue coklat dan itu hanya menangis dalam diam, tidak seperti tadi. Namun dia tidak bisa berbohong bahwa sekarang hatinya terasa plong."Sekarang cerita, pelan-pelan aja," ucap Ayah Grisham. Dia cukup penasaran dengan alasan dibalik tangisan Almera tadi. Setahu dia, Almera itu anak yang kuat, bar-bar dan tidak mudah menangis. Sangat jarang sekali dia menunjukan kelemahannya, baru kali ini dia bersikap layaknya perempuan pada umumnya, menangis sampai histeris."Bunda, masih ingat sama cerita Al yang nabrak kemarin?" tanya Almera memulai pembicaraan. 
"Sayang."Almera menoleh, ternyata Ayahnya yang memanggilnya. Dia semakin dibuat takut, bagaimana ini?"Bagaimana?" tanya Ayah Grisham.Almera yang sudah tahu kemana arah pembicaraan sang Ayah hanya terdiam kaku. Pikirannya mendadak blank, dia tidak bisa memikirkan alasan apa yang pas untuk menolak perjodohan ini."Perjodohan maksudnya kita pendekatan gitu 'kan, Yah?" tanya Almera. Siapa tahu jawaban Ayah berbeda dengan Bundanya."Iya, pendekatan setelah menikah," jawab Ayah Grisham tersenyum.Seperti ada bom yang meledak di dadanya, jantung Almera langsung berdegup kencang dua kali lipat. Dia berharap jawaban Ayah berbeda dengan Bundanya dan ternyata memang berbeda, saking berbedanya hampir membuat dia terjengkang karena terkejut. Ternyata tebakannya tidak salah."Kalian mau ngusir Al secara halus ya?" tanya Almera dengan wajah yang seolah tersakiti. Siapa tahu bakat aktingnya berguna disaat seperti ini, membantunya untuk kelua
Ayah Grisham terus mencoba menghubungi nomor Almera, tetapi selalu diluar jangkauan. Sedari tadi Bunda Tina tidak berhenti menangis. Dia khawatir, apalagi sekarang sudah malam. Kemana perginya Almera? "Bun, apa Almera kabur karena tidak mau dijodohkan?" tanya Ayah Grisham mendudukkan dirinya di samping Bunda Tina yang bersandar lemas di sofa. "Enggak tahu. Ayo cari Al, Yah," ucap Bunda Tina pelan. Tenaga dia seakan terkuras karena memikirkan putri bungsunya itu. "Kita cari kemana, Bun?" tanya Ayah Grisham frustrasi. Sudah malam begini dia harus mencari Almera kemana? Sedangkan rumah sahabat Almera saja dia tidak tahu. ** Sedangkan yang dikhawatirkan justru asik berjoget ria. Ya, dia Almera. Dia memutuskan untuk kabur dari rumah, hanya dengan cara seperti ini dia bisa menolak perjodohan sialan itu dan disinilah dia berada sekarang, di rumah Widya. Tadi Widya sedang asik memutar musik dengan berjoget, lalu Almera datang secara tiba-tiba tanpa me
Setelah drama kabur dan saling meminta maaf, Almera kembali ke rumah dengan kedua orang tuanya."Bun," panggil Almera yang tidur di paha Bunda Tina."Ada apa hm?" tanya Bunda Tina menunduk.Almera merubah posisi menjadi duduk. "Nikahnya masih lama 'kan, Bun?" tanya Almera. Meskipun dia sudah menerima perjodohan ini, tetapi rasanya masih belum siap jika harus menikah begitu cepat."Nanti malam kita bertemu sama keluarga calon kamu untuk membahas lebih lanjut," jawab Bunda Tina tersenyum lembut.Badan Almera langsung tegak. Nanti malam akan bertemu dengan calonnya? Kenapa dia menjadi ragu dan takut? Bagaimana jika calonnya itu bapak-bapak tua berjenggot yang sudah beristri, atau om-om pedofil dengan perut buncitnya."AAAA!" teriak Almera tiba-tiba yang membuat Bunda Tina terlonjak kaget."Anak ini ... mau buat Bunda terkena serangan jantung, iya?" Bunda Tina menjewer telinga Almera saking kesalnya. Anaknya yang satu ini selalu membuat d
"Maaf, saya terlambat." Suara bariton khas seorang lelaki dewasa membuat Almera menundukkan kepalanya dalam. Dia takut untuk melihat seseorang itu, dia yakin itu adalah lelaki yang akan dijodohkan dengannya.Bunda dan Ayah tersenyum lebar. Akhirnya seseorang yang sedari tadi mereka tunggu datang juga."Enggak papa, Nak. Ayo duduk," ucap Bunda Tina ramah yang dijawab anggukan oleh lelaki itu, kemudian mencium tangan Bunda dan Ayah dengan sopan."Ini anak saya," ucap Ayah Grisham menunjuk Almera yang tetap pada posisinya, menunduk.Bunda Tina menyenggol lengan Almera pelan. Memberi kode supaya mengangkat kepalanya.Almera yang paham dengan kode Bundanya mendengkus kesal. Apa Bundanya ini tidak tahu bahwa dia belum siap untuk melihat wajah calon suaminya. Karena takut terkena omelan, Almera mengangkat kepalanya pelan. Saat sudah terangkat sempurna, mata Almera melotot kaget saat tahu siapa seseorang yang duduk di hadapannya."Loh, Bapak?"
"Pagi, Yah, Bun," sapa Almera mencium pipi kedua orang tuanya yang sudah duduk tenang di meja makan."Pagi juga, Sayang," balas Bunda Tina."Pagi, Calon manten," balas Ayah Grisham menggoda.Almera memberenggut kesal. Baru saja dia lupa akan pertunangan semalam, sekarang Ayah dengan santainya mengingatkan. Semalam dia tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena terus memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Dia selalu terbayang bagaimana jadinya jika dia menikah dan satu rumah dengan lelaki seperti Romeo. Dia juga memikirkan bagaimana dengan tambatan hatinya? Padahal dia sangat menyukai Farrel."Jangan digoda dong, Yah. Lihat tuh bibirnya sudah seperti bebek," ledek Bunda Tina terkekeh geli."Bunda," rengek Almera."Lebih baik kita makan daripada kalian goda Al terus, enggak akan kenyang," lanjut Almera."Iya, kamu mau makan apa?" tanya Bunda Tina.Almera menyodorkan piringnya. "Nasi goreng."Lalu Bunda Tina mengambil piring
"Guys, gimana kalau kita ke rumah Almera. Girls Time kita," usul Amel mengalihkan pembicaraan. Daripada nanti drama Almera semakin berkepanjangan, lebih baik dia mengalihkan pembicaraan."Boleh," sahut Almera menyetujui."Sekarang ke kelas yuk!" ajak Widya.Mereka bertiga pun berjalan menuju kelas diiringi canda tawa. Jika sudah berkumpul menjadi satu seperti ini, mereka tidak akan bisa diam. Selalu ada bahan untuk dibuat lelucon. Apalagi Almera yang sudah bar-bar dari dulu, selalu bisa membuat orang sekitarnya tertawa dan emosi dalam waktu yang bersamaan. Setelah sampai di kelas, mereka duduk di kursinya masing-masing. Tidak lama kemudian dosen masuk."Baru juga duduk, sudah muncul aja itu dosen. Untung gue enggak terlambat," gumam Almera. Hari ini dia ada jam pelajaran yang dosennya terkenal killer. Jika ada yang terlambat maka akan mendapat hukuman, menari di depan kelas. Almera sendiri tidak pernah terlambat dalam kelas dosen ini, karena Almera selalu
Tidak terasa waktu cepat berlalu. Saat ini di rumah Almera sangat ramai, para saudara Almera yang dari luar kota maupun luar negeri sudah datang. Mereka ingin menyaksikan pernikahan Almera yang akan diselenggarakan 3 hari lagi. Hari ini rencananya Almera akan fitting baju bersama Romeo."Dek," panggil seseorang di balik pintu kamar Almera.Almera yang sedang memakai skincare pun menoleh. "Masuk!""Kakak, ada apa?" tanya Almera kepada seseorang yang baru masuk ke kamarnya. Dia adalah Vika, kakak kandung Almera yang sudah menikah."Adek, sini!" Kak Vika mendudukkan dirinya di kasur Almera.Almera menurut dan berjalan menuju kakaknya berada."Adek, ternyata sudah besar ya. Sudah mau menikah," ucap Kak Vika mengelus rambut Almera sayang."Padahal kakak belum puas main sama, Adek. Bukannya kakak enggak suka Adek menikah, tetapi kakak hanya enggak menyangka. Adek kecil ini sudah besar," lanjut Kak Vika dengan mata yang berkaca-kaca. Dia sed
Di sebuah ruangan berwarna abu-abu, terdapat seorang pria yang berdiri di dekat jendela. Romeo, pria yang dulunya bertubuh kekar kini semakin kurus. Rambut-rambut halus mulai tumbuh di sekitar dagunya. Bahkan kumisnya sudah tebal seperti bapak-bapak yang ada di warung kopi. Dengan tangan yang berada di saku celana, Romeo menatap kosong langit malam yang penuh bintang. Sudah pukul sepuluh malam, tetapi matanya enggan terpejam. Padahal besok pagi ada rapat penting. Ingatannya kembali berputar pada kejadian beberapa bulan lalu. Di saat Almera masih di sini dan dia melukainya seenak hati. Perasaan bencinya kepada Almera telah melebur menjadi penyesalan. Penyesalan yang sangat dalam. "Bahkan sampai saat ini pun saya belum bisa nemuin kamu," ujar Romeo tersenyum kecut. Hidup memang selalu berputar. Jika dulu nama Almera tidak pernah ada di pikirannya, maka sekarang tiada hari tanpa memikirkan perempuan itu. Semakin memikirkan maka semakin dalam dan besar pu
"Wid, Widya," panggil Almera mengetuk pintu kamar Widya. Ketukan yang awalnya pelan semakin keras dan cepat saat tidak mendapat sahutan dari sahabatnya. "Widya! Widya!" teriak Almera tidak sabaran. Sedangkan di dalam kamar, Widya yang sedang tidur siang pun mulai terusik. Mengubah posisi tidurnya menjadi miring lalu menutup telinganya dengan bantal. Merasa tidak berguna, Widya melempar bantalnya asal dan kembali terlentang. Selanjutnya, dia menendang selimut lalu bangkit dengan mata yang memerah. Antara mengantuk dan marah. Widya membuka pintu kasar. "Apaan sih? Lo ganggu tidur gue tau nggak!" Bukannya merasa takut atau bersalah, Almera justru cengengesan tidak jelas. "Wid, jalan-jalan yuk!" ajak Almera antusias. Dengan gerakan malas, Widya menoleh ke dalam kamarnya, melihat jam yang menunjukkan pukul satu siang. Seketika matanya melotot. "Lo gila? Siang-siang gini lo ngajak gue jalan? Please deh, Al, lo jangan aneh-aneh. Ini panas ban
"Bagaimana?" tanya Romeo kepada Rizky yang berdiri di depannya. Saat ini keduanya berada di ruangan Romeo.Rizky mengernyit tidak paham. Ini Bosnya bertanya tentang apa sih? "Maaf, Pak, maksudnya apa ya?""Bagaimana kabar pencarian Almera? Apa sudah menemukan jejak?" tanya Romeo memperjelas, membuat bibir Rizky membentuk bulatan kecil seraya mengangguk pelan."Maaf, Pak. Belum ada," jawab Rizky menatap Romeo sendu. "Terakhir kali mereka berdua berada di rumah Widya."Romeo menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Punggung tegapnya dia sandarkan pada sandaran kursi. Perlahan matanya terpejam dengan tangan kanan yang memijat pelan pelipisnya. Kepalanya semakin sakit, begitu pula dengan rasa bersalah dan juga gelisah.Kapan dia bisa bertemu Almera? Harus berapa lama lagi dia menunggu kabar tentang keberadaan sang istri? Atau mungkin selamanya dia t
Hal yang paling membahagiakan bagi para orang tua adalah dengan kehadiran anggota keluarga baru. Apalagi seorang bayi mungil yang menggemaskan. Meskipun tidak ada hubungan darah, tetapi orang tua Widya begitu antusias saat mendengar kabar tentang kehamilan Almera. Mereka yang awalnya sedang perjalanan bisnis di Bandung langsung terbang ke Bali. Selama perjalanan, senyum Vania dan Efendi - orang tua Widya tidak luntur satu detik pun. Perasaan mereka benar-benar bahagia. Brak! Suara pintu yang dibuka kencang sukses membuat Almera yang sedang menonton kartun terlonjak kaget. Belum sempat melihat siapa pelakunya, Almera kembali dikejutkan dengan sebuah pelukan yang sangat erat. Sampai membuat badannya sedikit terhuyung. Tidak jauh berbeda dengan Almera, Widya dan Nenek Mia yang berada di dapur pun juga terkejut. Keduanya saling pandang lalu berjalan tergopoh-gopoh menuju tempat Almera dengan perasaan panik. Takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada ibu h
"Nek, Widya mana?" tanya Almera kepada Nenek Mia yang sedang menata makanan di meja.Mendengar suara seseorang yang semalam membuatnya khawatir, lantas Nenek Mia menghentikan kegiatannya dan mendongak. Terlihat Almera yang memakai dress berwarna abu-abu selutut berdiri empat langkah di depannya."Kamu sudah bangun, Nak? Ayo makan dulu!" ajak Nenek Mia tanpa menjawab pertanyaan Almera. Kakinya bergerak gesit menghampiri Almera dan menuntunnya duduk. Senyumnya pun merekah bahagia.Semua rasa khawatir yang dia rasakan semalam langsung sirna.Almera duduk dengan wajah bingungnya. "Nenek, Widya mana?""Oh itu Widya lagi di toko," jawab Nenek Mia santai yang mendapat tatapan penuh binar dari Almera."Almera mau ke sana! Ayo, Nek! Al udah dari kemarin-kemarin pingin ke toko roti punya Nenek." Almera menatap antusias Nenek Mia yang hendak meng
