Stendy berkata, "Dia tumbuh dalam keluarga yang penuh cinta. Kamu tahu apa artinya?"Reagan berbalik dan menatapnya tajam.Stendy mengucapkan setiap kata dengan jelas, "Itu berarti, dia punya keberanian untuk mencintai sepenuh hati dan juga keberanian untuk meninggalkan ketika semuanya berantakan. Mungkin itulah kenapa saat dia bersamamu dulu, dia begitu teguh pada pilihannya, bahkan rela melawan dunia.""Sayang sekali, kamu menyia-nyiakan itu semua.""Mungkin, bagi kamu dan orang lain, tindakan Nadine saat itu, serta kesabarannya yang tanpa batas setelahnya, hanyalah wujud dari seorang wanita yang terlalu larut dalam perasaan.""Tapi aku tahu, dia bukan seperti itu. Dia cuma ingin mempertahankan keputusannya, berjuang sekuat tenaga tanpa menyisakan penyesalan. Pada akhirnya, yang dia inginkan hanyalah satu hal. Menyelesaikan sesuatu dengan baik, sebagaimana semuanya dimulai."Stendy tahu betul cara menusuk tepat di jantung seseorang. Langkah Reagan goyah, matanya sedikit memerah. "Kam
Reagan langsung meneliti kembali semua dokumen di mejanya sebelum menelepon manajer proyek. "Semua ini, hentikan.""A ... a ... apa?" Manajer proyek hampir mengira dirinya salah dengar.Semua proyek ini adalah tulang punggung perusahaan, bahkan beberapa di antaranya hampir menghasilkan keuntungan dalam waktu dekat. Sekarang dia tiba-tiba disuruh menghentikannya?!Reagan bertanya, "Apa ucapanku kurang jelas?""T-tidak, Pak ....""Atau sulit dimengerti?""Nggak juga ....""Lalu, apa masalahnya?"Keringat dingin mengalir di pelipis manajer proyek. "Pak Reagan, saya cuma nggak mengerti ....""Kamu nggak perlu mengerti. Lakukan saja."Menghentikan lebih dari 20 proyek bukanlah perkara mudah. Bagaimana cara meminimalisir kerugian?Bagaimana menyusun strategi agar dampaknya tidak menghancurkan perusahaan? Semuanya harus diperhitungkan dengan sangat hati-hati.Saat Reagan menyelesaikan pekerjaannya, langit sudah gelap. Dia berdiri di depan jendela kaca besar kantornya sambil menatap pemandanga
"Kami nggak akan menerima ini.""Pertama, kami nggak pernah melakukan apa pun untukmu. Kami bukan keluarga, bukan teman, dan nggak ada hubungan apa pun. Terlepas dari berapa pun nilainya, kami nggak berhak menerimanya.""Kedua, kamu dan Nadine ... sudah menjadi masa lalu. Sekarang kalian cuma orang asing, jadi nggak ada alasan bagi kami untuk menerima pemberianmu."Satu-satunya pertemuan mereka dulu masih segar dalam ingatan Irene. Dia dan Jeremy datang lebih awal ke restoran dan menunggu Reagan hampir setengah jam. Saat akhirnya datang, Reagan tidak membawa apa pun. Setelah hanya menyapa singkat, dia langsung fokus pada makanannya tanpa banyak berbicara.Dingin. Formal. Tidak peduli.Saat itu, satu kata muncul dalam benak Irene ... tidak sepadan. Lelaki seperti ini bukan pasangan yang cocok untuk putrinya.Namun, Nadine begitu mencintainya. Saat Reagan beralasan harus pergi lebih awal, Nadine segera mencari berbagai pembenaran untuknya.Irene tidak mengatakan apa-apa. Hanya ada rasa s
Perbedaan antara cara Jeremy memperlakukan Arnold dengan ramah dan bagaimana dia bersikap dingin terhadap Reagan begitu mencolok. Sisa percakapan tidak lagi terdengar oleh Reagan. Dia sudah turun dua lantai.Samar-samar, dia mendengar suara pintu ditutup. Mungkin Arnold telah masuk ke dalam rumah Nadine. Dengan membawa tumpukan hadiah yang tidak pernah tersampaikan, Reagan kembali ke vilanya.Rumah itu sunyi. Bibi Julia telah selesai membersihkan dan sudah pergi. Tidak ada seorang pun di sana. Sama sepinya seperti saat Nadine pergi meninggalkannya.Reagan naik ke lantai atas dan masuk ke kamar utama. Di sudut ruangan, meja rias yang dulunya sering digunakan kini tampak terabaikan. Di atasnya masih ada beberapa produk perawatan kulit yang belum habis dipakai.Namun, pemiliknya sudah tidak membutuhkannya lagi. Sama seperti Nadine yang tidak lagi menginginkannya.Reagan menarik laci di bawah meja rias. Dulu, di dalamnya ada selembar cek, surat perjanjian tanah, dan satu gelang berlian.Ge
