Namun, adegan selanjutnya ternyata tidak seperti yang dibayangkan oleh pramuniaga ....Terlihat Yenny berjalan ke sisi Irene, mengamati dari atas ke bawah, lalu berkomentar, "Gaun ini sangat cocok untukmu."Yenny sendiri sudah mencobanya dan merasa cukup bagus, tetapi jelas Irene lebih cocok memakainya. Bukan hanya dari segi ukuran, tetapi juga dari segi aura yang lebih sesuai.Yenny sendiri memiliki aura yang terlalu tegas dan kurang lembut, sementara Irene justru sebaliknya. Wajahnya lembut, senyumannya lembut. Ini adalah tipe wajah yang disukai semua orang.Sebenarnya, Yenny tidak terlalu menyukai wanita yang berpenampilan terlalu lembut, seperti Natasha atau Nadine yang mengenakan gaun tradisional di kelas teh sebelumnya. Namun, Irene yang berdiri di hadapannya justru membuatnya merasa nyaman.Pramuniaga di samping terlihat ragu-ragu ingin berbicara, sementara Irene yang peka segera menyadari situasi ini. Dia tersenyum santai kepada Yenny. "Benaran? Terima kasih."Irene menunjuk se
Beberapa kali bertemu, Nadine bisa merasakan bahwa pihak lain tidak menyukainya. Jika benar begitu, lebih baik pura-pura tidak mengenalnya. Lagi pula, selain beberapa kali kebetulan bertemu, mereka memang tidak punya hubungan apa pun.Namun, Yenny secara refleks mengerutkan kening. Gadis ini bukan hanya wajahnya tidak sesuai dengan seleranya, bahkan sopan santun dasar pun kurang.Keduanya berpapasan, Yenny segera berjalan menjauh."Nadine, ke mana saja? Cepat sini, aku sudah memilihnya," panggil Irene."Secepat itu? Aku cuma ke toilet sebentar, bahkan belum melihatmu mencoba apa pun ....""Nanti di rumah aku pakai buat kamu lihat.""Oke, oke."Irene berkata, "Tadi aku ketemu seorang kakak dan bantu dia memilih beberapa gaun. Dia bilang anaknya sedang membaca Seven Days ...."Pada saat yang sama, jauh di dalam laboratorium, Arnold bersin beberapa kali berturut-turut.Melihat itu, Calvin dengan menggoda, "Arnold, kamu bersin dari tadi. Kira-kira ada berapa wanita yang sedang memikirkanmu
Acara diadakan di lantai tiga Toko Buku Gramilia. Belum sampai waktu masuk, sudah ada banyak pembaca yang menunggu di luar. Belasan satpam bekerja sama untuk menjaga ketertiban.Di dekat pintu, terdapat sebuah rak pajangan besar yang tertata rapi dengan novel baru karya Irene, Seven Days. Selain itu, ada juga papan iklan besar yang menampilkan sampul buku serta beberapa karakter utama dalam bentuk ilustrasi kartun."Ya ampun, seramai ini?" Seorang gadis muda baru saja melangkah masuk dan langsung terkejut.Pacarnya mengikuti dari belakang. Melihat kerumunan itu, dia langsung menggerutu, "Ini 'kan cuma acara tanda tangan buku, kenapa suasananya kayak acara dukungan buat idol?"Gadis itu adalah seorang fangirl sejati. Biasanya idolanya selalu berganti-ganti, begitu juga dengan daftar artis yang disukainya. Selama bertahun-tahun mengejar idola, dia tidak pernah sekalipun mengikuti novel.Minggu lalu, dia tiba-tiba melihat ayahnya membaca sebuah novel misteri dengan sampul yang cukup menye
Barisan depan dipenuhi oleh para paman dan bibi seusia ayah dan ibunya."Apa ... apa-apaan ini?"Pacarnya juga bingung dan langsung menyeletuk, "Kok isinya kakek nenek semua?"Sekejap, dia langsung jadi musuh bersama."Kakek nenek kenapa? Kamu ada masalah?"Pacarnya buru-buru mencoba menjelaskan, "Bukan ... di umur segini kalian masih mengejar idola?""Kami bukan mengejar idola, kami mengejar novel! Kenapa memangnya?""Ya, betul!"Pacarnya melongo. "Pembaca Irene seluas ini pasarnya?""Hmph! Kami sudah jadi penggemar Irene sejak 10 tahun lalu. Setelahnya, kami sibuk menikah, punya anak, kerja cari uang. Memang jarang aktif di internet, nggak seperti anak muda yang suka buat trending dan main algoritma, tapi kami beli bukunya pakai uang sungguhan.""Ya, ya! Kami cuma sibuk, bukan mati!"Gadis itu melayangkan pandang ke sekitar. Benar saja, para penggemar yang hadir terdiri dari berbagai usia.Tak lama kemudian, pembawa acara naik ke panggung dan menyampaikan kata pembuka. Setelah itu, I
Sungguh memalukan!Akhirnya, Arnold membawanya melewati kerumunan hingga sampai ke bagian luar. Kali ini, tidak ada lagi yang mendorong."Fiuh ...." Nadine menghela napas panjang. Namun, begitu mendongak, tatapannya sontak bertemu pandang dengan mata pria yang dipenuhi senyuman tipis."Maaf, Pak ... aku ...."Arnold menunjuk ke sisi wajahnya. "Rambutmu nempel di pipi.""Hah?"Nadine refleks mengangkat tangan, tetapi tidak menemukan posisi yang tepat. Akhirnya, Arnold langsung membantunya membetulkan.Meskipun sudah sangat hati-hati, ujung jarinya tetap tak bisa menghindari sentuhan dengan kulit gadis itu yang lembut dan hangat.Dia berusaha menenangkan diri. "Sudah."Nadine menyelipkan helaian rambut itu ke belakang telinganya dengan canggung. Sial, gara-gara desak-desakan tadi, rambutnya jadi berantakan.Ditambah lagi ... karena keringat, beberapa helai rambut jadi menempel di wajahnya. Malu sekali.Mengingat kejadian tadi saat tubuhnya menabrak Arnold, wajah Nadine langsung memanas.
Namun, sejak putri mereka menghilang ....Semuanya pun berubah.Sebenarnya, hal ini juga berkaitan langsung dengan keputusan kakek dan neneknya untuk menetap di luar negeri.Mengingat bibinya yang hingga kini masih belum ditemukan, tak diketahui apakah masih hidup atau sudah tiada, Stendy tak bisa menahan diri untuk melirik ke arah kedua orang tua itu.Jika selamanya tidak ditemukan, rasa penyesalan ini mungkin akan terbawa hingga akhir hayat mereka."Stendy, aku agak haus." Nenek tiba-tiba membuka suara."Nenek, tunggu sebentar ya. Aku pergi beli air ...." Kemudian, dia menoleh ke arah Nadine. "Kamu sibuk nggak?""Nggak juga, ada yang bisa kubantu?""Kamu temani mereka sebentar, aku mau beli air.""Biar aku saja yang beli deh?" Toh dia juga turun untuk beli air.Stendy menggeleng. "Kesehatan Nenek agak lemah, biasanya cuma minum air alkali ringan dari merek tertentu. Di sekitar sini nggak ada, aku harus ke supermarket impor di seberang jalan.""Begitu ya .... Ya sudah, kamu pergi saja
Nadine merasa agak malu karena ketahuan, tetapi dia tidak merasa canggung. Bagaimanapun, ini adalah pertemuan pertama mereka. Memiliki sedikit kewaspadaan adalah hal yang wajar.Lagi pula, kedua orang tua ini pasti telah mengalami lebih banyak hal dibanding dirinya. Seharusnya mereka bisa memahaminya.Benar saja, Safir menepuk tangan Nadine. "Nak, terutama yang secantik kamu, punya kewaspadaan itu hal yang baik. Mencegah lebih baik daripada mengobati, agar bisa melindungi diri dengan lebih baik.""Mm, mm.""Nenek bilang suaraku terdengar begitu familier. Aku besar di Kota Linong dan baru pindah ke Kota Juanin setelah lulus SMA. Sebelum itu, seharusnya kita nggak pernah bertemu.""Itu juga benar." Safir tersenyum. Namun entah mengapa, Nadine melihat dalam senyuman itu ada sedikit kekecewaan dan kesedihan.Corwin tertawa untuk mencairkan suasana. "Meskipun sebelumnya nggak pernah bertemu, sekarang sudah bertemu. Ini adalah takdir."Nadine tersenyum dan mengangguk. Tidak lama kemudian, St
Ting tong ....Pintu lift terbuka. Nadine keluar dari dalam."Pak.""Kamu ke mana saja?"Keduanya berbicara bersamaan, hanya saja suasana hati mereka sangat berbeda. Nadine terdengar santai, sementara Arnold terdengar agak gelisah dan cemas."Tadi ketemu Stendy di bawah, makanya agak lama. Nih ... minumlah."Nadine mengambil sebotol air dari kantong belanjaan dan menyerahkannya. Arnold melirik logo di tas itu, supermarket impor yang ada di jalan seberang, Nadine sepertinya tidak akan pergi sejauh itu, jadi pasti ...."Stendy yang beli?""Hmm. Aku bantu dia jaga kakek dan neneknya, jadi dia pergi ke supermarket seberang beli air. Kakek dan neneknya cuma minum merek ini."Arnold mengambilnya.Nadine melirik ke dalam lokasi acara. "Gimana? Sudah selesai?"Arnold menggeleng. "Belum. Orang yang antre masih banyak, mungkin akan lama lagi."Kejadian memalukan tadi masih jelas diingat olehnya. Dia tidak ingin masuk lagi dan didorong orang. Namun ....Nadine melihat buku di tangan pria itu. "Ka
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala