Keributan itu langsung menarik perhatian banyak mahasiswa dan staf kebun botani yang berkerumun."Siapa sih orang ini? Gaya banget!""Sepertinya aku pernah lihat dia. Waktu acara pertemuan kemarin dia datang barengan sama Jinny. Mungkin pacarnya?""Nggak deh, setahuku dia itu pengusaha. Pernah muncul beberapa kali di majalah bisnis.""Punya duit memang beda, ya. Bahkan bisa-bisanya ngomong mau nutup kebun botani milik negara .... ckck ...."Melihat kerumunan semakin ramai, staf penanggung jawab mulai merasa tidak tenang. Kelopak matanya berkedut dan dia menghela napas dalam-dalam.Awalnya, dia tidak berniat memperpanjang urusan dengan Reagan. Namun, karena ada banyak orang yang melihat kejadian itu, dia merasa harus meluruskan keadaan. Kebun botani ini bukan dikelola dengan mengandalkan investasi dari para pengusaha ....Namun, belum sempat dia buka mulut, suara gaduh dari kerumunan terdengar. Darius dan Mikha menerobos masuk dengan cemas."Pak! Kami teman sekelompok Nadine! Dia sudah
"Jadi, aku harap semua bisa saling memahami."Wajah Reagan masih terlihat kaku, tapi setidaknya dia tidak lagi membuat keributan. Jelas, kata-kata tadi cukup masuk ke pikirannya. Jinny mengembuskan napas lega. Namun ....Suara bisikan dan tatapan dari orang-orang di sekitar mulai membuatnya merasa tak nyaman.Bagaimanapun juga, pacarnya sampai kehilangan kendali hanya karena seorang wanita lain di depan umum. Selain itu, wanita itu adalah teman satu jurusan dan satu fakultasnya, hanya beda dosen pembimbing. Situasi ini terlalu gampang disalahartikan.Di dunia ini, ada banyak penonton yang senang "menonton drama". Seberapa besarnya kerumunan, tergantung pada seberapa "gurih" gosip yang disajikan.Melihat semua kehebohan ini hanya demi Nadine, Nella tidak tahan untuk mencibir, "Konyol banget."Dia kira entah ada masalah sebesar apa, tapi ternyata ... hanya ini?Nadine juga nggak mati, 'kan? Orangnya sudah ketemu juga. Apa perlu sampai membuat seisi kebun botani heboh?"Iya nih," Kaeso la
Di mata kedua pria itu, yang mereka lihat adalah Nadine yang bersandar lemah di tiang gazebo. Kedua pipinya memerah, tubuhnya terus menggigil, dan tangannya memeluk tubuh sendiri erat-erat."Nadine? Nadine? Kamu dengar aku?" Arnold mencoba membangunkannya dengan suara cemas.Namun, mata Nadine tetap tertutup rapat dan bulu matanya bergetar gelisah. Seakan-akan sedang berada di antara sadar dan tidak sadar, tidurnya tampak sangat tidak tenang.Arnold langsung merasa panik, lalu menyentuh keningnya. "Nggak bisa! Suhu tubuh Nadine terus naik. Kalau begini terus, sebelum pintu dibuka, kondisinya bisa memburuk."Stendy juga mulai kehilangan kesabaran. "Kamu pikir aku nggak tahu? Tapi di sini nggak ada apa-apa! Kita bisa apa?"Tidak ada obat penurun panas, tidak ada pemanas ruangan, bahkan tempat berteduh yang layak pun tak tersedia.Arnold meliriknya, lalu mengangkat satu tangan. Dia membuka tangannya dengan lebar dan mengarahkannya ke udara dengan sudut 90 derajat dari tubuh. Stendy menata