"Pak, sudah selesai?" Begitu Nadine membuka suara, Arnold baru tersadar dari lamunannya."Sudah selesai.""Terima kasih."Arnold kembali melirik ke arah pinggangnya. Bukan karena ada pikiran aneh, tetapi .... Dia terlalu kurus! Apa dia selama ini tidak makan dengan baik?Reagan duduk di depan meja rias dari siang, hingga matahari terbenam, sampai akhirnya fajar menyingsing keesokan harinya. Bukan karena tidak ingin tidur, tapi karena dia benar-benar tidak bisa.Pikirannya terus-menerus menggali kenangan lama, tanpa lelah dan tak kendali. Kenangan indah dan penuh kebahagiaan .... juga semua kesalahannya yang menyakiti Nadine.Hingga akhirnya, saat fajar mulai menyingsing, Reagan tersadar dari kilasan memori yang menyiksanya.Pukul delapan pagi. Waktu puncak orang berangkat kerja. Dia mengenakan pakaian bersih, lalu mengemudi ke toko kue paling laris. Biasanya, perjalanan hanya memakan waktu setengah jam, tetapi hari ini dia menghabiskan satu jam penuh di jalan."Saya mau satu kue lapis
"Begitu dong, ngomong dari tadi kan enak!" Lalu, Mikha langsung merangkul lengan Darius dengan penuh semangat dan berlari kecil ke luar kampus.Ekspresi Darius menegang dan berusaha menarik tangannya. Namun, Mikha langsung mempererat genggamannya. "Aduh, jangan malu-malu, kita ini sahabat!"Setelah berkata demikian, dia malah berlari lebih cepat.Darius terkejut. Tidak bisa lepas! Kenapa dia kuat sekali?!Begitu mereka melangkah keluar dari gerbang kampus, tiba-tiba mereka melihat Reagan keluar dari mobil sportnya sambil membawa sekotak kue di tangan.Uh-oh.Mikha mengerutkan kening. "Kenapa dia selalu parkir pas di depan gerbang kampus? Dia nggak tahu itu bikin macet?"Darius berpikir sejenak. "Mungkin dia pikir itu terlihat keren.""Keren gimana? Maksudnya keluar dari mobil Porsche, terus bikin semua orang menoleh?""Mungkin?"Mikha menatapnya dengan penuh keterkejutan. "Jangan bilang kamu juga merasa itu keren?"Darius menggeleng. "Di keluargaku, mobil Audi yang paling keren."Mikha
Jinny menatap punggung Reagan yang perlahan menjauh. Baru hari ini dia menyadari, mobilnya adalah Porsche. Bajunya Armani edisi khusus. Di pergelangan tangannya ada jam Patek Philippe ....Lalu, dia menundukkan kepala menatap kue di tangan Reagan. Tatapannya semakin dalam.....Sementara itu, Nadine tidak pergi ke kampus hari ini karena menemani Irene berbelanja. Dia sudah meminta izin kepada dosen mata kuliah profesinya. Untungnya, hari ini tidak ada materi baru. Hanya presentasi laporan proyek kelompok minggu lalu.Karena Mikha serta Darius bisa menangani presentasi itu, izin Nadine langsung disetujui.Besok adalah hari acara tanda tangan buku. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali Irene menghadiri acara formal seperti ini.Sejak pagi, dia membongkar lemari pakaian. Namun, setelah berkali-kali mencoba, dia tetap merasa tidak ada yang cocok."Sebenarnya bisa saja dipakai, tapi ... rasanya ada yang kurang."Jeremy berkata dengan penuh ketulusan, "Istriku pakai apa pun tetap cantik,
Gen dalam Keluarga Wicaksono tidak bisa disangkal. Jeremy memiliki postur tinggi dan meskipun sudah di usia paruh baya, tubuhnya tetap terjaga dengan baik tanpa tanda-tanda kegemukan.Setelah mencoba beberapa setelan jas, semuanya terlihat pas dan elegan. Dia bertanya kepada Irene, "Sayang, menurutmu yang mana yang paling bagus?"Nadine juga refleks menoleh ke ibunya. Irene berpikir sejenak, lalu berkata, "Semuanya bagus."Jeremy mengerutkan kening. "Kalau semuanya bagus, gimana milihnya?""Nggak perlu milih.""Hah?""Beli saja semuanya."Jeremy terkejut."Jangan, jangan! Mahal sekali! Satu setelan saja harganya sudah beberapa juta, aku cukup pakai satu, di rumah juga masih ada."Namun, Irene sudah lebih dulu menyerahkan kartu banknya ke pramuniaga. "Ambil ketiga setelan ini, tolong bungkus semuanya. Terima kasih.""Baik! Terima kasih banyak!" Pramuniaga itu segera bergegas ke kasir dengan senyum lebar.Sementara itu, Jeremy tampak seperti seorang istri yang sedang malu-malu sambil men
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala