Dengan mata yang perlahan terpejam, Almera berusaha menstabilkan detak jantungnya. Apalagi napas Romeo yang beraroma mint begitu terasa di wajahnya, membuat dia semakin tidak karuan.
"Kenapa merem? Berharap saya cium hm?" Romeo berbisik tepat di telinga kiri Almera.
Mata Almera langsung terbuka lebar dengan napas yang memburu. Tanpa berpikir panjang, dia menendang bagian bawah Romeo. "Enggak lucu, Pak," ketus Almera bersedekap dada.
Dengan spontan Romeo menjauh dari Almera. Wajahnya berubah menjadi merah dengan meringis kesakitan. Dia mencengkeram lengan sofa kuat, melampiaskan rasa sakit yang disebabkan oleh tendangan Almera. Matanya terpejam erat dengan bibir yang digigit, bahkan rasanya ingin berteriak sekencang mungkin.
Rasanya seperti akan mati, argh! batin Romeo berteriak tidak tahan.
Almera sedikit melirik ke arah Romeo, karena tidak mendengar suara apa pun. Seketika w
Halo, Kakak-kakak. Happy reading ❤️ Jangan lupa tinggalkan jejak dengan Vote dan komen yaa, biar author makin semangat.... Sayang kalian banyak-banyak 🤗
Jantung Almera seakan berhenti berdetak, tidak menyangka kalau Romeo akan memberi pertanyaan seperti itu. Dengan bibir bawah yang digigit kuat, dia memikirkan jawaban yang sekiranya bisa membawanya keluar dari situasi ini. "Hm," deham Romeo membuat Almera terperanjat kaget. Setelah menarik napas pelan, Almera bangkit dan memutar badannya secara perlahan. Senyum lebar yang memperlihatkan giginya terlihat sekali bahwa dia sedang kikuk. "Bapak, ke sini pasti mau istirahat 'kan? Jadi silakan, saya mau ke taman biar enggak ganggu," ujar Almera berjalan cepat menuju pintu. Namun saat melewati Romeo, kerah baju belakangnya ditarik seperti seekor kucing. "Eh eh, lepas, Pak!" titah Almera memukul lengan Romeo pelan. "Kamu belum menjawab pertanyaan saya," ucap Romeo seraya melepas pegangannya di kerah baju Almera. Almera memalingkan wajahnya ke samping dengan meringis kecil, m
Rumah mewah yang didesain dengan tampilan tradisional, terlihat begitu asri. Saat membuka gerbang, sudah disuguhi dengan jalan setapak yang mengarah ke pintu utama. Sekumpulan mawar merah dan pohon mangga di halaman depan menambah kesan nyaman serta sejuk bagi si empunya. Apalagi buah mangganya yang begitu lebat, membuat siapa saja yang melihatnya merasa tergoda. Meskipun pekerja kantoran, tetapi Rizky kurang suka terhadap hal-hal yang berbau glamor. Maka dari itu, setelah mempunyai banyak uang, dia memutuskan untuk membangun rumah sendiri dengan aksen tradisional. Hanya dengan melihat hamparan bunga dan menghirup udara segar di pagi hari yang bisa membuat semangat bekerjanya semakin membara. "Sayang," panggil Rizky berusaha memegang tangan Widya. "Apa? Lo mau maksa gue melakukan itu lagi? Dengar ya, meskipun gue cinta sama lo, tetapi gue enggak mau nurutin permintaan lo! Gue akui, gue memang enggak sesuci dan sepolos A
Widya menatap ke depan, perlahan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring. Kemudian dia beralih menatap wajah sang kekasih yang menampilkan raut kebingungan dan keraguan."Enggak, mau seberapa bahayanya ancaman itu, aku enggak akan pernah mau mengorbankan masa depan aku. Kita foto di ranjang, seolah sudah melakukan itu, tanpa melepas seluruh baju. Karena, nanti kita gunain selimut buat nutupin," jelas Widya serius.Dia geram dan kesal, ingin sekali rasanya bertemu dengan perempuan yang bernama Citra Citra itu. Akan dia pastikan suatu saat Citra menyesal telah berencana menghancurkan rumah tangga sahabatnya. Apalagi Romeo, saat ini dia akan diam saja, seolah tidak tahu apa-apa. Namun, jika sampai suatu hari Romeo membuat Almera hancur hingga meneteskan air mata di depannya, maka saat itu juga dia akan menjadi Tuhan yang memisahkan keduanya."Bagian atasnya dibuka?" tanya Rizky menelan salivanya susah payah. Bagaimana pun juga dia ini pria normal, akan ter
Setelah mendengar sedikit cerita masa lalu dan nasihat dari bundanya, Almera semakin memantapkan langkahnya ke depan. Tidak ada lagi rasa ragu atau pun takut atas hubungannya dengan Romeo. Sekarang, bukan waktunya untuk meratapi nasib apalagi menyerah. Karena, ada seorang wanita atau bahkan lebih yang sedang menunggu kehancurannya demi bersatu dengan Romeo. Berusaha lebih keras untuk mendapat tempat di hati Romeo adalah tujuan utamanya. "Eum ... Bap- e ... Mas hari ini mau ke mana?" tanya Almera dengan tangan yang saling memilin gugup. Matanya mencuri pandang ke arah Romeo yang sedang asik dengan laptopnya. Ya, dia sudah memutuskan untuk mengubah panggilannya kepada sang suami. Memulai dari awal dengan panggilan yang sudah seharusnya. Tubuh Romeo menegang, tanpa sadar dadanya berdebar kencang. Suara lembut Almera mengalun indah di telinganya. Apalagi ini baru pertama kali dia mendenga
"Gila sih, lo pulang tetapi enggak ngabarin gue. Udah berapa lama lo di sini?" tanya Amel kepada perempuan yang memakai dress ketat di depannya. Dia adalah Citra. "Ha ha sorry, gue lupa buat ngabarin lo. Lagian gue di sini baru sekitar seminggu kok," jawab Citra tertawa ringan. "Wah, parah lo, giliran ke gue aja lupa buat ngabarin dan apa tadi, baru seminggu? Lo emang benar-benar ya, Cit. Seminggu dibilang baru, selama itu juga lo enggak ngabarin gue sama sekali. Untung aja mami gue ngasih tau, coba kalau enggak, mungkin gue tahunya bulan depan." Amel menatap Citra sinis. Dia kesal karena baru tahu tentang kedatangan orang terdekatnya. Tidak ada kabar atau apa pun, padahal seminggu sebelumnya dia sempat video call dengan Citra. Citra tertawa terbahak-bahak. Merasa lucu melihat Amel mengomel dengan tatapan sinisnya. "Bukannya gitu, Mel. Gue emang lagi sibuk, jadi enggak sempat ngabarin lo. Gue pulang ke sini juga karena udah janji sama pacar gue. Ya lo
Almera memilin jarinya gugup. Dia melirik ke arah Romeo yang terlihat begitu santai, seolah tidak terganggu dengan pertanyaan Papa. "Enggak, Pa. Al enggak ada ngidam apa-apa," jawabnya tersenyum tipis. "Apa kalian mau honeymoon sekarang aja? Sekalian refreshing. Mama enggak sabar pengen gendong cucu dari kalian," celetuk Mama Lala dengan senyum lebarnya. Membayangkan menggendong bayi yang memakai pakaian lucu semakin membuatnya tidak sabar. Apalagi berjenis kelamin perempuan. Rambut yang dikuncir dan diberi jepit-jepit lucu, pipi chubby, memakai rok serta sepatu lalu berjalan sambil tertawa. Ah rasanya sangat membahagiakan. Almera kembali melirik Romeo yang tetap santai dengan wajah datarnya. Huh, rasanya dia ingin menghilang sekarang juga. Pertanyaan semacam ini adalah hal yang paling dia hindari dan bisa-bisanya suaminya itu masih bisa bersantai, tidak membantu menjawab sama sekali. "Kapan-kapan aja,
Sudah hampir sepuluh menit Almera berjalan. Namun tidak ada satu pun angkutan umum yang lewat. Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata, tetapi sebisa mungkin dia menahan. Tidak, ini bukan waktunya untuk menangis. Dia harus segera pulang karena hari semakin sore, terlihat dari senja yang menghiasi langit, pertanda matahari akan terbenam. "Gue telfon Widya aja deh," gumamnya seraya mengambil handphone dari tas selempangnya. Setelah mengotak-atik sebentar, Almera langsung mendekatkan handphonenya ke telinga. Dia menggigit kukunya cemas, antara takut tidak diangkat dan takut mengganggu waktu sahabatnya. "Halo," sapa seseorang di seberang sana yang tidak lain tidak bukan adalah Widya. Mendengar suara sahabatnya, membuat Almera tanpa sadar mengembangkan senyumnya. Panggilannya terhubung. "Eh, halo, Wid. Gue ganggu lo enggak?" tanya Almera pelan. Terdengar kekehan keci
"Kalian ngapain?" Almera mengulangi pertanyaannya karena tidak mendapat respon dari dua orang yang membuat hatinya sakit. Mereka tetap pada kegiatannya, seolah di rumah ini hanya ada mereka berdua. Dadanya semakin sesak saat mereka tidak berhenti justru semakin memanas. Kenapa sakit sekali? Seharusnya dia sadar, bahwa sejak awal Romeo memang bukan miliknya.Semua ini hanya sementara, tetapi tetap saja rasanya begitu menyakitkan, seperti ditikam belati tumpul dan berkarat. "Mas!" teriak Almera tidak tahan. Dua orang berbeda kelamin itu tersentak dan menghentikan kegiatannya lalu menoleh ke sumber suara. Tidak ada raut kaget sedikit pun dari keduanya saat melihat Almera berdiri di seberang meja dengan mata berkaca-kaca. Seolah apa yang mereka lakukan layak dilihat orang lain, terutama Almera. "Ngapain kamu di sini?" tanya Romeo tajam tanpa mengubah posisinya yang hampir menindih Citra di ujung sofa. Bahkan baju keduanya sudah tidak rapi lagi.