"Kamu masih berani tanya! Semua ini gara-gara kamu! Kalau bukan karena kamu, aku dan adikmu nggak akan berselisih dengan Reagan!" Karena tidak ada lagi keuntungan, Lupita tidak repot-repot berpura-pura menjadi ibu yang penuh kasih lagi.Rocky menimpali, "Reagan kejam sekali. Kenapa kamu nggak memperingatkan kami? Hari ini, aku dan Ibu hampir mati di tangannya! Kamu sengaja ya? Kau ingin mencelakai kami supaya kamu bisa mengambil 6 miliar itu sendirian!"Eva buru-buru membela diri, "Aku nggak sengaja! Gimana mungkin aku ingin mencelakai kalian? Aku juga nggak tahu dia akan sekejam itu!"Lupita tersenyum dingin. "Kamu sudah bersama Reagan begitu lama, mana mungkin kamu nggak tahu orang macam apa dia!"Rocky menambahkan, "Benar! Cedera di tubuhku ini menghabiskan banyak uang dan sekarang kami nggak mendapat apa-apa dari Reagan. Kamu harus mengganti kerugianku!""Jangan pura-pura miskin di depanku. Reagan bilang dia sudah memberimu 6 miliar!" Begitu menyebut hal ini, Lupita naik pitam. Jel
"Bayar?" Ekspresi Eva membeku. "Bukannya biasanya langsung ditarik dari akun?""Maaf, akunnya sudah dibekukan.""Dibekukan? Kenapa?""Pemilik akun yang mengajukan pembekuan."Mengajukan sendiri .... "Hahaha. Reagan, kamu benar-benar kejam!"Setelah tinggal di rumah sakit selama lebih dari sebulan, Eva akhirnya keluar hari itu. Dia menatap langit cerah yang menyilaukan, awan putih yang melayang di angkasa, seolah-olah dunia yang dia kenal sudah berubah.....Reagan pulang lebih awal dari kantor hari itu. Begitu masuk mobil, dia memberi instruksi kepada sopir, "Kembali ke vila.""Baik."Sepanjang perjalanan, Reagan memejamkan mata untuk beristirahat, mendengarkan deru angin yang melewati jendela. Saat membuka mata kembali, langit sudah gelap dan tampak suram, memberi tanda akan datangnya badai.Setiap musim hujan, hawa lembap dan gerah akan selalu membuatnya kesal. Keningnya berkerut.Mobil melaju stabil ke arah kompleks vila. Tiba-tiba, sopir menginjak rem mendadak. "Ciiit ...."Tubuh R
Pada akhirnya, Eva dilempar keluar."Sudah disuruh pergi, tapi nggak mau dengar. Kamu harus begini dulu baru puas ya? Pergi sana!"Hujan turun dengan deras. Para satpam juga tidak ingin basah kuyup, tetapi wanita gila ini malah mencari masalah.....Setelah hujan reda, Eva menyusuri jalanan tanpa arah. Entah sejak kapan, dia tiba di depan gerbang kampus.Eva menatap para mahasiswa yang sedang mengobrol dan bercanda itu. Dulu, dia juga salah satu dari mereka.Tiba-tiba, Eva melihat wajah yang sangat familier di kerumunan. "Zovein!" Dia berlari menghampiri dan meraih tangan Zovein dengan erat, seolah-olah menemukan penyelamat hidupnya.Zovein pun terperanjat. Dua teman wanitanya lantas melirik dengan heran. Namun, mereka tidak bertanya lebih jauh. "Zovein, kami tunggu di dalam ya.""Oke." Zovein tersenyum dan mengangguk. Kemudian, dia menatap Eva dengan tatapan yang sangat rumit. "Kamu ... kenapa jadi begini?"Sebulan lalu saat Zovein menjenguk Eva di rumah sakit, Eva memang terlihat aga
Eva bertanya, "Apa ada makanan?"Seorang wanita terkekeh-kekeh, lalu mengamatinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Masuklah."Eva mendongak melirik papan neon yang bertuliskan Equinox. Dia tahu apa yang akan dihadapinya jika melangkah masuk. Namun, rasa lapar dan lelah serta hasrat terhadap kemewahan membuatnya seperti terhipnotis. Pada akhirnya, dia mengikuti wanita itu masuk.Dia harus hidup. Hanya dengan bertahan hidup, dia baru bisa membalas dendam kepada Reagan dan Nadine!....Namun, kenyataan kembali memberinya pelajaran pahit. Tidak semudah itu untuk mendapatkan uang. Dengan wajah cantiknya, dia langsung diterima bekerja di tempat itu.Equinox menyediakan makanan dan tempat tinggal gratis untuknya. Malam itu, Eva akhirnya bisa tidur dengan nyenyak.Keesokan malam, Eva mengenakan rok super pendek dan dibawa ke sebuah ruang karaoke. Pintu tertutup rapat. Efek kedap suara membuat tidak ada sedikit pun suara dari dalam yang bocor keluar.Ketika pintu terbuka lagi, Eva berjalan
Eva tersenyum. Tiba-tiba, pintu gudang terbuka dari luar dan seorang pria masuk. Ketika dia melangkah masuk, lampu ruangan menyala terang."Sialan! Wanita ini mencoba bunuh diri! Apa yang kalian lakukan?" maki manajer kepada kedua pria berbaju hitam di dekat pintu. Kemudian, dia segera membungkuk memberi hormat kepada pria yang pemimpin mereka. "Maaf, Pak. Ini kelalaianku.""Hentikan pendarahannya." Pria itu berkata dengan nada datar, "Luka kecil seperti ini nggak akan membunuhnya.""Baik, baik, segera kami tangani ...."Setelah darahnya dihentikan, manajer menyiramkan segelas bir dingin ke wajah Eva. Saat itu, Eva perlahan-lahan tersadar.Pria itu mendekatinya, lalu mengangkat dagu Eva dengan ujung sepatunya. "Heh, kalau kamu benaran ingin mati, kamu seharusnya menyayat lehermu, bukan pergelangan tanganmu."Eva belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Namun, saat dia mendengar suara pria itu, tubuhnya gemetar hebat. "Ka ... kamu ...." Bibirnya bergetar, dia mengangkat pandangannya.
