Hari semakin sore saat Sebastian dan Merry tiba di rumah sakit.Namun, sebelum mereka sempat masuk, mereka dihadang oleh Damian yang penampilannya acak-acakan, menunjukkan tanda-tanda kegelisahan yang jelas.Tanpa ragu, Damian langsung menarik lengan Merry dengan kasar, ekspresinya penuh kemarahan."Merry, apa yang kau lakukan di sini?" desis Damian dengan suara bergetar.Merry menatap suaminya dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan keteguhan."Aku datang untuk mengunjungi Oliver. Dia masih dalam pemulihan," jawabnya dengan mantap, meskipun hatinya berdebar kencang.Damian merengut, menatap Merry dengan pandangan yang tajam."Kau seharusnya berada di rumah, bukan di sini. Aku tak pernah melihatmu sepanjang hari," ujarnya dengan nada tajam.Merry membela diri, menegaskan bahwa dia tidak bisa duduk diam di rumah ketika suaminya sendiri tidak pulang."Kau tidak ada di rumah, Damian. Aku tidak bisa tinggal di rumah sendirian," ujarnya dengan suara gemetar.Damian semakin kesal, m
Merry merasa seperti terperangkap dalam labirin kegelapan yang tak berujung.Dikurung dalam kamar selama seminggu itu terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan baginya.Setiap hari, ia harus menanggung penderitaan yang tak terkatakan, dipaksa memenuhi keinginan suaminya yang kejam.Di balik pintu kamar yang terkunci rapat, Merry merenung tentang kehidupannya yang terasa semakin suram.Ia merindukan Dave, putranya yang belum pernah lama ditinggalinya. Setiap isak tangis yang keluar dari bibirnya adalah ungkapan rindu yang tak terucapkan.Saat Damian masuk ke dalam kamar, rasa takut dan kebencian segera menyelimuti Merry."Apa lagi yang kau inginkan dariku?" tanyanya dengan suara penuh keputusasaan.Damian hanya menatapnya dengan dingin."Kau tahu persis apa yang kuinginkan," jawabnya dengan nada tajam.Merry menatap suaminya dengan penuh kebencian."Aku tak bisa terus menerima perlakuanmu seperti ini. Kau telah memperlakukanku seperti budakmu sendiri!""Diam!" Damian menggeram."Kau
Di tengah keramaian pusat perbelanjaan, Merry tanpa sengaja bertemu dengan Eric. Mereka saling bertatapan, lalu senyuman terukir di wajah keduanya."Eric, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Merry dengan senyuman hangat.Eric menghampirinya dengan langkah mantap. "Aku sedang berbelanja dan tiba-tiba saja melihatmu di sini, Merry. Kau terlihat begitu cantik."Merry tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Eric. Kamu juga terlihat tampan hari ini."Eric menatap Merry dengan penuh arti. "Merry, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Sudah lama aku menyimpan perasaan ini. Aku mencintaimu, Merry. Sejak pertama kali kita bertemu, aku tahu bahwa kamu istimewa bagiku."Merry terkejut mendengar pengakuan Eric. Wajahnya memerah, namun senyum tetap terpancar dari bibirnya. "Eric, itu begitu tiba-tiba. Aku tidak tahu harus berkata apa."Merry mengangkat tangan, menggenggam tangan Eric dengan lembut. "Eric, aku menghargi perasaanmu, tetapi aku harus jujur. Aku sudah bersuami dan memiliki seorang p
Merry memasuki penjara dengan hati-hati, berusaha menghindari tatapan yang bisa mengkhawatirkannya.Ia membawa sebuah buket bunga mawar putih, harapannya agar dapat sedikit meringankan beban ibu tirinya, Elena, di balik jeruji besi.Dalam upaya untuk tidak dikenali, Merry mengenakan mantel panjang hitam dan menyembunyikan rambut panjangnya di bawah topi lebar.Setelah melewati proses pemeriksaan, Merry berjalan menuju ruang tahanan, hatinya berdebar-debar.Begitu tiba di sana, dia meminta izin untuk bertemu dengan Elena. Sipir yang bertugas memberinya pandangan curiga, tetapi setuju untuk mengabulkannya."Siapa yang ingin kamu temui?" tanya sipir dengan suara datar."Merry, saya ingin bertemu dengan Elena," jawab Merry dengan mantap, mencoba menahan getar kecemasan di dalam dirinya.Sipir itu meneliti daftar kunjungan dan mengangguk."Baiklah, ikuti saya."Mereka berjalan di koridor penjara yang dingin dan suram. Merry merasa gemetar, tapi dia harus tetap kuat untuk Elena. Akhirnya, m
Oliver menawarkan untuk membawa Merry pulang ke apartemennya karena cuaca yang semakin buruk.Merry menolak dengan lembut, tapi Oliver bersikeras."Tidak, Oliver, aku akan baik-baik saja pulang sendiri," ujarnya sambil menatap lembut."Tidak, cuaca semakin buruk. Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian," sahut Oliver tegas sambil menawarkan lengannya untuk Merry.Merry ragu sejenak, tetapi akhirnya menerima tawaran Oliver."Baiklah, kalau begitu."Di perjalanan pulang, hujan semakin deras. Oliver memeluk Merry erat untuk melindunginya dari dinginnya udara malam. Sesekali, ia menatap Merry dengan penuh kasih sayang.Sesampainya di apartemennya, Oliver dengan lembut menarik Merry masuk. Ruangan itu terang benderang, diterangi cahaya lampu hangat.Tanpa berkata apa-apa, Oliver mendekap Merry dalam pelukannya, menggendongnya sepanjang jalan menuju sofa.Merry mencoba untuk menolak, tapi sentuhan lembut Oliver membuatnya luluh."Oliver, aku bisa berjalan sendiri," ucapnya dengan lemah.
Merry memutuskan untuk kembali ke hotel tempatnya menginap. Di kamar hotel yang sepi itu, ia merenungkan langkah selanjutnya yang harus diambil. Keesokan paginya, dengan tekad yang bulat, ia bersiap untuk pergi ke pengadilan agama untuk mengakhiri pernikahannya yang menyedihkan.Namun, ketika Merry hendak pergi, ia terkejut mendapati Damian muncul di depan pintu hotel. Ekspresi wajahnya ketika melihat Damian sudah memperlihatkan ketidaksetujuannya. "Merry, kau tidak akan pergi ke pengadilan," ujar Damian dengan suara tegas.Merry menatap Damian dengan tatapan dingin, "Aku sudah membuat keputusan ini, Damian. Aku ingin bebas dari pernikahan ini."Namun, Damian menolak untuk mengalah. "Kau takkan pergi! Kita takkan bercerai, Merry. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi," ucapnya dengan suara yang meningkat, menunjukkan keteguhannya.Merry merasa marah dan frustasi. "Ini bukan pilihanmu untuk membuat, Damian. Aku sudah cukup menderita karena pernikahan ini!"Tetapi Damian tidak men
Sebuah minggu telah berlalu sejak Merry keluar dari rumah sakit, dan hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggu untuk mengumumkan keputusan pentingnya.Saat sinar matahari memancar lewat jendela kantor, Merry duduk di depan para wartawan dan reporter yang telah berkumpul untuk mendengarkan penjelasannya.Suasana ruangan dipenuhi dengan keheningan tegang, hanya terputus oleh suara kamera yang sesekali berderik dan pertanyaan yang ditujukan kepada Merry.Dengan penampilannya yang tetap anggun, meskipun hatinya masih berat, Merry mencoba menjawab pertanyaan dengan sebaik mungkin.Salah satu wartawan angkat tangan dan bertanya, "Merry, apa yang membuat Anda memutuskan untuk mengajukan perceraian?"Merry menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan mantap, "Keputusan ini bukanlah keputusan yang saya buat dengan mudah. Namun, situasi antara saya dan Damian telah mencapai titik tidak dapat diperbaiki. Saya percaya bahwa perceraian adalah langkah yang diperlukan bagi kebahagiaan dan kedam
