Beranda / Pernikahan / Tak Semanis Madu / 92. Saatnya membungkam mulut mantan 3

Share

92. Saatnya membungkam mulut mantan 3

Penulis: Novita Sadewa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Mereka bukan kakak beradik, tapi tinggal bersama sebagi kakak adik, Pak." Tari mencoba untuk memperjelas. Aku tersenyum tipis sedangkan Bella tampak ketakutan dengan memegang erat lenganku.

"Benar itu, Pak Abi? Kalian melakukannya?" tanya polisi.

"Jadi, kami memang bukan kakak beradik . Tapi kami adalah suami istri yang menginap di kontrakan ini, Pak. Di mana coba letak kesalahan kami?" jelasku santai seraya mengusap tangan Bella agar ketegangannya berkurang.

"Bohong," teriak warga.

"Tenang," teriak polisi.

"Apa kalian bisa menunjukkan buktinya bahwa kalian adalah suami istri?" tanya polisi lagi.

"Bisa, Pak. Kami sedang menunggu asisten kami datang membawakan surat nikah kami ke sini. Kebetulan rumah kami di Jakarta. Jadi kami harus mengambilnya dan membutuhkan waktu. Seperti asas praduga tak bersalah maka jangan menghakimi kami, itu mau saya," tegasku.

"Kelamaan," teriak Bu Gunawan. Lama-lama aku ingin sekali menonjok wanita ini, gemas sekali rasanya.

"Jarak Jakarta-Bandung tidak d
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tak Semanis Madu   93. Tetap pada pendirian

    Semua tampak terkejut saat aku memutuskan untuk menuntut balik. Terlihat Tari, Bu Gunawan, dan Dilla terperangah. Dengan mulut dan mata yang membulat sempurna."Asri, bawa Bella masuk ke kamar," perintahku pada Asri. Mengamankan Bella jauh lebih penting dari pada nantinya kasus ini harus berakhir dengan kata damai karena sifat Bella yang melankolis dan mudah memberi maaf pada seseorang kecuali kalau aku yang salah. Susah sekali dia memaafkannya."Lah, kenapa?" protes Bella."Udah, Mbak, ayo. Dari pada ikut kena asap. Ayo masuk sama Asri!" Dengan sigap Asri membawa Bella masuk. Dengan begini aku bisa lebih bebas bertindak.Setelah Bella dan Asri masuk, aku pun melanjutkan percakapanku dengan petugas kepolisian yang tampak memeriksa surat nikah kami. "Gimana? Asli, kan? Kalau perlu dicek aja ke KUA," tantangku lagi, mereka semakin pucat. Tak berbeda dengan para warga yang mulai berbisik."Ya, sepetinya ini asli," jawab Pak RT mengangguk pelan."Huuu ... dasar kalian bikin gosip nggak ta

  • Tak Semanis Madu   93. Tetap pada pendirian 2

    POV BELLAAsri membawaku ke dalam kamar, entah apa maksud Abi menyuruhku masuk. Padahal di luar masalah belum selesai. "Sri, harusnya nggak usah masuk. Abi masih di luar sendiri. Aku khawatir," perotesku pada Asri."Nggak usah khawatir, Mbak. Kalau Mas Abi nyuruh masuk itu tandanya mau ngamuk. Takut kalau Mbak marahi, jatuh lah harga diri," jawab Asri."Apa, Sri? Kamu bilang apa tadi? Saya takut?" Kami beranjak saat Abi tiba-tiba membuka pintu dan mendengar perbincanganku dengan Asri. Sepertinya ini akan menjadi masalah. Asri menundukkan wajahnya. "Bi, udah, nggak usah marah sama Asri. Lagi pula memangnya kamu nggak takut sama aku?" tanyaku membalikkan keadaan."Ya bukannya gitu juga, sayang.""Terus?" tanyaku menyelidik, mendekati Abi yang mulai terlihat gelagapan."Aku nggak mau kamu pusing-pusing memikirkan maslah tadi.""Asri! Kamu ke mana aja? Saya sudah memprediksikan waktu yang paling lama loh menuju ke sini. Eh, kamu masih saja telat," omel Abi."Maaf, Mas. Perjalanan subuh i

  • Tak Semanis Madu   95. Kedatangan Pengacara Papa

    Aku terperangah saat Abi tidak menurunkanku di gang sempit seperti apa yang sudah dia janjikan di kontrakan tadi. Berpikir, apa yang akan diperbuat oleh Abi dengan masuk bersama. Ini bukanlah hal yang baik menurutku. Ingin bertanya. Namun, Abi terlihat sangat terburu-buru setelah beberapa saat lalu menerima telepon, entah dari siapa, aku juga tidak berani bertanya. Karena setelah itu air mukanya tampak berubah tegang dan menakutkan. Bahkan, ia tidak menatapku sama sekali. Tinggal beberapa meter lagi mobil kami akan memasuki pintu gerbang redaksi. Jantungku semakin berdebar tak karuan.Perut pun mendadak mulas, saat mobil kini benar-benar memasuki pintu gerbang. Sepertinya semu rencana akan gagal dan rahasia terbongkar hari ini. "Siang, Pak Abi," sapa security yang berjaga. Kutundukkan dengan cepat wajahku, karena saat ini Abi justru semakin membuka lebar kaca mobinya. "Pagi, masih aman, Pak?" tanya Abi. Bukanya segera pergi malah ngobrol dengan security. Sepertinya, Abi mulai lupa

  • Tak Semanis Madu   96. Kedatangan Pengacara Papa 2

    POV AbiAku bergegas menuju ruangan setelah kurasa cukup menggoda wanita yang menduduki posisi momor satu di hatiku itu. Bella, rasanya kurang kalau sehari saja tidak menggodanya. Dia itu terlalu disayangkan untuk dilewatkan. Membuat emosinya naik turun juga menyenangkan. Bahkan, sudah menjadi candu bagiku. Bukannya bermaksud menjadikannya sebagai hiburanku di tengah penatnya pekerjaan yang melimpah ruah. Namun, bersamanya aku merasa nyaman dan bahagia. Bersama Bella, aku juga bisa sejenak melupakan semua beban yang ada."Pagi," sapaku masuk ke dalam ruangan, aku tahu pengacara keluarga sudah menunggu di sana sejak beberapa waktu yang lalu."Pagi, Pak Abi." Pak Fabian berdiri menyambutku. Pak Fabian, pengacara keluarga, tidak mungkin jauh-jauh sampai menemuiku di Bandung jika tidak ada hal yang penting dan mendesak.Dari keterangannya beberapa menit yang lalu, ada sedikit masalah mengenai Hayuda dan pewarisnya."Maaf ... sekali, Pak. Saya sangat terlambat," ucapku menyalami."Nggak

  • Tak Semanis Madu   97. Terkunci atau sengaja dikunci?

    POV AbiTanpa berpikir panjang, aku pun berlari menuju gudang dengan diikuti oleh security yang mengambil kunci serep tersebut. Setahuku gudang itu tertutup tanpa jendela pula, jalan satu-satunya hanyalah pintu. Terlihat beberapa security dan OB sudah menunggu di depan pintu gudang. "Pak," sapa mereka begitu melihatku datang."Ini gimana ceritanya pintu rusak nggak dibenerin?" tanyaku tanpa basa-basi."Mau dibetulin cuma lampunya juga suka konslet, jadi kita nunggu hari sabtu minggu untuk membetulkan sekalian, Pak, supaya kegiatan kantor tidak terganggu. Karena perlu mematikan sumber listriknya. Maaf," ucap salah satu dari mereka. Aku semakin khawatir saat mereka mengatakan bahwa lampu bermasalah, semoga saja lampu tidak mati dan membuat trauma Bella itu kembali terjadi. "Gimana bisa, lampu disamakan sama pintu!" kataku marah, kuusap kasar wajahku yang sudah mulai kehilangan kesabaran."Bapak nggak usah khawatir, Pak, biar kami yang urus.""Udah buruan dibuka!" perintahku tak mau m

  • Tak Semanis Madu   98. Terkunci atau sengaja dikunci? 2

    "Tentu, kamu kan istri Abimana ...." Sudah hampir satu setengah jam kami bicara hanya untuk sekedar membuat lupa rasa takut Bella agar traumanya tidak terjadi lagi. Alhamdulillah, ponsel Bella bisa diajak kompromi alias tidak habis baterai sejauh ini. Sampai akhirnya bantuan datang, aku pun beranjak dari lantai. Namun, masih dengan ponsel yang tidak lepas dan masih menempel di telingaku.Kutemui mereka yang datang untuk membantu. "Pak, langsung saja, gimana acaranya pintu ini bisa dibuka secepat mungkin," kataku. Rasanya aku sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi"Apa mereka sudah datang, Bi?" tanya Bella begitu tak sabar."Hem, iya, mereka sudah datang.""Baik, Pak."Dengan sigap mereka mengeluarkan semua alat yang diperlukan dan tidak menunggu waktu lama pintu pun berhasil dibuka. "Alhamdulillah," lirihku."Biar saya saja yang masuk. Kalian langsung persiapkan untuk perbaikan pintunya," kataku saat kulihat security hendak masuk. Aku tahu ia pasti hendak mencari Bella."Oh, i

  • Tak Semanis Madu   99. Surat Mama

    Bab 67Surat MamaBergegas menuju ruangan menemui Pak Fabian setelah menyelesaikan tugas negara."Maaf, Pak. Maaf sekali," ucapku menutup pintu setelah masuk, rasanya aku sudah sangat tidak sopan padanya karena sudah meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama."Nggak papa, Mas. Nggak usah sungkan.""Kalau gitu langsung saja, ya, Mas." Pak Fabian terlihat mengeluarkan map dari dalam tas lalu meletakkannya di atas meja."Jadi begini, Mas. Kemarin Bu Hayuda menghubungi, beliau menyampaikan, bahwa ...." Pak Fabian menghentikan kalimatnya dan terlihat menundukkan wajah sekarang."Bahwa apa, Pak? Katakan saja. Insyaallah saya akan menerima." Menurutku, apa yang akan disampaikan oleh Pak Fabian tidak akan jauh-jauh dari harta dan tahta."Maaf sebelumnya, Mas. Ibu meminta Mas Abi untuk menandatangani surat ini." Dibukalah map warna biru yang sudah diletakkan di atas meja itu lalu disodorkan padaku. Aku pun meraihnya.Kutautkan kedua alisku saat pertama kali membaca judul dari lembar tersebut

  • Tak Semanis Madu   100.Surat Mama 2

    POV BellaSekelibat bayangan terlihat saat aku hendak keluar dari gudang lalu setelah itu pintu gudang tiba-tiba terkunci. Aku sempat kesal saat Abi tidak juga menerima panggilan telepon dariku. Namun, aku beruntung saat tak lama kemudian aku mendengar suara langkah kaki dari balik pintu. Seketika aku menggedor pintu dan berteriak meminta bantuan, ternyata suara itu adalah suara sepatu OB yang sedang membersihkan lantai. Mendengar teriakanku, ia pun segera meminta bantuan pada yang lain. Beruntung, mereka dan Abi berhasil membuka pintu tersebut meski membutuhkan waktu yang cukup lama.Begitu pintu terbuka dan mendengar Abi datang, ingin sekali aku marah karena dia sudah mengabaikanku, namun rasa itu memudar saat rasa tidak nyaman di kaki mendominasi. Ya, terlalu lama meringkuk di bawah meja membuat kakiku kesemutan dan kram.Masalah tak berhenti di situ. Ketika aku kembali ke ruang editor, Masalah kembali muncul saat Abi tanpa sadar bersikap bak suami siaga yang rela membawa tas istri

Bab terbaru

  • Tak Semanis Madu   175. Ending

    POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be

  • Tak Semanis Madu   174. POV Adip

    POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan

  • Tak Semanis Madu   173. Talak 2

    POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a

  • Tak Semanis Madu   172. Talak

    "Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket

  • Tak Semanis Madu   171. Kedatangan tamu 2

    "Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m

  • Tak Semanis Madu   170. Kedatangan tamu

    Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan

  • Tak Semanis Madu   169. Ribetnya seorang Abimana 2

    "Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la

  • Tak Semanis Madu   168. Ribetnya seorang Abimana

    Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart

  • Tak Semanis Madu   167. Rayuan Abi 2

    Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta

DMCA.com Protection Status