Sebuah minggu telah berlalu sejak Merry keluar dari rumah sakit, dan hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggu untuk mengumumkan keputusan pentingnya.Saat sinar matahari memancar lewat jendela kantor, Merry duduk di depan para wartawan dan reporter yang telah berkumpul untuk mendengarkan penjelasannya.Suasana ruangan dipenuhi dengan keheningan tegang, hanya terputus oleh suara kamera yang sesekali berderik dan pertanyaan yang ditujukan kepada Merry.Dengan penampilannya yang tetap anggun, meskipun hatinya masih berat, Merry mencoba menjawab pertanyaan dengan sebaik mungkin.Salah satu wartawan angkat tangan dan bertanya, "Merry, apa yang membuat Anda memutuskan untuk mengajukan perceraian?"Merry menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan mantap, "Keputusan ini bukanlah keputusan yang saya buat dengan mudah. Namun, situasi antara saya dan Damian telah mencapai titik tidak dapat diperbaiki. Saya percaya bahwa perceraian adalah langkah yang diperlukan bagi kebahagiaan dan kedam
Sebastian duduk di samping Damian, tatapannya penuh kekhawatiran pada putranya yang terlihat hancur. "Damian, anakku," ucapnya dengan suara lembut, mencoba meraih hati anaknya yang terluka. "Kenapa kau menyimpan semua ini sendirian? Mengapa kau tidak pernah berbicara padaku tentang ibumu?"Damian menatap ayahnya dengan ekspresi campuran antara kesedihan dan kemarahan. "Karena kau tidak pernah mendengarkanku, ayah. Kau selalu terlalu sibuk dengan wanita lain dan melupakan bahwa ibu masih hidup di sana, menderita dalam keheningan."Sebastian terdiam, terpukul oleh kata-kata putranya. "Aku tidak tahu, Damian. Bagiku, ibumu sudah tiada. Aku tidak pernah menduga bahwa dia masih hidup dan berada di rumah sakit jiwa.""Tentu saja, kau tidak tahu," potong Damian dengan suara tajam. "Karena kau terlalu sibuk dengan wanita lain, terlalu sibuk menyiksa batin ibu dengan memiliki wanita kedua."Sebastian merasakan pukulan emosional yang dalam. "Aku tidak bermaksud menyakiti ibumu, Damian. Ak
Setelah Damian dipenjara atas tuduhan pembunuhan ayah Merry, kehidupan keluarga mereka menjadi semakin rumit. Oliver merasa perlu untuk menemui Merry, karena dia tahu bahwa Merry pasti sangat rapuh menghadapi semua ini. Meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketakutan akan masa depan, dia tahu bahwa dia harus menghadapi situasi ini dengan kepala dingin dan hati yang terbuka. Dengan langkah yang mantap, dia menuju ke rumah Merry.Di depan pintu rumah Merry, Oliver menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk. Ketika pintu terbuka, dia disambut oleh wajah Merry yang pucat dan lesu."Oliver?" tanya Merry dengan suara serak, matanya dipenuhi dengan ekspresi kejutan dan kebingungan.Oliver tersenyum lembut. "Ya, aku. Bolehkah aku masuk?"Merry mengangguk dengan cepat, memberi jalan kepada Oliver untuk masuk. Mereka duduk di ruang tamu, suasana terasa tegang di antara mereka."Apa yang membawamu kemari, Oliver?" tanya Merry, suaranya penuh dengan ketidakpastian.Oliver me
Oliver memarkir mobilnya di depan rumah Merry dengan hati yang berdebar. Dia membawa sebuah kejutan tak terduga untuk Merry, yang dia yakin akan membuatnya senang. Saat dia mengetuk pintu, dia merasakan getaran tegang dalam dirinya. Pintu terbuka, dan wajah bahagia Merry menyambutnya."Merry!" sapanya dengan senyum lebar. "Aku punya kejutan untukmu."Merry mengerutkan kening, penasaran. "Kejutan apa itu, Oliver?""Dave dan Bi Emma!" kata Oliver sambil menggerakkan tangan ke samping untuk memperkenalkan tamu-tamunya.Merry terkejut. "Benarkah? Tidak mungkin!"Tapi ketika Dave dan Bi Emma melangkah masuk, wajah Merry berbinar. "Dave!" serunya, lalu dia memeluknya erat. "Aku merindukanmu!"Dave membalas pelukan dengan hangat. "Aku juga merindukanmu, Mama. Bagaimana kabarmu?""Sangat senang bisa melihatmu lagi," ujar Merry, mata berbinar. "Dan kau juga, Bi Emma. Terima kasih sudah datang."Bi Emma tersenyum ramah. "Tentu saja, Merry. Kami senang bisa mengunjungimu."Oliver melihat
Malam itu, Oliver dan Merry duduk di ruang keluarga rumah baru mereka, cahaya redup lampu menciptakan suasana yang tenang dan intim di sekitar mereka. Tetapi di balik kesenyapan malam, mereka berdua merenungkan rencana yang telah mereka susun bersama, menciptakan sebuah skandal yang cukup besar untuk membuat Damian mau melepaskan Merry."Merry, aku tahu ini adalah langkah yang besar," kata Oliver dengan serius, "tetapi kita tidak punya pilihan lain. Damian terlalu keras kepala dan tidak akan pernah membiarkanmu pergi dengan mudah."Merry mengangguk, wajahnya penuh dengan ketegangan. "Aku tahu, Oliver. Ini adalah langkah yang berani, tetapi aku siap menghadapinya bersama-sama denganmu."Oliver tersenyum lembut pada Merry, merasa bersyukur memiliki teman sebaik dia di sisinya. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Merry. Dan aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi."Mereka berdua menggenggam tangan satu sama lain dengan erat, menguatkan komitmen mereka satu sama lain. Kemud
Damian duduk di kursi terdakwa di ruang sidang, perasaannya campur aduk. Dia merasa hancur melihat bagaimana hidupnya telah berubah drastis dalam waktu singkat. Persidangan atas pembunuhan Antonio, ayah mertuanya sendiri, telah membuatnya dihukum dua puluh tahun penjara. Dia merenungkan segala kesalahan yang telah dia lakukan, tetapi juga merasa kesal menyadari bahwa Merry dan Oliver hadir sebagai penonton di persidangannya.Saat persidangan dimulai, atmosfer di ruang sidang menjadi tegang. Hakim, jaksa penuntut, dan pengacara bela diri bersiap untuk menghadapi persidangan yang menentukan nasib Damian."Mulailah," kata hakim dengan suara yang tegas.Jaksa penuntut memulai pembelaannya dengan penuh keyakinan. "Yang Mulia, hari ini kami akan membuktikan bahwa terdakwa, Damian, telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Antonio."Pengacara bela diri Damian berusaha keras untuk membela kliennya, tetapi bukti-bukti yang disajikan oleh jaksa penuntut terlalu kuat untuk dipungkiri. Me
Dua bulan berlalu sejak pertemuan tegang antara Damian dan Tuan Sameer. Meskipun begitu, Damian masih merasa tegang setiap kali mengingat ancaman balas dendam yang diucapkan oleh Tuan Sameer. Namun, satu hal yang menghibur hatinya adalah kunjungan rutin Tuan Sebastian ke dalam sel tahanan. Setiap kali Tuan Sebastian datang, Damian merasa sedikit lega, merasakan kehangatan persahabatan yang masih tersisa di antara mereka.Sementara itu, di sisi lain kota, suasana romantis sedang tercipta di sebuah kafe terkenal di pusat kota. Oliver, dengan hati yang penuh cinta, telah merencanakan sebuah kejutan istimewa untuk Merry. Dia berada di sana lebih awal, menyiapkan segalanya dengan cermat. Setiap detail diatur sedemikian rupa agar momen ini menjadi tak terlupakan.Ketika Merry tiba, dia disambut dengan senyum hangat dari Oliver. Namun, dia bisa merasakan ada yang berbeda hari ini. Tatapan Oliver penuh dengan kegembiraan yang tersembunyi, membuat hati Merry berdebar lebih cepat dari bia
Matahari terbit dengan indahnya di ufuk timur saat Oliver dan Merry bersiap-siap untuk perjalanan bulan madu mereka. Mereka telah memilih destinasi eksotis di belahan dunia yang jauh dari keramaian kota, sebuah pulau terpencil yang dipenuhi dengan keindahan alam yang memukau.Saat mereka naik pesawat menuju destinasi mereka, Merry merasa campuran antara gugup dan bersemangat. Ini adalah pengalaman pertamanya naik pesawat, dan dia merasa seperti mimpinya akan segera menjadi kenyataan."Sungguh indah, bukan?" ucap Oliver sambil menatap keluar jendela, memandangi awan-awan putih yang lembut di bawah mereka.Merry mengangguk dengan senyum cerah di wajahnya. "Iya, sungguh indah sekali. Ini adalah pengalaman pertama saya naik pesawat, jadi rasanya sangat istimewa."Oliver tersenyum lembut, merasa bahagia bisa berbagi momen ini dengan Merry. "Aku senang bisa menjadi bagian dari pengalaman pertamamu, Merry. Dan aku berjanji akan menjadikan bulan madu kita menjadi sesuatu yang tak terlupak
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t
Keesokan harinya, Oliver—masih dengan identitas sebagai Adam—melangkah memasuki ruang rapat besar di lantai tertinggi gedung perusahaan. Ruangan itu dipenuhi para pemegang saham, eksekutif, dan pengacara. Atmosfer terasa tegang, semua mata tertuju pada meja di depan di mana Damian duduk dengan penuh percaya diri.Oliver mengambil tempat duduk di sisi belakang ruangan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu dekat. Saat semua orang sudah berkumpul, Damian berdiri dan membuka pertemuan."Selamat pagi, semua. Terima kasih sudah datang ke pertemuan pemegang saham hari ini. Seperti yang kalian tahu, kita di sini untuk membahas penjualan sebagian besar saham perusahaan ini."Merry, yang duduk di samping Oliver, merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah mereka persiapkan dengan hati-hati. Oliver menatap Damian dengan mata tajam, bersiap untuk konfrontasi.Damian melanjutkan, "Sebastian Herrington, ayah saya, telah meninggalkan perusahaan ini dalam kondisi ya
Keesokan harinya, di kedai roti milik Merry, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Merry tak bisa berhenti memikirkan kejadian di taman bunga kemarin. Ketika pintu kedai berdering menandakan seorang pelanggan masuk, Merry mengangkat wajahnya dan melihat Adam, atau Oliver, berdiri di sana dengan tatapan serius."Adam... atau Oliver," kata Merry dengan suara pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.Oliver mendekat dengan langkah mantap. "Panggil aku Adam di sini, Merry. Untuk sekarang, kita harus menjaga rahasia ini."Merry mengernyit, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kenapa? Jika kau adalah Oliver, semua orang berhak tahu. Ini adalah kebenaran yang telah lama kita cari."Oliver duduk di salah satu kursi, menatap Merry dengan intens. "Merry, tolong dengarkan aku. Ada alasan mengapa aku meminta ini. Aku ingin menyelesaikan masalah keluargaku dengan caraku sendiri. Mengungkap identitasku sekarang hanya akan menambah kerumitan."Merry menatapnya den
Merry merasa semakin penasaran dengan jawaban Adam. Tatapannya memandang Adam dengan intens, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya. Namun, Adam tetap misterius."Aku mengerti, Adam. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," ujar Merry dengan hati-hati.Adam mengangguk, tetapi senyumnya tetap terukir di bibirnya. "Mungkin suatu hari nanti, Merry. Sekarang, yang penting adalah kita menikmati waktu bersama."Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Merry memilih untuk menuruti permintaan Adam. Setidaknya untuk saat ini.Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan topik yang lebih ringan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Suasana kedai roti terasa hangat dan nyaman, diiringi aroma kopi yang menyegarkan dan tawa pelanggan yang riang.Merry bahkan melupakan sejenak segala permasalahan yang mengganggu pikirannya, terpesona dengan kehadiran Adam yang membuatnya merasa tenang.Namun, saat Adam menyebutkan