Dengan penuh amarah, dia kembali ke kamar dan membanting pintu keras-keras.Keesokan paginya, Julia baru saja bangun tidur. Bahkan sebelum mengenakan seragam kerjanya, tiba-tiba dia mendengar suara Eva berteriak dari lantai atas, "Hei, tolong! Cepat antar aku ke rumah sakit!"Sudut bibir Julia berkedut. Kalau sebelumnya dia masih kelabakan dan benar-benar khawatir, kali ini .... Bisa dibilang sudah terbiasa, semakin lama semakin mahir. Dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon sopir, "Halo, Pak Haryo? Itu ... dia lagi-lagi bilang perutnya sakit."Haryo menjawab, "Baik, saya segera ke sana dengan mobil."Setelah itu, Julia menelepon Rebecca, "Nyonya, begini ...."Seluruh prosedur sudah dia kuasai dengan baik, begitu lancar hingga tak perlu pikir panjang.Di rumah sakit.Rebecca berdiri di koridor luar ruang perawatan dengan wajah dingin. Dokter masih mengulangi pernyataan yang sama seperti kemarin, "Nggak ada yang serius, cukup banyak istirahat saja."Rebecca benar-benar sudah tidak tah
Bagaimanapun, Reagan sendiri juga tidak menginginkannya. Selain itu ... Robert bahkan belum mengetahui soal ini dan Rebecca juga tidak berani sembarangan membicarakannya di hadapannya.Tanpa sadar, dia merasa bahwa Robert pasti tidak akan mendukungnya.Ayah dan anak ini, keduanya sama-sama berhati dingin.Kini situasinya sudah berkembang sejauh ini, menyuruh Eva menggugurkan kandungan tentu saja tidak realistis. Jadi, dia hanya bisa menerima kenyataan sambil mengelus dada."Eh, Bu Lia, katanya menantumu hamil? Kembar ya?""Iya nih, aku juga baru tahu. Mereka berdua rahasiain dari aku. Setelah janinnya stabil tiga bulan, baru kasih tahu aku. Katanya sih mau ngasih kejutan? Yah ... memang mengejutkan sih. Hahaha ....""Selamat ya! Anakku bahkan nggak punya pacar. Entah kapan aku baru bisa jadi nenek. Putra Bu Rebecca sebaya sama anakku, 'kan? Sudah punya pacar belum?"Rebecca tertawa. "Belum nih. Dia terus-terusan sibuk sama perusahaan kecilnya itu. Padahal kembali pulang dan mewarisi bi
Eva memegang sepotong jeruk dan memasukkannya ke mulut. Mendengar perkataan Rebecca, dia langsung menolak tanpa berpikir panjang. "Bibi, akhir-akhir ini aku nggak enak badan. Bibi tahu sendiri, hampir setiap hari aku ke rumah sakit. Aku benar-benar nggak bisa ikut kelas apa pun ...."Kenangan pahit dari pesta minum teh sebelumnya masih membekas di ingatannya. Begitu mendengar Rebecca menyuruhnya ikut kelas sambil merangkai bunga dan mencicipi teh, tubuhnya langsung menolak secara naluriah.Rebecca merasa sangat marah hingga dadanya sesak. Ini sudah terang-terangan ... dia bahkan tidak mau pura-pura lagi?!"Nggak ada tawar-menawar! Kamu harus pergi!" Sebelum dia selesai bicara, terdengar suara panggilan terputus dari ujung sana. Eva menutup teleponnya!Rebecca memandang ponselnya dengan tidak percaya. 'Perempuan kurang ajar ini! Beraninya dia memutuskan telepon dariku?!' makinya dalam hati.Anaknya bahkan belum lahir, tapi dia sudah begitu sombong. Kalau sampai dia melahirkan seorang an