Di dalam gazebo yang terbuka dari keempat sisi, Arnold dan Stendy duduk bersila di lantai, sementara Nadine berada tepat di antara mereka.Stendy tampak tertidur, kepalanya miring dan sedikit menunduk. Dari sudut pandang Reagan, posisi itu terlihat seolah-olah kepala Stendy bersandar langsung ke bahu Nadine.Arnold juga memejamkan mata. Meskipun duduknya lebih tegak, satu tangan menopang kepala, bahunya justru bersentuhan erat dengan bahu Nadine. Bukan karena sengaja ingin mengambil keuntungan, tapi karena ingin memberi sandaran bagi Nadine yang masih lemas.Bahkan dalam tidurnya, Arnold tetap mempertahankan postur itu dan tidak berani melonggarkan kekuatan di bahunya sedikit pun. Tengah malam tadi, Stendy sempat tidak tega melihat kondisinya dan menawarkan untuk bertukar tempat. Namun, Arnold hanya berkata pelan, "Nggak usah, dia ringan sekali."Stendy hanya bisa terdiam. Orang ini ... ternyata dendamnya panjang juga.Padahal mereka bertiga sama-sama berpakaian rapi dan tidak ada ges
Mikha dan Darius juga segera ikut membantu. Tak lama kemudian, ambulans pun tiba.Begitu perawat dan dokter memastikan siapa pasiennya, mereka langsung melakukan pemeriksaan awal. Setelah kondisi Nadine dipastikan stabil untuk dipindahkan, mereka dibantu oleh Arnold dan Stendy untuk mengangkat tubuhnya ke atas tandu dan mendorongnya masuk ke dalam mobil.Perawat yang ikut serta bertanya, "Ada keluarga pasien? Cepat naik!""Aku!""Aku bisa!""Aku!"Ketiga suara terdengar bersamaan.Perawat mengernyit. "Dua orang saja cukup. Sisanya silakan ke rumah sakit pakai kendaraan sendiri." Dia menunjuk ke arah Arnold dan Stendy. Lagi pula, dari tadi mereka yang tampak paling sigap. Wajah mereka sama-sama lelah, penuh kekhawatiran, tapi tidak tampak dibuat-buat.Sedangkan pria satu lagi yang tertinggal ....Sebelum menutup pintu, perawat melirik sekilas ke arah Reagan. Pria itu masih bau alkohol, wajahnya kusut tak karuan, matanya seperti bisa membunuh orang kapan saja.Lupakan saja.Karena tidak
Semua teman dekat di lingkungan pertemanan mereka tahu bahwa Nadine Wicaksono sangat mencintai Reagan Yudhistira. Saking cintanya, Nadine sampai tidak punya kehidupannya sendiri, seolah-olah ingin berada di dekatnya selama 24 jam sehari.Setiap kali mereka putus, belum sampai tiga hari saja Nadine akan kembali untuk meminta balikan. Di dunia ini, siapa pun mungkin bisa mengatakan kata "putus", kecuali Nadine. Ketika Reagan masuk sambil memeluk kekasih barunya, ruangan itu menjadi hening selama lima detik.Gerakan Nadine yang sedang mengupas jeruk terhenti, "Kenapa kalian semua diam? Kenapa pada lihat aku?""Nadine ...." Teman-temannya memandangnya dengan tatapan khawatir.Namun Reagan tetap santai memeluk wanita itu dan langsung duduk di sofa. "Selamat ulang tahun, Philip" ucapnya. Begitu terang-terangan, seolah-olah tidak terjadi apa pun.Nadine langsung berdiri. Ini hari ulang tahun Philip, jadi dia tidak ingin membuat kekacauan. "Aku ke toilet sebentar." Saat menutup pintu, dia mend
Di meja makan.Reagan bertanya, "Kenapa nggak ada bubur?""Maksud Tuan, bubur untuk kesehatan lambung ya?""Bubur untuk kesehatan lambung?" tanya Reagan lagi."Ya, bubur yang sering dimasak Nona Nadine. Bubur millet dicampur ubi, bunga bakung, dan kurma merah, 'kan? Wah, aku nggak sempat menyiapkannya. Hanya untuk bunga bakung, jali-jali, dan kurma merahnya saja harus direndam semalaman dan mulai direbus keesokan paginya.""Selain itu, pengaturan apinya sangat penting. Aku nggak sepeka Nona Nadine untuk terus mengawasi api. Hasil masakanku juga nggak akan seperti miliknya, terus ...."Reagan menyelanya, "Bawakan saus daging sapi.""Oke, Tuan.""Kenapa rasanya beda?" Reagan melihat sekilas botol itu. "Kemasannya juga beda.""Yang sebelumnya sudah habis, hanya tersisa yang ini," jawab Bibi Julia."Nanti belikan dua kaleng di supermarket.""Nggak dijual.""Hah?" Reagan kebingungan.Julia tersenyum canggung. "Saus itu buatan Nona Nadine sendiri, aku nggak bisa buat ...."Prang!"Hm? Tuan n
"Nggak nemu tempat parkir yang bagus ya? Aku keluar untuk bantu ...." Saat menyadari ekspresi Reagan yang muram, Philip baru tersadar. "Hah! Kak Reagan, jangan-jangan ... Kak Nadine masih belum kembali?"Sekarang ini sudah lewat dari tiga jam.Reagan membuka tangannya sambil mengangkat bahu. "Balik apanya? Kamu kira putus itu candaan?" Setelah berkata demikian, dia berjalan melewati Philip dan duduk di sofa.Philip menggaruk kepalanya. Apakah kali ini mereka benar-benar putus? Namun, dia langsung menggelengkan kepala mengenyahkan pemikiran itu. Dia percaya bahwa Reagan tega memutuskan hubungan, tetapi Nadine ....Semua wanita di dunia ini mungkin bisa menerima putus, tapi Nadine sudah pasti tidak bisa. Hal ini adalah fakta yang telah diakui dalam lingkaran pertemanan mereka selama ini."Reagan, kenapa kamu sendirian?" tanya Teddy sambil tersenyum sinis. "Tiga jam sudah lewat, sekarang sudah seharian."Reagan menyeringai, "Aku kalah taruhan, jadi harus terima hukumannya. Apa hukumannya?
Mikha dan Darius juga segera ikut membantu. Tak lama kemudian, ambulans pun tiba.Begitu perawat dan dokter memastikan siapa pasiennya, mereka langsung melakukan pemeriksaan awal. Setelah kondisi Nadine dipastikan stabil untuk dipindahkan, mereka dibantu oleh Arnold dan Stendy untuk mengangkat tubuhnya ke atas tandu dan mendorongnya masuk ke dalam mobil.Perawat yang ikut serta bertanya, "Ada keluarga pasien? Cepat naik!""Aku!""Aku bisa!""Aku!"Ketiga suara terdengar bersamaan.Perawat mengernyit. "Dua orang saja cukup. Sisanya silakan ke rumah sakit pakai kendaraan sendiri." Dia menunjuk ke arah Arnold dan Stendy. Lagi pula, dari tadi mereka yang tampak paling sigap. Wajah mereka sama-sama lelah, penuh kekhawatiran, tapi tidak tampak dibuat-buat.Sedangkan pria satu lagi yang tertinggal ....Sebelum menutup pintu, perawat melirik sekilas ke arah Reagan. Pria itu masih bau alkohol, wajahnya kusut tak karuan, matanya seperti bisa membunuh orang kapan saja.Lupakan saja.Karena tidak
Di dalam gazebo yang terbuka dari keempat sisi, Arnold dan Stendy duduk bersila di lantai, sementara Nadine berada tepat di antara mereka.Stendy tampak tertidur, kepalanya miring dan sedikit menunduk. Dari sudut pandang Reagan, posisi itu terlihat seolah-olah kepala Stendy bersandar langsung ke bahu Nadine.Arnold juga memejamkan mata. Meskipun duduknya lebih tegak, satu tangan menopang kepala, bahunya justru bersentuhan erat dengan bahu Nadine. Bukan karena sengaja ingin mengambil keuntungan, tapi karena ingin memberi sandaran bagi Nadine yang masih lemas.Bahkan dalam tidurnya, Arnold tetap mempertahankan postur itu dan tidak berani melonggarkan kekuatan di bahunya sedikit pun. Tengah malam tadi, Stendy sempat tidak tega melihat kondisinya dan menawarkan untuk bertukar tempat. Namun, Arnold hanya berkata pelan, "Nggak usah, dia ringan sekali."Stendy hanya bisa terdiam. Orang ini ... ternyata dendamnya panjang juga.Padahal mereka bertiga sama-sama berpakaian rapi dan tidak ada ges
