Nadya mengingat terakhir kali dia berinteraksi dengan adiknya. Saat itu dia sedang menginap di rumah orangtuanya, karena ada acara keluarga di sana. Dia memang sudah dua tahun ini pindah ke apartemen. Dan itu disebabkan karena orangtuanya yang telah ikut campur dalam urusan pribadinya.
Malam itu Nadya melihat adiknya yang dikenal sebagai orang yang periang tiba-tiba berubah menjadi pendiam. Nadya yang melihat perubahan itu, tentu saja penasaran dengan sikap adiknya yang berubah seratus delapan puluh derajat.
Saat itu, Amelia mengatakan kalau dia merasa tertekan. Tapi, dia tidak mengatakan penyebabnya. Dan akhirnya, adiknya itu lebih memilih pergi dari rumah untuk hidup bersama dengan kekasihnya.
Kini Nadya hanya bisa termenung memikirkan adiknya yang entah ada di mana keberadaannya saat ini.
"Bagaimana Bu Nadya? Apa anda sudah ingat terakhir anda berinteraksi dengan adik anda?" tanya Doni lagi.
Nadya menganggukkan kepalanya. Lalu dia meraih telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja. Dia lalu membuka galeri foto yang terdapat foto dirinya dan Amelia, yang diabadikan saat terakhir kali mereka bertemu.
"Foto ini diabadikan saat ada acara keluarga di rumah orangtua kami. Dan itu dua hari yang lalu, Pak." Nadya menjelaskan pada Doni dengan ekspresi wajah yang terlihat penuh dengan kekhawatiran.
"Bisa Ibu kirim foto itu ke saya?" Pinta Doni dengan raut wajah yang serius.
"Tentu, Pak." Nadya kemudian mengirimkan foto itu melalui aplikasi pesan ke telepon genggam Doni.
"Saya akan edit foto ini. Jadi yang di foto ini hanya menampilkan wajah Amelia saja. Saya juga akan menyebar foto adik anda ini ke beberapa anak buah saya yang tersebar di beberapa tempat. Sehingga kalau ada yang melihatnya segera memberikan informasi kepada kami di sini. Lalu kami dapat menentukan langkah kami selanjutnya." Doni kemudian segera mengedit foto itu.
"Jangan disebarkan foto adik saya, Pak. Saya tidak mau kalau masalah ini banyak orang yang tahu. Kami tidak mau menghilangnya Amelia menjadi bahan perbincangan banyak orang." Nadya berkata dan menatap Doni dengan tatapan memohon. Dia berharap agar Doni tidak menyebarkan foto Amelia.
"Tapi, bagaimana kami bisa maksimal mencari adik anda, kalau fotonya tidak boleh kami sebar? kita semua belum tahu keberadaan adik anda saat ini." Doni menghela napas panjang. Dia tidak mengerti jalan pikiran wanita yang tengah duduk manis di hadapannya ini. Dia lalu menatap Devan yang saat ini terdiam seribu bahasa.
"Saya juga akan ikut serta dalam pencarian adik saya, Pak. Dan saya harap Bapak tidak keberatan akan hal ini," ucap Nadya yang sukses membuat Doni dan Devan membulatkan matanya.
"Apa! anda jangan main-main, Bu Nadya!" seru Doni. Dia seketika membelalakkan matanya. Dia tidak percaya dengan ucapan yang baru saja Nadya lontarkan.
“Nadya, percayakan masalah ini pada kami! kamu tidak usah ikut! kami akan memberikan laporan pada kamu nantinya,” ucap Devan.
"Saya ingin bertemu langsung dengan adik saya terlebih dahulu. Saya akan berusaha untuk membujuknya kembali ke rumah untuk minta restu orangtua, kalau dia ingin menikah dengan kekasihnya." Nadya menatap wajah Doni dan Devan bergantian dengan tatapan memohon. Dia berharap agar diperbolehkan ikut serta dalam pencarian Amelia.
"Tapi ini membutuhkan waktu yang lama karena kita belum tahu keberadaan adik anda. Terlebih lagi anda melarang kami untuk menyebar fotonya. Apa anda tidak masalah melakukan perjalanan yang belum pasti tujuannya kemana? terus terang ini seperti mencari jarum di tumpukan jerami." Doni menatap manik mata Nadya. Dia berusaha untuk meyakinkan wanita itu, bahwa ini bukan perjalanan yang mudah dilalui oleh wanita seperti dirinya.
"Kita usaha dulu, Pak. Kalau memang sudah mencari dan belum bisa menemukan keberadaan adik saya, maka kita bisa menyebar foto Amelia," sahut Nadya yang membuat Doni menghela napas panjang. Dia sedikit kesal menghadapi sikap Nadya yang keras kepala.
'Kenapa tidak langsung disebar saja fotonya agar lebih mudah pencariannya' batin Doni.
Doni lalu menatap Devan lekat. Seolah melalui matanya, mereka tengah berdiskusi untuk memutuskan langkah selanjutnya.
"Baiklah kalau itu yang Ibu mau. Nanti Pak Devan yang akan mendampingi Ibu selama dalam perjalanan. Saya sengaja memilih wakil saya ini, karena dia sangat handal sehingga Ibu aman pergi bersama dia,” ucap Doni yang membuat Nadya dan Devan saling bertatapan.
Doni yang melihat tatapan mata Devan dan Nadya, seketika membulatkan matanya. Dia merasa bahwa sebelumnya pernah ada sebuah kisah antara wakilnya ini dengan kliennya. Dan dari tatapan Nadya serta Devan yang memancarkan suatu kerinduan, tentunya kisah itu bukan kisah yang biasa. Dan ini menarik perhatian Doni untuk mengetahui lebih jauh.
Doni juga memperhatikan mereka berdua secara bergantian. Dan dari cara mereka menatap satu sama lain, dia mengambil kesimpulan bahwa mereka sepertinya sedang melepas rindu melalui tatapan mata mereka. Doni langsung paham dengan sikap wakil sekaligus sahabatnya ini yang dingin terhadap wanita. Devan selalu menghindar apabila ada seorang wanita yang mencoba mendekatinya termasuk Shila, sekretarisnya.
‘Apa Nadya, wanita yang pernah Devan ceritakan padaku? Nadya kah wanita yang sudah berhasil mencuri seluruh hatinya? sehingga saat putus cinta, sahabatku ini masih belum bisa melupakan wanita itu. Dan kalau benar, aku tidak salah kalau meminta Devan untuk mendampingi Nadya mencari adiknya. Mungkin saja setelah itu mereka bisa bersatu kembali’ ucap Doni dalam hati.
Doni tersenyum dan mulai menyusun serangkaian rencana yang sudah dia rekam di kepalanya. Dan untuk menjalankan rencananya itu, dia perlu mengetahui status Nadya saat ini apakah sudah menikah atau belum. Dan itu akan segera dia tanyakan langsung saat ini juga.
“Bu Nadya, bisa saya tanya sesuatu yang sedikit pribadi?” tanya Doni pada Nadya yang duduk di hadapannya itu. “Karena ini menyangkut ke ikut sertaan Ibu dalam usaha pencarian Amelia.”
“Iya, Pak. Silakan! Pak Doni mau bertanya apa sama saya?” tanya Nadya.
“Apa Bu Nadya sudah menikah?” tanya Doni yang membuat Nadya maupun Devan terkejut mendengar pertanyaan pria itu.
“Belum, Pak,” sahut Nadya lirih yang sontak membuat Devan secara tak sadar menyunggingkan senyum walaupun hanya sebentar. Dan itu tak luput dari pengamatan Doni yang sudah mulai paham tentang mereka berdua.
Nadya menautkan kedua tangannya sambil menundukkan kepala. Dia merasa gugup saat mengungkapkan identitasnya saat ini di hadapan Devan. Walaupun dalam hati dia senang dengan pengungkapan itu yang seolah memberitahu kepada pria itu bahwa dia saat ini masih sendiri.
Devan menatap Nadya yang kini tertunduk menatap tautan jemari tangannya. Dia tahu wanita itu gugup saat ini, setelah menjawab pertanyaan Doni tentang identitasnya. Hal itu justru membuat Devan senang karena Nadya juga ternyata sama seperti dirinya yang juga masih sendiri. Dia masih sendiri karena dia belum bisa ‘move on’ dari seorang wanita yang telah sukses mengambil seluruh hatinya. Dan wanita itu adalah Nadya.
“Baik, kalau belum menikah, berarti nanti saya tidak perlu minta ijin pada seseorang untuk menjalankan skenario saya,” tukas Doni. Dia menatap serius wajah Nadya yang kini telah mendongakkan kepalanya, dan menatap Doni dengan memicingkan matanya.