Sebastian duduk di samping Damian, tatapannya penuh kekhawatiran pada putranya yang terlihat hancur. "Damian, anakku," ucapnya dengan suara lembut, mencoba meraih hati anaknya yang terluka. "Kenapa kau menyimpan semua ini sendirian? Mengapa kau tidak pernah berbicara padaku tentang ibumu?"Damian menatap ayahnya dengan ekspresi campuran antara kesedihan dan kemarahan. "Karena kau tidak pernah mendengarkanku, ayah. Kau selalu terlalu sibuk dengan wanita lain dan melupakan bahwa ibu masih hidup di sana, menderita dalam keheningan."Sebastian terdiam, terpukul oleh kata-kata putranya. "Aku tidak tahu, Damian. Bagiku, ibumu sudah tiada. Aku tidak pernah menduga bahwa dia masih hidup dan berada di rumah sakit jiwa.""Tentu saja, kau tidak tahu," potong Damian dengan suara tajam. "Karena kau terlalu sibuk dengan wanita lain, terlalu sibuk menyiksa batin ibu dengan memiliki wanita kedua."Sebastian merasakan pukulan emosional yang dalam. "Aku tidak bermaksud menyakiti ibumu, Damian. Ak
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t
Keesokan harinya, Oliver—masih dengan identitas sebagai Adam—melangkah memasuki ruang rapat besar di lantai tertinggi gedung perusahaan. Ruangan itu dipenuhi para pemegang saham, eksekutif, dan pengacara. Atmosfer terasa tegang, semua mata tertuju pada meja di depan di mana Damian duduk dengan penuh percaya diri.Oliver mengambil tempat duduk di sisi belakang ruangan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu dekat. Saat semua orang sudah berkumpul, Damian berdiri dan membuka pertemuan."Selamat pagi, semua. Terima kasih sudah datang ke pertemuan pemegang saham hari ini. Seperti yang kalian tahu, kita di sini untuk membahas penjualan sebagian besar saham perusahaan ini."Merry, yang duduk di samping Oliver, merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah mereka persiapkan dengan hati-hati. Oliver menatap Damian dengan mata tajam, bersiap untuk konfrontasi.Damian melanjutkan, "Sebastian Herrington, ayah saya, telah meninggalkan perusahaan ini dalam kondisi ya
Keesokan harinya, di kedai roti milik Merry, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Merry tak bisa berhenti memikirkan kejadian di taman bunga kemarin. Ketika pintu kedai berdering menandakan seorang pelanggan masuk, Merry mengangkat wajahnya dan melihat Adam, atau Oliver, berdiri di sana dengan tatapan serius."Adam... atau Oliver," kata Merry dengan suara pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.Oliver mendekat dengan langkah mantap. "Panggil aku Adam di sini, Merry. Untuk sekarang, kita harus menjaga rahasia ini."Merry mengernyit, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kenapa? Jika kau adalah Oliver, semua orang berhak tahu. Ini adalah kebenaran yang telah lama kita cari."Oliver duduk di salah satu kursi, menatap Merry dengan intens. "Merry, tolong dengarkan aku. Ada alasan mengapa aku meminta ini. Aku ingin menyelesaikan masalah keluargaku dengan caraku sendiri. Mengungkap identitasku sekarang hanya akan menambah kerumitan."Merry menatapnya den
Merry merasa semakin penasaran dengan jawaban Adam. Tatapannya memandang Adam dengan intens, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya. Namun, Adam tetap misterius."Aku mengerti, Adam. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," ujar Merry dengan hati-hati.Adam mengangguk, tetapi senyumnya tetap terukir di bibirnya. "Mungkin suatu hari nanti, Merry. Sekarang, yang penting adalah kita menikmati waktu bersama."Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Merry memilih untuk menuruti permintaan Adam. Setidaknya untuk saat ini.Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan topik yang lebih ringan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Suasana kedai roti terasa hangat dan nyaman, diiringi aroma kopi yang menyegarkan dan tawa pelanggan yang riang.Merry bahkan melupakan sejenak segala permasalahan yang mengganggu pikirannya, terpesona dengan kehadiran Adam yang membuatnya merasa tenang.Namun, saat Adam menyebutkan