Suara pintu diketuk dengan keras terdengar memekakkan telinga. Membuat Merry yang sedang memberikan susu untuk anaknya terhenyak seketika. Gadis itu melangkah cepat menuju pintu. Akan tetapi, ia tidak langsung membukakan pintu, melainkan menempelkan kepalanya di daun pintu. Seolah ingin mencari tahu tentang siapa yang datang. Tok ... Tok! Suara itu membuat jantung Merry berdegup kencang. Ia bahkan meraba dadanya sendiri tanpa sengaja. "Merry, buka pintunya!" teriak Damian sambil terus mengetuk. Lelaki yang pernah pergi, dan menjadi masa lalu kelam Merry itu, akhirnya datang juga. Tanpa terasa, bulir bening mengalir deras di pipi mulusnya. "Ada apa?" tanya Merry dengan suara parau. "Kita harus bicara!" serunya dari ambang pintu. Merry terdiam sejenak. Ia masih sesenggukan sambil menyandarkan diri. Ia bahkan sudah lupa di mana keberadaan Bi Ema dan juga Eric. Yang ia tahu hanyalah dirinya sedang terdesak hingga dadanya sesak karena kedatangan tamu pria dari masa lalunya. "Merry,
Damian menatap geram ke arah Oliver. Tak lama kemudian tatapannya sudah berpindah pada Merry, mata gadis itu terlihat sayu. Menyedihkan. "Ambil barang-barang pentingmu saja, tetap di dekatku, ayo kita keluar!" perintah Damian tiba-tiba. Merry biasanya akan berontak, terlebih jika mengingat siapa yang sedang memberinya perintah kali ini. Namun, ini bukan tentang saling menyalahkan seseorang. Dalam situasi genting seperti ini, gadis itu tidak akan pikir panjang untuk menentukan sikap. Ia memang sempat menoleh ke arah Tuan Sameer dan juga Eric. Keduanya bahkan tidak bisa mencegah kerumunan wartawan yang semakin lama semakin ramai. Tak mau buang waktu, Merry langsung mengemas ponsel, dompet, dan juga botol susu Dave ke tas samping yang biasa ia kenakan. Setelahnya, ia menuruti perintah Damian. Ia bahkan tidak lagi peduli dengan detak jantungnya yang berdegup kencang, ketika pemuda itu menggenggam erat tangannya sembari menggendong Dave membiak kerumunan wartawan. "Damian, apakah dia
Damian dan Merry saling diam. Suasana di dalam mobil pun menjadi hening. Tak ada sapa di sepanjang perjalanan mereka. Apalagi Dave sedang terlelap dalam pelukan Merry.Saat itu, Merry dipaksa duduk bersebelahan oleh Damian. Tentu saja alasannya adalah untuk berjaga-jaga, karena situasi mereka buruk akibat ulah Oliver.Di sudut jalan, dekat minimarket, mendadak Damian menghentikan mobilnya."Kau butuh apa, Nona? Setelah ini tidak ada pertokoan. Bisa jadi, Sameer dan anak buahnya akan datang terlambat. Mungkin besok mereka baru bisa menemui kita," ujar Damian.Kali itu, ia berbicara dengan nada rendah. Tak ada ekspresi amarah di wajahnya."Belikan saja susu, botol, dan juga pokok untuk Dave. Jika mungkin, tolong belikan pakaian ganti untuk anak ini," pinta Merry.Damian menatap Dave yang sedang terlelap sesaat."Dia sangat tampan, bahkan meski sedang terlelap. Baiklah, tunggu di sini. Aku akan belanja sebentar. Jangan pergi meninggalkan mobil, atau ke manapun tanpa aku. Kecuali kamu suk
Eric yang sejak tadi mengamati, merasa sangat geram dengan perlakuan Damian."Damian, aku tahu kau adalah pemilik agency di mana tempatku bekerja. Untuk itu, dengan segala hormat, seharusnya tidak sekeji itu kau bersikap kepada Merry," ungkap Eric.Damian tersenyum kecut."Wah, ada pahlawan kesiangan rupanya. Kenapa tidak kau nikahi saja dia. Jadilah ayah bagi anak haram itu!"Damian menunjuk ke arah wajah anak kecil yang sedang digendong Merry itu."Anak haram? Oke, Eric. Tidak ada alasan bagiku untuk tinggal di agency bedebah yang kau rekomendasikan." Merry bahkan berbicara dengan suara bergetar.Awalnya, ia pun tak menginginkan anak. Tapi, seiring berjalannya waktu ia jatuh cinta pada anak kecil yang kini telah menjadi bagian hidupnya itu."Kau tidak boleh berhenti! Kau harus bertanggung atas rumor yang tercipta di luar sana!" bentak Damian dengan rahang mengeras.Merry tersenyum samar."Aku tidak peduli."Gadis itu mengakhiri perdebatannya, lalu segera berkemas. Ia mengangkat kope