Devan mengerutkan dahinya, dia masih bingung arah pembicaraan sahabatnya itu. Tapi, dia memilih untuk berdiam diri dulu sambil menyimak pembicaraan Doni dan Nadya.
“Skenario apa maksud Bapak?” tanya Nadya bingung. Dia mencoba menerka skenario apa yang di maksud oleh Doni, hingga pria itu menanyakan statusnya.
Jantung Nadya berdegub kencang kala dia menatap Devan, yang ternyata saat ini juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Nadya kemudian segera mengalihkan tatapannya ke arah lain. Dia merasakan pipinya mulai memanas kala tatapan matanya bertemu dengan tatapan Devan. Dia mengulum senyumnya saat dia melihat melalui ekor matanya, kalau Devan tengah tersenyum sambil menatap dirinya.
Doni yang hendak memberitahukan mengenai skenarionya, urung mengungkapkannya, setelah dia melihat kedua orang yang berlainan jenis itu tengah tersenyum setelah mereka saling tatap. Doni melihat mereka secara bergantian. Dia menggelengkan kepalanya saat dua orang dewasa itu berlaku seperti anak sekolah, yang baru pertama kali mengenal cinta.
“Ehem, Apa bisa saya katakan sekarang tentang skenario yang saya buat?” tanya Doni.
Nadya dan Devan segera tersadar ketika terdengar suara Doni yang membuyarkan lamunan mereka. Devan segera mengusap wajahnya, kasar. “Jelaskan skenario yang telah kamu buat,” ucap Devan mengalihkan pandangannya ke arah Doni. “Aku membuat skenario untuk perjalanan kalian, bahwa nanti kalian akan berperan sebagai pasangan suami istri,” tukas Doni dengan menatap wajah Nadya dan Devan secara bergantian. “Hah! Apa?!” seru Devan dan Nadya secara bersamaan. “Aku membuat skenario ini untuk memudahkan perjalanan kalian nanti. Kita kan tidak tahu di mana saat ini Amelia berada. Jadi kita masih menerka-nerka keberadaan Amelia. Hal itu pastinya akan memakan waktu yang lama, karena kalian akan selalu berpindah tempat. Dan itu memerlukan status kalian yang selalu pergi bersama di beberapa tempat. Skenario yang paling tepat untuk kalian adalah dengan menjadikan kalian pasangan suami istri untuk melengkapi perjalanan kalian,” jelas Doni lagi yang membuat Devan dan Nadya terdiam. Mereka sibuk denga
London, saat musim semi.Seorang gadis muda belia yang sangat cantik berjalan tergesa-gesa menuju kampusnya pagi itu. Dia hari ini ada kuliah pagi dan sekarang sudah terlambat sekitar lima belas menit lamanya. Tapi, karena dia berjalan tergesa-gesa, gadis itu tidak melihat kalau ada seorang pria yang sedang mengikutinya semenjak dia keluar dari apartemennya. Tepat saat gadis itu akan menyeberang jalan, laki-laki itu menyambar tas milik gadis muda nan cantik yang seketika menjerit saat seorang laki-laki tak dia kenal menyambar tasnya.Jeritan gadis itu menarik perhatian orang yang ada di sekitar sana, tak terkecuali seorang pemuda tampan bertubuh tinggi tegap yang saat itu memakai seragam tentara. Pemuda itu segera meraih tubuh laki-laki yang akan berlari dengan membawa hasil rampasannya. Lalu di pukulnya tubuh laki-laki itu dengan sangat keras yang membuatnya terhempas di atas trotoar.Diambilnya tas milik gadis muda itu kemudian diserahkan ke pemiliknya.“Thank you, Si
“Lalu apa rencanamu kini untuk menemukan keberadaan Amelia?” tanya Doni berusaha mengalihkan perhatian Devan dari masa lalunya.“Besok pagi aku akan ke rumah sakit tempat kekasih Amelia itu bekerja. Dari sana aku akan berusaha mencari tahu asal usul pria itu dan mencari alamatnya. Kalau sudah dapat, dan bisa diperkirakan mereka ada dimana, aku akan informasikan ke Nadya untuk siap-siap melakukan perjalanan,” sahut Devan. Dia kemudian berdiri dan melangkah ke arah pintu. Belum sempat Devan memutar handle pintu, Doni tiba-tiba memanggilnya.“Devan! Jangan pulang dulu!” seru Doni menghentikan langkah Devan.“Ada apa, Don?” tanya Devan kembali mendekati sahabatnya yang masih duduk di sofa.“Kita makan malam bareng, yuk!” ajak Doni dengan tatapan penuh permohonan pada sahabatnya itu. “Sekalian membahas tentang rencana kamu itu.”“Aku sih tidak masalah, tapi bagaimana dengan istri kamu?” tanya Devan yang kemudian duduk kembali di sofa.“Aku akan telepon dia dan ijin pulang malam. Dia pasti