"Inget ya, Al, lo nggak boleh makan sembarangan. Harus banyak istirahat. Nggak boleh banyak pikiran," ucap Widya seraya menuntun Almera menaiki tangga menuju kamarnya. Sejak Almera sadar dan diperiksa bahwa sahabatnya itu hamil, Widya tidak berhenti mengeluarkan petuah-petuah dengan kalimat yang sama secara berulang. Terutama nenek Mia yang sangat antusias hingga langsung membuat kue untuk dibagikan ke tetangga. Sedangkan sang empu justru menutup mulut rapat-rapat dengan pandangan kosong. Pikiran dan perasaannya menjadi campur aduk. Meskipun sudah menikah dan menginginkan malaikat kecil hadir di rumah tangganya, tetapi tidak cara seperti ini. Calon anaknya hadir karena paksaan yang Romeo kira bahwa dirinya adalah Citra, kekasihnya. Bukan atas dasar saling mau dengan balutan cinta yang menggebu. Ada rasa terkejut, sedih, marah dan senang di hati Almera. Kenapa anak ini hadir di saat dirinya masih dibaluti rasa takut dan pergi dari Romeo? Bagaimana cara dia men
Di dalam ruangan yang tampak berantakan dengan kertas yang berhamburan, Romeo duduk termenung di meja kerjanya. Beberapa hari tidak datang ke kantor membuat mejanya dipenuhi tumpukan berkas. Karena memang sedang dalam kondisi hati dan pikiran yang kacau, akhirnya tanpa ragu Romeo melempar semua berkas-berkas tersebut. Sebenarnya laki-laki yang memakai kemeja biru muda itu sangat malas untuk bekerja. Dia hanya ingin mencari Almera. Namun, atas paksaan papanya dengan dalih akan membantu mencari Almera, akhirnya Romeo pun menurut. Meskipun sekarang yang dia lakukan hanya duduk termenung. Romeo menunduk dengan tangan yang memegang kening dan mata terpejam lelah. "Almera, maaf," gumamnya. Semenjak kepergian Almera, Romeo merasakan sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Hatinya terasa kosong seolah ada yang hilang. Bahkan Romeo tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bagaimana tidak, setiap memejamkan mata selalu terbayang wajah Almera dari yang tersenyum hingga menangis.
"Sini, Nak, makan!" Nenek Mia melambaikan tangannya memanggil Almera yang baru saja datang dari arah tangga. "Nenek hari ini masak sop buntut, perkedel sama sambal. Kata Widya, kamu suka sama sayur sop." Mendengar perkataan Nenek Mia, Almera langsung mengalihkan pandangannya ke meja makan. Benar, makanan yang disebut Nenek Mia sudah tertata rapi dan terlihat menggoda. "Widya mana, Nek?" tanya Almera setelah duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. "Tadi pamitnya mau ke depan sebentar. Udah biarin aja. Sekarang kamu makan ya? Yang banyak, mau dihabisin juga nggak papa," jawab Nenek Mia seraya mengambil piring Almera lalu mengisinya dengan nasi yang lumayan banyak. Almera dibuat meringis melihat piringnya yang penuh. Porsi makannya tidak sebanyak itu! "Nek, udah nanti aku ambil sendiri aja kalau kurang. Ini kebanyakan," ungkap Almera mengambil alih piring tersebut. "Sekarang kamu makan gih! Nenek mau nyiram tanaman dulu." Tanpa
Sesuai ajakan Widya kemarin, kini sepasang sahabat itu sedang berada di pantai. Sebenarnya, Almera ingin ke pantai ketika hari sudah menjelang sore. Namun apalah daya, Widya sang sahabat dengan tidak tahu dirinya justru membangunkan Almera dari pagi-pagi buta. Bahkan Nenek Mia saja lelah dengan tingkah Widya yang terus merengek untuk segera berangkat. Entah Widya yang memang tidak pernah ke pantai atau ada maksud terselubung hingga gadis itu begitu antusias. "Bagusnya kalau ke pantai itu sore-sore. Sekalian liat sunset," gerutu Almera menghentakkan kakinya kesal. Di dalam hati perempuan yang memakai kaos berwarna biru dan dipadukan dengan hotpants itu tidak berhenti untuk menyumpah serapahi sahabatnya. Bayangkan, Widya membangunkan dirinya dari mulai pukul empat pagi. Cara membangunkannya pun tidak ada sopan-sopannya. Mengguncang, menyiratkan air dan memutar musik dengan volume full tepat di telinganya. Sebenarnya Widya ini ingat tidak sih kalau Almer