<Flashback on>
London, saat musim semi.
Seorang gadis muda belia yang sangat cantik berjalan tergesa-gesa menuju kampusnya pagi itu. Dia hari ini ada kuliah pagi dan sekarang sudah terlambat sekitar lima belas menit lamanya. Tapi, karena dia berjalan tergesa-gesa, gadis itu tidak melihat kalau ada seorang pria yang sedang mengikutinya semenjak dia keluar dari apartemennya. Tepat saat gadis itu akan menyeberang jalan, laki-laki itu menyambar tas milik gadis muda nan cantik yang seketika menjerit saat seorang laki-laki tak dia kenal menyambar tasnya.
Jeritan gadis itu menarik perhatian orang yang ada di sekitar sana, tak terkecuali seorang pemuda tampan bertubuh tinggi tegap yang saat itu memakai seragam tentara. Pemuda itu segera meraih tubuh laki-laki yang akan berlari dengan membawa hasil rampasannya. Lalu di pukulnya tubuh laki-laki itu dengan sangat keras yang membuatnya terhempas di atas trotoar.
Diambilnya tas milik gadis muda itu kemudian diserahkan ke pemiliknya.
“Thank you, Sir,” ujar gadis itu. Dia tersenyum manis ke arah pemuda yang menolongnya tadi.
“You are welcome.” Pemuda itu balas tersenyum kemudian berlalu dari hadapan gadis muda nan cantik yang kini sedang mendekap tasnya dengan erat.
“Are you Indonesian?” tanya gadis itu sedikit keras, karena pemuda yang tadi menolongnya sudah berjalan agak jauh dari tempatnya berdiri.
Pemuda itu kemudian berhenti dan berbalik, serta berjalan kembali mendekati gadis yang tadi ditolongnya.
“How do you know?” tanya pemuda itu menautkan kedua alisnya.
“From your uniform. And I knew Indonesian army uniform.” Gadis itu tersenyum sumringah menatap pemuda itu. Dia senang di negeri orang bertemu dengan saudara sebangsa.
“Iya, saya orang Indonesia. Dan kamu orang Indonesia juga kah?” tanya pemuda itu yang sengaja menggunakan bahasa Indonesia, untuk mengetahui apakah gadis itu juga sama seperti dirinya.
“Iya, saya orang Indonesia juga. Saya sedang kuliah di sini dan senang bertemu dengan saudara sebangsa dan setanah air,” ucap gadis itu.
“Kenalkan, saya Devan.” Pemuda itu mengulurkan tangan dan memperkenalkan dirinya.
“Nadya,” sahut gadis itu. Dia menerima uluran tangan pemuda yang bernama Devan.
Dan semenjak kejadian itu hubungan mereka semakin akrab. Mereka saling bertukar nomor telepon dan Devan pun mulai rutin mengunjungi Nadya di apartemennya. Awalnya hubungan mereka hanya sebatas sahabat dan saudara sebangsa yang merantau di negeri orang. Devan pun menganggap Nadya sebagai adiknya, karena usia Nadya yang terpaut jauh dengannya, sepuluh tahun. Tapi, lama kelamaan perasaan sayang layaknya kakak terhadap adiknya berubah menjadi perasaan sayang seorang laki-laki terhadap lawan jenisnya. Begitu juga dengan Nadya, yang awalnya menganggap Devan sebagai kakaknya kini perasaannya berubah menjadi rasa suka terhadap lawan jenis.
Devan yang awalnya ragu untuk mengutarakan perasaannya pada Nadya karena status mereka yang berbeda, akhirnya nekat mengutarakannya pada sabtu malam saat mereka pulang dari bioskop.
“Nad...” Devan menjeda ucapannya sejenak. Dia tiba-tiba gugup untuk mengutarakan perasaannya.
“Ada apa, Mas?” tanya Nadya.
“Aku mau bilang kalau aku...aku suka dan sayang sama kamu.” Devan akhirnya bernapas lega karena sudah berhasil mengutarakan perasaannya, tapi tidak halnya dengan Nadya.
“Cuma suka sama sayang saja, Mas. Beneran cuma itu saja, tidak ada lagi?” tanya Nadya memastikan.
“Maksud kamu apa, Nad?” tanya Devan tidak mengerti maksud Nadya.
“Apa cuma kata itu saja? tidak ada yang lebih spesifik seperti di film tadi yang baru saja kita tonton?” tanya Nadya lagi.
Devan yang mengerti dengan ucapan dan keinginan Nadya lalu tertawa geli saat Nadya mulai menekuk wajahnya. Dia kemudian memegang tangan Nadya, lalu mengecup punggung tangan gadis itu yang seketika wajahnya merona karena ulah Devan saat ini.
“Aku mungkin bukan pria yang romantis dan yang pandai merangkai kata tapi yang aku ucapkan padamu adalah sesuatu yang jujur dari dalam lubuk hati yang paling dalam. Nadya Darmawan, aku jatuh cinta padamu.” Devan akhirnya mengucapkan kata pamungkas yang di inginkan oleh Nadya untuk memperjelas perasaannya pada gadis itu.
“Kamu mau menjadi kekasihku?” tanya Devan lagi.
Dengan malu-malu Nadya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Devan. Mereka saling melempar senyuman, kemudian Devan meraih tubuh Nadya kedalam pelukannya.
Semenjak itu, mereka menjadi sepasang kekasih yang saling menyayangi satu sama lain. Devan yang seorang tentara terlihat sangat melindungi Nadya yang sendirian di negeri orang.
Hubungan mereka tidak berbeda dengan pasangan lainnya yang kadang mesra tapi kadang ada juga perselisihannya. Tapi, mereka dapat menyelesaikannya dengan cara yang dewasa. Nadya yang usianya terbilang masih cukup muda, tapi sikapnya bisa mengimbangi Devan yang sudah cukup dewasa. Oleh karena itu hubungan mereka berjalan dengan lancar. Sampai tak terasa, Nadya sudah memasuki semester akhir kuliahnya.
“Setelah lulus, kamu akan kembali ke Jakarta?” tanya Devan saat mereka makan malam bersama.
Nadya menggelengkan kepalanya, “Aku akan bekerja di sini. Aku sudah melamar pekerjaan di salah satu perusahaan telekomunikasi. Mudah-mudahan aku diterima bekerja di sana.”
“Bagaimana dengan orangtuamu? Apa mereka setuju kamu bekerja disini?” tanya Devan lagi.
“Aku akan pikirkan lagi nanti, yang penting aku nikmati dulu kehidupanku di sini. Kehidupan indahku bersama kamu, Mas,” ucap Nadya tersipu.
Devan tersenyum sumringah mendengar ucapan Nadya yang menyejukkan hatinya. Mereka kemudian menautkan jemari mereka satu sama lain. Devan lalu menggeser duduknya, mendekat ke arah kekasihnya. Dia lalu melabuhkan bibirnya ke bibir ranum milik Nadya.
***
London, saat musim gugur.
“Nad, aku bulan depan sudah harus kembali lagi ke Indonesia karena tugasku di sini sudah selesai sampai akhir bulan ini. Masa kerjaku di London hanya sampai lima tahun dan setelah itu, aku kembali ke kesatuanku di Jakarta,” ucap Devan yang membuat Nadya terkejut.
“Kalau begitu aku akan mengundurkan diri juga dari kantorku. Aku akan kembali ke Jakarta karena kebetulan Papa juga mulai mendesak aku untuk pulang, dan membantunya mengelola perusahaan,” sahut Nadya. Dia tersenyum sumringah saat dilihatnya Devan juga tersenyum, ketika mendengar keputusan Nadya untuk kembali ke tanah air bersama dengan dirinya.
Setelah kembali ke Jakarta, mereka menjalani kegiatan masing-masing. Nadya mulai bekerja di perusahaan keluarga yang ayahnya pimpin. Devan kembali ke kesatuannya sebagai pasukan elit Indonesia dengan pangkat yang dinaikkan dari seorang Kapten menjadi seorang Mayor. Dia juga diangkat sebagai seorang komandan di kesatuannya itu.
Devan yang merasa sudah cukup lama menjalin hubungan dengan Nadya dan dia juga merasa sudah cukup mapan, sehingga dia berniat akan melamar Nadya untuk menjadi istrinya. Nadya sangat bahagia ketika Devan mengutarakan niatnya itu. Devan akan menemui orangtuanya di akhir pekan ini.
Di Sabtu sore, Devan datang ke rumah Nadya untuk mengutarakan niatnya melamar gadis itu kepada orangtuanya.
“Jadi kamu selama ini sudah menjalin hubungan dengan anak saya, dan sekarang ingin melamar Nadya, begitu?” tanya Indra, ayah Nadya, saat mendengar niatan Devan untuk meminang Nadya menjadi istrinya.
“Betul, Pak. Dan setelah ini, saya akan membawa orangtua saya untuk melamar Nadya secara resmi,” sahut Devan mantap.
“Terima kasih sudah menjaga Nadya selama lima tahun dia tinggal di London. Tapi, maaf saya tidak bisa menerima lamaran anda karena Nadya sudah saya jodohkan dengan orang lain. Jadi mulai sekarang tolong diakhiri saja kisah cinta kalian. Sebentar lagi pernikahan Nadya dan anak rekan bisnis saya akan dilaksanakan,” ujar Indra dengan raut wajah datar.
Devan bagaikan disambar petir di sore hari kala mendengar kalau Nadya akan menikah dengan orang lain. Seketika hatinya terasa perih dan tidak rela kalau kekasih yang sangat dia cintai akan dimiliki oleh orang lain. Begitu juga dengan Nadya yang seketika menangis dan protes akan keputusan ayahnya yang sepihak.
“Papa tidak bisa begitu, dong! Ini kehidupan aku, walaupun aku anak Papa, tapi Papa tidak berhak mengatur aku akan menikah dengan siapa. Aku akan menikah dengan orang yang aku suka dan cintai dan orang itu adalah Mas Devan bukan orang lain,” ujar Nadya. Dia lalu memeluk ibunya yang duduk di sampingnya.
“Pa, coba dipikirkan lagi keputusan kamu. Kalau Nadya tidak mau jangan dipaksa, tolong pikirkan kebahagiaan anak kita. Jangan bisnis terus yang kamu pikirkan,” ucap Laura, ibu Nadya yang merupakan wanita berkewarganegaraan Inggris itu.
“Kamu tidak usah ikut campur! aku sudah menetapkan kalau bulan depan Nadya akan menikah dengan David,” ucap Indra yang membuat tangisan Nadya semakin kencang.
“Ini tidak adil buatku! aku tidak mau menikah dengan David. Aku hanya mau menikah dengan Mas Devan.” Nadya kemudian berlari ke arah dalam rumahnya dan tidak menampakkan dirinya lagi.
***
Lima hari kemudian.
Tok...tok...tok.
Devan baru saja akan memejamkan mata kala pintu rumahnya ada yang mengetuk. Diseretnya langkah menuju pintu utama rumahnya. Diputarnya handle pintu dan betapa terkejutnya dia kala sesosok wajah cantik yang sangat dia rindukan, telah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Nadya!”
Nadya kemudian menghambur ke pelukan Devan sambil menangis tersedu-sedu. Devan yang kaget akan kedatangan Nadya di malam hari, segera membawa wanita itu masuk ke dalam rumahnya.
“Menangis lah sepuas kamu! nanti kalau sudah cukup lega perasaanmu, ceritakan apa yang terjadi!” ujar Devan.
“Aku...aku tidak mau menikah dengan David, Mas. Aku hanya ingin menikah sama kamu. Bawa aku pergi! aku tidak mau kembali ke rumah,” ucap Nadya.
Devan terdiam mendengar ucapan Nadya.
“Kenapa kamu diam saja? kamu cinta tidak sama aku?” tanya Nadya dengan mata berkaca-kaca.
“Ya tentu saja, Nad. Kalau soal itu jangan diragukan lagi,” sahut Devan. Dia mengelus bahu Nadya, lalu dipeluknya erat tubuh gadis itu.
“Kalau Mas Devan cinta sama aku, bawa aku pergi! terserah Mas mau bawa aku pergi kemana. Asalkan aku tidak jadi menikah dengan laki-laki yang tidak aku kenal dan tidak aku cintai,” ucap Nadya.
Devan menghela napas panjang dan berpikir sejenak untuk mengambil keputusan. Dia juga ingin membawa kekasihnya itu pergi sejauh mungkin agar tidak ada orang yang akan memisahkan mereka. Tiba-tiba dia teringat dengan neneknya yang tinggal di daerah pegunungan. Dia kemudian tersenyum dan mencium kening Nadya, lalu dia hapus air mata gadis itu dengan ibu jarinya.
“Baiklah, aku akan membawa kamu pergi jauh dari sini. Tapi, kamu jangan menyesal kalau kehidupan kamu nanti akan jauh berbeda dengan kehidupan kamu yang sekarang ini,” ucap Devan.
“Iya, aku tidak akan menyesal! Asalkan kamu ada di sisiku, aku tidak akan pernah menyesal, Mas,” sahut Nadya.
“Baiklah, kamu sudah siap dengan perlengkapan kamu?” tanya Devan memastikan.
“Sudah. Aku taruh di bagasi mobil,” ucap Nadya.
Devan kemudian melangkah ke kamarnya untuk membawa beberapa pakaian dan perlengkapan lainnya yang dia butuhkan, selama perjalanan menuju rumah neneknya.
“Sudah siap semua. Ayo, kita berangkat ke rumah Nenekku sekarang!” ajak Devan. Dia lalu menggandeng tangan Nadya keluar dari rumah dinasnya.
Sementara itu, Indra sudah melaporkan hilangnya Nadya ke Polisi Militer. Indra sudah menduga bahwa Nadya melarikan diri bersama dengan Devan. Oleh karena itu, dia langsung melaporkan Devan ke Polisi Militer dengan tuduhan melarikan anak gadis orang.
Dengan adanya laporan dari Indra, maka pihak Polisi Militer segera melakukan pemeriksaan di kesatuan tempat Devan bernaung. Tapi, di sana tidak satupun yang mengetahui keberadaan Devan. Begitu juga ketika mereka melakukan penyelidikan di rumah dinas Devan, tidak satu pun ditemukan bukti yang cukup untuk mencari keberadaan Devan dan Nadya saat ini.
***
Sementara itu, di sebuah rumah di lereng gunung di daerah Jawa Barat, Nadya tengah membantu seorang wanita tua yang saat ini tengah menyiapkan makan siang untuk mereka.
Nadya terlihat bahagia tinggal di sebuah rumah yang sederhana. Walaupun tinggal di rumah yang jauh lebih kecil dari rumahnya, tapi dia sangat bahagia tinggal di sini dibandingkan tinggal di rumah yang jauh lebih besar.
Tapi kebahagiaan Nadya berakhir, ketika suatu sore beberapa orang mendatangi rumah nenek Devan. Saat itu Devan sedang ke kota untuk membeli bahan makanan yang tidak ditemukan di daerah tempat tinggal neneknya.
Sepandai-pandainya Devan menyembunyikan bukti keberadaannya saat ini, akhirnya dia ditemukan juga keberadaannya setelah satu minggu lamanya dia menghilang. Beberapa orang itu langsung menggeledah rumah neneknya. Setelah Devan tidak mereka temukan, maka Nadya segera dibawa untuk ikut mereka kembali ke Jakarta. Nadya berusaha memberontak dengan berbagai upaya. Namun, usahanya itu sia-sia.
Pada saat Nadya dimasukkan ke dalam mobil, Devan tiba. Dia segera berusaha menghalau mereka yang akan membawa kekasihnya pergi. Dengan berbekal ilmu beladiri yang dia miliki, Devan berhasil merobohkan tiga orang pria itu. Tapi karena kalah jumlah, Devan roboh juga saat seorang dari mereka memukul kepala bagian belakangnya, hingga dia tidak sadarkan diri. Nadya menjerit kala melihat Devan yang jatuh tersungkur di tanah.
Nadya menangis kala melihat Devan yang telah pingsan, diangkat ke dalam mobil yang berbeda dengan dirinya. Dan semenjak itu, dia tidak pernah lagi bertemu dengan pujaan hatinya.
Devan terbangun dari pingsannya. Dan saat terbangun, dirinya telah berada di dalam sel tahanan Polisi Militer. Satu hari kemudian dilakukan sidang tertutup atas kasus Devan, dengan dihadiri oleh beberapa orang atasannya. Hasil sidang itu diputuskan, bahwa Devan telah bersalah karena melarikan anak gadis orang, sehingga melalaikan tugasnya sebagai seorang prajurit. Sanksi yang dia dapatkan adalah dicopotnya Devan dari jabatannya sebagai komandan kesatuan.
Setelah kejadian itu, Devan memilih untuk pensiun dini sebagai tentara. Dia kemudian bergabung bersama dengan sahabatnya, Doni, mengelola perusahaan yang bergerak di bidang penyedia jasa keamanan.
<Flashback off>
Doni menganggukkan kepalanya setelah mendengar cerita dari Devan, mengenai kisah masa lalu sahabatnya itu bersama dengan Nadya. Dia melihat sahabatnya kini termenung, seperti masih terhanyut pada kisah masa lalunya yang berakhir pilu. Kisah cintanya kandas di tengah jalan. Karirnya juga harus berakhir ketika Devan mengajukan pensiun dini. Padahal Devan termasuk salah satu prajurit terbaik yang karirnya cukup bagus.
“Lalu apa rencanamu kini untuk menemukan keberadaan Amelia?” tanya Doni berusaha mengalihkan perhatian Devan dari masa lalunya.“Besok pagi aku akan ke rumah sakit tempat kekasih Amelia itu bekerja. Dari sana aku akan berusaha mencari tahu asal usul pria itu dan mencari alamatnya. Kalau sudah dapat, dan bisa diperkirakan mereka ada dimana, aku akan informasikan ke Nadya untuk siap-siap melakukan perjalanan,” sahut Devan. Dia kemudian berdiri dan melangkah ke arah pintu. Belum sempat Devan memutar handle pintu, Doni tiba-tiba memanggilnya.“Devan! Jangan pulang dulu!” seru Doni menghentikan langkah Devan.“Ada apa, Don?” tanya Devan kembali mendekati sahabatnya yang masih duduk di sofa.“Kita makan malam bareng, yuk!” ajak Doni dengan tatapan penuh permohonan pada sahabatnya itu. “Sekalian membahas tentang rencana kamu itu.”“Aku sih tidak masalah, tapi bagaimana dengan istri kamu?” tanya Devan yang kemudian duduk kembali di sofa.“Aku akan telepon dia dan ijin pulang malam. Dia pasti
Ping.Suara notifikasi pesan masuk terdengar dari telepon genggam Nadya. Gadis itu mengabaikan sejenak pesan tersebut, karena dia sedang ada meeting dengan jajaran direksi siang ini. Senyum Nadya mengembang dari bibirnya, ketika dia akhirnya melihat pesan yang masuk ke dalam telepon genggamnya, pesan dari Devan. Dia langsung membuka dan membaca pesan yang Devan kirimkan beberapa menit yang lalu. Pesan itu hanya memberitahu Nadya, bahwa Devan sudah mengetahui perkiraan keberadaan Amelia dan kekasihnya saat ini.Nadya kemudian menelepon Devan untuk segera mengetahui rencana pria itu selanjutnya. Dia tekan tombol angka untuk menghubungi mantan kekasihnya itu. Dan dalam hitungan ketiga, panggilan telepon Nadya akhirnya diangkat oleh Devan.“Halo, Nad,” sapa Devan di seberang sana.“Halo, Mas. Bagaimana, sudah dapat informasi yang lengkap mengenai Amelia dan kekasihnya itu?” tanya Nadya di telepon.“Iya, masih sedikit informasi yang sudah aku dapatkan. Tapi, aku sudah tahu perkiraan kebera
Nadya memandang ke arah pria yang dimaksud oleh Keisha dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia melihat saat ini Keisha tersenyum simpul saat memandang pria tampan itu mulai duduk di kursi yang berjarak tidak jauh dari mejanya. Seketika ada perasaan tidak rela saat sahabatnya ini memuja pria itu yang ternyata adalah Devan, mantan kekasihnya.Nadya terus menatap Devan. Hingga akhirnya tatapan mereka bertemu ketika secara tak sengaja, Devan menoleh ke arah tempat Nadya duduk.Devan tersenyum kala melihat Nadya yang ternyata juga ada di tempat yang sama dengan dirinya. Dia lalu beranjak dari kursi dan berjalan ke arah wanita cantik yang telah menghuni hatinya."Hai, Nad!" sapa Devan ramah ketika dia sudah sampai di meja Nadya."Hai, Mas!" balas Nadya menyapa Devan.Interaksi mereka berdua sontak membuat Keisha membulatkan matanya, apalagi saat ini Devan terlihat sangat ramah terhadap Nadya. Sikap Devan terlihat sangat jauh berbeda ketika bertemu dengan dirinya beberapa waktu yang lalu di
Devan sudah selesai berdiskusi dengan temannya ketika dia melihat Nadya dan Keisha masih ada di mejanya. Dia lalu mendekati wanita itu untuk berdiskusi tentang rencana kepergian mereka. “Nad! besok pagi kamu siap-siap, ya. Kita mulai melakukan perjalanan. Aku akan pesan tiket pesawat untuk besok dan aku akan menjemput di rumah kamu besok pagi,” ucap Devan saat dia sudah berada di meja Nadya. “Aku sekarang tinggal di apartemen, tidak tinggal di rumah orangtua lagi, Mas.” Nadya menjelaskan sambil melirik sekilas ke arah Keisha yang mencuri pandang ke arah Devan . Senyum mengembang dari bibir Devan, saat mengetahui kalau Nadya sudah tidak tinggal bersama dengan orangtuanya lagi. Dia sebenarnya malas kalau harus menjemput Nadya ke rumah orangtuanya dan bertemu dengan orangtua Nadya. Tapi, rupanya keberuntungan masih berpihak padanya karena ternyata Nadya sudah tinggal sendiri saat ini. “Aku akan info alamat apartemenku melalui pesan ya, Mas,” ujar Nadya yang diangguki oleh Devan. Pi
Mereka sampai di Hotel A tiga puluh menit kemudian. Devan dan Nadya berjalan menuju meja resepsionis, untuk meminta kunci kamar yang telah Doni pesan untuk mereka.“Mbak, saya mau kasih informasi kalau Pak Doni sudah memesan kamar atas nama Devan di hotel ini. Dan sekarang saya mau check in kamar yang sudah di pesan oleh beliau, ini kartu identitas saya,” ucap Devan. Dia lalu meletakkan kartu identitasnya di atas meja resepsionis itu.“Oh, Pak Devan. Kemarin memang Pak Doni telah memesan kamar paket bulan madu untuk Bapak dan Istri. Ini kunci kamarnya, Pak. Selamat menikmati fasilitas yang ada di hotel kami ini dan selamat berbulan madu,” tukas resepsionis itu dengan tersenyum ramah.Devan dan Nadya saling berpandangan. Mereka lalu tersenyum dan kemudian melangkahkan kaki ke kamar yang telah Doni pesan untuk mereka.Sesampainya di kamar, mereka kembali dikejutkan oleh suasana kamar yang terkesan romantis. Kamar itu dihiasi oleh beraneka macam bunga yang tersebar di lantai dan di atas
Devan dan Nadya kini telah tiba di rumah sakit X. Mereka langsung menuju ke customer service rumah sakit itu."Selamat siang, Mbak. Apa saya bisa bertemu dengan dokter Reza Wicaksana?" tanya Devan ramah."Dokter Reza Wicaksana diminta perbantuannya di puskesmas yang ada di salah satu kabupaten, Pak," jelas customer service tersebut.Devan dan Nadya saling berpandangan. Mereka tidak percaya bahwa Reza pindah ke tempat lain. Padahal sebelumnya mereka sudah berharap akan segera menemukan Amelia. Tapi, sekarang mereka sepertinya harus memulai dari awal lagi."Bisa minta alamat dokter Reza, Mbak?" Devan bertanya dengan tatapan penuh permohonan."Kalau boleh tahu, Bapak ini siapa?" tanya customer service itu memicingkan mata."Saya sepupunya. Kami sudah lama tidak bertemu. Dia sudah pindah dari alamatnya yang lama, jadi saya mencari dia kemari." Devan sedikit berbohong tentang identitasnya."Sebentar ya, Pak, saya tanyakan dulu ke atasan saya. Apakah bisa memberikan alamat dokter Reza?" Cus
"Ada apa, As?" tanya Devan saat dia menoleh ke arah sumber suara."Aku mau mengundang kalian untuk makan malam. Mudah-mudahan tidak mengganggu acara kalian, aku hanya ingin reuni dengan teman lama." Astuti menatap Devan dan Nadya bergantian. Dia berharap mereka menerima undangan makan malam darinya.Devan menatap Nadya dengan tatapan penuh tanya. Nadya hanya mengangkat kedua bahu seraya berucap perlahan, "Terserah."Devan sebenarnya ingin makan malam hanya berdua dengan Nadya. Tapi, dia merasa tidak enak kalau menolak tawaran Astuti. Apalagi tadi Astuti berkata, kalau undangannya itu merupakan reuni dengan teman lama."Ok. Jam berapa makan malamnya?" tanya Devan."Jam tujuh malam, bagaimana? lokasi restorannya nanti aku kirim, ya. Nomor telepon kamu masih sama, kan?" tanya Astuti memastikan."Iya. Masih sama," sahut Devan singkat.Nadya yang mendengar percakapan mereka, merasa tidak nyaman. Seketika dia menyesal menyebutkan kata terserah, ketika Devan menanyakan pendapatnya mengenai u
Devan mengarahkan wajahnya semakin dekat ke wajah Nadya. Dan Nadya saat ini memejamkan matanya, seolah dia menunggu Devan untuk semakin mendekat. Wajah Devan hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Nadya, ketika tiba-tiba telepon genggam milik Nadya berdering.Nadya membuka matanya dan meringis kesal ketika dering telepon genggamnya menggagalkan niat mereka. Begitu juga dengan Devan yang terlihat kesal, karena niatnya untuk mencium Nadya gagal total akibat dering telepon itu.“Sial,” umpat Devan kesal.Nadya meraih telepon genggamnya yang dia letakkan di atas nakas. Dia melihat nama ayahnya terpampang di layar telepon genggamnya. Tidak perlu menunggu lama lagi, Nadya langsung mengangkat panggilan telepon itu.“Halo, Pa!” sapa Nadya.“Halo, Nad. Bagaimana, apa sudah ada kabar tentang adikmu?” tanya Indra di seberang sana.“Belum, Pa. Nanti kalau sudah ada kabar tentang Amelia aku akan langsung kabari Papa, ya,” sahut Nadya.“Ok, Papa tunggu. Oh ya, kamu sendiri di sana bagaimana?
Mengetahui hal itu, Devan segera berantisipasi dengan selalu ada di dekat istrinya itu. Dia cuti selama lima hari kerja, sehingga masih bisa menemani istrinya di rumah.“Kamu tenang aja, Sayang. Kamu nggak sendiri, kok. Ada Mas dan baby sitter yang akan membantu kamu nanti untuk mengurus bayi kembar kita. Mama juga akan siap membantu kok. Jadi jangan panik, ya. Kamu pasti bisa,” hibur Devan.Nadya menganggukkan kepalanya dan tersenyum menatap sang suami. Dia lalu merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Dan memejamkan matanya. Namun, tak lama terdengar tangisan Deny. Nadya kemudian membuka kembali kelopak matanya seraya berkata, “Bawa kemari, Mas. Sini aku kasih ASI.”Devan tersenyum dan meraih bayi laki-lakinya dari baby crib, lalu menyerahkan pada Nadya. Bayi laki-laki yang tampan itu kemudian menyusu dengan lahap. Hingga setelah beberapa menit, bayi itu selesai menikmati ASI sang mama. Belum sempat Nadya menutup kembali pakaiannya, Dendy pun menangis. Hal itu membuat Nadya mengusap
“Congratulations!!”Nadya yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi ditemani oleh Devan, terkejut ketika membuka pintu kamar mandi. Mereka disambut oleh Kayden dan Carissa.Mereka membawa satu kotak kue dan bunga untuk Nadya. Carissa segera memeluk dan mencium pipi Nadya kiri dan kanan bergantian. Sedangkan Kayden hanya bersalaman dengan Nadya.“Terima kasih, ya. Kalian jadi repot bawain kue dan bunga segala,” sahut Nadya terharu.“Anak kalian ganteng-ganteng dan cantik. Mudah-mudahan aku dan Carissa cepat diberi momongan juga,” ucap Kayden sambil mengedipkan sebelah matanya pada Carissa, yang seketika menjadi tersipu.“Aamiin. Semoga doa kamu dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa,” sahut Devan.“Nadya, aku salut sama kamu yang sudah menjadi ibu dari ketiga bayi yang lucu dan menggemaskan ini. Bagaimana hamil anak kembar tiga?” tanya Carissa penasaran.“Rasanya sudah pasti senang, tapi saat perut sudah membesar berat juga bawa perutnya,” sahut Nadya.“Tenang saja, Sayang. Nanti kalau kam
Kini hanya ada Nadya dan Devan di ruang rawat inap itu. Setelah Runi pulang, Devan pun memberitahu mertuanya tentang Nadya yang sudah melahirkan. Laura, ibu Nadya sangat senang mendengar kalau anaknya sudah melahirkan. Beberapa bulan yang lalu anak bungsunya sudah memberinya seorang cucu. Kini Nadya memberikan tiga cucu sekaligus padanya. Hati Laura pun begitu bahagia. Dia mengatakan pada Devan, akan segera ke rumah sakit.Tangan Nadya kini berada dalam genggaman tangan Devan. Seluruh wajahnya pun sudah dihujani kecupan oleh suaminya yang tampak bahagia itu.“Nad, terima kasih. Terima kasih, kamu sudah berjuang untuk melahirkan anak-anak kita. Kamu seorang wanita yang hebat. Aku bahagia, Nad,” bisik Devan di telinga Nadya.“Aku juga bahagia, Mas. Rasanya aku menjadi wanita yang sempurna setelah melahirkan ketiga anak kita.” Nadya menarik wajah Devan untuk dia cium dengan penuh kasih sayang.Telapak tangan Nadya mengusap rahang kokoh Devan dengan lembut. Dia merasa hidupnya terasa leng
Runi dengan dibantu Mang Ujang memapah tubuh Nadya menuju mobil yang sudah siap sedia. Nadya dan Runi berada di kursi penumpang bagian belakang.“Bibi...nanti kalau suami saya pulang dari main golf, katakan kalau saya membawa Nadya ke rumah sakit. Nadya mau melahirkan,” ucap Runi yang diangguki oleh asisten rumah tangganya.“Iya, Bu,” titah si Bibi patuh.Setelah itu, Mang Ujang mengemudikan mobil keluar dari halaman rumah dengan kecepatan agak tinggi.Sementara itu, Runi tetap melakukan panggilan telepon pada Devan, hingga akhirnya panggilan teleponnya diangkat juga oleh anaknya itu.“Halo, Mama. Maaf aku baru angkat teleponnya, tadi habis meeting dan telepon genggam aku tertinggal di meja kerjaku,” ucap Devan di seberang sana.“Keenan...saat ini Mama sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Mama mengantar Nadya ke sana karena perut Nadya sudah mulai mulas terus dari tadi. Sepertinya akan melahirkan,” sahut Runi.“Ok, Ma. Aku akan menyusul ke sana. Tolong jaga istri aku ya, Ma. Aku tu
Enam bulan kemudian.Devan menghujani perut istrinya dengan kecupan. Telapak tangannya yang lebar pun mendarat di sana.“Hey, kalian capek habis bermain tadi, ya?” tanya Devan sambil terus mengelus perut istrinya yang telah kembali seperti semula, tidak ada tonjolan di sana-sini.“Mereka istirahat dulu lah, Mas. Mungkin mereka kasihan sama Mamanya, karena perut Mamanya jadi sakit akibat gerakan mereka,” timpal Nadya.Devan terus meraba-raba perut Nadya, berharap kalau ada gerakan dari dalam sana karena merasakan sentuhannya.“Ya sudah deh, kalian istirahat dulu. Tapi, kalian bertiga yang akur, ya, di dalam sana. Kalian akur di dalam perut Mama saat ini, dan nanti kalian juga harus akur saat sudah lahir, ok,” ucap Devan yang kembali menghujani perut sang istri dengan kecupan.Tak lama setelah Devan mengecup perut sang istri, wajah Devan terasa ada yang menendang dari dalam perut Nadya. Hal itu tentu saja membuat Devan dan Nadya tertawa senang.“Mereka merespon ucapan dan sentuhan aku,