Di mata kedua pria itu, yang mereka lihat adalah Nadine yang bersandar lemah di tiang gazebo. Kedua pipinya memerah, tubuhnya terus menggigil, dan tangannya memeluk tubuh sendiri erat-erat."Nadine? Nadine? Kamu dengar aku?" Arnold mencoba membangunkannya dengan suara cemas.Namun, mata Nadine tetap tertutup rapat dan bulu matanya bergetar gelisah. Seakan-akan sedang berada di antara sadar dan tidak sadar, tidurnya tampak sangat tidak tenang.Arnold langsung merasa panik, lalu menyentuh keningnya. "Nggak bisa! Suhu tubuh Nadine terus naik. Kalau begini terus, sebelum pintu dibuka, kondisinya bisa memburuk."Stendy juga mulai kehilangan kesabaran. "Kamu pikir aku nggak tahu? Tapi di sini nggak ada apa-apa! Kita bisa apa?"Tidak ada obat penurun panas, tidak ada pemanas ruangan, bahkan tempat berteduh yang layak pun tak tersedia.Arnold meliriknya, lalu mengangkat satu tangan. Dia membuka tangannya dengan lebar dan mengarahkannya ke udara dengan sudut 90 derajat dari tubuh. Stendy menata
"Jadi, aku harap semua bisa saling memahami."Wajah Reagan masih terlihat kaku, tapi setidaknya dia tidak lagi membuat keributan. Jelas, kata-kata tadi cukup masuk ke pikirannya. Jinny mengembuskan napas lega. Namun ....Suara bisikan dan tatapan dari orang-orang di sekitar mulai membuatnya merasa tak nyaman.Bagaimanapun juga, pacarnya sampai kehilangan kendali hanya karena seorang wanita lain di depan umum. Selain itu, wanita itu adalah teman satu jurusan dan satu fakultasnya, hanya beda dosen pembimbing. Situasi ini terlalu gampang disalahartikan.Di dunia ini, ada banyak penonton yang senang "menonton drama". Seberapa besarnya kerumunan, tergantung pada seberapa "gurih" gosip yang disajikan.Melihat semua kehebohan ini hanya demi Nadine, Nella tidak tahan untuk mencibir, "Konyol banget."Dia kira entah ada masalah sebesar apa, tapi ternyata ... hanya ini?Nadine juga nggak mati, 'kan? Orangnya sudah ketemu juga. Apa perlu sampai membuat seisi kebun botani heboh?"Iya nih," Kaeso la
Keributan itu langsung menarik perhatian banyak mahasiswa dan staf kebun botani yang berkerumun."Siapa sih orang ini? Gaya banget!""Sepertinya aku pernah lihat dia. Waktu acara pertemuan kemarin dia datang barengan sama Jinny. Mungkin pacarnya?""Nggak deh, setahuku dia itu pengusaha. Pernah muncul beberapa kali di majalah bisnis.""Punya duit memang beda, ya. Bahkan bisa-bisanya ngomong mau nutup kebun botani milik negara .... ckck ...."Melihat kerumunan semakin ramai, staf penanggung jawab mulai merasa tidak tenang. Kelopak matanya berkedut dan dia menghela napas dalam-dalam.Awalnya, dia tidak berniat memperpanjang urusan dengan Reagan. Namun, karena ada banyak orang yang melihat kejadian itu, dia merasa harus meluruskan keadaan. Kebun botani ini bukan dikelola dengan mengandalkan investasi dari para pengusaha ....Namun, belum sempat dia buka mulut, suara gaduh dari kerumunan terdengar. Darius dan Mikha menerobos masuk dengan cemas."Pak! Kami teman sekelompok Nadine! Dia sudah
Melihat Nadine menggigil hebat, Stendy langsung melepas jaketnya, bersiap untuk menyelimutkannya. Namun Arnold berkata, "Jaketmu juga basah. Lebih baik pakai punyaku saja."Sambil bicara, dia sudah membuka ritsleting jaket gunungnya, lalu memakaikannya langsung ke tubuh Nadine.Stendy terdiam.Nadine benar-benar merasa kedinginan. Padahal dia sudah meminum air hangat dan mengganti pakaian basahnya dengan yang kering. Namun, rasa dingin itu seolah meresap sampai ke tulang, makin lama makin menusuk.Menjelang dini hari, hujan benar-benar turun lagi. Bukan hujan deras disertai petir, melainkan gerimis yang tak kunjung berhenti. Situasi ini justru terasa semakin menyiksa.Angin dingin menyusul, menderu tanpa ampun.Gazebo itu hanya beratap dan ditopang oleh empat tiang. Tidak ada dinding untuk menghalangi angin. Saat angin bertiup, tubuh mereka langsung menjadi sasaran.Suara Nadine bergetar. "A-aku ... kedinginan ...."Meski sudah mengenakan jaket Arnold dan memeluk tubuhnya sendiri erat-
Setelah menutup telepon, Arnold menyampaikan informasi dari pihak pengelola kepada mereka berdua. Tepat saat itu, suara gemuruh kembali terdengar dari langit. Angin berembus membawa udara lembap, menyapu wajah mereka.Nadine mengerutkan kening. "Sepertinya ... bakal hujan lagi.""Di depan ada gazebo kecil, kita bisa berteduh di sana," kata Stendy sambil menoleh ke sekeliling dan melihat sebuah gazebo tak jauh dari sana.Nadine mengangguk.Tak ada pilihan lain. Sebelum pintu berhasil dibuka, mereka memang hanya bisa menunggu di sini. Stendy pun kembali menggendong Nadine menuju gazebo tersebut.Sesampainya di sana, Nadine menepuk pundaknya pelan. "Turunin saja."Stendy menurunkan tubuhnya dengan hati-hati, sementara Arnold juga bersiaga di samping dan siap menangkap jika Nadine terjatuh. Untungnya, hanya satu kakinya yang cedera. Kaki satunya masih bisa menopang.Dengan bantuan keduanya, Nadine melompat pelan dan duduk di bangku panjang yang ada di dalam gazebo. Arnold membuka ranselnya
"Kebun botani sebesar ini, masa nggak ada satu pun petugas jaga malam? Atau jangan-jangan lagi tidur atau malas-malasan ...," kata Stendy sambil mengulurkan tangan, siap menekan tombol sekali lagi.Namun, sebelum jarinya menyentuh alat itu, tiba-tiba alarm berbunyi nyaring."Apa-apaan ini?" Dia terpaku sejenak.Seketika, perasaan tidak enak muncul di hati Nadine. Begitu dia melihat ekspresi Arnold yang terlihat seperti berkata "sudah kuduga", firasatnya langsung terkonfirmasi.Arnold berkata, "Kamu terlalu terburu-buru."Belum memastikan fungsinya, langsung asal pencet.Stendy mengernyit. "Tapi kan jelas-jelas tandanya memang seperti itu. Bagian mana yang salah?"Arnold menjelaskan dengan tenang, "Simbol bel kuning itu punya dua arti. Pertama, seperti yang kamu bilang, untuk menghubungi pihak luar waktu darurat. Tapi yang kedua adalah ... peringatan dini.""Peringatan dini?""Ya. Bunyi alarm yang kita dengar sekarang adalah sinyal peringatan. Di kebun botani seperti ini, walaupun hampi
"Cepat sekali?" tanya Nadine dengan terkejut.Arnold mengangguk pelan, lalu kembali mengeluarkan sebuah termos dari ranselnya. "Kamu kehujanan, bajumu juga basah. Minum sedikit air hangat dulu, biar tubuhmu lebih hangat."Ternyata dia membawa termos berisi air hangat.Air dengan suhu sekitar 50 derajat itu langsung memberikan rasa hangat sejak menyentuh lidah. Begitu masuk ke perut, bagian atas tubuhnya pun mulai terasa lebih nyaman.Nadine tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Pak Arnold bahkan bawa air hangat juga?"Arnold tidak menjawab. Saat dia tak sengaja mengangkat kepala, matanya bertemu dengan tatapan menyelidik dari Stendy."Pak Arnold bawaannya lengkap banget, ya?" tanya Stendy.Arnold menjawab tenang, "Aku terbiasa mempersiapkan semuanya dulu baru berangkat. Kalau cedera Nadine tadi lebih serius dan aku nggak bawa perlengkapan, akibatnya bisa fatal."Stendy terdiam. Dia merasa agak tersindir.Nadine buru-buru mengalihkan topik. "Oh iya, Pak Arnold hafal jalan pulang n