Satu minggu telah berlalu. Merry masih ditahan di villa pribadi milik Damian. Sekeliling bangunannya dikelilingi oleh tembok yang tinggi. Merry sempat mencoba keluar saat sore hari, ia bahkan memiliki niat kabur dari tempat itu, nyatanya nyaris tak ada kesempatan. Entah sejak kapan, Sameer meminta anak buahnya melakukan pengawalan yang ketat. "Sampai kapan aku akan menjadi tawananmu di tempat ini, Damian? Aku sudah tidak tahan, biarkan aku pergi!" Merry mendengus kesal. Sesekali mata lentiknya menatap ke arah kereta dorong, di mana di sana Dave sedang duduk dan bermain. "Kau tidak akan pernah pergi. Aku sudahbtahu semua tentangmu dari Sameer, Merry. Tidak baik bagimu berada di luar," sahut Damian. Tentu saja ia bersikap lebih menjengkelkan dari hari-hari sebelumnya. Ia bukan lagi sekedar dingin dan angkuh. Tapi ia juga kerap menunjukkan sikap kasarnya dan juga selalu menatap tajam kepada siapapun lawan bicaranya. Mendengar penuturan Damian, Merry semakin kesal. "Aku harus berte
Hari ini Eric datang ke mansion tersembunyi dekat tebing, tempat Damian menyembunyikan Merry beberapa pekan ini.Saat bertemu dengan Sameer, langkah Eric mulai melambat. Terlebih ia melihat Dave mendapatkan pengasuh baru yang usianya masih muda."Di mana Tuanmu? Aku ada kepentingan pekerjaan," cetus Eric tanpa basa-basi.Eric berbicara sembari memasukkan sebelah tangannya ke kantung celana. Tentu saja hal itu ia lakukan untuk mengurai rasa takut yang mendadak mendera di hadapan Sameer. Tangannya gemetar.Sameer tersenyum simpul, ya pria menyeramkan itu memang tidak pernah ramah pada siapapun."Jika memang itu demi pekerjaan, temui Tuan Damian di sana! Jika demi Merry, jangan harap ada kesempatan!" seloroh Sameer membuat Eric menyembunyikan rasa kesalnya."Ummm, sebentar Sameer. Aku rasa akan lebih baik jika kamu tidak perlu terlalu ikut campur terlalu dalam," bisik Eric, kemudian pergi ke arah yang ditunjukkan oleh Sameer.Ia bahkan tidak ingin tahu bagaimana ekspresi Sameer setelah m
Merry segera berdiri saat melihat situasi di ruangan restoran mulai memanas. Lagi. Seharusnya Eric tidak mempertemukan Oliver dan Damian.Akan tetapi, kondisinya berbeda. Sebenarnya Eric berpihak pada siapa? Mengapa ia terkesan mengadu domba kedua belah pihak? Bahkan pemuda itu tidak berpikir apa akibat yang ditanggung Merry akibat ulahnya."Bibi, berikan Dave padaku. Aku ingin menggendongnya," tukas Merry seraya memperhatikan Damian dan Oliver yang sedang sibuk beradu argumen."Tapi, Nona ... bagaimana jika Tuan Damian marah padaku?""Tidak ada tapi, dia putraku! Hanya aku yang pantas memiliki hak atas Dave!" hardik Merry yang kemudian merebut paksa laki-laki mungil dari pelukan seorang maid.Mata Merry tidak terlepas sedikitpun dari Oliver dan juga Damian. Bukan tanpa sebab, tapi ia memang sedang menunggu momen yang tepat.Dan benar dugaan Merry. Tampak seorang pria tua sedang menuju tempat itu. Pria yang hanya bisa duduk di sebuah kursi roda dengan pengawalan ketat.Di sebelah pria
Hari telah sore. Oliver dan Sebastian terus mencoba menghubungi Damian. Mereka tidak mau menanggung kerugian dengan pembatalan kontrak kerja sama dengan beberapa brand ambassador ternama yang ingin menyewa Merry sebagai modelnya.Sementara itu, Damian tidak menganggap hal itu penting. Baginya yang utama saat ini adalah keselamatan Merry.Berulang kali ia menekan ponsel berusaha menghubungi Sameer. Naasnya, nomor yang ia hubungi terus menunjukkan nada sibuk. Tertera, nomor tujuan sedang berada dalam panggilan lain di layar.Nyatanya tulisan itu mampu membuat Damian frustrasi."Sial! Sameer, keterlaluan. Berani sekali kau mengabaikan teleponku!" teriaknya sambil melempar benda pipih persegi yang semula di genggamannya hingga terbanting di kasur empuk miliknya.Ia bahkan ikut menjatuhkan diri sambil menatap langit-langit kamar. Sesekali ia terduduk, kemudian mondar-mandir, tak lama kemudian kembali menatap layar ponselnya.Benar-benar hal yang tak biasa Damian lakukan. Belum pernah ia se
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t
Keesokan harinya, Oliver—masih dengan identitas sebagai Adam—melangkah memasuki ruang rapat besar di lantai tertinggi gedung perusahaan. Ruangan itu dipenuhi para pemegang saham, eksekutif, dan pengacara. Atmosfer terasa tegang, semua mata tertuju pada meja di depan di mana Damian duduk dengan penuh percaya diri.Oliver mengambil tempat duduk di sisi belakang ruangan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu dekat. Saat semua orang sudah berkumpul, Damian berdiri dan membuka pertemuan."Selamat pagi, semua. Terima kasih sudah datang ke pertemuan pemegang saham hari ini. Seperti yang kalian tahu, kita di sini untuk membahas penjualan sebagian besar saham perusahaan ini."Merry, yang duduk di samping Oliver, merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah mereka persiapkan dengan hati-hati. Oliver menatap Damian dengan mata tajam, bersiap untuk konfrontasi.Damian melanjutkan, "Sebastian Herrington, ayah saya, telah meninggalkan perusahaan ini dalam kondisi ya
Keesokan harinya, di kedai roti milik Merry, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Merry tak bisa berhenti memikirkan kejadian di taman bunga kemarin. Ketika pintu kedai berdering menandakan seorang pelanggan masuk, Merry mengangkat wajahnya dan melihat Adam, atau Oliver, berdiri di sana dengan tatapan serius."Adam... atau Oliver," kata Merry dengan suara pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.Oliver mendekat dengan langkah mantap. "Panggil aku Adam di sini, Merry. Untuk sekarang, kita harus menjaga rahasia ini."Merry mengernyit, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kenapa? Jika kau adalah Oliver, semua orang berhak tahu. Ini adalah kebenaran yang telah lama kita cari."Oliver duduk di salah satu kursi, menatap Merry dengan intens. "Merry, tolong dengarkan aku. Ada alasan mengapa aku meminta ini. Aku ingin menyelesaikan masalah keluargaku dengan caraku sendiri. Mengungkap identitasku sekarang hanya akan menambah kerumitan."Merry menatapnya den
Merry merasa semakin penasaran dengan jawaban Adam. Tatapannya memandang Adam dengan intens, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya. Namun, Adam tetap misterius."Aku mengerti, Adam. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," ujar Merry dengan hati-hati.Adam mengangguk, tetapi senyumnya tetap terukir di bibirnya. "Mungkin suatu hari nanti, Merry. Sekarang, yang penting adalah kita menikmati waktu bersama."Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Merry memilih untuk menuruti permintaan Adam. Setidaknya untuk saat ini.Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan topik yang lebih ringan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Suasana kedai roti terasa hangat dan nyaman, diiringi aroma kopi yang menyegarkan dan tawa pelanggan yang riang.Merry bahkan melupakan sejenak segala permasalahan yang mengganggu pikirannya, terpesona dengan kehadiran Adam yang membuatnya merasa tenang.Namun, saat Adam menyebutkan