Ping.Suara notifikasi pesan masuk terdengar dari telepon genggam Nadya. Gadis itu mengabaikan sejenak pesan tersebut, karena dia sedang ada meeting dengan jajaran direksi siang ini. Senyum Nadya mengembang dari bibirnya, ketika dia akhirnya melihat pesan yang masuk ke dalam telepon genggamnya, pesan dari Devan. Dia langsung membuka dan membaca pesan yang Devan kirimkan beberapa menit yang lalu. Pesan itu hanya memberitahu Nadya, bahwa Devan sudah mengetahui perkiraan keberadaan Amelia dan kekasihnya saat ini.Nadya kemudian menelepon Devan untuk segera mengetahui rencana pria itu selanjutnya. Dia tekan tombol angka untuk menghubungi mantan kekasihnya itu. Dan dalam hitungan ketiga, panggilan telepon Nadya akhirnya diangkat oleh Devan.“Halo, Nad,” sapa Devan di seberang sana.“Halo, Mas. Bagaimana, sudah dapat informasi yang lengkap mengenai Amelia dan kekasihnya itu?” tanya Nadya di telepon.“Iya, masih sedikit informasi yang sudah aku dapatkan. Tapi, aku sudah tahu perkiraan kebera
Nadya memandang ke arah pria yang dimaksud oleh Keisha dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia melihat saat ini Keisha tersenyum simpul saat memandang pria tampan itu mulai duduk di kursi yang berjarak tidak jauh dari mejanya. Seketika ada perasaan tidak rela saat sahabatnya ini memuja pria itu yang ternyata adalah Devan, mantan kekasihnya.Nadya terus menatap Devan. Hingga akhirnya tatapan mereka bertemu ketika secara tak sengaja, Devan menoleh ke arah tempat Nadya duduk.Devan tersenyum kala melihat Nadya yang ternyata juga ada di tempat yang sama dengan dirinya. Dia lalu beranjak dari kursi dan berjalan ke arah wanita cantik yang telah menghuni hatinya."Hai, Nad!" sapa Devan ramah ketika dia sudah sampai di meja Nadya."Hai, Mas!" balas Nadya menyapa Devan.Interaksi mereka berdua sontak membuat Keisha membulatkan matanya, apalagi saat ini Devan terlihat sangat ramah terhadap Nadya. Sikap Devan terlihat sangat jauh berbeda ketika bertemu dengan dirinya beberapa waktu yang lalu di
Devan sudah selesai berdiskusi dengan temannya ketika dia melihat Nadya dan Keisha masih ada di mejanya. Dia lalu mendekati wanita itu untuk berdiskusi tentang rencana kepergian mereka. “Nad! besok pagi kamu siap-siap, ya. Kita mulai melakukan perjalanan. Aku akan pesan tiket pesawat untuk besok dan aku akan menjemput di rumah kamu besok pagi,” ucap Devan saat dia sudah berada di meja Nadya. “Aku sekarang tinggal di apartemen, tidak tinggal di rumah orangtua lagi, Mas.” Nadya menjelaskan sambil melirik sekilas ke arah Keisha yang mencuri pandang ke arah Devan . Senyum mengembang dari bibir Devan, saat mengetahui kalau Nadya sudah tidak tinggal bersama dengan orangtuanya lagi. Dia sebenarnya malas kalau harus menjemput Nadya ke rumah orangtuanya dan bertemu dengan orangtua Nadya. Tapi, rupanya keberuntungan masih berpihak padanya karena ternyata Nadya sudah tinggal sendiri saat ini. “Aku akan info alamat apartemenku melalui pesan ya, Mas,” ujar Nadya yang diangguki oleh Devan. Pi
Mereka sampai di Hotel A tiga puluh menit kemudian. Devan dan Nadya berjalan menuju meja resepsionis, untuk meminta kunci kamar yang telah Doni pesan untuk mereka.“Mbak, saya mau kasih informasi kalau Pak Doni sudah memesan kamar atas nama Devan di hotel ini. Dan sekarang saya mau check in kamar yang sudah di pesan oleh beliau, ini kartu identitas saya,” ucap Devan. Dia lalu meletakkan kartu identitasnya di atas meja resepsionis itu.“Oh, Pak Devan. Kemarin memang Pak Doni telah memesan kamar paket bulan madu untuk Bapak dan Istri. Ini kunci kamarnya, Pak. Selamat menikmati fasilitas yang ada di hotel kami ini dan selamat berbulan madu,” tukas resepsionis itu dengan tersenyum ramah.Devan dan Nadya saling berpandangan. Mereka lalu tersenyum dan kemudian melangkahkan kaki ke kamar yang telah Doni pesan untuk mereka.Sesampainya di kamar, mereka kembali dikejutkan oleh suasana kamar yang terkesan romantis. Kamar itu dihiasi oleh beraneka macam bunga yang tersebar di lantai dan di atas
Devan dan Nadya kini telah tiba di rumah sakit X. Mereka langsung menuju ke customer service rumah sakit itu."Selamat siang, Mbak. Apa saya bisa bertemu dengan dokter Reza Wicaksana?" tanya Devan ramah."Dokter Reza Wicaksana diminta perbantuannya di puskesmas yang ada di salah satu kabupaten, Pak," jelas customer service tersebut.Devan dan Nadya saling berpandangan. Mereka tidak percaya bahwa Reza pindah ke tempat lain. Padahal sebelumnya mereka sudah berharap akan segera menemukan Amelia. Tapi, sekarang mereka sepertinya harus memulai dari awal lagi."Bisa minta alamat dokter Reza, Mbak?" Devan bertanya dengan tatapan penuh permohonan."Kalau boleh tahu, Bapak ini siapa?" tanya customer service itu memicingkan mata."Saya sepupunya. Kami sudah lama tidak bertemu. Dia sudah pindah dari alamatnya yang lama, jadi saya mencari dia kemari." Devan sedikit berbohong tentang identitasnya."Sebentar ya, Pak, saya tanyakan dulu ke atasan saya. Apakah bisa memberikan alamat dokter Reza?" Cus
Mengetahui hal itu, Devan segera berantisipasi dengan selalu ada di dekat istrinya itu. Dia cuti selama lima hari kerja, sehingga masih bisa menemani istrinya di rumah.“Kamu tenang aja, Sayang. Kamu nggak sendiri, kok. Ada Mas dan baby sitter yang akan membantu kamu nanti untuk mengurus bayi kembar kita. Mama juga akan siap membantu kok. Jadi jangan panik, ya. Kamu pasti bisa,” hibur Devan.Nadya menganggukkan kepalanya dan tersenyum menatap sang suami. Dia lalu merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Dan memejamkan matanya. Namun, tak lama terdengar tangisan Deny. Nadya kemudian membuka kembali kelopak matanya seraya berkata, “Bawa kemari, Mas. Sini aku kasih ASI.”Devan tersenyum dan meraih bayi laki-lakinya dari baby crib, lalu menyerahkan pada Nadya. Bayi laki-laki yang tampan itu kemudian menyusu dengan lahap. Hingga setelah beberapa menit, bayi itu selesai menikmati ASI sang mama. Belum sempat Nadya menutup kembali pakaiannya, Dendy pun menangis. Hal itu membuat Nadya mengusap
“Congratulations!!”Nadya yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi ditemani oleh Devan, terkejut ketika membuka pintu kamar mandi. Mereka disambut oleh Kayden dan Carissa.Mereka membawa satu kotak kue dan bunga untuk Nadya. Carissa segera memeluk dan mencium pipi Nadya kiri dan kanan bergantian. Sedangkan Kayden hanya bersalaman dengan Nadya.“Terima kasih, ya. Kalian jadi repot bawain kue dan bunga segala,” sahut Nadya terharu.“Anak kalian ganteng-ganteng dan cantik. Mudah-mudahan aku dan Carissa cepat diberi momongan juga,” ucap Kayden sambil mengedipkan sebelah matanya pada Carissa, yang seketika menjadi tersipu.“Aamiin. Semoga doa kamu dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa,” sahut Devan.“Nadya, aku salut sama kamu yang sudah menjadi ibu dari ketiga bayi yang lucu dan menggemaskan ini. Bagaimana hamil anak kembar tiga?” tanya Carissa penasaran.“Rasanya sudah pasti senang, tapi saat perut sudah membesar berat juga bawa perutnya,” sahut Nadya.“Tenang saja, Sayang. Nanti kalau kam
Kini hanya ada Nadya dan Devan di ruang rawat inap itu. Setelah Runi pulang, Devan pun memberitahu mertuanya tentang Nadya yang sudah melahirkan. Laura, ibu Nadya sangat senang mendengar kalau anaknya sudah melahirkan. Beberapa bulan yang lalu anak bungsunya sudah memberinya seorang cucu. Kini Nadya memberikan tiga cucu sekaligus padanya. Hati Laura pun begitu bahagia. Dia mengatakan pada Devan, akan segera ke rumah sakit.Tangan Nadya kini berada dalam genggaman tangan Devan. Seluruh wajahnya pun sudah dihujani kecupan oleh suaminya yang tampak bahagia itu.“Nad, terima kasih. Terima kasih, kamu sudah berjuang untuk melahirkan anak-anak kita. Kamu seorang wanita yang hebat. Aku bahagia, Nad,” bisik Devan di telinga Nadya.“Aku juga bahagia, Mas. Rasanya aku menjadi wanita yang sempurna setelah melahirkan ketiga anak kita.” Nadya menarik wajah Devan untuk dia cium dengan penuh kasih sayang.Telapak tangan Nadya mengusap rahang kokoh Devan dengan lembut. Dia merasa hidupnya terasa leng
Runi dengan dibantu Mang Ujang memapah tubuh Nadya menuju mobil yang sudah siap sedia. Nadya dan Runi berada di kursi penumpang bagian belakang.“Bibi...nanti kalau suami saya pulang dari main golf, katakan kalau saya membawa Nadya ke rumah sakit. Nadya mau melahirkan,” ucap Runi yang diangguki oleh asisten rumah tangganya.“Iya, Bu,” titah si Bibi patuh.Setelah itu, Mang Ujang mengemudikan mobil keluar dari halaman rumah dengan kecepatan agak tinggi.Sementara itu, Runi tetap melakukan panggilan telepon pada Devan, hingga akhirnya panggilan teleponnya diangkat juga oleh anaknya itu.“Halo, Mama. Maaf aku baru angkat teleponnya, tadi habis meeting dan telepon genggam aku tertinggal di meja kerjaku,” ucap Devan di seberang sana.“Keenan...saat ini Mama sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Mama mengantar Nadya ke sana karena perut Nadya sudah mulai mulas terus dari tadi. Sepertinya akan melahirkan,” sahut Runi.“Ok, Ma. Aku akan menyusul ke sana. Tolong jaga istri aku ya, Ma. Aku tu
Enam bulan kemudian.Devan menghujani perut istrinya dengan kecupan. Telapak tangannya yang lebar pun mendarat di sana.“Hey, kalian capek habis bermain tadi, ya?” tanya Devan sambil terus mengelus perut istrinya yang telah kembali seperti semula, tidak ada tonjolan di sana-sini.“Mereka istirahat dulu lah, Mas. Mungkin mereka kasihan sama Mamanya, karena perut Mamanya jadi sakit akibat gerakan mereka,” timpal Nadya.Devan terus meraba-raba perut Nadya, berharap kalau ada gerakan dari dalam sana karena merasakan sentuhannya.“Ya sudah deh, kalian istirahat dulu. Tapi, kalian bertiga yang akur, ya, di dalam sana. Kalian akur di dalam perut Mama saat ini, dan nanti kalian juga harus akur saat sudah lahir, ok,” ucap Devan yang kembali menghujani perut sang istri dengan kecupan.Tak lama setelah Devan mengecup perut sang istri, wajah Devan terasa ada yang menendang dari dalam perut Nadya. Hal itu tentu saja membuat Devan dan Nadya tertawa senang.“Mereka merespon ucapan dan sentuhan aku,