Dua bulan kemudian.Tiba saatnya pernikahan antara Kayden Carissa dilangsungkan. Pernikahan itu sendiri digelar di salah satu hotel bintang lima, di Jakarta. Tampak pengamanan yang cukup ketat dari aparat kepolisian, maupun dari pihak keamanan hotel. Hal itu agar pernikahan tersebut berjalan dengan kondusif.Di salah satu ruang di hotel itu, yang di jadikan ruang ganti pengantin, tampak Carissa melihat tampilan dirinya di cermin saat dia sudah selesai dirias oleh seorang make-up artis. Runi, Ibunda Kayden itu memilihkan busana pengantin untuk Carissa dan Kayden di butik sahabatnya, tempat dimana Devan dan Nadya dulu menggunakan busana pengantin dari butik tersebut. Ibunda Carissa menatap takjub wajah anaknya yang kini tampil memukau. Wajah cantik Carissa semakin cantik dengan riasan sempurna dari make-up artis tersebut. Tubuh ramping Carissa berbalut kebaya warna putih dan kain batik coklat yang menyempurnakan penampilan gadis itu di hari bahagianya, pada hari ini.“Anak Mama cantik s
Kini mereka sudah ada di dalam mobil Kayden, yang akan mengantar Carissa pulang ke rumah. Tidak ada percakapan yang tercipta selama beberapa menit mereka di dalam mobil. Hingga akhirnya Kayden membuka suara.“Kamu pakai make-up, ya?” tanya Kayden menoleh sekilas ke arah Carissa, lalu dia menatap kembali ke arah jalan raya.“Eh, pakai make-up? Nggak kok, Kak. Aku hanya pakai bedak bayi. Di tas aku cuma ada bedak bayi saja. Aku juga nggak pernah pakai lipstik. Penampilanku selalu seperti ini saat kerja juga. Aku tergolong orang yang nggak bisa dandan,” jawab Carissa yang seketika pipinya memanas kala Kayden tiba-tiba bertanya demikian, yang artinya pria itu tengah memperhatikannya.Sementara itu, Kayden merutuki mulutnya yang seenaknya bertanya. Dia sendiri tidak mengerti kenapa mulutnya sangat lancang bicara, padahal dirinya bukan sekali ini bertemu dengan Carissa. Sudah dua kali! Pertama kalinya ketika gadis itu menemani ibunya datang ke rumah orangtuanya, dan yang kedua, tadi malam s
“Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya mengganti pakaian kamu yang kotor yang terkena muntahan kamu. Semalam kamu mabuk berat. Kamu bilang padaku saat masih setengah sadar, kalau kamu tidak mau diantar pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Sehingga aku membawa kamu ke apartemenku. Di sini tidak ada pakaian wanita, jadi aku memakaikan kamu kaos milikku sebagai ganti pakaian kamu yang kotor.” Kayden menatap wajah cantik Carissa yang kini tengah merona.“Jadi kakak lihat semuanya, dong,” ucap Carissa lirih. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia merasa risih mengetahui Kayden melihat bagian dalam tubuhnya.“Iya. Nggak apa-apa juga kali, Ris. Kita juga nantinya akan menikah,” sahut Kayden santai. Dia tersenyum geli melihat Carissa yang menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Kayden melihat gadis cantik ini memang masih polos. Kayden menilai kalau usia gadis ini sekitar pertengahan dua puluhan. Semalam gadis ini bilang padanya saat masih tersadar kalau kemarin dia tengah ber-ula
“Ayo pulang, Rissa!” ajak Kayden setelah pria yang mengganggu Carissa pergi meninggalkan mereka. Kayden memapah tubuh Carissa yang seringan kapas baginya. “Kak, jangan bawa aku pulang! aku takut Mama sama Papa akan marah kalau melihat aku seperti ini.” Carissa lalu menyandarkan kepalanya di dada bidang Kayden. “Kenapa kamu sampai mabuk? lalu kamu kemari bawa mobil?” tanya Kayden sambil terus berjalan keluar klub itu dengan tangan kanannya menahan tubuh Carissa agar tidak terjatuh.“Aku hari ini berulang tahun. Teman-temanku mengajak aku ke klub itu untuk merayakan ulang tahunku. Dua temanku menjemput ke rumah jadi aku nggak bawa mobil. Mereka membawa aku ke klub karena aku sebelumnya memang tidak pernah masuk dan minum di klub malam, jadi mereka bilang akan mengajari aku supaya tidak ketinggalan jaman. Aku langsung mabuk setelah menghabiskan satu setengah gelas minuman beralkohol itu.” Carissa berbicara sambil tersenyum. Dalam pandangannya orang-orang di sekitarnya termasuk Kayden t