Dengan keluar dari kuliah, Eva mengira dia akan memiliki lebih banyak waktu untuk fokus menjaga kandungannya. Di sisi lain, dia juga bisa lebih berkonsentrasi pada Reagan.Yang paling penting, sebentar lagi dia akan menjadi istri orang kaya berkat anak ini. Kuliah atau tidak, apa bedanya? Jadi, pada hari Senin, Eva mengajukan surat pengunduran diri dari kampus.Dia menggunakan alasan sakit. Proses persetujuan biasanya tidak akan memakan waktu lama. Berhubung sudah sampai di kampus, Eva berpikir sekalian saja dia mampir ke asrama untuk berkemas.Sore itu kebetulan tidak ada kelas. Saat dia membuka pintu asrama, beberapa teman sekamarnya sedang ada di dalam.Eva sudah lama pindah dari asrama. Walaupun sebagian barangnya masih ada di sana, dia hampir tidak pernah kembali. Kemunculannya yang mendadak ini membuat teman-temannya cukup kaget."Eva, kok tiba-tiba balik? Bukannya kamu tinggal di rumah pacarmu sekarang?""Kalau cuma mau ngambil barang, bilang saja lewat chat. Kami bisa suruh kur
Eva sekarang berbeda. Barang-barang lamanya tentu sudah tidak selevel lagi dengan dirinya saat ini."Semua ini ... kalian lihat saja kalau ada yang masih bisa dipakai. Kalau mau, ambil saja. Sisanya, tolong buang untukku.""Hah? Kamu nggak mau semuanya?""Ya."Teman-temannya hanya bisa saling pandang tanpa berkata apa-apa.Eva keluar dari asrama tanpa membawa apa pun. Begitu sampai di gerbang kampus, dia langsung menelepon sopir agar mobil segera menjemputnya. Di bawah tatapan terkejut, iri, dan penuh tanda tanya dari orang-orang di sekitar, Eva melangkah santai masuk ke mobil dan duduk di kursi belakang dengan elegan. Dia pun pergi dengan bangga.Malam harinya, Eva mendapati Reagan pulang lebih awal untuk pertama kalinya.Dengan wajah ceria, Eva menyambutnya. "Reagan, aku punya kabar baik! Hari ini aku sudah mengajukan pengunduran diri dari kampus. Mulai sekarang, aku bisa fokus menjaga kandungan dan merawatmu di rumah."Reagan baru saja selesai urusan pekerjaan yang penuh tekanan. Pr
"Kak Kamila, mertuamu asam urat ya?""Kamu tahu?""Ya. Dulu Bu Freya juga punya penyakit itu. Aku punya resep obat herbal. Memang nggak bisa menyembuhkan sepenuhnya, tapi cukup efektif meredakan rasa sakit, dan efek sampingnya lebih kecil dibandingkan obat barat."Mata Kamila langsung berbinar-binar, penuh harapan. "Bagus sekali! Tolong bagikan resepnya nanti, ya. Aku langsung ke apotek setelah pulang kerja. Terima kasih banyak, Nadine.""Kamu nggak tahu betapa menderitanya ibu mertuaku. Rasa sakitnya begitu parah sampai nggak bisa tidur semalaman dan obat pereda nyeri pun nggak berpengaruh. Kalau resep ini berhasil, aku pasti traktir kamu makan!"Nadine tersenyum kecil. "Ah, nggak perlu traktiran, cuma hal kecil saja."Calvin ikut menimpali dengan nada bercanda, "Kalian sadar nggak sih? Sejak Nadine ada di sini, setiap kali ada masalah, pasti bisa diselesaikan. Benar-benar seperti dewi keberuntungan di laboratorium kita!"Wilfred yang baru saja masuk ruangan, hanya mendengar bagian ak
Wilfred sempat menatap dengan ragu, tetapi akhirnya memilih diam.Melihat semua orang membela Nadine, Olive semakin kesal. Namun, dia masih berusaha menahan ekspresinya dan berkata, "Orang itu bisa terlihat baik di luar, tapi siapa yang tahu sifat aslinya? Gimana kalau semua itu cuma pura-pura?""Kemarin pagi, waktu aku mengecek dataku, semuanya masih baik-baik saja. Tapi hari ini semuanya sudah hilang. Kemarin sore, aku ingat Kak Kamila dan Calvin pulang lebih dulu, lalu aku dan Wilfred menyusul. Cuma Nadine dan Pak Arnold yang masih ada di laboratorium.""Pak Arnold jelas nggak mungkin melakukannya, jadi satu-satunya kemungkinan adalah Nadine!"Logika Olive terdengar cukup masuk akal sekilas, tetapi Nadine dengan cepat menemukan celahnya. Dia memandang Olive dengan tenang dan berkata, "Kamu bilang datamu masih ada waktu terakhir kali kamu cek kemarin pagi. Tapi waktu kamu pulang kemarin, apa kamu mengeceknya lagi?""Tentu saja! Semuanya masih ada!""Kamu yakin?"Olive menjawab tegas,
Calvin bertanya dengan heran, "Kamu punya cara?"Nadine mengangguk ringan. "Kita bisa langsung pulihkan data yang terhapus dan memeriksa log penghapusan untuk mengetahui waktu pasti kapan data dihapus. Setelah itu, kita bisa mencocokkan siapa saja yang berada di laboratorium pada waktu tersebut."Calvin ragu. "Secara teori benar sih, tapi siapa yang bisa memulihkan datanya? Aku lihat recycle bin di komputernya juga sudah dikosongkan. Pasti susah untuk mengembalikan data itu, 'kan?"Nadine menjawab tenang, "Biar aku coba."Awalnya dia tidak menyarankan itu karena memulihkan data membutuhkan waktu. Memeriksa rekaman CCTV adalah cara yang lebih cepat dan efisien. Namun, sekarang jelas CCTV tidak akan membantu menyelesaikan masalah ini.Saat Nadine duduk di depan komputer dan mulai menyentuh keyboard, Arnold tiba-tiba menghentikan gerakannya. Semua orang menatap Arnold dengan bingung, termasuk Nadine.Arnold berkata dengan suara tenang dan penuh kewibawaan, "Pertama-tama, kita nggak punya
Kedua orang itu langsung menoleh ke arah Darius. Darius menggaruk kepalanya. "Kenapa kalian melihatku seperti ini ...." Rasanya agak canggung."Darius, sebenarnya keluargamu itu bergerak di bidang apa sih?" Mikha menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.Nadine ikut bertanya, "Aku ingat, terakhir kali kamu bilang orang tuamu ... adalah pegawai negeri?"Kelihatannya, pegawai negeri yang dimaksud bukan pegawai biasa. Nadine hanya menyebutkan secara singkat dan tidak bertanya lebih jauh.Mikha mungkin blak-blakan, tetapi dia juga tahu kapan harus berhenti. Ada yang bilang anak-anak dari keluarga pejabat tinggi biasanya sangat low profile. Jadi, masuk akal kalau Darius tidak pernah menyebutkannya sebelumnya.Darius akhirnya menghela napas lega. "Aku pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusnya.""Oke!" Mikha mengangkat tangan, "Demi laboratorium ...."Darius menyambung, "Demi nggak diusir lagi ...."Keduanya menoleh menatap Nadine.Nadine sempat terdiam, lalu spontan berseru, "M
"Ayahku punya properti, rumahnya tak terhitung jumlahnya! Dia yang selalu mengusir orang lain, nggak ada yang bisa mengusirnya!""Jadi, semuanya harus milik kita sendiri agar kita punya posisi kuat! Akademi meminjamkan kita ruangan bobrok, nggak ada CPRT, alat pemadam kebakaran pun nggak lengkap. Kita mati-matian menghasilkan penelitian, tapi akhirnya semua kredit jatuh ke akademi?""Memangnya di dunia ini ada hal sebaik itu? Aku sudah muak!"Mikha tidak pernah mengalami ketidakadilan seperti ini."Apa hebatnya sih? Cuma sebuah ruangan usang, alat-alatnya pun kita beli sendiri!"Amarah Mikha meledak-ledak. Dia benar-benar tidak bisa menoleransi ketidakadilan ini. Ketika dia melampiaskan kekesalan, air liurnya bahkan hampir menciprat ke mana-mana, membuat Darius dan Nadine melongo."Eh ... apa aku menakuti kalian?" Wajah Mikha yang bulat tampak malu untuk sesaat. Dia buru-buru menjelaskan, "Biasanya aku nggak seperti ini. Tapi kalau sudah marah, aku susah berhenti .... Ehem, ehem!"Dari
Nadine melihat ekspresi tak berdaya di wajah Arnold dan tak bisa menahan tawa."Ambil saja, Paman. Daging sapi bumbu buatan ayahku ini luar biasa enak, nggak semua orang bisa mencicipinya.""Kamu memanggilku apa?" Dia melangkah mendekat dan satu tangan bertumpu di dinding. "Hmm?"Nadine tak punya ruang untuk mundur lagi, hanya bisa menatapnya dengan wajah polos. "Aku cuma menyampaikan kata-kata ayahku, bukan aku yang mengatakannya.""Pak, lorong ini sempit. Kamu ... nggak mau mundur sedikit?"Arnold teringat bahwa dirinya masih sakit dan khawatir menularkannya pada Nadine. Dia menghela napas pelan, menarik kembali tangannya, lalu mundur ke samping.Nadine sekali lagi merasa kagum. Pria ini benar-benar mudah diajak bicara dan sangat gentleman.Arnold menerima daging sapi itu, sementara Nadine membawa sisanya kembali ke rumah. Dia lalu memotret dan mengirimkannya kepada Jeremy.Balasan segera masuk.[ Sudah kasih Arnold? ][ Sudah, sudah! Ayah, bukankah kamu terlalu baik padanya? ]Jerem
Nadine agak tertegun. "Untukku? Lalu, kamu ...."Arnold berkata, "Aku nggak kedinginan.""Terima kasih."Setibanya di ujung gang, Arnold meminta Nadine menunggu sebentar, lalu masuk ke minimarket di samping. Tak sampai satu menit, dia keluar dengan dua cangkir minuman di tangannya."Nah."Nadine menerimanya, lalu mencium aromanya dengan penasaran. "Apa ini?""Teh merah jahe."Nadine mengangkat alis. "Minimarket menjual ini?" Kenapa dia sama sekali tidak punya kesan tentang itu?"Menu musiman, baru saja tersedia.""Punyamu juga?"Arnold menggeleng. "Bukan, aku pesan teh gandum hitam."Nadine menggenggam cangkir kertas itu, telapak tangannya terasa hangat. Ditambah jaket yang masih menyelimutinya, seluruh tubuhnya seperti dipenuhi kehangatan. Bahkan, pipinya tampak agak merah.Setelah naik tangga, Nadine melepaskan jaket itu dan mengembalikannya kepada Arnold. "Terima kasih, selamat malam."Arnold tersenyum tipis. "Selamat malam."Keduanya pun masuk ke rumah masing-masing.Setelah mandi,
Arnold hari ini ada kelas. Saat jam istirahat, dia mendengar dua mahasiswa membicarakan bahwa ada laboratorium di Fakultas Ilmu Hayati yang diberikan surat perintah renovasi oleh dinas pemadam kebakaran.Awalnya dia tidak terlalu peduli, sampai tiba-tiba nama Nadine disebut dalam percakapan mereka. Begitu bertanya lebih lanjut, dia baru tahu bahwa laboratorium yang dimaksud adalah milik Nadine.Tanpa berpikir panjang, Arnold langsung menuju ke sana dan tiba tepat saat ketiga orang itu sedang berbicara."Pak." Nadine menyapanya, "Kenapa tiba-tiba ke sini? Silakan masuk."Mikha dan Darius juga segera menyapa.Arnold berkata, "Aku sudah tahu semuanya. Kalau renovasi pemadam kebakaran dilakukan sesuai prosedur, setidaknya akan memakan waktu 2 bulan. Untuk sementara, pakai saja laboratoriumku. Kalian bisa memindahkan semua peralatan ke sana, pasti muat."Kedengarannya memang solusi yang cukup baik .... Namun, Mikha dan Darius tidak langsung menyetujui. Mereka justru menatap Nadine untuk mem
"Siapa yang menyuruh kalian masuk? Laboratorium kami nggak menerima hewan berkaki dua. Kalau punya akal, cepat pergi sebelum kami bertindak.""Siapa yang kamu maki, hah?" Kaeso berang hingga wajahnya memerah.Darius menimpali dengan santai, "Siapa yang menanggapi, berarti dia yang kumaki. Lihat saja, langsung ada binatang yang merasa tersindir.""Kamu ...."Nella tersenyum sinis. "Apa yang kalian banggakan sih? Seluruh laboratorium nggak bermasalah, cuma laboratorium kalian yang harus direnovasi. Malu-maluin saja, tapi masih berani keras kepala!""Kudengar, perbaikan keamanan kebakaran bisa makan waktu berbulan-bulan. Kasihan, kalian jadi nggak bisa pakai laboratorium dalam waktu dekat. Apa hebatnya menerbitkan makalah di Science? Nyatanya tetap nggak dianggap penting oleh fakultas. Ngapain sok hebat?"Nadine tersenyum. "Sebenarnya aku malas bicara karena takut kamu nggak sanggup menerimanya. Tapi kalau dipikir lagi, bersikap baik pada binatang buas sama saja dengan menyiksa diri sendi
Diana menyilangkan tangan sambil menatap dari atas. "Laporan apa?""Jangan pura-pura bodoh! Inspeksi pemadam kebakaran di laboratorium lain nggak ada masalah, tapi cuma laboratorium Nadine yang diberi surat perintah perbaikan. Kamu berani bilang ini nggak ada hubungannya denganmu?"Diana tersenyum tipis. "Aku sibuk. Setiap hari harus mengurus laporan dan menulis jurnal, mana ada waktu untuk ribut dengan anak-anak kecil? Tapi ... kalau ada orang lain yang nggak suka dengan mereka, itu di luar kendaliku."Bagaimanapun, dia punya banyak mahasiswa. Kalau ada satu atau dua yang tidak suka dengan kelompok Nadine, itu hal yang wajar, 'kan?"Sekarang kamu semakin berani ya? Berani bertindak tanpa memberitahuku dulu. Kamu ini masih menganggapku sebagai atasanmu atau nggak?"Diana mengerutkan kening. "Kamu memanggilku cuma untuk ini? Sekarang kamu mau membela mahasiswa Freya? Heh, ini bukan gayamu."Konan tertawa dingin. "Kamu pikir trik murahanmu itu sangat cerdas? Dasar bodoh!""Inspeksi pemad
"Saat itu kami ada di laboratorium, bukannya nggak ada orang. Mesin itu cuma nggak digunakan sementara, jadi secara otomatis masuk ke mode siaga. Kami juga akan menggunakannya lagi nanti. Siapa yang akan kurang kerjaan memutus dayanya?" jelas Mikha dengan kesal.Nadine sudah memiliki dugaan di benaknya, tetapi masih perlu memastikannya. "Ayo, kita ke laboratorium seberang."Mikha bingung. "Kenapa kita melihat mereka? Itu 'kan laboratorium dari jurusan lain, nggak ada hubungannya dengan kita ...."Darius juga merasa ada sesuatu yang aneh dan segera mengikuti Nadine. "Kalau disuruh pergi ya pergi, kenapa banyak tanya?"Mikha termangu sesaat. 'Wah, nyalinya semakin besar saja ya!'Ketiganya tiba di laboratorium seberang. Benar saja, sudut ruangan dilengkapi dengan satu set lengkap peralatan pemadam kebakaran."Ini ...." Mikha melongo. "Padahal bulan lalu belum ada!"Mereka memeriksa beberapa laboratorium lain. Hasilnya sama, semua yang sebelumnya tidak memiliki peralatan kini sudah lengka
"Ada apa?" tanya Nadine.Keduanya langsung mendongak, seperti anak kecil yang akhirnya melihat orang tua mereka setelah mendapatkan perlakuan tidak adil.Mikha langsung berlari ke arahnya, matanya sudah memerah bahkan sebelum sempat bicara. Darius menyusul di belakang, ekspresinya jelas tegang dan tangannya juga terkepal erat.Nadine langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dia tetap tenang. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian duduk di luar dan nggak masuk?""Kak Nadine ...." Mikha berusaha menahan air matanya. Meskipun matanya sudah berkaca-kaca, dia tetap bersikeras untuk tidak membiarkannya jatuh. "Kami nggak bisa masuk lagi!""Apa maksudnya nggak bisa masuk lagi?" Nadine terkejut."Kemarin, tim inspeksi kampus dan pemadam kebakaran distrik tiba-tiba datang ke laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ...."Pemeriksaan kebakaran adalah prosedur rutin, jadi mereka berdua tidak berpikir terlalu banyak dan langsung membukakan pintu serta bekerja sama dengan baik.Siapa sangka,