Dua bulan kemudian.Tiba saatnya pernikahan antara Kayden Carissa dilangsungkan. Pernikahan itu sendiri digelar di salah satu hotel bintang lima, di Jakarta. Tampak pengamanan yang cukup ketat dari aparat kepolisian, maupun dari pihak keamanan hotel. Hal itu agar pernikahan tersebut berjalan dengan kondusif.Di salah satu ruang di hotel itu, yang di jadikan ruang ganti pengantin, tampak Carissa melihat tampilan dirinya di cermin saat dia sudah selesai dirias oleh seorang make-up artis. Runi, Ibunda Kayden itu memilihkan busana pengantin untuk Carissa dan Kayden di butik sahabatnya, tempat dimana Devan dan Nadya dulu menggunakan busana pengantin dari butik tersebut. Ibunda Carissa menatap takjub wajah anaknya yang kini tampil memukau. Wajah cantik Carissa semakin cantik dengan riasan sempurna dari make-up artis tersebut. Tubuh ramping Carissa berbalut kebaya warna putih dan kain batik coklat yang menyempurnakan penampilan gadis itu di hari bahagianya, pada hari ini.“Anak Mama cantik s
Kini mereka sudah ada di dalam mobil Kayden, yang akan mengantar Carissa pulang ke rumah. Tidak ada percakapan yang tercipta selama beberapa menit mereka di dalam mobil. Hingga akhirnya Kayden membuka suara.“Kamu pakai make-up, ya?” tanya Kayden menoleh sekilas ke arah Carissa, lalu dia menatap kembali ke arah jalan raya.“Eh, pakai make-up? Nggak kok, Kak. Aku hanya pakai bedak bayi. Di tas aku cuma ada bedak bayi saja. Aku juga nggak pernah pakai lipstik. Penampilanku selalu seperti ini saat kerja juga. Aku tergolong orang yang nggak bisa dandan,” jawab Carissa yang seketika pipinya memanas kala Kayden tiba-tiba bertanya demikian, yang artinya pria itu tengah memperhatikannya.Sementara itu, Kayden merutuki mulutnya yang seenaknya bertanya. Dia sendiri tidak mengerti kenapa mulutnya sangat lancang bicara, padahal dirinya bukan sekali ini bertemu dengan Carissa. Sudah dua kali! Pertama kalinya ketika gadis itu menemani ibunya datang ke rumah orangtuanya, dan yang kedua, tadi malam s
“Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya mengganti pakaian kamu yang kotor yang terkena muntahan kamu. Semalam kamu mabuk berat. Kamu bilang padaku saat masih setengah sadar, kalau kamu tidak mau diantar pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Sehingga aku membawa kamu ke apartemenku. Di sini tidak ada pakaian wanita, jadi aku memakaikan kamu kaos milikku sebagai ganti pakaian kamu yang kotor.” Kayden menatap wajah cantik Carissa yang kini tengah merona.“Jadi kakak lihat semuanya, dong,” ucap Carissa lirih. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia merasa risih mengetahui Kayden melihat bagian dalam tubuhnya.“Iya. Nggak apa-apa juga kali, Ris. Kita juga nantinya akan menikah,” sahut Kayden santai. Dia tersenyum geli melihat Carissa yang menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Kayden melihat gadis cantik ini memang masih polos. Kayden menilai kalau usia gadis ini sekitar pertengahan dua puluhan. Semalam gadis ini bilang padanya saat masih tersadar kalau kemarin dia tengah ber-ula
“Ayo pulang, Rissa!” ajak Kayden setelah pria yang mengganggu Carissa pergi meninggalkan mereka. Kayden memapah tubuh Carissa yang seringan kapas baginya. “Kak, jangan bawa aku pulang! aku takut Mama sama Papa akan marah kalau melihat aku seperti ini.” Carissa lalu menyandarkan kepalanya di dada bidang Kayden. “Kenapa kamu sampai mabuk? lalu kamu kemari bawa mobil?” tanya Kayden sambil terus berjalan keluar klub itu dengan tangan kanannya menahan tubuh Carissa agar tidak terjatuh.“Aku hari ini berulang tahun. Teman-temanku mengajak aku ke klub itu untuk merayakan ulang tahunku. Dua temanku menjemput ke rumah jadi aku nggak bawa mobil. Mereka membawa aku ke klub karena aku sebelumnya memang tidak pernah masuk dan minum di klub malam, jadi mereka bilang akan mengajari aku supaya tidak ketinggalan jaman. Aku langsung mabuk setelah menghabiskan satu setengah gelas minuman beralkohol itu.” Carissa berbicara sambil tersenyum. Dalam pandangannya orang-orang di sekitarnya termasuk Kayden t