Terdengar suara napas akibat kaget di seluruh ruang kelas yang luas."Arnold? Apa itu Arnold yang kupikirkan?""Eee ... memangnya ada berapa Arnold di Universitas Brata?""Benar juga.""Astaga! Dia benaran bakal ngajar kita? Tinggi sekali! Tampan lagi!"Manusia memang makhluk visual. Ketika melihat sesuatu yang indah, mereka akan memuji dan terpukau.Mikha juga tidak terkecuali, tetapi dia merasa profesor ini sangat familier. "Kak Nadine, bukannya ini pria yang memanggilmu di luar kantin waktu itu?""Ya.""Astaga! Ternyata dia Arnold?""Kamu nggak kenal? Saat wawancara masuk program pascasarjana, dia salah satu pewawancara lho." Nadine terlihat bingung."Hah?" Mikha menggaruk kepalanya. "Aku nggak melihatnya kok. Aku cuma kenal Diana saat wawancara.""Aneh .... Waktu aku wawancara, justru nggak ada Diana. Kamu wawancara pagi atau siang?""Siang.""Pantas saja, aku wawancara pagi.""Oh, begitu ...."Nadine tiba-tiba terpikir akan sesuatu sehingga terdiam. Jika tidak salah ingat, Clarine
"Oh, oke. Kamu lanjutkan saja urusanmu ...." Sebelum Mikha menyelesaikan ucapannya, Nadine sudah berjalan jauh. Secepat itu? Dia jarang sekali melihat Nadine terburu-buru seperti ini.Nadine mengejar sampai ke jalan setapak yang rindang di luar gedung kampus. Kemudian, dia akhirnya berhasil menghentikan Arnold.Arnold pun terkejut melihatnya. Nadine menarik napas dalam-dalam, lalu menenangkan diri dan menatapnya. "Pak Arnold, apa kamu punya masalah denganku?"Hati Arnold sontak bergetar. Dia tidak menyangka Nadine akan mengejarnya hanya untuk mengajukan pertanyaan seperti itu. "Nggak ada ...." Bagaimana mungkin dia punya masalah dengan Nadine?"Kalau begitu, kenapa kamu terus menghindariku belakangan ini?"Arnold sedikit mengalihkan pandangannya, tidak berani menatap mata Nadine langsung. Jelas, dia merasa bersalah. "Aku nggak menghindar." Arnold berdeham sebelum menyahut dengan suara rendah."Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Nadine lagi.Ekspresi Arnold menegang. Dia tanpa sadar t
Arnold berdeham sebelum berujar, "Begini, Calvin suruh kamu sering-sering mampir ke laboratorium kalau ada waktu. Semua orang sangat merindukanmu."Nadine mengedipkan mata. "Kapan Pak Calvin bicara begitu?""Seminggu lalu," jawab Arnold dengan jujur tanpa berpikir panjang."Oh ...." Nadine memperpanjang nadanya. "Jadi, Pak Calvin suruh kamu sampaikan pesan seminggu lalu, tapi kamu baru kasih tahu hari ini?"Masih berani bilang tidak menghindar?Arnold menyadari dirinya akan semakin salah jika bicara terlalu banyak. Dia pun bergegas kabur.Nadine tak kuasa tertawa melihat sosok belakangnya.Sinar matahari sore masih cerah dan hangat. Langit biru, awan putih. Semuanya terasa begitu indah.Karena tidak ada kelas sore, Nadine memutuskan untuk tidak pergi ke perpustakaan. Jadwal kuliahnya sangat padat belakangan ini, jadi dia belum sempat membersihkan rumah.Mumpung cuaca hari ini cerah, Nadine akan mencuci dan menjemur pakaiannya. Kemudian, dia akan memasak hidangan lezat untuk diri sendir
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala